Miserable Fate - 35
Magenta Zinnia
Kasih sayang abadi
“Lo mau ajak gue ke mana sih Feb?” Liv melongokkan kepalanya ke arah depan. Berusaha melihat ke mana mobil Febri ini mengarah. Tadi Febri bilang bahwa dia mau mengajak Liv ke suatu tempat tapi tidak bersedia memberi tahu kemana mereka menuju.
“Ada deh. Kalau gue kasih tahu, nanti nggak surprise,” Febri menatap Liv lalu tersenyum lebar.
“Gue nggak suka surprise begini. Dulu sih iya. Sekarang… bikin deg-degan tau,” Liv menjulurkan lidahnya sebagai bentuk protes. Febri malah menanggapinya dengan tertawa.
“Oke, saatnya kasih clue. Kita mau makan malam, sebagai perayaan kita udah 3 bulanan,” Febri menyerah.
Liv langsung tertawa. “Kayak ABG aja. Segala tiga bulanan doang dirayain.”
“Ya kenapa nggak? Lagian kita selama tiga bulan ini nggak sering ketemu. Lo sibuk kerja, gue juga. Masa ketemunya cuma pas meeting? Jadi sekarang mumpung kita ada waktu, juga ada momen penting, kita manfaatin aja kan?”
Menatap Febri, Liv mengangguk setuju. Ketika mobil yang ditumpangi Liv dan Febri menuju tempat parkir, Liv memandang keluar. Tidak terasa sudah tiga bulan dia resmi berpacaran dengan Febri. Tiga bulan berpacaran layaknya pasangan yang memang saling mencintai. Padahal Liv masih belum benar-benar menumbuhkan perasaan cinta pada pria di sebelahnya. Di matanya, Febri masih tetap sama seperti Febri yang ia anggap seorang teman. Liv tahu dia jahat karena memanfaatkan perasaan Febri untuk melupakan Ian. Kakaknya sendiri yang selama enam bulan ini tidak pernah memiliki hubungan sama sekali. Tapi—Liv mencoba membela dirinya sendiri—Liv juga berusaha menumbuhkan perasaan sayang kepada Febri. Waktu yang Liv butuhkan untuk menjadikan dirinya terbiasa berada di samping Febri, menerimanya menjadi pria satu-satunya.
“Ayo,” ajak Febri.
Liv kembali menghadap Febri. Mereka sudah memarkirkan mobil di salah satu slot parkir dan Febri baru saja mematikan mesin mobilnya. Ketika disadarinya Liv tidak bergerak, Febri mengernyit.
“Sakit perut?”
“Haha. Nggak,”
“Terus kenapa tiba-tiba diem?” Febri mendekatkan dirinya pada Liv dan tanpa meminta ijin, mencium Liv. Liv memejamkan mata dan membalas ciuman Febri. Selama beberapa saat mereka berciuman di dalam mobil, sedikit berharap tidak ada pengunjung atau petugas yang memergoki mereka.
“Gimana?” Febri mengelus bibir Liv.
“Apanya? Perasaan gue atau ciuman kita?”
Giliran Febri yang tertawa. “Maksud gue sih perasaan lo. Tapi kalau lo mau bahas ciuman kita, ya gue nggak ragu-ragu ngulang lagi supaya lo nggak lupa gimana rasanya.”
Liv mendorong pipi Febri menjauh. Tidak menanggapi godaan Febri, Liv memilih turun dari mobil. Febri mengikuti Liv turun dari mobil dan menggandeng tangan Liv. Mereka bersama-sama menuju lift.
Di dalam lift, Febri tampak asyik dengan ponselnya dan Liv tidak peduli. Toh mungkin Febri sedang mengurusi urusan pekerjaan. Pintu lift terbuka di lantai teratas. Liv melangkah keluar dan langsung menghadapi kafe dengan nuansa kalem dan musik yang menenangkan. Diperhatikannya seisi kafe ini dan Liv langsung suka. Febri yang memang pergaulannya luas selalu bisa memilih tempat yang Liv sukai.
“Suka?” Febri meraih pinggang Liv dan membimbingnya memasuki kafe lebih dalam.
“Suka. Bagus tempatnya. Atmosfernya enak,” jawab Liv tanpa melepaskan pandangan dari seisi kafe ini.
Febri mengajak Liv ke sebuah meja yang bertuliskan reserved. Tidak lama seorang waitress datang dan membawakan menu. Mereka berdua langsung sibuk memilih menu. Ketika sudah menentukan pilihan makan malam mereka, Liv dan Febri kembali saling menatap.
“Mau sampai kapan kita manggil satu sama lain dengan sebutan gue lo?” tanya Febri sambil mengagumi wajah Liv yang cantik di hadapannya.
“Ada yang salah dengan itu?” Liv tertawa pelan.
“Nggak, Liv. Cuma rasanya aneh aja. Kesannya kayak pacaran sama sobat lo sendiri. Ciuman sama sobat lo sendiri, making love…”
“Hey, yang terakhir nggak pernah ya!” Liv memperingatkan.
“Bukan berarti gue nggak ngajak ya. Hampir kejadian juga. Cuma lo aja yang batalin di tengah-tengah,” Febri berdeham. “Yah jadi kenapa nggak kita sedikit berubah?”
Liv menatap manik mata Febri beberapa lama. Febri balas menatapnya. Febri tidak pernah jadi pria yang menyebalkan (bahkan saat Febri mengajaknya bercinta dan Liv menolak, Febri tidak ada masalah dengan itu, hubungan mereka tetap baik-baik saja). Febri juga selalu jadi orang yang seru diajak mengobrol, bersedia melakukan hal-hal seru dan gila yang tidak Liv pikirkan. Seperti mengajaknya ke Jakarta Aquarium menggunakan busway alih-alih mobil sendiri. Mengubah panggilan seharusya tidak masalah kan? Lagipula ini sekaligus menunjukkan keseriusan Liv berhubungan dengan Febri.
“Oke,” Liv mengangguk.
“Oke apa, Sayang?” Febri tersenyum menggoda.
Liv tertawa. “Iya oke cuma manggil aku kamu doang kan?”
“Nah, bagus itu. Jadi makin berasa pacarannya kan,” Febri tersenyum lebar dan meraih tangan Liv.
Mereka lanjut makan dan mengobrol sampai tidak terasa tidak ada pengunjung lain di kafe ini. Liv baru sadar saat dia pergi ke toilet dan mendapati sekitar mereka sudah sepi.
“Feb,” panggil Liv sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Eh, ap-apa? Kenapa?”
“Udah mau tutup ya?” tanya Liv sambil duduk dan melihat arlojinya. “Masih jam 9 kok.”
“Hmm, nggak tahu sih,” Febri terlihat salah tingkah dan Liv jadi penasaran.
“Kamu kenapa sih?” Liv mengernyit. “Sakit?”
“Eh Liv, sini deh,” Febri berdiri lalu menarik tangan Liv. Mau tidak mau Liv berdiri walaupun dia masih tidak mengerti apa maksud perubahan sikap Febri ini.
“Apa? Kemana?” Liv masih tidak mengerti.
Febri mengajaknya menuju bagian lain kafe. Menuju sebuah pintu terbuka yang langsung mengarah menuju jembatan mungil. Di bawah jembatan itu sepertinya terdapat kolam yang diterangi cahaya lampu. Dari jauh saja Liv sudah bisa melihat cahaya berpendar-pendar. Semakin mendekati jembatan tersebut, langkah Febri semakin pelan, begitu pula Liv.
Febri memandang Liv lekat-lekat, menelan ludah, lalu mendorong Liv agar berjalan lebih dulu. Liv tidak mengerti apa yang terjadi tapi perasaannya mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang penting. Liv jadi gugup tapi memberanikan diri untuk melangkah.
Benar dugaan Liv. Di bawah jembatan itu ada kolam dengan lilin-lilin yang mengapung. Lilin ini yang menimbulkan pendaran cahaya yang dilihat Liv tadi. Lilin-lilin itu membentuk sebuah kalimat.
Will You Marry Me Liv?
Liv terkesiap. Refleks Liv menutup mulutnya. Ini nyata kah?
“SURPRISE!!!”
Liv semakin terkejut. Lampu terang membanjiri, rupanya sudah ada teman-temannya di samping kolam, Mel, Adam, pacar baru Adam, Crystal, Jamie, Jemima, Jade, Ori, Ben—sahabat Febri, bahkan Dimas, dan entah siapa lagi semuanya sudah ada di sana. Liv berbalik menghadap Febri, bermaksud memprotes kejutan ini. Apa yang dilihat Liv adalah Febri sedang berlutut dan mengulurkan kotak berisi cincin. Kalimat protes Liv tertelan.
“Mau menikah denganku?”
Liv masih bengong. Lama kelamaan dia menitikkan air mata haru dan perlahan tertawa. “Kamu gila ya.”
Febri hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Febri sepertinya tidak sanggup bicara apa-apa karena dia juga begitu gugup. Liv menikmati wajah gugup Febri tapi di sisi lain dia juga tidak tega melihat Febri seperti ini.
“Tolak! Tolak!” teriak Adam iseng. Semua orang langsung menjitak dan melemparinya. “Biar nggak grogi guys.”
Liv tertawa dan rupanya Adam bisa membuat Febri jadi lebih rileks. Saat kembali menatap Febri, Liv memutuskan. Saatnya dia benar-benar memulai sesuatu yang baru.
“Aku mau,”
“YEAAAAH!” Febri meloncat girang. Wajahnya berseri-seri. Liv tertawa semakin lebar. Tidak menunggu lama, Febri memasangkan cincin di jari manis Liv dan langsung memeluk Liv. Liv balas memeluk Febri dan mereka berciuman. Semua teman-teman mereka bersorak sorai.
***
Ian baru selesai mandi. Tubuhnya lelah karena pekerjaan di kantor dan beban di hati serta pikirannya. Mandi air dingin tidak membantu tapi setidaknya cukup mengurangi bebannya. Hal lain yang bisa membantunya mengurangi beban pikiran adalah dengan merokok. Oleh karena itu Ian mengambil rokoknya dan membuka pintu menuju balkon.
Baru satu kakinya berada di balkon, Ian mematung. Kepalanya menoleh ke sebelah kiri. Sudah enam bulan berlalu dan Ian masih saja berharap di balkon sebelahnya akan ada suara sumbang dari orang keras kepala. Namun harapannya tidak menjadi kenyataan. Si pemilik unit memberikan unitnya bagi anaknya yang baru berumah tangga. Ian bertemu mereka ketika mereka baru pindah, sebulan setelah Liv meninggalkannya.
Ian duduk di sofa dan mulai merokok. Pikirannya masih tidak bisa melupakan Liv. Apakah Liv masih memikirkan dirinya? Ian menghela nafas. Sesering apa pun mereka saling memikirkan, hubungan mereka tidak akan berhasil.
Tung.
Ian melirik layar ponselnya. Leo mentioned you in a comment. Ian mengambil ponselnya dan melihat pesan apa yang dikirimkan Leo kepadanya di Instagram. Rupanya Leo me-mention akun Ian di sebuah postingan 9gag. Ian tersenyum karena postingan tersebut sesuai dengan kondisi mereka di kantor. Setelah membalas komentar Leo, Ian mengembalikan layar ke home Instagram dan membuat Ian melihat sesuatu.
Crystal baru saja mengunggah sebuah foto. Ya, Ian jadi mem-follow akun Instagram Crystal tidak lama setelah berpacaran dengan manajernya dulu. Liv sendiri mem-block akun Instagram Ian begitu mereka putus. Tapi Ian tidak meng-unfollow akun Crystal. Kadang kala Ian sering mengintip demi mengetahui kabar Liv. Sesekali Liv muncul dalam post ataupun story Crystal.
Seperti saat ini. Foto yang baru diunggah Crystal berisikan banyak orang. Ian mengenali beberapa diantaranya. Caption foto itu yang menyita perhatian Ian 100%.
Tonight was a very wonderful night and must be one of the best night for my sister slash manager, Liv. Her boyfriend just proposed and she said YES! Dream wedding is about to come!
Nafas Ian rasanya berhenti. Ian menggeser foto-foto tersebut. Awalnya memang mereka foto beramai-ramai. Foto kedua adalah foto Crystal, Jamie, Liv, dan… Febri. Ian menggeser hingga foto terakhir, yang menampilkan Febri sedang mencium pipi Liv ketika Liv sedang memamerkan cincin ke kamera.
Ian melemparkan ponselnya ke sofa. Jadi Liv sudah bertunangan dengan Febri. Kali ini tidak ada yang bisa membuat pikiran dan hatinya jadi lebih baik.
***
Komentar