Miserable Fate - 29

 Sweet Pea

Selamat tinggal, terima kasih untuk saat-saat yang menyenangkan

Liv membuka matanya yang benar-benar terasa berat. Sejak curhat dengan ibunya, Liv mematikan ponselnya, tidak membiarkan Ian menghubunginya. Seharusnya mereka kembali ke Jakarta hari Minggu malam menggunakan pesawat, namun Liv belum mau bertemu Ian. Jadi Liv pulang menggunakan kereta dan menginap di rumah Mel. Pagi ini dia akan berangkat kerja dari tempat Mel. 

How do you feel?” Mel masuk ke kamarnya membawa botol berisi infused water

Awful,” Liv memejamkan mata dan kembali menyusup di balik selimut. 

I know,” Mel mengangkat bahu. Liv bercerita begitu sampai di rumah Mel. Mel benar-benar terkejut mendengar cerita itu dan tidak tahu juga harus berbuat apa. “Kayaknya lo nggak usah kerja deh. Lo bisa tinggal di rumah gue. Orang tua gue lagi pada nggak di rumah juga. Adik gue di kosannya.” 

Liv membuka selimut lalu duduk. “Mau gue gitu. Mood gue bener-bener lagi nggak enak dibawa kerja. Tapi gimana…” 

Mel mengangkat alis, menunggu Liv melanjutkan. 

“Tahun depan Crystal harus go international. Hari ini ada meeting sama Sony SEA buat rencana duet dan setelah itu gue harus meeting dengan Jade. Bahas breakdown plan. Jade mana mungkin ngijinin gue nggak datang,” Liv menggeleng. 

“Terus lo bisa meeting dengan kondisi kayak gini?” 

Liv menjatuhkan diri ke tempat tidur lagi. “Nggak.” 

Mel tertawa. “Teruuus?” 

“Yang penting gue datang. Biar Jade yang lead,” 

“Ya udah kalau gitu. Lo mandi sana biar seger. Abis itu sarapan ya. Si Tuti udah bikinin nasi goreng sama jus. Lo tahu kan nasi goreng Tuti penuh mecin jadi bakal enak banget?!”

Liv tersenyum. “Iya nanti gue turun ya.”


*** 


Jade bertanya ada apa dengan Liv hari ini. Liv cuma menjawab bahwa dia sedang PMS. Setelah itu Jade tidak bertanya apa-apa lagi. Begitu urusannya selesai, Liv langsung pamit menuju apartemennya. Perasaannya masih tidak karuan dan dia masih takut akan bertemu Ian. Hati Liv masih belum siap. Belum siap menghadapi kenyataan bahwa pria yang sedang dicintainya ternyata kakaknya sendiri. 

Ian terus menghubunginya. Mencoba menelepon ratusan kali dan mengirimkan pesan lebih banyak lagi. Tidak ada satu pun telepon yang Liv angkat dan tidak ada satu pun pesan yang Liv balas. 

Liv keluar dari lift. Berdiri di depannya beberapa saat sampai lift itu kembali tertutup dan menuju lantai atas. Liv takut bahwa ketika dia kembali berada di kamarnya, dia kembali berada dekat dengan Ian. 

Butuh 5 menit berisi tarik-buang-tarik-buang nafas ketika Liv memberanikan diri melangkah. Liv berbelok dan langsung diam di tempatnya. Ketakutannya terjadi. Ian berdiri di pintu unitnya dan langsung menoleh begitu mendengar langkah Liv. 

“Liv,” panggil Ian. Cepat-cepat berjalan menuju Liv. 

Liv tidak sanggup berkata-kata. Tidak pula sanggup bergerak. Hanya air matanya yang perlahan menetes. 

“Liv,” Ian menarik Liv ke pelukannya, membiarkan Liv menangis di dadanya. 

“Kamu ngapain?” Liv tersedu. 

“Aku cemas,” bisik Ian. “Aku mau memastikan kamu baik-baik saja.”

“Jangan begini, Ian. Jangan. Nggak boleh,” Liv mendorong Ian menjauh namun Ian mempertahankan Liv dalam pelukannya. 

“Kamu percaya apa yang dibilang mamaku?” Ian bertanya sangsi. 

“Aku pulang ke rumahku dan mamaku sendiri yang cerita semuanya.”

Hati Ian langsung mencelos. Berarti benar bahwa Ian dan Liv adalah adik kakak. Kemarin Ian masih berusaha menolak kenyataan itu. Berharap itu hanya cerita ibunya yang kecewa pada sang ayah. Sekarang Liv sendiri yang membenarkan berita itu dan ini membuat Ian benar-benar tidak karuan. 

Liv memandang Ian yang sekarang benar-benar terlihat gusar. Melihat itu, Liv mengesampingkan sejenak kesedihannya dan memilih menenangkan Ian. Tangan Liv terulur untuk mengelus pipi Ian. 

“Jangan sedih,” kata Liv. Padahal dia sendiri yang sedari kemarin menangis tanpa henti. 

“Kamu yang nangis terus,” Ian memegang tangan Liv, memejamkan matanya. 

“Kita nggak bisa lama-lama di sini,” gumam Liv.

Ian mendengus, bibirnya menyunggingkan senyum. Teringat beberapa waktu lalu saat mereka hampir berciuman di lorong dan ada anak kecil yang tiba-tiba muncul. Ian kembali membuka matanya dan melepaskan pelukannya. 

Liv menuntun Ian menuju kamarnya, mereka tidak bicara apa-apa. Di dalam, Ian duduk di sofa saat Liv pergi membersihkan diri. Begitu selesai, Liv duduk di samping Ian, menatap matanya. 

“Itulah kenapa kamu baik sama aku ya. Karena naluri kamu sebagai kakak,” Liv memulai. 

Ian menggeleng, menolak mengakui secara verbal hubungan mereka sebagai adik kakak. 

“Kamu mau cerita sama aku apa yang mama kamu bilang?” tanya Ian pelan. 

Liv menarik nafas dan menghembuskannya, mengangguk. Liv mulai menceritakan semuanya. Cerita dari sudut pandang ibunya. Ian mendengarkan dengan wajah tanpa ekspresi. Baru ketika Liv kembali menangis, Ian terlihat sedih dan mengelus rambut Liv. 

Liv terus menangis sampai dia jatuh tertidur di pelukan Ian. Hati Ian terasa berat untuk mengakui bahwa perempuan yang dia sayangi ini rupanya harus dia ubah perasaan sayangnya menjadi perasaan sayang terhadap adik. Ian tidak mau dan tidak siap. Hanya saja kenyataan berkata lain. Ian harus membiasakan perasaannya. 

Ian menggendong Liv yang tertidur. Membawanya ke kamar Liv dan membaringkannya perlahan. Ian menyelimuti Liv lalu menatap Liv yang tertidur selama beberapa saat. Ian tidak mau kehilangan Liv, sama seperti Liv tidak mau kehilangan dirinya. Kenyataan berat yang harus mereka hadapi. Entah bagaimana hubungan mereka besok dan kemudian hari. Berusaha melepaskan bukanlah sesuatu yang mudah. 

Dihelanya nafas kemudian berdiri. Ian hampir keluar dari kamar Liv untuk kembali ke unitnya sendiri. Kemudian Ian menyadari bahwa mungkin ini terakhir kalinya mereka bisa bersama-sama. Ian menurunkan tangannya dan berbalik. Kembali ke samping tempat tidur Liv, berbaring di samping Liv, dan tidur sambil memeluk Liv. 


*** 


Liv tidak menyangka bahwa ketika dia membuka matanya pagi ini, wajah tidur Ian yang menyambutnya. Ian tidur masih sambil mengenakan kacamatanya. Liv berusaha membuka kacamata itu agar Ian bisa tidur lebih nyaman. Kacamata Ian ditaruh di dekat bantal mereka lalu Liv kembali memperhatikan Ian yang tidur. Tidak ada yang Liv pikirkan selain mematri pemandangan ini di benaknya. Karena mungkin ini hari terakhir mereka bersama. Liv akan meminta putus. Mereka akan putus.

Perlahan Ian membuka matanya. Saat Ian bangun, Liv tersenyum. 

“Mau sarapan apa?” Adalah pertanyaan Liv begitu Ian bangun. 

“Hmm,” Ian mencari kacamatanya. Liv segera memberikan alat bantu lihat itu yang langsung Ian pakai kembali. Setelah dapat melihat dengan jelas, Ian kembali berbaring menatap Liv. 

“Mau sarapan apa?” Liv mengulangi.

Ian menggeleng. “Nggak lapar.” 

Liv tersenyum, bangun dari tempat tidur dan menyibakkan selimut. Turun dari tempat tidur lalu menuju dapur. Ian mengikuti Liv di belakangnya. “Aku bikinin mi ya. Kamu suka kan.” 

Tidak ada yang Ian lakukan selain memperhatikan Liv mengeluarkan mi dari lemari, menyalakan kompor, dan membuatkan mi instan untuk dirinya. Untuk seseorang yang menangis habis-habisan tadi malam, Liv terlihat ceria pagi ini. Meskipun matanya masih bengkak. 

“Ini, mi-nya dua, telornya 1. Ini sausnya,” Liv menaruh mangkuk besar di meja, di hadapan Ian yang sudah menunggu. “Aku minum susu dan makan roti nih.”

Mereka duduk berdampingan. Ian memakan mi-nya dan Liv memakan rotinya. Suasana hening. Liv menghabiskan rotinya lebih dulu lalu meminum susunya pelan-pelan. 

“Kita putus ya, Yan,” Liv mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan nafas. 

Ian tidak langsung menanggapi. Melainkan menghabiskan makanannya dan menatap Liv lekat-lekat. Liv balas menatap Ian dan tersenyum. 

“Jujur ini semua berat buat aku. Kamu harus tahu bahwa aku juga kecewa dengan kenyataan ini,” Ian menunduk namun kemudian menatap Liv. “Aku cuma minta kamu yakin bahwa aku memang sayang kamu.” 

Liv mengangguk. “Aku tahu.” 

Mereka tidak bicara apa-apa lagi. Ian mencuci piring dan gelas yang mereka pakai untuk sarapan. Tanpa bicara apa-apa lagi, tanpa pelukan, tanpa ciuman, Ian keluar dari apartemen Liv. 


*** 


“Cuma enam bulan lo bertahan di sini,” komentar Mel saat mengatur dus-dus untuk dibawa keluar. 

“Bisa lebih kalau nggak ada insiden apa-apa,” Liv mengangkat bahunya. 

“Ada lagi yang perlu di-pack atau semua udah tinggal dibawa ke bawah?” Adam melongok kembali ke dalam. 

“Udah semua, Dam. Minta tolong dibawa dusnya ke bawah ya,” Liv berpesan. 

“Oke. Ayo, Jam,” ujar Adam pada Jamie.

Hari ini Liv kembali pindah dari apartemen. Dia tidak bisa tetap tinggal di sini, berada dekat dengan Ian, padahal mereka tidak bisa berhubungan lebih. Perasaan Liv pada Ian masih belum berubah dan ini tidak sehat. Jadi Liv memutuskan untuk pindah. Ada Mel dan Adam yang membantunya, ditambah Jamie yang diutus Crystal karena Crystal tidak bisa membantu sehubungan dengan urusan keluarganya di Bali.

Tok tok. 

Liv dan Mel menoleh. Ian berdiri di ambang pintu. Sehari sebelumnya Liv sudah mengabari bahwa dia akan pindah. Walaupun Liv tidak memberi tahu kemana dia akan pindah. 

“Ian,” Mel menyapa. “Gue bantu bawain beberapa dus dulu ya.” 

Mel menyingkir dengan membawa satu kardus kecil, memberikan waktu bagi Ian dan Liv bicara berdua saja. 

“Keputusan kamu sudah bulat ya,” kata Ian setelah mereka hanya berdua.

Liv mengangguk, matanya menyapu seisi unitnya yang sekarang kosong melompong. “Aku nggak bisa terus ada di sini, dekat dengan kamu padahal kita nggak bisa ngapa-ngapain.” 

Ian belum menanggapi. 

“Aku masih cinta kamu. Kamu tahu kan?” Suara Liv mulai bergetar dan air mata mengumpul di sudut matanya. Liv memalingkan wajah agar Ian tidak bisa melihat air matanya. Ian hanya mengangguk, memasukan tangan ke dalam sakunya. 

“Aku juga Liv.” 

“Tapi kita sama-sama tahu itu semua nggak mungkin. Jadi lebih baik aku pergi. Aku nggak bisa mengubah hubungan kita jadi seperti kakak adik. Aku nggak tahu di masa depan, tapi saat ini, aku nggak bisa.” 

“Aku tahu.” 

“Aku minta maaf untuk semuanya,” Liv kembali menatap wajah Ian. 

“Kamu harus… bahagia,” Ian mengulurkan tangannya, mengelus pipi Liv. 

“Pasti,” Liv memejamkan matanya, perlahan meraih tangan Ian dan menurunkannya. Mereka tidak boleh terus melakukan interaksi-interaksi seperti ini. Meskipun sedikit. 

“Liv,” 

Liv dan Ian menoleh ke arah pintu. Adam, Jamie, dan Mel sudah kembali. “Tinggal sekali jalan lagi barang-barang lo diangkut. Yang punya unit nunggu di bawah.” 

Liv mengangguk. “Gue sekalian turun barengan kalau gitu.” 

“Aku bantu bawa,” Ian bermaksud mengambil salah satu kardus. 

“Nggak usah,” Liv menahan tangan Ian sebelum dia meraih kardus manapun. “Nggak usah. Kita pisah di sini aja.” 

Ian bermaksud berkeras mengantar Liv hingga ke bawah. Kemudian dilihatnya Liv menatapnya dengan penuh permohonan. Perpisahan pasti sulit dan Ian tahu Liv tidak ingin membuat semuanya semakin sulit. Ian akhirnya mengerti. Dia menarik Liv dan memeluknya. 

Liv memasrahkan dirinya dipeluk Ian untuk terakhir kali. 


*** 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?