Miserable Fate - 32

 Rose Geranium

Pilihan

Two hours flight,” Jade menggerakkan badannya yang lumayan kaku saat duduk di pesawat. Padahal mereka menaiki pesawat eksekutif. 

Two hours flight you spent with me. Sedih ya?” Liv menimpali. Wajahnya menampakkan ekspresi menyindir tapi sesaat kemudian Liv tertawa. 

“Yeah. Mana urusan kerjaan pula. Bukan buat liburan,” Jade berdecak, ikut berakting kesal dan sedetik kemudian dia juga tersenyum. 

“Padahal maunya kan liburan ya? Sama cowok pula. Gimana sama yang dijodohin itu?” Liv mengambil koper dari ban berjalan. Sebisa mungkin mengejek Jade tanpa melihat wajahnya. Sedikit mengerikan juga kalau ternyata topik perjodohan ini menyinggung perasaan Jade. 

“Gila, lo sampe tahu juga. Pasti Crystal yang cerita,” Jade memajukan bibirnya. Terlihat sekali dia sebal setengah mati. Adiknya yang itu memang harus belajar untuk menyimpan cerita mana yang bisa dibagikan ke orang lain, mana yang disimpan bagi dirinya sendiri.

Liv sekarang bisa tertawa karena reaksi Jade ternyata tidak semengerikan yang Liv duga. Jade tidak langsung menjawab dan Liv juga tidak menimpali lagi. Ketika mereka berjalan keluar dari bandara, Jade mulai bercerita. 

“Saking bosennya kali lihat gue masih single, nyokap sama bokap sepakat cariin jodoh,” Jade membuka obrolan mereka. Liv menoleh untuk menunjukkan bahwa dia memperhatikan. 

Jade, lebih tua 2 tahun dari Liv. Jarak usianya dengan Crystal sangat jauh karena Tante Amora dan Om Ferdinan awalnya hanya menginginkan satu orang anak. Namun ketika mereka menyadari bahwa Jade kesepian dan kepribadiannya lebih tertutup, mereka berdua memutuskan untuk memiliki anak lainnya. Hingga lahirlah Crystal dan Ruby yang dimaksudkan supaya Jade tidak kesepian dan rumah menjadi lebih ramai. Kenyataannya, Jade tetap jadi pribadi yang lebih pendiam, serius, sekaligus misterius. 

“Tumben lo mau?” Liv menggerakkan kepalanya. Jade bukan orang yang mudah disuruh-suruh. Oleh karena itu dia bisa menjadi CEO Crystal Corp. Dia lebih bisa menyuruh orang lain. Untung saja otaknya brilian. 

“Gak mungkin lo nolak kalau nyokap pake acara nangis segala,” Jade mendengus. Teringat ibunya yang menangis hampir histeris saat membahas Jade yang saat ini masih single sementara orang tuanya beranjak tua. Padahal kalau melihat langsung, Om Ferdinan dan Tante Amora tidak terlihat memiliki usia hampir 60 tahun. 

“Yah, gue bisa membayangkan,” Liv tertawa pelan, teringat Tante Amora yang sudah seperti ibunya sendiri. Sifat Tante Amora cenderung seperti Crystal. Heboh, blak-blakan. Jade sendiri seperti Om Ferdinan.

“Hmm,” Jade menunjuk sebuah taksi dan mereka berjalan menghampiri kendaraan biru tersebut. “Gue iyakan saja saat itu. Supaya cepet. Males gue denger drama-drama kayak gitu. Semakin cepet gue bilang iya, semakin cepet nyokap gue berhenti nangis. Apalagi saat itu gue harusnya ada janji conference call sama klien.” 

“Jade ‘Workaholic’ Jemima,” timpal Liv lalu segera masuk ke taksi sebelum kepalanya jadi sasaran jitakan Jade. 

Alih-alih marah, Jade masuk ke dalam taksi, duduk di samping Liv dengan ekspresi tenang. “You know me. Di hari bokap membuat Crystal Corp dan menyuruh gue jadi CEO-nya, hari itu juga gue memutuskan gak ada kata santai dalam hidup gue.” 

“Dan berhasil membawa penyanyi kebanggaan kita jadi penyanyi kelas A di Indonesia,” sahut Liv dengan bangga. Sebelum melanjutkan obrolan mereka. Liv menyebutkan nama hotel yang mereka tuju dan taksi pun melaju.

“Seminggu kemudian adalah hari gue harus ketemu sama orang yang dijodohkan dengan gue. Cuma makan malam saja katanya. Gue gak tahu kayak apa si Dimas ini. Gak minat juga cari info. Lagian nama Dimas super pasaran dan kalau gue sampe pengen tahu nama belakangnya, bisa dipastikan gue bukan cuma makan malam saat itu. Gue kayaknya langsung tunangan,” Jade memandang ke arah jalanan. Rambut pendek sebahunya bergerak ringan seperti iklan shampoo di TV. Tidak lama Jade memandang jalanan, dia kembali menatap Liv. 

“Terus gimana ketemuannya?” 

“Yah, lo harus tahu gue telat sejam dari waktu janjian. Gue masih ada meeting buat webseries dan gue pikir, dengan jarak dari Sudirman ke SCBD, masih keburu lah sejam perjalanan. Kenyataannya, malam itu jalanan busuk banget gak ada yang ngalahin. Gue telat,” Jade mengibaskan rambutnya sementara Liv terkikik. Terlambat biasanya tidak ada dalam kamus Jade. Dia selalu tepat waktu dan sangat tidak suka saat ada yang terlambat. 

“Lo minta maaf gak sama dia? Ngabarin kena macet atau gimana?” 

No,” Jade menggeleng. “Gue gak punya nomor HP Dimas. Entah Dimas punya atau nggak. Gue cuma dikasih tahu sama nyokap janjian jam berapa, dimana, dan Dimas pake baju apa.” 

“Udah kayak kencan buta jaman dulu!” Liv memekik. Tertawa terbahak.

You guess it right,” Jade mencebik. “Telat sejam, gue masuk restoran dengan acuan bahwa hari itu si Dimas pake kemeja hijau tua. Gue larak lirik kayak orang bego. Gue tahu si waitress di sana udah mau nanya ke gue tapi dengan wajah gue ini, kayaknya dia gak berani.” 

“Yang ada malah dia nanti disemprot,” Liv mengemukakakn pikiran yang kemungkinan besar melintas di otak si waitress. 

Exactly. Beberapa lama gue larak lirik dan gak ada yang pake kemeja hijau tua. Gue udah mau balik kanan bubar jalan, ngomel sama nyokap bahwa dia gak ada. Walaupun gue tahu gue yang telat. Tapi gak jadi karena…” 

Liv ikut menahan nafas. Tidak sabar mendengar kelanjutannya. Ini pasti menarik karena muncul sedikit—sangat sedikit—rona merah di pipi Jade. Jade yang biasanya dingin dan galak.

“Karena ternyata gak jauh dari tempat gue berdiri, ada cowok yang baru balik—mungkin dari toilet—dan dia pake kemeja hijau tua.” 

“Wow…” Liv terpana. Sekarang Jade benar-benar merona pipinya. 

“Dia bengong lihat gue. Gue juga bengong lihat dia. Dia langsung senyum dan nyamperin gue. Dia bilang, ‘udah lama gak ketemu’.” 

Wait, what?!” Liv masih belum mengerti kenapa Jade bisa tersipu begini dan kenapa Dimas bisa bilang bahwa dia dan Jade sudah lama tidak bertemu. 

Come on, Liv. Isn’t it obvious?” Jade mengibaskan tangannya.

“Gak ngerti. Asli,” Liv menggeleng. 

“Nama asli Dimas ternyata Adimas Rolando. Ring a bell?” 

OH SHOOT!” Liv berseru. Refleks Liv menutup mulutnya lalu tertawa. 

Jade dan Roland (iya, mereka mengenalnya dengan sebutan Roland) adalah seorang Creative Director label musik yang menaungi banyak penyanyi ternama. Label yang berasal dari Amerika dan meluaskan bisnisnya di Indonesia. Beberapa kali Jade bertemu dengan Roland, kadang Liv ikut juga jadi kurang lebih dia tahu seperti apa rupa Roland alias Dimas ini. Hubungan Jade dan Roland ini tidak begitu baik. Jade yang tegas, Roland—atau mari kita panggil dia Dimas sekarang—yang super santai dan kadang terlihat seperti playboy. Mereka sempat meributkan perihal penampilan Crystal dan salah satu artis Roland dalam sebuah acara awards bergengsi tingkat Asia. 

Jadi kalau sekarang ternyata Jade dijodohkan dengan Dimas, kocak sekali kan?

“Sungguh orang yang tidak terduga,” Liv sekarang bisa tertawa dan melihat sisi lucu dari cerita ini.

“Pas ketemu, gak ada lucunya sama sekali. Gue masih bengong ketika dia ngajak gue duduk. Gak ngerti kenapa orang yang dipilihkan orang tua gue malah orang yang sudah gue kenal dan sempet slek beberapa kali. Ternyata, emang nyokap gue yang cari tahu lingkungan kerja gue, telusuri segala macam benang dari kenalan dia yang banyak itu, sampai akhirnya ketemulah si Adimas Rolando, yang ternyata anak temen SMP dia.” 

Liv masih menanggapi dengan tawa saja. 

Sh*t happens, I know,” Jade mengangkat bahunya.

But now, it doesn’t looks like sh*t just happened,” Tersenyum penuh misteri, Liv mendorong lengan Jade pelan.

“Yah, Dimas confessed his feelings to me and even gave me this,” Jade menarik keluar sesuatu dari saku celananya dan menunjukkannya pada Liv.

Oh My God! Kenapa gak dipake?” Liv melihat cincin mungil yang cantik dan sederhana. 

Lagi-lagi Jade tersipu. “Belum tahu. Perasaan gue masih belum jelas.” 

Meskipun tidak yakin dengan perasaaannya sendiri, Liv yakin bahwa Jade pasti akan menerima pinangan musuh-tapi-cintanya itu. Terlihat dari wajah Jade dan bagaimana dia memperlakukan cincin itu dengan sayang. 

“Baru jalan beberapa kali. Tiba-tiba dia bilang sayang dan ngasih cincin. Setelah itu anaknya ngibrit ke Bangkok buat ketemu Sony Music Asia,” Jade menggeleng pelan.

“Nanti kalau Dimas pulang, bilang kalau lo juga sayang sama dia,” Liv senang sekali mendengar berita ini. Seorang Jade yang kaku akhirnya ada juga yang mencairkan hatinya. “I’m so happy for you.” 

Liv memeluk bos slash teman dekatnya ini. Jade balas memeluk Liv dan mereka tertawa bersama. Apalagi ketika supir taksi ikut mengungkapkan kebahagiaannya. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di hotel. Dibantu supir taksi, koper diturunkan lalu Liv bersama Jade menuju meja resepsionis.

“Ngomong-ngomong, love life Liv gimana?” ganti Jade yang bertanya.

Liv mengerang lalu menarik sudut bibirnya ke atas sedikit. “Kering kerontang.” 

“Perasaan lo udah baikan setelah putus?” Jade memang tahu Liv putus dari Ian dan itu cukup mengguncang perasaannya. Walaupun Jade tidak tahu cerita detail mengenai penyebab Liv putus. Hanya Mel yang Liv ceritakan hal ini.

“Hmm, much better than the day I showed up at office with huge eyebags,” Liv menyeret kopernya menuju lift bersama Jade. 

“Tapi kenyataan di hati gimana?” Jade bertanya seperti menginterogasi. Untunglah Liv terbiasa dengan cara bicara Jade dan rela untuk bercerita. 

“Susah buat benar-benar melupakan seseorang yang lo sayangi. Memang gue dan Ian pacaran cuma bentar. Tapi sebentarnya usia pacaran gak berbanding lurus sama seberapa dalamnya perasaan gue ke dia.” Liv mengangkat bahunya. Suasana hatinya jadi sedih lagi tapi dia berusaha mengatasi hal itu.

“Jadi ya, gue masih belajar untuk melupakan atau membuat Ian biasa saja di hidup gue,” Liv membuka pintu kamar dan masuk. Diikuti Jade di belakangnya. Mereka langsung memilih tempat tidur masing-masing. Jade di dekat jendela, Liv di tempat tidur satunya. 

“Lo mau coba untuk… let’s say, cari cowok lain?” tanya Jade yang sekarang duduk bersila dengan nyaman di atas tempat tidur. 

“Apa?” Liv tercengang lalu tertawa pelan. Ikut duduk di atas tempat tidurnya sendiri. “Menurut lo perlu?” 

“Banyak orang yang bilang begitu. Melupakan seorang pria dengan keberadaan pria lain. Gue memang gak begitu percaya tapi kalau lo mau, gak ada salahnya dicoba. Mungkin klien yang bakal kita temui nanti malam ternyata single dan ganteng. Mungkin kalau lo mau kita clubbing, bakal ketemu…” 

“Gue sebenernya udah ditembak lagi sama seseorang,” Liv memotong ucapan Jade. Ekspresinya malu tapi diusahakan sedatar mungkin. Jade tergagap.

Even better.” Akhirnya Jade mengangguk.

“Febri. Dulunya produser radio, sekarang kerja di Blue,” Liv menjelaskan.

I know him. Jadi dia nembak lo?” 

“Sebelum sama Ian memang Febri PDKT ke gue. Setelah putus, kami ketemu lagi dan hari itu juga dia nembak gue,” Liv sekarang cengengesan seperti tepergok melakukan hal yang tidak seharusnya. “Menurut lo gimana?” 

“Kalau lo mau cari cowok buat mengobati perasaan lo sama Ian, Febri pilihan yang baik. Terlalu baik malah,” 

“Terlalu baik memang,” Liv setuju.

“Tapi siapa tahu malah dia ternyata jodoh lo. Bukan cuma pacaran, ternyata dia ngajak nikah. Lo mau gak tuh kalau diajak nikah?” Sekarang sikap Jade semakin melunak, obrolan mereka benar-benar yerasa seperti dua orang teman akrab yang setiap pertemuannya membahas kehidupan pribadi.

“Masih kejauhan sih kalau bahas nikah sama Febri,” Liv tertawa gugup. 

“Coba liat prospek ke depannya,” Jade bicara lebih bijak.

“He? Berasa kita lagi meeting,” Liv mengangkat alisnya.

“Apakah Febri pria yang cocok dengan kepribadian lo? Apakah Febri setuju dengan apa yang lo kerjakan saat ini? Kalau kalian menikah nanti dan lo mau tetep jadi manager Crystal, Febri setuju atau gak? Apalagi saat ini gue berencana menaikan jabatan lo jadi Business Director. Menemani gue di jajaran Direktur. Crystal Corp juga akan mengembangkan bisnis ke artist management dan lo pasti akan kena sibuknya. Belum lagi rencana Crystal go international. Kalau Febri bisa bekerja sama dengan lo di bidang itu dan bukan hanya perasaan, gue dukung lo jadian sama Febri.”

Sungguh Liv terkejut dengan paparan Jade ini. “Salah ya gue curhat perasaan sama bos sendiri.” Liv menggeleng tidak percaya. 

Jade tertawa dan meminta maaf. “Gimana ya. Usia gue dan lo bukan lagi waktunya kita pacaran kayak anak SMA. Cuma coba-coba, pengen tahu gimana rasanya. Gue rasa Tante Nita pun udah kayak nyokap gue kan. Berharap anak-anaknya segera menikah. Tapi menikah pun bukan asal pilih aja. Harus yang cocok dan mau mendukung passion kita. Gue juga gak berharap muluk-muluk untuk kriteria suami. Udah ilang deh itu harapan gue punya laki badannya bagus, humoris, CEO.”

“Tapi Dimas juga gak jelek toh?” Liv menggoda.

“Dimas yang lebih bagus pake baju daripada nggak,” Jade berceletuk.

“Kok lo tau Dimas waktu gak pake baju?!” Liv memekik.

Wajah Jade mendadak jadi seperti kepiting rebus dan dia langsung berdiri. Mengalihkan perhatian dengan membongkar kopernya. Liv sekarang tertawa berguling di tempat tidur.

“Pada intinya,” Jade berdeham. “Lo sendiri tahu kok apa yang baik buat lo. Bahkan sebenernya jawaban mengenai lo terima Febri atau nggak pun, lo udah tahu.” 

Liv tertegun. Tangannya meraih bantal lalu memeluk benda empuk tersebut. Memang Jade ada benarnya. Liv hanya perlu meyakinkan dirinya sendiri. 

“Ayo siap-siap. Kita makan siang terus spa dulu sebelum dinner meeting nanti malam,” ajak Jade. 

“Oke. Oke. Thanks for the conversation Jade,” Liv bangkit dari tempat tidur. “Gue akan telepon Febri segera. Ngomong-ngomong…” 

Jade terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Liv.

“Dimas bisa kuat berapa ronde?” 

“Heh gue potong gaji lo!” Pekik Jade yang dibalas Liv dengan tawa.


***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?