Miserable Fate - 37
Moss
Cinta kasih ibu
“Ian,” sapa Elsie pada putranya melalui telepon.
Ian membatalkan niat merokok di balkon dan akhirnya menerima telepon ibunya. Ian menyalakan TV sebagai persiapan jika dia harus kabur dari topik yang diajukan ibunya. Mungkin dengan berakting seolah-olah ada pertengkaran tetangga sehingga suasana tidak kondusif untuk menelepon.
“Ya, Ma?”
“Kapan kamu pulang?” Elsie bertanya dengan nada pelan. Sudah beberapa bulan terakhir ini ibunya menelepon dengan nada suara sendu. Tidak lagi berapi-api seperti dulu saat bersemangat menjodohkan Ian dengan perempuan-perempuan single. Tepatnya sejak ibunya mengusir Liv dari rumahnya.
“Nggak tau, Ma. Ian…”
“Sibuk. Mama tahu,”
Ibu dan anak itu saling diam. Tidak mengatakan apa-apa. Ian memijat keningnya. Ian masih tidak tahu bagaimana harus menghadapi ibunya. Mengetahui bahwa ayahnya memiliki perempuan lain, mengetahui bahwa Liv adalah adiknya, mengetahui bahwa Liv sudah bertunangan dengan pria lain. He tried to handle this but he needs time.
Waktu yang selama ini dimanfaatkan Ian untuk pergi, kabur, menghindar. Bukannya berusaha menyelesaikan apa yang mengganjal di hatinya, Ian memilih untuk mengabaikannya. Termasuk tidak menemui ibunya sendiri selama berbulan-bulan.
“Mau sampai kapan kamu menghindari Mama, Ian?” tanya Elsie dengan suara yang terdengar lebih mendesak.
“Ian gak menghindari Mama. Kebetulan saja sedang ada yang perlu dikerjakan di sini,” Ian mengelak.
“Lalu kenapa kamu gak kunjung pulang ke Surabaya? Biasanya bisa kan kamu pulang meski hanya akhir pekan sekalipun?”
“Belum nemu waktunya, Ma. Akhir pekan pun Ian sering kerja,” Ian masih berusaha sabar meskipun ia sudah ingin menyudahi pembicaraan ini. Memang Ian bekerja di akhir pekan. Meskipun itu bukan tuntutan yang diberikan oleh perusahaan. Melainkan pilihan Ian sendiri untuk menghindari permasalahan yang ada di kepalanya. Dia dipanggil kutu buku dan cupu bukan tanpa alasan.
“Kita harus ketemu segera. Ada yang harus Mama ceritakan ke kamu, Ian,” kata Elsie dengan suara mendesak.
“Ma, Ian ada kerjaan yang harus diselesaikan. Mama bisa cerita lain kali ya. Maaf ya, Ma,” Ian pun langsung mematikan sambungan telepon dan melemparkan ponselnya ke kolong meja. Ian menutup wajahnya dengan tangan. Semuanya terasa lebih berat daripada harus mengerjakan project dan kena Surat Peringatan di saat bersamaan.
***
“Yan, nanti tolong bikin blueprint-nya lalu bawa ke ruangan saya ya,” perintah Pak Kornel sang Direktur IT kepada Ian begitu meeting mereka sore itu selesai.
“Baik, Pak. Besok mungkin, Pak?”
“Ah lusa juga nggak apa-apa. Saya besok nggak di kantor seharian. Baru masuk lagi hari Kamis. Jadi yang penting Kamis sudah ada blue print-nya ya,” Pak Kornel menepuk pundak Ian.
“Iya, Pak,” Ian mengangguk. Meskipun Pak Kornel meminta Ian mengumpulkan tugasnya hari Kamis, Ian bertekad akan mengerjakan tugasnya malam ini agar besok bisa dia simpan di ruangan Pak Kornel. Toh saat ini dia tidak punya aktivitas lain. Bekerja lebih baik daripada dia diam dan memikirkan yang tidak-tidak.
“Mas Ian, dari tadi HP-nya bunyi,” ujar Dilla, salah satu staf di tim Ian, ketika Ian kembali ke ruangannya. Ian memang meninggalkan ponsel di ruangannya karena sedang dicas.
“Oh gitu. Mungkin ada telepon penting. Terima kasih Dilla,” Ian mengangguk lalu segera masuk ke ruangannya.
Ponselnya berdering lagi saat Ian masuk ke ruangan. Ian mengambil ponsel yang masih tersambung dengan kabel charger dan melihat layarnya. Rupanya ibunya yang menelepon. Meskipun Ian menghindar dari pulang ke Surabaya dan bertemu ibunya, tapi Ian tetap berusaha untuk mengangkat telepon ibunya. Daripada membuat ibunya semakin uring-uringan.
“Ma?”
“Mama sudah di apartemen kamu. Kamu pulang jam berapa?”
“Mama dimana?” Mendadak Ian tidak percaya dengan pendengarannya. Apakah tiba-tiba error karena mengikuti meeting hampir seharian?
“Di apartemen kamu. Mama lagi tunggu di KFC karena Mama nggak punya kunci ke kamar kamu. Kamu kapan pulang?”
Ian menepuk keningnya. Ini memang konspirasi semesta agar Ian tidak perlu mengerjakan tugasnya malam ini. Rupanya ada ibu yang harus ditemui Ian sesegera mungkin. Mungkin ini juga pertanda Ian tidak bisa menghindar lagi dari ibunya. Ia harus berhenti jadi anak durhaka yang membuat ibunya sedih karena anak satu-satunya menghindarinya.
“Ian masih di kantor, Ma.” Ian melirik arlojinya. “Setengah jam lagi, kalau Mama mau menunggu.”
“Pasti Mama tunggu. Ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya,”
Begitu telepon dimatikan, Ian segera memasukan barang bawaannya ke tas dan berpamitan dengan orang-orang di kantor. Sekarang memang seharusnya sudah jam pulang kantor. Jadi tidak ada masalah jika dia pulang sekarang. Ian mengenakan jaketnya dan memacu motornya secepat mungkin menuju apartemen, menemui ibunya yang sedang menunggu.
Ian masuk ke dalam KFC. Melihat ibunya sedang membaca sebuah buku. Segera Ian menghampiri ibu yang beberapa bulan terakhir ini dihindarinya.
“Ma, Mama sendiri?”
“Kamu sudah sampai,” kata ibunya dengan wajah berseri.
Ian mencium tangan ibunya dan ibunya meraih Ian ke pelukannya. Pelukannya masih tetap erat seperti dulu. Pelukan ibunya masih sama hangatnya seperti dulu. Tidak ada yang berbeda. Hanya saja kali ini ibunya memeluk Ian lebih lama. Seperti menunjukkan rasa rindunya atas rasa kesepian yang dialami berbulan-bulan.
“Kamu bau asap,” kata Elsie, mengernyit. Tidak menunjukkan rasa rindunya secara langsung. Ibunya memang selalu seperti ini.
Ian membaui jaketnya. “Habis naik motor, Ma. Mama dalam rangka apa ke Jakarta?”
“Mama sudah bilang kan kalau ada yang mau Mama bicarakan?”
“Iya. Tapi itu bisa menunggu kalau Ian pulang ke Surabaya. Nggak perlu Mama yang ke Jakarta,”
“Dan kapan itu terjadi, Nak?” Elsie terlihat lelah. “Kamu nggak mau pulang.”
Ian terpaksa diam. Kenyataannya memang seperti itu. Dia belum siap untuk pulang. Tidak ketika kenangan terakhirnya adalah wanita pilihan hatinya diusir oleh ibunya. Ditambah dengan ingatan tentang ayahnya dulu, Ian semakin tidak ingin pulang.
“Mama mau bicara tentang Liv.”
Bagai petir di siang bolong, Ian langsung siaga. Matanya menatap awas pada ibunya. Jantungnya berdegup mendengar ibunya mau membahas tentang Liv.
“Kita bicara di atas saja, Ma,” ajak Ian.
Ian mengajak ibunya menuju unitnya. Sementara ibunya duduk menunggu, Ian segera mandi dan berganti baju. Semua dilakukannya dengan cepat karena dia tidak mau menunda lebih lama untuk mendengar cerita yang ingin disampaikan ibunya tentang Liv.
“Gimana, Ma?” Ian duduk di depan ibunya.
“Mama udah lama nggak liat kamu semangat kayak gini,” Elsie tertawa, mengacak rambut putranya.
Ian tersenyum sedikit, malu. “A lot of things happened lately, Ma.”
Elsie mengangguk. “Sebelumnya, Mama mau minta maaf dulu. Kamu mau maafkan Mama?”
Ian tidak langsung menjawab. Dia menatap ibunya lebih dulu, berpikir lebih dulu sebelum memutuskan. Akhirnya Ian mengangguk. Dia tidak bisa membenci atau marah pada ibunya lebih lama lagi.
“Liv bukan adikmu, Yan,” Elsie memulai.
***
Mama nggak bisa punya anak.
Mama dan Papa mengangkat kamu jadi anak kami.
Liv yang anak kandung Papamu dengan Nita.
Maafkan Mama, Yan. Mama nggak mau mengingat bahwa kamu bukan darah daging kami. Kamu anak kami, Ian. Selamanya akan seperti itu.
Ian menempelkan kening ke dinding. Semalaman dia dan ibunya bercerita. Semua kisah masa lalu diceritakan kepada Ian. Ian bertanya, ibunya menjawab. Ian memastikan, ibunya menjelaskan. Ketika percakapan selesai, Ian seperti kebingungan. Ibunya menyuruh Ian beristirahat sementara ibunya tidur di kamar sebelah. Bukannya beristirahat, Ian malah termenung, menempelkan kening ke dinding.
Kenyataan bahwa dia bukan anak kandung orang tuanya cukup membuatnya tertekan. Selama ini dia selalu meyakini bahwa dia adalah anak sah dari Bapak Reza dan Ibu Elsie. Ian selalu berusaha jadi kebanggaan kedua orang tuanya. Rupanya dia adalah anak angkat. Ibunya memang bilang bahwa mereka sudah menganggap Ian sebagai anak kandung. Ian tahu itu. Dia tidak pernah mendapat perlakuan buruk. Hanya saja kenyataan itu tetap membuat Ian terpukul.
Di sisi lain, Ian bersyukur. Dia masih punya kesempatan dengan Liv. Liv bukan saudarinya. Dia tidak punya hubungan darah dengan Liv. Dia masih bisa berusaha dengan Liv.
Hanya saja…
Liv sudah bertunangan dengan Febri. Liv sudah memilih untuk bersama Febri. Liv bertunangan tidak lama setelah putus dengan Ian, ketika Ian masih belum bisa melupakan Liv.
***
Ian membuka pintu kamar dan langsung melihat ibunya sedang berkutat di dapur. Dikiranya sang ibu belum bangun. Cepat-cepat Ian kembali masuk ke kamar dan memakai kausnya. Padahal dia berencana untuk workout shirtless seperti biasa.
“Sarapan ya?” sapa ibunya saat Ian keluar dengan pakaian lengkap.
“Iya, Ma,” Ian mengangguk. Tanpa menatap ibunya, Ian keluar ke balkon dan melakukan ritual paginya. Membiarkan ibunya berkreasi di dapur.
“Kamu selalu workout seperti ini?” Elsie melongok ke balkon.
“Yeah,” Ian mengangguk tanpa menghentikan aktivitasnya.
“Kok di rumah nggak?”
“Mama nggak liat. Aku olahraga di kamar,”
“Oh,” Elsie menggerakkan bibirnya. “Ian.”
“Hmm?” balas Ian.
“Kamu marah sama Mama?”
Ian berhenti, berbalik menghadap ibunya. “Nggak, Ma.”
“Tapi?”
“Tapi Ian butuh waktu untuk menyesuaikan semuanya,”
“Nggak ada yang akan berubah Yan. Kamu tetap anak Mama dan Papa. Meski kamu nggak lahir dari rahim Mama, tapi kamu anak Mama. Anak yang Mama urus dari kamu masih belum bisa apa-apa. Mama minta maaf karena nggak memberitahu kamu tentang ini. Bahkan membuat kamu berpisah dengan Liv. Maafin Mama, Ian.”
“Ma, jangan begini,” Ian menghampiri Elsie dan memeluk ibunya yang mulai menangis. Situasi ini membuat Ian otomatis memaafkan orang tuanya dan melupakan keresehan hatinya.
“Maaf, Yan,” Elsie mengusap wajahnya. “Apa yang bisa mama lakukan untuk menebus kesalahan Mama, Yan?”
“Mama gak salah apa-apa,” Ian berkata dengan lirih. Mengelus pipi ibunya yang keriputnya lebih banyak sekarang. Benar, ibunya semakin tua. Tidak seharusnya Ian bersikap galak seperti kemarin. Biar bagaimanapun, kandung atau bukan, Elsie adalah ibunya. Wanita yang merawatnya dan menjaganya hingga sebesar ini.
“Kamu sekarang apa akan menemui Liv? Memperbaiki hubungan kalian karena sekarang kalian tahu bahwa kalian tidak punya hubungan apa-apa?”
Ian melepaskan pelukannya dari sang ibu. Mengalihkan pandangan ke tower sebelah. Perlahan Ian menggeleng. “Tidak mungkin, Ma. Liv… she’s engaged to anyone else.”
***
Komentar