Miserable Fate - 30

 Red Tulip

Pernyataan cinta

So…” 

Liv menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya dia melihat sesosok orang sedang bersandar di pintu dan melipat tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum dan menatap Liv. 

“Febri? Lo ngapain?” Liv bangkit berdiri lalu menghampiri Febri. Seingatnya, saat ini Liv sedang menunggu pihak vendor yang akan bertanggung jawab dalam mempublikasikan lagu-lagu Crystal ke bentuk digital. Vendor mereka sebelumnya kurang menguntungkan sehingga Crystal Company memutuskan mencari vendor lain. 

“Bukannya lo lagi nungguin orang Blue buat kerja sama?” Febri masih tersenyum. 

“I-iya. Nah terus lo ngapain?” 

“Ya ini orangnya,” Febri tersenyum makin lebar. 

Pemahaman mulai muncul di benak Liv. “Oh ya ampun. Jangan bilang…”

“Gue pindah ke Blue sejak dua bulan lalu. Udah bukan produser radio lagi gue.” Sekarang Febri tertawa. Liv ikut tertawa. 

“Ya ampun…” 

“Bakal sering ketemu lagi kita, Liv,” ujar Febri. 

“Pastinya sih Feb,” Liv mengangguk. 

“Berarti gue bisa PDKT lagi kan Liv? Apalagi sejak gue denger lo putus dari cowok lo dua bulan lalu,” wajah Febri berubah serius. Begitu juga dengan Liv, menjadi tidak nyaman. 

“Saatnya bahas soal kerjaan, Feb,” Liv menggerakkan bibirnya, berusaha tersenyum, dan menepuk pundak Febri.


*** 


“Bawa mobil?” sapa Febri tanpa tedeng aling-aling begitu meeting selesai dilaksanakan. Liv sudah berpamitan sedetik setelah meeting dinyatakan usai. Namun tetap saja Febri bisa mensejajarinya.

“Hmm, lagi nggak bawa sih Feb,” Liv otomatis memegang rambutnya. Saat itu sebenarnya Liv sedang berpikir. Apakah dia harus jujur dan mendapat resiko Febri mungkin menawari untuk mengantarnya pulang atau Liv pura-pura dijemput oleh teman sekantornya dan meninggalkan Febri sendirian. Liv tahu dari nada bicara Febri saat mereka bertemu tadi, bahwa Febri akan berusaha lagi. Saat ini, Liv belum bisa untuk move on secepat itu. 

Rupanya mulut Liv tidak sejalan dengan sang otak. Bibirnya terlanjur mengeluarkan jawaban jujur. Ditambah dengan gestur yang manis (di mata Febri), seakan memberikan tanda bahwa Liv membuka kesempatan untuk Febri mengantar makhluk cantik di depannya ini untuk pulang.

“Gue anter,” ujar Febri dengan wajah yang mendadak lebih ceria. 

“Gue harus ke kantor dulu sebentar,” Liv berusaha ngeles. Ini bukan alasan. Liv memang meninggalkan beberapa dokumen di kantor. Maksudnya adalah kembali ke kantor setelah meeting untuk bekerja hingga larut. Yah, apa yang lebih baik untuk mengobati hati yang luka selain pengalih perhatian berupa pekerjaan?

Mungkin pria yang baru. 

“Gue udah lowong kok. Bisa gue anterin lo ke kantor lalu pulang,” Febri masih saja tersenyum. 

“Hmm, ya sudah kalau lo gak keberatan,” Liv pada akhirnya tersenyum. 

Febri memberi isyarat kepada Liv untuk mengikutinya. Alih-alih berjalan lebih dulu, Febri berjalan dengan santainya di samping Liv. Mulai menanyakan beberapa hal umum seperti progress pekerjaan, kesibukan, dan rencana Crystal ke depan. Liv sendiri memberanikan diri bertanya mengenai kepindahan Febri tanpa maksud menunjukkan ketertarikan lebih pada pria ini. 

Setidaknya belum. Mungkin tidak pernah. Ah entahlah.

Dugaan Febri yang mengira Liv hanya sebentar di kantor Crystal Corp, rupanya meleset. Begitu mobil Febri sampai di pekarangan gedung Crystal Corp, Liv langsung melesat keluar. Febri sampai harus terburu-buru mengunci mobilnya dan mengikuti Liv dengan langkah panjang. Di dalam lift, Liv tidak bicara apa-apa karena sibuk dengan ponselnya. Begitu keluar lift pun Liv hanya terus menunduk. Tidak perlu melihat jalan karena Liv sudah terlalu hafal desain interior kantornya. 

Febri duduk di meja sebelah meja Liv. Diperhatikannya bahwa Liv langsung menyalakan laptop, menarik beberapa dokumen mendekat, sementara tangannya seperti meluncur di layar ponselnya. Febri hanya bisa melihat Liv yang bertindak seakan dia punya banyak tangan, sambil menyangga dagu dengan tangannya. 

Liv tampak begitu asyik mengetik, mencoret, berpikir, menelepon, mengirimkan pesan. Jarum jam tanpa terasa bergerak hingga pukul sepuluh malam. Febri sudah mati gaya sejak tadi. 

“Feb, maaf gue belum sempet nawarin minuman. Lo mau apa?” Liv menyentuh pundak Febri untuk mendapatkan perhatiannya. Febri mengangkat wajah dari playlist Spotify yang sedang dia perhatikan.

“Gak usah repot-repot, Liv. Kerjaan lo masih banyak?” Febri menoleh ke meja Liv. Sudah lebih rapi sekarang.

“Udah. Tinggal bikin to do list buat besok. Abis itu bisa pulang. Mumpung masih pagian.”

“Pagian?” Febri mengerutkan keningnya.

“Eh emang sekarang jam berapa?” Liv melihat pergelangan tangannya dan langsung memekik. “Jam 10?!” 

“Makanya, udah malem. Pulang yuk,” Febri beranjak berdiri. Liv menatap Febri dengan tatapan memelas meminta maaf.

“Dua menit. Setelah ini kita pulang,” Liv mengacungkan dua jarinya lalu bergegas kembali ke mejanya. Tanga nya bergerak lincah kali ini di atas iPad. Tepat dua menit, Liv sudah kembali berdiri di hadapan Febri. Siap pulang.

Krurururucuk.

“Lapar gak?” Febri memegang perutnya yang baru saja berbunyi. 

Liv tertawa tanpa bisa ditahan. Tangannya otomatis memegang pundak Febri karena merasa ada yang lucu. Sebaliknya, Febri tidak ikut tertawa karena dia sibuk terpana melihat Liv. 

“Ayo, makan dulu.” 


*** 


“Dari semua makanan 24 jam yang tersedia di Jakarta, lo memilih fast food,” Liv memberikan pernyataan atas tibanya mereka pada sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam.

“Gak bisa ngeles bahwa KFC punya ayam terbaik yang bisa dinikmati jam berapa pun,” Febri nyengir seperti anak kecil terpergok melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Sejurus kemudian Febri turun dari mobilnya dan Liv mengikuti. 

“Ya namanya juga jagonya ayam,” Liv tersenyum memaklumi.

Liv dan Febri berjalan beriringan menuju kasir. Febri langsung memesan paket Super Besar dengan dua ayam. Sementara Liv hanya memesan chicken soup dan air mineral.

“Diet?” sindir Febri saat melihat pesanan Liv dalam baki yang ia bawa.

“Nggak. Lagi gak lapar aja,” Liv menggeleng. Dia bisa makan apa saja dan kapan saja. Dia tidak peduli dengan diet. Liv akan makan apa saja yang dia suka. Malam ini, chicken soup adalah makanan yang dia inginkan.

“Irit banget soalnya?” Kembali Febri melihat ke arah Liv dan bergantian dengan pesanannya.

“Euh bawel ya. Gue pesen satu bucket buat dimakan sendirian, lo ga usah protes juga ya,” Liv menjulurkan lidahnya. 

“Mana coba gue pengen lihat,” Febri tertawa, menantang.

“Ah gak jadi deh. Lagi gak mood,” Liv menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjalan lebih cepat menuju meja dan kursi yang kosong.

“Halah, dasar.” Giliran Febri yang menjulurkan lidahnya.

“Jadi gimana kabar lo, Liv? Gue belum nanya soal ini bahkan setelah kita lama gak kontak,” Febri menaruh baki di meja dan duduk di hadapan Liv. Frekuensi obrolan Liv dan Febri memang menurun drastis sejak Liv memasang foto Ian di akun Instagram Liv. Pertanda dia sudah punya seorang pacar. Sekarang foto itu sudah lenyap dari halaman Instagram Liv. Entahlah apa foto Liv masih ada di akun Instagram Ian. Liv tidak tahu karena Liv berhenti mengikuti Ian sejak mereka putus. Apalagi akun Ian memiliki mode pribadi.

“Ya begini aja, Feb. Berusaha menikmati hidup,” Liv tersenyum dengan menampakkan giginya. 

Manis, pikir Febri.

“Masih sibuk ngurusin Crystal?”

“Gak sibuk kalau gue resign dari Crystal Corp, kayaknya Feb,” Liv tertawa renyah. Dia mengambil chicken soup dan mulai menyuapkan ke mulutnya. 

“Putus kenapa Liv?” tembak Febri. Rupanya Febri tidak bisa berbasa-basi lebih lama lagi. Sedari tadi memang itu yang ingin dia ketahui.

Liv mendadak mematung. Dia memang sudah menduga akan ada pertanyaan semacam ini. Akan tetapi, ditanyakan ketika Liv sedang tertawa-tawa mengenai sesuatu yang lain, cukup membuat Liv terkejut juga. 

“Liv?” Febri kembali memanggil dan menyadarkan Liv dari lamunan.

“Eh? Putus ya?” Kali ini Liv tertawa tanpa ada unsur lucu di dalamnya. “Kenapa lo kepo deh?” 

Febri melipat kedua tangan di atas meja kemudian menjawab. “Supaya gue bisa yakin apa perjuangan gue yang kemarin-kemarin bisa dilanjutkan? Itu lho, perjuangan sebelum lo punya pacar.” 

Mau tidak mau Liv tertawa. Febri menunjukkan rasa cemburu dan rasa sukanya dengan cara yang lucu. Itulah yang membuat Liv tertawa. Jika orang lain mendengar Febri berkata, mereka pasti tahu bahwa Febri sedang berusaha melakukan pendekatan. 

“Memangnya lo beneran suka gue, Feb?” Liv menggeleng, menganggap Febri hanya bercanda. 

“Aaa,” Febri tiba-tiba saja mengulurkan sepotong kulit ayam tepat ke hadapan mulut Liv.

“Eh apaan nih?” Liv berjengit, menarik mundur kepalanya.

“Gue merelakan sepotong kulit ayam KFC yang tersohor demi seorang perempuan. Apa itu namanya kalau bukan suka?” Ekspresi Febri saat mengatakan ini, begitu serius. Juga konyol di saat yang bersamaan. 

Liv menatap Febri dan si kulit ayam bergantian. Tangan Liv mengambil potongan makanan itu lalu menyuapkannya ke mulutnya. Liv mengangguk-angguk.

“Oke gue percaya,” Liv mengangkat jempolnya. 

“Jadi gimana ceritanya lo putus?” Febri kembali bertanya. 

Liv menyadari suatu hal pada diri Febri saat ini. Febri adalah tipe orang yang keras dan harus dituruti. Di sisi lain, Febri juga punya pribadi yang menyenangkan. Sebuah kombinasi yang aneh bagi Liv.

“Ada perbedaan prinsip yang gak bisa dikompromikan, Feb.” Liv memilih jawaban aman. Tidak perlu Liv menceritakan semua cerita detailnya kepada Febri.

“Gue boleh tahu?”

Liv menggeleng cepat. “Maaf tapi gue gak bisa cerita.” 

“Gak masalah kalau gitu,” Febri mengangguk. Baru sekarang dia mulai makan. Membuka kertas pembungkus nasi dan menyuapkan sepotong besar nasi ke mulutnya. Liv memperhatikan Febri tanpa jeda. Khawatir akan ada pertanyaan ‘mematikan’ lain yang akan diajukan Febri. “Gue bisa menerima itu setidaknya untuk sekarang.”

Liv tertawa pelan mendengar itu.

“Berarti lo available kan?” 

Tuh kan. 

Liv tidak langsung menjawab. Melainkan menikmati supnya dengan gaya sok cool, meletakkan sendok, dan menatap Febri dengan pandangan misterius. Febri sendiri sedang menunggu jawaban sambil tersenyum geli.

“Secara status, iya,” jawab Liv.

“Secara hati?” 

Butuh waktu dua detik bagi otak dan hatinya untuk berkompromi. Kali ini mereka harus serasi. Jangan sampai terjadi perpecahan dan perbedaan pendapat. 

“Hati juga… iya.” Mata Liv menatap Ian dengan ragu-ragu sekaligus nekat. Jawaban Liv memunculkan senyum lebar di wajah manis Febri. Sesungguhnya Liv tidak tahu apakah dia benar-benar yakin hatinya saat ini tersedia untuk kembali melanglang Buana mencari pemilik yang baru. Apakah Febri memang pria yang tepat untuk Liv cintai atau hanya pengobat hati Liv yang masih terluka?

“Jujur saja gue masih suka sama lo. Lo mau jadi pacar gue?”


*** 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?