Miserable Fate - 31

 Love-in-a-mist

Kebingungan

Saat itu Liv hanya bisa tertawa hambar. Tidak benar-benar tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Melainkan hanya berusaha mencairkan suasana. 

“Bercanda aja lo, Feb,” Liv menutup mulutnya dalam usahanya untuk membuat suasana tegang dan serius ini kembali menjadi santai. Tangan Liv dikibas-kibaskan di hadapan wajahnya.

“Gak ada maksud bercanda di kata-kata gue itu, Liv,” balas Febri. Ekspresi dan nada suaranya memang menunjukkan keseriusan. Tawa Liv mendadak hilang dan dia hanya bisa menunduk. 

Ketika Liv tidak kunjung menjawab, Febri yang memecahkan keheningan. 

Take your time. Kita gak buru-buru.”

Kembali Liv memandang wajah Febri yang kali ini tersenyum malu-malu. Febri menggunakan kata ‘kita’ alih-alih ‘gue’. Pemilihan kata itu, di telinga Liv terdengar memiliki arti bahwa Febri mengajak dirinya berjalan bersama-sama sejak awal. Jika Liv belum siap, maka Febri akan menunggu. Jika Liv sudah siap, mereka akan maju berdua. 

Liv belum melepaskan pandangannya dari Febri. Febri masih tersenyum sementara Liv masih terkejut. Sedikit demi sedikit Liv pun mengangguk dan memilih untuk tersenyum tipis. Seperti kata Febri, Liv will take her time. Tidak mudah untuk langsung kembali menjalin hubungan dengan pria lain ketika perasaan Liv masih kadang memikirkan Ian. Padahal Liv tahu bahwa ia tidak lagi boleh memikirkan Ian seperti saat mereka masih bersama. Ketika kenyataan belum muncul ke permukaan. 

Mereka berdua melanjutkan obrolan dan makan tanpa merasa bahwa sebelumnya baru saja terjadi pengakuan perasaan.


*** 


“Crys,” sapa Febri saat bertemu dengan Crystal di kantor baru Febri.

“Febri!” sapa Crystal kelewat ceria. Terkejut melihat Febri di kantor ini dan bukan lagi di radio seperti sebelum-sebelumnya. Beberapa orang di sekitar mereka semacam heran melihat penyanyi sekelas Crystal bisa kenal dan menyapa Febri dengan akrab. Seperti seorang anak perempuan yang lama tidak bertemu kakaknya.

“Apa kabar?” Febri menghampiri Crystal dan memeluknya dengan gestur pertemanan.

“Baik. Baik banget!” Crystal balas memeluk Febri dan menepuk-nepuk pundaknya. “Lo gimana? Kok di sini?” 

“Baik juga,” Febri tersenyum. Kedua tangannya dimasukkan ke saku dan memperhatikan sekeliling. “Udah pindah kerja di sini sejak beberapa bulan lalu. Ada urusan apa?” 

“Oh gitu. Gue baru tahu. Udah lama juga sih gak main ke radio. Ini mau Live Instagram,” Liv berseru girang. “Tapi masih setengah jam lagi.” 

“Begitu. Sama siapa kemari?” Febri melirik ke sekeliling Crystal dan tentu saja berharap ada seseorang yang menemani Crystal datang. 

“Kalau mau cari Liv, dia gak ikut.” Tatapan Crystal berubah menjadi lebih jahil. 

“Oh gitu,” Febri membalas, berusaha terdengar tenang.

“Liv ada urusan ke Bali sebentar. Gue ditemani Ori dan Jamie. Ori masih ambil pakaian di mobil. Jamie lagi ke toilet. Nah itu dia,” Crystal melambai ke belakang Febri. Febri ikut melihat arah yang dimaksud Crystal. Muncul seseorang yang terlihat seumur dengan Crystal, badan yang kurus, wajah yang tirus, namun rautnya tegas. 

Anak itu menghampiri Febri dan Crystal lalu berdiri di samping Crystal.

“Febri, ini Jamie, pacar gue. Jamie, ini Febri, yang dulu mau aku jodohkan dengan Liv,” Crystal mengenalkan kedua laki-laki itu seakan-akan tidak ada gap usia di antara mereka. 

“Halo, gue Febri,” sapa Febri dengan ramah. Tidak peduli bahwa orang yang dia hadapi lebih muda dari dirinya. Perlakuannya harus tetap sama sopannya kepada orang lain.

“Jamie,” balas Jamie juga dengan sopan. 

“Ngomong-ngomong, Liv kan putus, Feb. Lo udah tahu?” 

“Hmm?” Febri kembali berpaling pada Crystal. “Well, sebenernya gue udah ketemu sama Liv pekan lalu.”

“Oh iya? Terus?” Mata Crystal langsung berkilat-kilat bersemangat. Jamie hanya mendengus ketika menyadari jiwa mak comblang pacarnya kembali berkobar.

“Gue nembak dia langsung hari itu juga. Gak pake mikir,” Febri menarik sedikit sudut bibirnya, bermaksud tertawa tapi gagal. 

“Liv jawab apa?” 

“Belum jawab. Yah namanya juga baru ketemu lagi dan mungkin dia belum move on dari mantannya…” Febri mengangkat bahu, menggantungkan kalimatnya. 

“Bentar, bentar. Please, gue mau denger cerita lengkapnya. Tapi sekarang gue harus siap-siap buat LIVE dulu. Lo jangan dulu pulang ya Feb?” Pinta Crystal dengan memelas, matanya bergantian menatap Febri dan Ori yang datang membawa pakaian ganti. 

“Ya kebeneran memang gue belum ada rencana pulang sih,” Febri mengangkat bahu. 

“Bagus. Setelah LIVE ini selesai, kita ngobrol ya.” Crystal memegang tangan Febri sekilas lalu berpaling pada Jamie. “Jamie, kamu temenin Febri dulu ya. Pastiin Febri jangan kemana-mana.” 

Sedetik kemudian Crystal menghampiri Ori dan mulai bersiap-siap. Febri dan Jamie berpandangan. Jamie langsung menggeleng. 

“Padahal gue gak akan kemana-mana juga,” Febri mengangkat bahu.

“Anaknya panikan,” balas Jamie santai. 

“Yeah, cewek lo,” Febri mengibaskan tangannya, mengajak Jamie untuk menunggu sambil duduk dengan lebih nyaman.

“Cewek gue,” balas Jamie tanpa berusaha menutupi senyumnya. Melihat Jamie yang tersipu saat menyebut Crystal sebagai pacarnya, ada sedikit rasa iri pada diri Febri melihat kisah cinta remaja ini.


*** 


“Udah lama Liv putusnya?” Febri membuka pembicaraan terhadap Crystal dan Jamie yang duduk di hadapannya. Mereka bertiga memutuskan untuk menikmati sedikit cemilan di kafe yang buka 24 jam di gedung kantor Febri. Crystal begitu bersemangat untuk mendengar cerita Febri sampai-sampai dia langsung kabur begitu acaranya selesai. Padahal biasanya Crystal menyempatkan diri untuk berfoto dengan kru atau beberapa fans yang datang. 

“Udah hampir, hmm, dua bulanan ya kalau gak salah,” Crystal berusaha mengingat-ingat. “Pokoknya gak jauh beda sama waktu dia pindah apartemen.” 

“Dia pindah apartemen karena putus?” 

Crystal mengangguk bersemangat. “Ya gimana dong. Kalau gak pindah, keingetan mulu, secara pacarnya tinggal di sebelah.” 

“Pantesan kemarin gue anter dia pulang, bukan ke apartemen yang lama,” Febri manggut-manggut.

“Ciye udah anter pulang segala,” Crystal mengangkat kedua alisnya dan tersenyum menggoda. 

“Gue jahat kalau setelah kita makan malam, terus gue gak antar dia pulang,” Febri tersenyum simpul. 

“Reaksi dia gimana?” Crystal memajukan badannya.

“Gimana kalau kita bahas satu-satu dari awal? Baru setelah itu bahas gimana respon Liv saat ini?” Febri memberi usulan, menatap Crystal lalu Jamie, mencari dukungan.

“Oke, oke,” Crystal mengangguk.

“Kenapa Liv putus?” tembak Febri. Pertanyaan yang ingin sekali dia tahu jawabannya.

“Gak tahu,” jawab Crystal dengan polos. 

“Hah?”

“Jadi waktu itu yang gue tahu adalah Liv dan Ian mau ke Surabaya buat ketemu orang tua mereka. Secara mereka kan sama-sama asal sana. Berangkat hari Sabtu dan katanya Senin udah masuk kerja lagi. Selama mereka di sana tuh gue gak dapet kabar apa-apa. Pokoknya chat gue gak ada yang dibales. Pas Senin, dia datang di kantor buat meeting. Wajahnya udah kusuuuut banget. Keliatan kayak bekas nangis gitu. Terus di meeting dia gak ngomong apa-apa. Cuma diem. Begitu meeting selesai, langsung minta ijin pulang duluan,” Crystal bercerita panjang lebar, berusaha mengingat kejadian beberapa bulan lalu. 

“Lo gak nanya?” 

“Nanya dong pasti. Tapi Liv cuma bilang kalau dia PMS. Awalnya gue gak percaya. Masa PMS segitunya. Terus pas digali lagi akhirnya dia bilang ada masalah sama Ian dan mereka putus. Besok-besokannya gue tanya lagi, dia cuma bilang ada perbedaan prinsip tapi dia gak bisa cerita lebih detail. Gue juga gak nanya Ian. Selain karena gak bener-bener sohib, gue pikir kalau memang mereka gak mau cerita, ya ngapain gue paksa. Iya kan?”

Febri dan Jamie mengangguk bersamaan. 

“Udah move on?” Febri maju ke pertanyaan berikutnya. 

“Sebenernya… gak tahu juga,” Crystal sekarang terlihat sedih. “Waktu pindahan apartemen itu, katanya mereka masih pelukan kayak gak rela pisah gitu. Memang wajah Liv masih sering mendung dan dia masih sering diem aja. Tapi kalau dilihat-lihat, sekarang sih udah jauh lebih mending daripada waktu putus pertama kali.” 

“Kenapa bisa berpikir begitu?” 

“Soalnya Liv udah mulai bisa ketawa. Dulu waktu baru putus, juteknya nyaingin Jade.” Crystal mencibir dan memajukan bibirnya. 

“Jade?” Febri mengernyit.

“Kakak gue. CEO Crystal Corp,” Crystal menjawab seperlunya, mengibaskan tangan pertanda dia tidak mau membahas Jade lebih dalam. 

“Oh gitu,” Febri mengangguk. 

People said that time will heal. Mungkin itu juga yang dirasakan Liv. Seiring jalannya waktu, perasannya jadi lebih baik. Walaupun ya gak bisa langsung sembuh juga. Namanya perasaan kan?” Crystal menyangga pipinya dengan sebelah tangan. 

“Hmm,” Febri menanggapi seperlunya. 

“Tapi gue sebenernya tahu apa obat yang lebih ampuh buat patah hati manager gue itu,” Crystal mengacungkan jarinya ke atas. Matanya berbinar. Senyumnya tersungging sedikit dan lama kelamaan semakin lebar. Jamie melengos ke samping melihat pacarnya yang sepertinya memiliki ide-sok-brilian-padahal-sebenarnya-biasa-saja.

“Apa lo memikirkan yang gue pikirkan?” Febri menyeringai. 

Crystal malah bengong. “Emang lo mikirin apa?” tanya Crystal dengan polos.

Jamie langsung meledak tertawa. Diikuti Febri. Kedua laki-laki ini tertawa sementara Crystal hanya bengong dan bergantian memandang keduanya. Ketika lama kelamaan tidak ada satupun yang berusaha menjelaskan, Crystal merengek. 

“Apaan sih? Kalian kenapa ketawa-ketawa?” Crystal menarik-narik lengan jaket Jamie, meminta penjelasan. 

“Abisan kocak. Harusnya kamu iyain aja bahwa kalian punya pikiran yang sama,” Jamie mendengus tertawa.

“Yang sebenernya gue pun tahu apa yang lo pikirin, Crys,” Febri ikut menanggapi. Masih berusaha meredakan tawanya. 

“Apa coba?” Crystal menantang.

“Lo mau gue balik sama Liv kan? Gue yang jadi obat patah hatinya dia?” Kali ini Febri tersenyum dengan tulus.

“Iya!” Crystal berseru bersemangat. “Gue tahu bahwa kalian sebenernya cocok. Gue bakal mengerahkan seluruh kemampuan gue buat mendekatkan kalian berdua. Supaya kalian bisa jadian. Supaya Liv gak sedih lagi.”

“Itulah kenapa gue sudah tembak dia di hari pertama kami ketemu lagi,” Febri nyengir. 

“Ah bener juga ya,” Crystal manggut-manggut. 

“Gue cuma berharap bahwa dia gak menjadikan gue pelarian saja. Gue mau dia mengerti bahwa sejak dulu pun perasaan gue ini benar dan seharusnya dia menerima gue. Bukan mantannya itu,” Febri mengusap rambutnya. Sedikit terlihat sedih. 

“Gue bantu Feb. Gue akan kerahkan segala cara supaya lo dan Liv bisa bersama,” Crystal mengepalkan tangannya tanda dia begitu bersemangat.

“Kalau gitu, tolong yakinkan dia supaya mau menerima permintaan gue untuk menjadikan dia jadi pacar gue.” 

Tanpa pikir panjang, Crystal mengangguk. Febri pasti bisa membahagiakan Liv. Lebih baik daripada Ian. 


*** 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?