Miserable Fate - 33
Jonquil
Cinta lama bersemi kembali
Sama seperti Jade yang sekarang sedang menelepon dan terlihat malu-malu, Liv pun sedang menelepon. Bedanya, pipi Liv tidak bersemu kemerahan semerah Jade. Gestur tubuh Liv pun tidak sesalah tingkah Jade. Liv menebak bahwa saat ini Jade pasti sedang bicara dengan Dimas melalui telepon. Siapa lagi yang bisa membuat bos dinginnya ini jadi menye-menye seperti sekarang?
“Liv, are you still there?” panggil Febri.
“Yes I am. Gue cuma lagi merhatiin Jade yang teleponan sambil senyum-senyum,” ujar Liv, mengalihkan pandangan lalu kembali fokus menelepon Febri.
“Jade kakaknya Crystal?”
“She is. Sekaligus bu bos gue,”
“Jadi kapan kalian kembali ke Jakarta?”
“Hmm,” Liv memainkan rambutnya yang baru selesai dikeramas. Sudah hari kedua di Bali. Tadi mereka baru saja roadshow beberapa radio dan kafe yang kira-kira memiliki potensi untuk bekerja sama dalam proyek terbaru Crystal Corp. Sekarang sudah malam. Liv maupun Jade baru selesai makan malam dan mandi. Beristirahat sebelum besok meeting dengan beberapa pemilik hotel & resort. “Kenapa memangnya dengan waktu gue balik ke Jakarta?”
“Gue kangen lah. Apa lagi?” balas Febri dengan cepat.
Liv terkikik mendengar jawaban Febri. Liv mengubah posisinya dari duduk menjadi tiduran sembari memeluk bantal. Febri memang cenderung terlalu jujur dalam mengutarakan pikirannya.
“Jadi pengen ketemu gue cepet-cepet?”
“Pastinya,” Febri membenarkan. “Kalau bisa sebenarnya gue mau terbang ke Bali sekarang juga.”
“Tapi…?”
“Tapi gak bisa karena ini weekdays. Lo memilih waktu yang salah untuk ke Bali,” ujar Febri.
“No, I’m not.” Liv menggeleng. “I’m here for work, Feb. Not some sort of holiday.”
“Maka dari itu. Gue urungkan niat terbang ke sana. Lagian banyak yang harus diurusi juga di sini. Hmm.”
“Lo terdengar gak ikhlas bekerja,” Liv pura-pura mengejek.
“Gue sedang berpikir kapan lo menjawab pertanyaan gue. Supaya gue bisa mengatur jadwal dan menjemput lo di bandara,” Febri berkata seperti berpikir.
“Hahaha. Maaf. Sengaja emang gue gak mau kasih tahu kapan gue balik ke Jakarta,” Sekali lagi Liv ingin mengusili Febri.
“Kenapa?” Febri terdengar sebal sekaligus bertanya-tanya.
“Kidding, Feb. Lusa gue balik ke Jakarta. Flight jam 10. Paling nyampe Jakarta jam 12,” Liv menjawab juga. Kalau memang Febri mau menjemputnya, kenapa tidak? Toh dia dan Jade juga berangkat ke bandara diantar oleh mobil kantor. Lagipula Liv juga ingin memberikan jawaban atas ajakan Febri. Lebih cepat, lebih baik.
Febri tidak langsung menanggapi jawaban Liv. Dia sedang melihat agenda di ponselnya. Syukurlah sebelum jam 12 tidak ada hal penting yang harus dia jalani. Febri bisa meminta ijin sebentar.
“Perfect. Gue jemput?”
“Lo gak kerja?”
“Ada acara penting paginya tapi setelah itu gue bisa ijin,”
“Semangat banget lo mau ketemu gue,”
“Gue udah kangen banget.”
Seperti skak mat, kata-kata Febri membuat Liv terdiam.
“Sebentar lagi ya Feb. Tahan,” gumam Liv.
“Maaf kalau membuat lo gak nyaman, Liv,” suara Febri terdengar lebih lembut. “I’m just trying to be honest.”
“And I appreciate your honesty,” Liv memeluk lututnya, tersenyum.
“Gue gak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk kedua kalinya. Gue berharap lo tahu bahwa kali ini gue gak main-main dan gue akan berusaha lebih keras. Gak akan lagi sampe kecolongan lo jadian sama orang lain lagi,” Febri berkata tegas.
Liv mendengar dirinya memaksakan tertawa. Demi mencairkan suasana dan juga meredakan ketegangan dalam dirinya. Mengingat Ian membuat sekujur tubuh Liv jadi waspada. Seperti bersiap ketika ada ancaman.
“Nggak lah, Feb. By the way, lo mau oleh-oleh apa? Besok kalau sempet, gue mau beli oleh-oleh sama Jade,” ujar Liv mengalihkan perhatian.
“Bawain gue jawaban atas pertanyaan gue,” jawab Febri tanpa rasa ragu.
“Ah itu. Itu jenis oleh-oleh yang gak bisa ditemukan di toko souvenir mana pun,” Liv mengangguk.
“Jadi memang oleh-olehnya limited edition kan?” Febri mulai nyengir. Terdengar dari suaranya yang lebih rileks.
“Banget,” Liv mengangguk.
“Ngomong-ngomong, sekarang di Jakarta sudah jam sembilan. Di Bali berarti jam sepuluh bukan?”
“Exactly,” Liv melirik jam tangannya yang disimpan di meja samping tempat tidur. Benar. Sudah pukul sepuluh malam lewat sepuluh menit.
“Lo istirahat kalau gitu,” kata Febri dengan lembut. “Supaya tidurnya bisa lama.”
“Hehe iya. Thank you. Selamat tidur, Feb.”
“Selamat tidur, Liv. Sweet dreams,” kata Febri kemudian menutup teleponnya.
Liv sedang memandangi nama Febri yang baru saja dia telepon, ketika tidak lama kemudian telepon di tangan Liv kembali berbunyi. Penyanyi kesayangannya yang menelepon. Tanpa pikir panjang Liv langsung mengangkat teleponnya.
“Ya, Crys?”
“Hai. Ada Jade?”
Liv mengernyit. “Nelepon gue buat nanyain Jade?”
“Nggak. Gue mau ngobrol aja sama lo. Tapi kebeneran Mama bilang sekalian tanya kabar Jade. Soalnya nelepon Jade berkali-kali gak nyambung.”
“Oh. Jade lagi pacaran sama Dimas. Udah teleponan sejam,” jawab Liv dengan girang. Syukurlah Jade menelepon di luar. Tidak bisa mendengar ejekan Febri.
“Ma, Kak Jade lagi teleponan sama Mas Dimas!” Liv bisa mendengar Crystal berseru pada ibunya. Ditanggapi dengan teriakan girang Tante Amora. “Fix abis ini langsung fitting kebaya.”
Liv tertawa. “Don’t you supposed to be happy for your sister?”
“I do. Akhirnya Ratu Es itu bisa jatuh cinta. Eh jangan bilang-bilang Kak Jade ya,” Crystal membuat suara sst sst beberapa kali.
“Your secret is safe with me,” Liv membuat tanda peace. “Jadi tujuan lo nelepon sebenernya apa?”
“Gue ketemu Febri deh kemarin, Liv,” Crystal langsung terdengar lebih ceria.
“Oh ya? Dimana?”
“Waktu mau LIVE Instagram sambil karokean itu. Ternyata itu yang ngadain kantornya Febri ya?”
“Iya dia pindah ke sana udah dua bulanan,” Liv mengangguk.
“Terus kita ngobrol-ngobrol deh. Ternyata dia udah ketemuan sama lo lebih dulu ya?”
“Yep again,”
“Dia juga cerita bahwa dia udah nembak lo tapi belum dijawab,” Crystal benar-benar bicara to the point. Liv bisa menebak kemana arah pembicaraan ini. Crystal selalu jadi #TimFebri selama ini.
“Memang. Gue langsung ditembak begitu kita ketemuan lagi,” Liv mengiyakan.
“Nah, terima aja, Liv!” Crystal berseru. “Kurang apa lagi coba Febri?”
“Gue sudah menduga lo akan mengatakan ini, Miss Cupid. Secara gak ada angin gak ada ujan, tiba-tiba nelepon gue malem-malem.” Jika Crystal ada di hadapannya, pasti Liv sudah menyentil kening anak kecil ini.
Crystal tertawa renyah. “Why not, Liv? Gue punya Jamie. Kak Jade punya Dimas. Lo punya Febri. Cool right? Kita bisa triple date.”
“With Jade? No, I don’t think so. Your sister type of date is a candle light dinner and nonstop topic about some sort of serious thing called business,” Liv menggeleng. Walaupun jika Jade melakukan kencan dengan Dimas, pasti akan dibumbui lelucon lokal berbau mesum. Apalagi mereka pacaran. Liv just can’t handle that.
Sekarang Crystal tertawa semakin puas. “Jade banget. Oke, balik lagi ke lo. Lo akan jawab iya kan ke Febri?”
“Kalau gue bilang nggak, gimana?” Liv menggoda Crystal.
“Gue gak mau ketemu lo seminggu!” ancam Crystal.
“Gak masalah. Gue bisa fokus untuk business development plan lo. Ada Ori juga,” balas Liv dengan kalem.
Crystal mengerang bete. “Maksud gue kan ngancem lo. Kenapa jadi gue yang ngerasa rugi?”
Liv menanggapi dengan tawa puas.
“Ayolah, Liv. Gue mau banget lihat lo bahagia dengan Febri. Gue tahu Febri orangnya manis, baik, ganteng, ramah, keren, kenalannya banyak.”
“Mulai deh jadi Sales,” Liv memutar bola matanya.
“Demi Febri, gue perjuangkan sampai sold ke lo,” Crystal mendengus. Kata-katanya terdengar penuh tekad.
“Ah udah malem. Gue ngantuk banget. Besok keliling dari pagi. Gue duluan tidur ya, Crys.”
“Eh janji dulu!” Crystal berseru panik.
“Apapun jawaban gue, gue mau Febri duluan yang denger. Nerima atau nolak. Baru setelah itu lo, Jade, Mel, nyokap gue. Pokoknya yang pertama harus Febri dulu. Got it?”
“Yah, baiklah,” Crystal menyerah. Nampaknya dia harus lebih bersabar lagi mendengar apakah usahanya mendekatkan Liv dengan Febri akan berhasil.
“Dah, Crys. Gue tidur duluan!”
Liv mematikan sambungan telepon dengan Crystal lalu menyambungkan ponsel dengan charger. Sebelum memejamkan matanya, Liv melihat bahwa Jade masih asyik menelepon. Ah biarlah dua insan dimabuk asmara itu. Liv tidur lebih dulu karena sudah benar-benar mengantuk!
***
Apa yang ada di pikiran Liv adalah Febri akan menjemputnya dengan pakaian santai. Kemeja non formal, celana jeans, dan sepatu sneakers. Kenyataan berkata lain. Pria yang menunggunya di terminal kedatangan, mengenakan kemeja formal berwarna putih, celana panjang, sepatu pantofel. Di tangan kirinya tersampir jas dan sedikit dasi menyembul keluar dari saku jas.
“Rapi banget, Feb,” komentar Jade begitu Liv dan Jade sampai di hadapan Febri.
“Abis meeting sama Pak Triawan Munaf. Gak sempet ganti baju,” Febri mengangkat bahu. “Gimana perjalanan?”
“Penuh dedikasi banget abis meeting langsung jemput lo, Liv,” Jade menyenggol lengan Liv. Membuat Liv tertawa kaku.
“Haha,” Liv menanggapi ejekan itu dengan tawa singkat. “Perjalanan lancar. Gak bikin pegel. Cuma bikin cemberut aja karena partner perjalanan gue pengennya ke Bali bareng pacarnya.”
Jade memutar bola matanya. “Gue gak bilang gitu.”
“But clearly you were hoping it was Dimas who sat next to you on that plane. Not me,” Liv mengangkat kedua tangannya.
“Talking about Dimas… maksudnya Adimas Rolando?” Febri mengernyit.
“Hmm, how do you know?” Jade agak sedikit bingung.
“Karena tadi meeting bareng dia juga. Dia juga bilang mau jemput pacarnya yang habis dari Bali. Gue sih gak nanya pacarnya siapa. Gue cuma bilang ‘gue juga’.”
“Gitu,” gumam Jade.
“Tadinya gue mau ngajakin bareng, tapi gak jadi karena dia masih ngobrol sama anak-anak Sony lain. Gak tahu deh,” Febri melirik ke kanan dan ke kiri. Mencoba menemukan sosok Dimas.
“Biar gue… hubungi Dimas dulu,” Jade berubah salah tingkah. “Kalian duluan aja.”
“Oke kalau gitu. Sampai ketemu di kantor,” Liv memeluk Jade, mencium pipi kiri kanan lalu mengajak Febri.
Febri menawari membawa koper Liv sementara mereka berjalan menuju mobil Febri.
“Gue gak tahu Jade pacaran sama Dimas,” ujar Febri.
“Baru sih kayaknya,” komentar Liv.
Febri tidak menanggapi apa-apa lagi. Dia hanya berjalan dalam diam. Liv memperhatikan pria ini dan memutuskan bahwa dia akan membicarakan hal penting itu sekarang.
“Speaking of dating,” Liv memulai. Kata-katanya sukses membuat Febri menoleh kepadanya. “Lo gak keberatan kan gue kerja sebagai manager Crystal?”
“Nggak. Kenapa?”
“Lo bisa tahan sama gue yang kadang suka moody dan galak?”
Febri tertawa. “Gue anaknya gak baperan.”
“Kalau gitu, gue mau jadi pacar lo,” jawab Liv dalam sekali tarikan nafas. “Tapi, banyak yang harus lo pelajari tentang gue. Gue pun perlu banyak belajar tentang lo. Gue hanya berharap kita gak capek atas satu sama lain.”
Febri tampak terpana.
“Siap. Kita sama-sama belajar memahami dan terus menyayangi satu sama lain ya,” Febri tersenyum.
Perasaan Liv lebih lega sekarang. Bibirnya tersenyum lebar tanpa bisa ditahan. Senyumnya hanya tertahan ketika Febri menarik Liv dalam pelukannya dan mencium bibirnya. Tidak peduli saat ini mereka ada di parkiran bandara. Siang hari yang terik melatarbelakangi ciuman pertama Febri dan Liv.
***
Komentar