Miserable Fate - 36

 Sunflower

Keanggunan

Berbelanja kebutuhan sehari-hari memang sudah jadi rutinitasnya. Meski Nita selalu lebih memilih berbelanja bersama dengan putri semata wayangnya daripada berbelanja sendirian. Akan tetapi sudah empat bulan ini Liv tidak pulang. Putrinya bilang dia sibuk. Padahal Nita tahu bahwa Liv belum bisa menerima kenyataan mengenai ayahnya dan pacarnya yang ternyata kakaknya sendiri. 

Memilih berbelanja di akhir pekan terakhir di bulan ini merupakan dilema. Kebutuhan di rumah sudah menipis tapi orang-orang yang juga punya tujuan berbelanja sangat banyak sekali. Mau tidak mau Nita terpaksa mengantri dengan sabar. Pikirannya mendadak tertuju pada Liv. Jika Liv ada di sini, dia akan menemani Nita mengantri sambil membicarakan berbagai hal. Mengantri berjam-jam sekalipun tidak menjadi masalah karena Nita memiliki seorang putri yang heboh dan bisa diajak bercanda. 

“Maaf Bu, mesin EDC semuanya lagi offline,” Nita mendengar kasir berkata begitu pada pengunjung yang mengulurkan sebuah kartu. Untung saja Nita sudah menyiapkan uang tunai untuk membayar barang belanjaannya.

“Lho kok bisa?” Pembeli tersebut terdengar jengkel. 

“Iya Bu. Lagi offline dari bank-nya. Mungkin ada uang tunai saja Bu?” Tanya kasir tersebut dengan nada meminta maaf. 

“Gimana sih. Saya udah lama nggak bawa cash, kita harus masuk ke jaman cashless society tahu! Buat apa bawa uang tunai banyak-banyak, nggak aman! Ini nggak bisa dibenerin mesinnya?” Suara pembeli tersebut semakin meninggi dan orang-orang mulai memperhatikan. 

Nita berusaha melongok ke layar kasir dan melihat jumlah belanjanya mencapai satu juma lima ratus ribu Rupiah. Nita melirik belanjaannya. Sepertinya uang yang dia bawa cukup. Meskipun tidak melihat siapa yang sedang terkena masalah ini, Nita memutuskan untuk membantu. Dia meminta ijin kepada satu orang yang mengantri di depannya untuk berbicara kepada pembeli yang mengalami kesulitan tersebut. 

“Ibu bisa pakai uang saya du…” Kalimat Nita terhenti begitu mengetahui siapa yang tidak bisa membayar belanjaan karena mesin EDC sedang offline

Elsie balas menatapnya dengan tatapan terkejut, terhina, dan kesal. 

“Kamu bisa pakai uang aku dulu, Elsie. Supaya orang-orang berhenti memperhatikan kamu,” Nita melanjutkan seakan tidak ada masalah apa-apa. Cepat mengatur kekagetannya atas pertemuan tidak sengaja dengan wanita yang sekaligus menjadi istri pertama dari pria yang dicintainya.

Elsie tidak langsung menjawab. Masih memikirikan apakah harus menerima bantuan dari saingan cintanya atau tidak. Sudah berpuluh tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Nita. Sekarang mereka tiba-tiba bertemu dalam kondisi tidak mengenakkan. Elsie sebenarnya kesal sekali.

“Mbak, pakai ini aja.” Nita menyerahkan uang yang sudah dia siapkan ke kasir. Kasir tampak ragu-ragu. Namun saat Elsie tidak mengatakan apa-apa, kasir tersebut memproses pembayaran. Nita memutuskan kembali mengantri ke tempatnya dan tidak memulai bicara apapun.

Ketika tiba giliran Nita untuk membayar barang belanjaannya, rupanya Elsie masih berdiri di samping meja kasir. Menatap Nita dengan tatapan benci. Nita memilih tersenyum kepada Elsie dan berinteraksi dengan Kasir seakan tidak ada apa-apa.

“Apa kabar, Elsie?” tanya Nita saat seluruh barang belanjaannya sudah dibayar. Diberanikannya diri untuk menghadapi Elsie. 

“Aku transfer yang tadi. Berapa nomer rekeningmu?” Elsie mengeluarkan ponselnya. 

“Sambil jalan saja ya. Di belakang kita masih banyak orang lalu lalang,” Nita tersenyum lagi lalu berjalan ke luar supermarket sambil menjinjing barang belanjaannya. Berbeda dengan Elsie yang membawa barang belanjaan menggunakan troli. 

Mereka berdua berjalan berdampingan dalam diam. 

“Nomor rekening?” Elsie mengulangi pertanyaannya. 

Nita menyebutkan nomor rekening yang sudah dia hafal di luar kepala. Elsie melakukan transaksi transfer dalam sekejap. “Sudah,” kata Elsie dengan sedikit ketus.

“Terima kasih,” Nita mengangguk tanpa menatap Elsie. Nita sudah bisa menerima jika Elsie akan meninggalkannya, pergi lebih dulu tanpa mengatakan apa-apa. Ternyata Elsie masih berjalan di sampingnya. 

“Anakku mengajak pacarnya ke rumah…” Elsie mulai berbicara. “Anakmu.” 

Nita mengangguk. “Aku tahu. Tapi mereka putus tidak lama setelah tahu semuanya. Bahwa kita berdua istri dari orang yang sama dan mereka adalah kakak beradik.” 

“Mereka…” Elsie menahan nafas. Nita berhenti melangkah untuk menatap Elsie. “Mereka bukan kakak beradik, Nita.” 

“Apa?” Nita mengernyit. Tidak mengerti. Bagaimana bisa Ian anak Reza tapi bukan kakak beradik dengan Liv. 

Elsie menarik nafas dan menghembuskannya. Saatnya dia berhenti untuk menyembunyikan semuanya. Saatnya dia berkompromi dengan semua kondisi yang terjadi dalam hidupnya. Demi kebahagiaan banyak orang.

“Biar aku jelaskan,” Elsie berkata dengan yakin. 

Elsie mengajak Nita menuju salah satu restoran dan memesan minuman. Begitu pula dengan Nita. Kedua wanita yang dulu berseteru itu duduk berhadapan, melakukan gencatan senjata. 

“Ian menolak pulang sejak aku mengusir putrimu dari rumah. Sudah enam bulan…” Elsie berkata dengan sedih. Jurus Elsie merayu Ian untuk pulang yang dulu selalu berhasil, sekarang tidak lagi. Ian hanya akan menanggapi dengan janji-janji bahwa ia akan segera pulang ke rumah. Kenyataannya tidak. Ian masih betah tinggal sendiri di Jakarta. Sesungguhnya Elsie mulai khawatir mengenai kondisi putranya setelah mengetahui kenyataan menyebalkan ini.

“Begitu pula dengan Liv. Dia selalu bilang dia sibuk,” kata Nita, juga dengan kesedihan dan kerinduan terhadap putri satu-satunya. Di telepon, Liv masih sering bertanya bagaimana kabar ibunya. Apa yang sedang beliau lakukan? Apa makanan yang Nita makan setiap hari? Topik mereka masih sama tapi nada suara Liv berbeda. Nita bisa mendengar putrinya menjadi lebih sedih, lebih memaksakan diri. Nita tahu bahwa berat rasanya bicara dengan ibunya yang sudah menyembunyikan rahasia besar. Sebuah rahasia yang menyebabkan Liv harus berpisah dengan orang lain yang juga ia sayangi dengan sepenuh hati.

“Ian mengatakan hal yang sama. Tapi aku rasa dia hanya marah dan kecewa pada orang tuanya,” Elsie perlahan menunduk.

“Dan pada kenyataan bahwa orang yang dia cintai adalah saudaranya sendiri.” Nita menambahkan. Bibirnya menyunggingkan senyum miris.

“Apakah Liv bercerita mengenai hubungan mereka?” tanya Elsie ragu-ragu, mengangkat kepalanya menatap Nita. 

Nita mengangguk. “Mereka tidak melakukan hal yang di luar batas, kalau itu yang kamu takutkan, Elsie. Mereka tinggal di apartemen yang sama. Liv pindah ke tempat baru dan rupanya Ian sudah tinggal lebih dulu di kamar sebelahnya. Awalnya mereka sering bertengkar tapi lama kelamaan mereka akrab dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Liv bilang kalau Ian sejak awal mengajaknya untuk serius. Bukan hanya untuk berpacaran.”

Elsie mengangguk pelan, lega bahwa putranya masih bisa menjaga diri meskipun sudah lama tinggal jauh dari keluarganya. Tapi sekarang putranya terasa lebih jauh. Ian sepertinya masih marah padanya. 

“Lalu yang kamu maksud tadi… apa, Elsie?” Nita mengernyit.

Elsie mengusap matanya. Kata-kata yang akan keluar dari mulutnya terasa berat. Seperti dia sudah tidak buang air besar selama dua minggu dan sekarang saatnya untuk mengeluarkan semuanya. 

“Aku tidak bisa punya anak, Nita,” kata Elsie akhirnya.

Nita terkesiap. Tidak pernah tahu kenyataan ini sebelumnya. Nita menggeleng dan menutup mulutnya. 

“Kamu tahu kan aku dan Reza dijodohkan? Demi nama baik dan harta keluarga,” Elsie menggeleng. “Padahal aku tahu pasti bahwa Reza masih sangat mencintai kamu. Aku sendiri saat itu tidak punya kekasih dan tidak keberatan dengan perjodohan itu. Reza orang yang baik. Aku tahu kalian masih bertemu beberapa kali tapi aku juga tahu bahwa dia tidak ada keinginan untuk berselingkuh. Hanya menjaga interaksi dengan orang yang dia cintai. Dia menjaga dirinya untuk menjadi suami yang baik, komitmen yang dia buat sendiri saat pernikahan kami berlangsung.” 

Nita hanya diam mendengarkan. 

“Setelah beberapa bulan aku tidak hamil juga, keluarga mulai mendesak. Berbagai cara agar hamil dilakukan dan ketika kami hampir putus asa, kami melakukan tes. Di situlah aku diketahui tidak dapat hamil,” Elsie mulai menitikkan air mata. Melihat itu membuat Nita merasa iba. 

“Kami tidak bisa tidak memiliki keturunan, Nita. Kami harus punya seorang anak. Putri tidak masalah, tapi putra lebih baik. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi Ian.” 

Nita menggeleng. Kenyataan ini terasa cukup meyakitkan di telinganya. 

“Ian adalah putra dari saudara jauhku. Dia hamil saat masih sekolah dan sebenarnya ingin melakukan aborsi saat diketahui hamil. Tapi dia berhasil mempertahankan bayinya. Sejak dilahirkan, Ian dirawat oleh kakek neneknya. Maka ketika kami menginginkan seorang bayi laki-laki, kami mengadopsinya, menambahkan namanya dari Ardiansyah saja menjadi Ardiansyah Chandra Tirtojoyo. Menghapus semua hubungan dia dengan keluarga sebelumnya dan benar-benar menjadikan dia seorang Tirtojoyo.” Elsie menyusut hidungnya. 

“Bersamaan dengan itu, Reza meminta ijin kepadaku untuk menikah lagi. Dia tahu bahwa dia tetap ingin memiliki keturunan sendiri. Reza memang menyayangi Ian tapi dia tetap ingin punya darah daging sendiri. Itulah kenapa kemudian dia mencarimu, Nita. Aku tahu soal pernikahan kalian. Aku tahu bahwa ayahmu tidak langsung setuju menikahkan putrinya dengan pria yang sudah menikah. Aku tahu Reza meyakinkan ayahmu untuk menikahkan karena Reza ingin memiliki keturunan secara sah. Aku tahu saat kamu hamil. Aku tahu saat kamu melahirkan. Aku tahu semuanya, Nita.” Elsie benar-benar menangis saat ini. Nita semakin iba. Dia menggeser kursinya dan memeluk Elsie dari samping. 

“Aku tidak marah. Aku tidak bisa marah. Reza tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Dia bertanggung jawab terhadap aku dan Ian. Berbeda dengan Liv. Dia tidak banyak menghabiskan waktu dengan putri kandungnya sendiri. Hanya saja sisi egois dalam diriku tidak bisa menerima bahwa dia membagi perhatiannya dengan wanita lain. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa kamu adalah selingkuhan Reza dan Liv adalah anak haram. Maafkan aku.” 

Nita hanya diam. Dia tahu bahwa dia hanya istri kedua. Dia tahu bahwa Reza selalu ingin mengatakan pada dunia bahwa Liv adalah putri kandungnya. Tapi Nita tahu dia tidak bisa. Reza sangat menyayangi Liv tapi Nita sadar bahwa mereka tidak punya banyak waktu bersama. Bahkan hingga akhir hayat Reza. Dulu, saat Reza masih ada dan hanya mengunjungi mereka seminggu sekali, Nita sering bertanya padanya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa seakan-akan dirinya yang berbuat salah? Jika Nita memilih pria lain, putrinya bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh. Bukan satu hari dalam tujuh hari. Bukan sembunyi-sembunyi.

Kemudian Nita menyadari bahwa dia begitu mencintai Reza. Tidak ada sehari pun dalam hidupnya berhenti mencintai pria itu. Tidak ada sehari pun Reza melupakan Nita dan Liv sejak Liv dalam kandungan hingga Reza menutup mata. Tidak ada sekali pun Liv merasa sedih saat bersama ayah yang hanya bisa ditemuinya seminggu sekali. Mereka berdua bahagia dengan Reza saat itu.

“Maafkan aku, Nita. Maaf,” Elsie menangis semakin deras.

“Sudah, Elsie, sudah. Yang lalu biarlah berlalu,” Nita menenangkan tapi dia sendiri mulai menangis. Cerita Elsie mengingatkan Nita pada Reza. Satu-satunya orang yang dia cintai sepenuh hati. Orang yang selalu memberikan banyak hal untuknya, kecuali waktu. 

“Aku merasa sangat bersalah…” kata Elsie di sela-sela tangisannya. 

“Kita harus bisa berdamai dengan masa lalu,” ujar Nita, menahan agar tidak menangis terlalu deras. “Sekarang, yang penting adalah membantu membahagiakan anak-anak kita.” 


*** 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?