Miserable Fate - 34

 Gillyflower

Ikatan kasih sayang

“Cari makan yuk,” ajak Crystal sembari menggamit tangan Liv ketika mereka baru selesai meeting. Sebenarnya Crystal tidak perlu ikut meeting dalam pembahasan duetnya dengan beberapa penyanyi terkenal di Asia. Hanya perlu Jade, Liv, dan beberapa tim business development. Kebetulan saja Crystal sedang tidak sibuk jadi dia ikut merecoki meeting sore hari ini. 

“Liv masih ada perlu sama kakak,” potong Jade dari belakang Liv dan Crystal. 

Baik Liv maupun Crystal menoleh ke belakang. Jade sedang menatap laptop, wajahnya masih serius dalam mode meeting. Crystal mendengus. 

“Kerja mulu. Udah jam 8 nih, Kak. Gak lapar apah?” Crystal merajuk, memajukan bibirnya.  

“Kamu juga kerja suka sampe malem kalau ada undangan nyanyi,” Jade sekarang menatap adiknya. 

“Beda kali sama itu,” Crystal cemberut. “Ya udah. Aku tungguin kalian selesai terus cari makan ya.” 

“Gimana kalau kamu delivery makanan? Jadi kalau Kakak udah selesai sama Liv, bisa langsung makan,” Jade mengusulkan. 

“Ah Kakak emang diktator,” Crystal menghentakkan kakinya lalu keluar dari ruang meeting. Liv menatap adik kakak itu bergantian lalu kembali duduk di kursi sebelah Jade. 

“Emang mau bahas apa lagi?” 

“Bantu gue arrange jadwal kuliahnya Crystal,” Jade mengambil sebuah print out dan menunjukkannya pada Liv. “Sebentar lagi dia harus milih mata kuliah buat semester barunya. Pastikan bahwa dia gak mundur lagi lulusnya.” 

“Tumben? Biasanya lo biarin aja Crystal ngisi sendiri Rencana Studinya?” Liv menatap jadwal-jadwal kuliah tersebut 

“Memang. Tapi gue mau sekarang ini mata kuliahnya dipilih secara lebih serius. Yang waktu kuliahnya bisa disesuaikan sama kerjaan-kerjaan dia. Kalau bisa, udah lo masukin jadwal Skripsi di semester ini.” 

Liv tertawa. “Mau Crystal cepet lulus banget ya?” 

Jade mengangguk.

“Ya udah. Nanti gue pikirin dul…”

“Liv!” Pintu ruang meeting kembali dibuka tanpa aba-aba. Liv dan Jade keduanya terkejut melihat Crystal kembali melongokkan kepalanya. “Ada Febri! Cihuy!” 

Liv menengok ke arah Jade. Meminta ijin untuk undur diri. Jade mengangguk. Mereka berdua bersama-sama keluar dari ruang meeting. Di ruang bersantai yang memang disediakan di Crystal Corp, sudah duduk Febri yang sedang mengobrol dengan Edwin. Mereka tampak akrab. 

“Ternyata pacar baru lo itu Liv? Sempit amat dunia ya,” Edwin berkomentar saat Liv tiba. 

“Begitulah,” Febri tersenyum lalu berdiri saat Liv datang menghampiri. Tanpa ragu-ragu, Febri mengecup bibir Liv. Membuat Liv sedikit merona malu. Untung saja di sekitar mereka hanya ada Jade, Crystal, Edwin, Crystal, dan Ori. Eh, apa itu malah sial ya? 

“Gak bilang mau ke sini?” tanya Liv, duduk di samping Febri.

“Tadinya nggak. Tapi ketika lo bilang masih di sini, kenapa nggak? Gue mau ajak lo ke suatu tempat. Kalau urusan lo udah selesai,” ajak Febri. 

“Udah kok. Ya kan Jade?” Liv menoleh kea rah Jade.

“Sudah,” Jade mengangguk.

“Eh jangan cabut dulu. Gue baru pesen makanan buat kita semua. Makan di sini dulu aja. Please!” Crystal menyela dan merajuk. Melihat Crystal yang seperti itu, mau tidak mau Liv setuju. 

“Okeeee!” 


*** 


“Sibuk tadi?” Liv menoleh pada Febri yang sedang menyetir. 

“Sedikit,” Febri tersenyum. “Lebih sibuk mikirin lo sebenernya.”

“Hah pereus,” Liv menjulurkan lidahnya. 

Febri tertawa puas. “Masih takjub aja akhirnya lo jadi pacar gue.” 

Sekarang Febri memegang tangan Liv dengan erat. Awalnya Liv hanya membiarkan Febri menyentuh tangannya. Lama kelamaan Liv membalas memegang tangan Febri. 

“Btw, kita mau kemana?” 

“Pekan depan itu sepupu gue nikahan. Jadi gue harus fitting jas dan mastiin pasangan gue juga pake seragam nikahannya,” kata Febri santai.

“Gue?”

“Siapa lagi pasangan gue yang bisa gue ajak ke kondangan?” 

Liv tertawa. “Statement banget ke keluarga besar lo bahwa lo udah punya pacar.” 

“Pacar yang gak sabar gue pamerin ke om dan tante bawel yang nanyain kapan gue nikah,” Febri mencolek hidung Liv dan beberapa detik kemudian—memanfaatkan lampu merah—Febri mencium bibir Liv lagi. Nampaknya kegiatan ini jadi kegiatan favorit Febri saat ini. 


*** 


Di sekitarnya memang ramai. Penuh dengan ingar bingar musik dan celotehan orang-orang. Biasanya Liv datang ke tempat seperti ini sebagai ‘pengawal’ Crystal. Mingle dengan para pengunjung sebagai maksud untuk memperluas jaringan dan mengenalkan Crystal ke sebanyak mungkin kesempatan bekerja sama. Lain halnya dengan hari ini.

Liv menemani Febri ke sebuah acara launching clothing line milik salah seorang penyanyi. Acaranya menampilkan fashion show di salah satu hotel bintang lima. Liv tampil dengan pakaian karya Ivan Gunawan dan make up di wajahnya karya teman baiknya yaitu Marlene Hariman. Hanya karena Febrilah makanya Liv bisa datang ke acara ini dengan pakaian karya desainer dan duduk di front row. Bukan lagi sebagai seorang manager yang perlakuannya mendapatkan standar di bawah para artis dan orang-orang penting.

“Kok diem?” Febri memeluk pinggang Liv sebelum mereka memasuki area fashion show

“Mengamati aja,” Liv mengangkat gelas minuman ke mulutnya. “Biasanya mingle ke sana kemari nemenin Crystal. Sekarang malah gue pingin diem aja.” 

“Kenapa tuh? Kan banyak kenalan?”

“Memang. Udah ngobrol kok sama beberapa orang. Cuma sekarang lagi istirahat aja,” Liv tersenyum. “Kapan kita masuk?”

“Kapan aja bisa. Kursi kita gak akan ada yang ambil kok,” Febri menurunkan tangannya dari pinggang Liv lalu memegang tangan Liv. Mereka menyapa beberapa orang sambil perlahan menuju area fashion show

Sembari Febri mengobrol dengan beberapa kenalannya, Liv mendadak sibuk dengan pikirannya. Entah kenapa, berada dalam lingkungan seperti ini dengan pacarnya bukanlah hal yang Liv inginkan. Liv tetap lebih menyukai berduaan dengan sang kekasih di tempat yang sepi. Menonton film, menikmati cemilan, atau sekedar cuddling dengan sang pacar. 

Liv memejamkan mata. Memang ini gambaran yang mengarah kepada Ian. Sial sekali, gambaran tentang laki-laki itu masih ada di pikiran Liv. Seharusnya Liv sudah tidak mengingat Ian sama sekali. 

Liv kembali membuka matanya. Febri masih duduk di sampingnya, mengobrol dengan Isyana Sarasvati. Refleks, Liv memegang tangan Febri, mengelusnya. Febri menoleh kepadanya, kaget. Matanya bertanya-tanya. 

“Gak apa-apa. Cuma pengen pegang aja,” bisik Liv. Febri tertawa. Dia mengelus rambut Liv dan mencium keningnya sekilas. 

Berada bersama Febri adalah pilihan Liv. Ini berarti Liv harus bersiap menghadapi segala macam kondisi dan kejutan yang dibawakan oleh Febri. Febri bukan Ian dan Febri tidak bisa disamakan dengan Ian. Liv harus melupakan Ian dan hanya fokus pada Febri yang sudah begitu mencintainya.


*** 


“Kenapa, Mbak?” Jemima sang asisten kebingungan melihat Liv yang mendadak terlihat sibuk.

“Febri masuk rumah sakit,” kata Liv panik. Tangannya mengobrak-abrik meja mencari kunci mobil. 

“Ya ampun, kenapa?” 

“Keserempet motor waktu mau nyebrang,” Liv menjawab cepat. Tangannya menggeser mug dan menemukan kunci mobilnya di sana. 

“Semoga gak kenapa-kenapa ya, Mbak, ujar Jemima dengan tulus.

“Iya. Makasih ya, Jem. Kalau Jade cari, bilang gue ke rumah sakit. Dah,” Liv melambai kepada Jemima lalu bergegas turun. 

Untunglah saat ini sudah terbilang malam. Jalanan tidak terlalu ramai sehingga Liv bisa sampai di rumah sakit dalam waktu cepat. Hanya 15 menit dan Liv sudah sampai di ruang IGD yang dikatakan Febri. Ketika Liv sampai, Febri sedang duduk di ruang tunggu dengan wajah bosan. 

Are you okay?” sapa Liv, berjongkok di hadapan Febri, menyentuh pipinya. 

“Yeah. Mereka berlebihan. Cuma luka dikit aja,” Febri menunjukkan perban di sepanjang lengan kanan atasnya.

“Luka dikit apa ini? Gede kali, Feb,” Liv memekik kaget. Perbannya memang melintang besar di tangan Febri. 

“Iya, tapi memang gue baik-baik saja,” Febri berusaha tersenyum. Hatinya mendadak lebih hangat melihat Liv yang begitu panik melihatnya. Berarti Liv mengkhawatirkannya. 

“Ya udah, kita pulang yuk. Gue anter ya. Lo pasti gak bawa mobil kan?” 

“Nggak. Yuk,” Dengan senang hati Febri meraih tangan Liv dan mereka bergandengan tangan keluar. 

Liv mengantar Febri ke tempat kost-nya. Walaupun dibilang ‘kost’ tapi tempatnya tidak kalah mewah dengan kamar hotel. Selidik punya selidik, tempat tinggal Febri ini memiliki sistem yang memang mirip seperti hotel. Setiap hari dibersihkan oleh pengurus. 

“Lo udah makan belum? Gue pesenin sesuatu ya?” Liv mengeluarkan ponsel, bermaksud memesan makanan secara delivery.

“Gak usah. Telepon room service aja, nanti ada yang anter makanan,” jawab Febri sambil berbaring di tempat tidurnya. 

Liv mengangkat alisnya. “Ini hotel apa kosan sih?” 

Febri tertawa pelan. “Bebas. Lo sini dong.” 

Liv menghampiri Febri dan duduk di samping tempat tidur. “Nomernya berapa?” 

Febri menunjuk meja. Ada secarik kertas berisi nomor telepon. Liv menghubungi nomor telepon tersebut lalu memesan makanan untuk Febri makan. Setelah ini dia perlu minum obat dan kemudian beristirahat. 

“Mau ganti baju?” tawar Liv, menunjuk pakaian Febri yang bernoda darah dan debu sedikit.

“Boleh,” Febri kembali duduk di tempat tidur.

“Gue ambilin aja bajunya. Lo mau pake apa?” Liv menghampiri lemari Febri lalu membukanya. Wajahnya bersemu merah ketika melihat di salah satu sisi terdapat pakaian dalam Febri.

“Belum sempat gue peringatkan,” Febri cengengesan. 

“Iy-iya. Jadi gimana?” tanya Liv dengan malu.

“Ada kaos sama celana pendek. Kaos di rak atas. Celana pendek di bawah,” ujar Febri. 

Liv mengambil kaos dan celana pendek pertama yang dia lihat lalu segera menutup lemari. Diangsurkannya kedua benda itu kepada Febri. Perlahan Febri berdiri, mengambil pakaiannya lalu menuju kamar mandi. 

Liv menarik dan membuang nafasnya. Padahal tidak ada apa-apa yang terjadi tapi jantung Liv mendadak tidak karuan. Mungkin karena mereka hanya berdua dalam ruang sesempit ini. 

“Liv, sorry,” Terdengar suara Febri dan Liv menoleh. Matanya hampir meloncat keluar saat melihat Febri hanya mengenakan celana pendek saja. Dadanya terekspos, menunjukkan perutnya yang rata dan berotot. Mengingatkan Liv pada bentuk perut atlet badminton Jonatan Christie yang sempat membuat heboh kaum hawa. Namun yang lebih mencengangkan adalah adanya tato kalajengking di dada kiri Febri. 

“Ap-apa?” Liv tergagap. 

“Ternyata tangan gue agak sakit pas diangkat. Jadi gue gak bisa pake kaosnya. Keberatan kah?” tanya Febri sedikit malu. 

Harusnya bukan Febri yang malu, tapi Liv. Karena Liv sekarang merasakan bahwa pipinya terasa begitu panas. Cepat-cepat Liv mengalihkan pandangannya. 

“Ya, ya udah kalau ribet. Daripada sakit. Hati-hati aja masuk angin,” jawab Liv. 

“Nanti gue tidur pake selimut,” balas Febri lalu duduk kembali di tempat tidur. 

Suasana tidak nyaman ini disela oleh ketukan di pintu. Liv langsung menghampiri pintu dan membukanya, melihat ada yang mengantarkan makanan. Makanan itu langsung dibawa dengan penuh sukacita oleh Liv ke hadapan Febri. Ekspresinya mendadak jadi salah tingkah lagi ketika di depan matanya langsung terpampang postur menggiurkan Febri. 

“Makan dulu deh,” gumam Liv.

“Lo gak makan juga?” 

“Udah tadi di kantor sebelum dapet kabar lo kecelakaan,” Liv memposisikan dirinya duduk di samping Febri. Posisi ini lebih aman daripada harus berhadapan langsung dengan si pacar.

“Lo… bisa suapin gue?” tanya Febri dengan ragu-ragu. 

Liv menoleh lagi. 

“Ternyata, masih nyut-nyutan,” gumam Febri sambil sedikit meringis saat berusaha mengangkat tangannya.

“Oh ya ampun kasian. Sini,” Liv mengambil sendok dan garpu. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Liv menyuapi Febri. 

Behave, my heart! Perintah Liv.


***  


Liv tahu sudah saatnya dia membuka mata dan bangun. Matahari sudah menampakkan sinarnya melalui celah-celah jendela yang tidak sempurna tertutupi tirai. Tapi… Liv ragu-ragu dan cenderung takut untuk membuka matanya. Khawatir akan apa yang akan menyambutnya ketika dia membuka mata. 

“Gue tahu lo udah bangun,” terdengar suara Febri yang bernada geli. 

Mau tidak mau, Liv menyerah. Liv membuka mata dan melihat Febri sedang memandanginya dengan tawa yang ditahan. Pura-pura Liv cemberut. Malam tadi, setelah menyuapi Febri dengan makan malamnya, Liv juga memberikan obat yang disarankan dokter untuk mengurangi rasa sakit. Setelah itu Liv berniat untuk pulang. Kenyataannya adalah Febri mencegahnya dengan dalih bahwa dia pasti masih butuh bantuan, selama tangannya masih lemas dan berdenyut nyeri. Liv menyerah dan memutuskan untuk menginap. Walaupun memerlukan keberanian ekstra karena harus satu tempat tidur dengan Febri yang tidur topless, berbagi dalam satu selimut, dan dirangkul sebegitu protektifnya oleh si pacar. 

Sepanjang malam jantung Liv berdebar tidak karuan. 

“Masih sakit gak tangannya?” Liv mengangkat kepalanya untuk melihat tangan Febri yang tidak merangkul Liv. 

Febri menjawab dengan mengangkat tangan kanannya dan menggerakkannya beberapa kali. “The medicine works.” 

Thank God,” Liv mendesah. 

“Jangan mendesah gitu dong,” celetuk Febri. 

“Hah?” Liv kebingungan. 

“Soalnya, nanti ada yang lain yang bangun,” bisik Febri. 

Febri menggerakkan badannya sampai membuat Liv kembali berbaring di tempat tidur. Sekarang Febri berada di atas Liv, menatapnya dengan tatapan lapar dan menggoda. Liv menelan ludahnya. Tanpa aba-aba, Febri menyambar bibir Liv dan melumatnya. Liv terkejut namun dia masih bisa membalas ciuman Febri, menyentuh pipinya. 

Nafas Liv seakan berhenti. Apalagi saat tangan kanan Febri yang tadi malam masih lemas, sekarang malah menyusup ke balik kemeja Liv, mengangkatnya ke atas, dan mulai menyentuh kedua payudara Liv. 

Liv berjengit. Apakah ini saatnya dia menyerah? 


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?