Miserable Fate - 28
Yellow Carnation
Kekecewaan
“Liv! Liv tunggu!”
Ian terus berlari dan mengejar Liv secepat dia bisa. Ian tidak bisa membiarkan Liv pergi seperti ini. Mendengar berita yang mengejutkan membuat Liv langsung menangis dan pergi darinya. Ian khawatir jika Liv tidak mampu mengontrol emosinya dan terjadi sesuatu di jalan. Lagipula Liv tidak boleh pergi begitu saja. Mereka harusnya mendengar penjelasan dari ibu Ian lebih detail. Supaya mereka tahu kenapa ibunya bisa berkata seperti itu.
Tanpa menghiraukan ibunya yang memerintahkan Ian untuk tetap berada di rumah, Ian terus berlari keluar dari rumahnya, menerobos pagar yang terbuka lebar, berlari ke jalanan besar, mencari kemana sosok yang dicintainya itu pergi. Liv tidak seharusnya berlari sekencang ini. Fisik Ian maupun kakinya lebih mampu untuk berlari lebih cepat dan bisa mengejar Liv tanpa kesulitan. Apa karena rasa gusar dan kecewa yang muncul pada diri Liv yang menyebabkan dia bisa kabur begitu cepat tanpa terduga?
Di jalan besar di luar komplek rumahnya, Ian benar-benar kehilangan Liv. Ditolehkannya kepala ke kanan dan ke kiri, Liv tidak terlihat sama sekali. Barisan taksi di depan ruko menambah kecurigaan Ian bahwa mungkin Liv menaiki salah satu kendaraan tersebut dan pergi. Pergi ke rumahnya atau entah dimana. Tempat yang tidak diketahui Ian. Liv bilang dia mau memberi kejutan mengenai lokasi rumahnya. Sekarang hal itu malah membuat Ian merasa terjebak karena ia jadi tidak tahu bagaimana mencari keberadaan Liv.
Tidak habis pikir, Ian langsung mengeluarkan teleponnya. Memencet nomor telepon yang berada paling atas dalam Recent Calls saking seringnya mereka bertelepon. Ian tahu bahwa kecil kemungkinan Liv akan mengangkat teleponnya. Tapi Ian tetap mencoba. Dia harus bisa membicarakan hal ini dengan Liv. Liv tidak bisa pergi begitu saja dengan segala macam pikiran yang mungkin berkecamuk di benaknya.
Lima kali menelepon, tidak ada respon sama sekali. Sepertinya Liv mematikan dering teleponnya atau sengaja mengabaikan Ian. Karena telepon ini tersambung tapi tidak kunjung diangkat. Ian mulai menyerah. Liv mungkin butuh waktu sendiri. Mencerna informasi mengenai ibunya yang dituduh sebagai wanita selingkuhan dan kenyataan bahwa ayahnya memiliki anak yang lain. Dimana anak lain itu adalahh pacarnya sendiri.
Ian tidak bisa membayangkan betapa sakit hati Liv. Karena saat ini pun Ian juga merasa sangat sakit hati. Sakit hati yang disebabkan oleh cerita ibunya.
Segera Ian memasukkan ponselnya ke saku celana dan langsung berlari kembali ke rumah. Ian harus mendengar penjelasan dari ibunya. Ibunya yang membuat segalanya jadi runyam.
***
“Den Ian,” Sapaan takut dan ragu Mbak Siti adalah yang pertama kali menyambut Ian begitu dia kembali berada di rumahnya.
Ian mengabaikan asisten rumah tangganya tersebut dan bergegas masuk lebih dalam ke bagian rumahnya. Tempat yang pertama kali didatanginya lagi adalah dapur. Dugaan Ian, ibunya masih berada di sana.
Suara langkah Ian yang keras dan tidak sabaran masuk ke indera pendengaran Elsie. Dia mengangkat kepalanya dari secangkir chamomile tea begitu mendengar suara putranya mendekat. Chamomile tea yang hangat dan melegakan mendadak terabaikan setelah beberapa saat lalu sanggup memberikan ketenangan bagi Elsie. Kenyataan bahwa putranya membawa pulang seorang perempuan dari wanita lain yang dimiliki suaminya cukup mengguncang jiwa dan raga Elsie.
“Tolong, jelaskan,” pinta Ian tepat ketika dia sampai di hadapan ibunya. Tidak perlu duduk, tidak perlu menunggu nafasnya kembali normal, tidak perlu menunggu teh yang diminum ibunya kehilangan asapnya.
“Gak ada yang perlu dijelaskan, Ian,” Elsie mendorong cangkir tehnya menjauh. Duduk bersandar di kursi dan melipat kedua tangannya. Tatapan Elsie pada putranya sekarang begitu tajam. Bahkan sedikit… kejam? Selama sekilas, Ian seakan tidak mengenal wanita separuh baya yang ada di hadapannya ini.
“Pasti ada yang bisa dijelaskan,” kata-kata Ian hampir terdengar seperti desisan. Hatinya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa Liv ternyata adiknya. Ian juga tidak mau mengakui bahwa ayah yang jadi idolanya selama ini ternyata punya istri lain selain ibunya. Bahkan sampai memiliki putri segala. Bagi Ian, itu semacam pengkhianatan yang sulit untuk dipercaya dan dimaafkan.
“Apa yang Mama bilang tadi kurang jelas apa lagi, Ian? Papa kamu selingkuh! Papa kamu kembali bersama mantan pacarnya! Mereka berhubungan, menikah di belakang Mama, sampai akhirnya punya seorang anak!” Elsie kembali dikuasai amarah. Hilang sudah ketenangan yang muncul karena chamomile tea itu. Elsie bahkan sekarang berdiri dari kursinya. Meskipun dia tidak lebih tinggi daripada Ian, tapi sanggup membuat Ian merasa terancam. Ibunya sama seperti dulu, bisa membuat seseorang menciut hanya dengan tatapan matanya. Saat ini, di hadapan Ian, tidak ada sosok Elsie Von Guttenberg yang bersemagat menjodohkan putra satu-satunya.
“Papa gak mungkin seperti itu! Papa orang yang baik! Dia gak mungkin selingkuh!” Ian tidak mau kalah. Belum pernah dia merasa penuh emosi negatif seperti ini.
“Tahu apa kamu tentang Reza?!” Elsie membentak. “Apa yang kamu ketahui tentang dia bahkan gak ada setengah dari kenyataan yang sebenarnya.”
Ian terperangah. Pertama karena ibunya yang sekarang terlihat seperti Medusa. Kedua karena dia dianggap tidak tahu apa-apa tentang ayahnya sendiri.
“Kalau begitu harusnya Mama menjelaskan! Harusnya Mama sampaikan semuanya kepada Ian. Ian satu-satunya anak Mama. Ian sudah dewasa. Ian laki-laki. Ian bukan anak kecil yang harus dituntut untuk mengerti suatu hal tanpa mengerti apa cerita di belakangnya!” Ian terkejut mendengar suaranya sendiri yang terdengar begitu jahat dan kasar. Selama hidupnya, Ian tidak pernah sekasar ini pada siapapun. Apalagi orang tuanya sendiri. Kenyataan mengejutkan yang membuat Ian bisa bicara sekejam ini. Sungguh di luar kebiasaan dirinya.
Elsie terdiam. Dia tidak langsung menjawab kata-kata putranya. Raut wajahnya bertambah satu ekspresi, sakit hati. Namun rasa sakit hati tersebut tidak mengurangi kemarahan di wajahnya.
“Papamu dan Nita sudah berpacaran bahkan sebelum menikah dengan Mama,” Kali ini Elsie bicara lebih tenang, tidak meledak-ledak seperti sebelumnya. Hanya saja Ian tetap bisa melihat bahwa ibunya ini begitu sakit hati. Matanya berkilat-kilat dan beberapa kali beliau menelan ludah.
“Nita, ibunya Liv?”
Elsie mengangguk. Dijatuhkannya tubuh kembali ke kursi yang sekarang terasa semakin keras. Elsie menunduk dan menutup wajahnya. Melihat itu, Ian jadi sedikit iba. Diturunkannya tingkat emosinya sedikit dan perlahan Ian duduk di hadapan ibunya.
“Mereka saling mencintai. Mereka tidak terpisahkan. Kecuali saat kakek dan nenekmu menolak Nita datang ke keluarga mereka,” Elsie melanjutkan.
Hati Ian rasanya semakin terobrak-abrik mendengar itu.
“Nita… bukan siapa-siapa. Tidak cocok untuk Reza,” Elsie menghela nafas. Tangannya dilepaskan dari wajahnya namun dia tetap tidak menatap Ian. “Mereka putus. Reza dijodohkan dengan Mama. Kami menikah. Kedua keluarga senang. Bisnis berjalan lancar. Kami setara.”
Ian menahan nafasnya. Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa kedua orang tuanya menikah karena paksaan seperti ini. Reza dan Elsie selalu jadi orang tua yang harmonis dan romantis di mata Ian. Pasangan suami istri yang menjadi patokan Ian dalam berumah tangga.
“Mama yang mencintai papamu meski kami dipaksakan menikah. Mama pikir papamu juga akan menumbuhkan rasa cinta kepada Mama sedikit demi sedikit. Kenyataannya, tidak. Papamu masih mencintai mantan pacarnya. Nita. Mereka kemudian menikah hingga Nita melahirkan seorang putri.”
Elsie menghela nafas dengan sangat berat. Setetes air mata berkumpul di sudut-sudut matanya. Elsie tidak berusaha menghapus air mata itu.
“Mama tahu. Mama tahu kemana Papamu pergi setiap hari Sabtu. Menemui keluarganya yang lain…”
Ian tercekat. Dia memang ingat bahwa ayahnya selalu memiliki ‘urusan penting’ setiap hari Sabtu. Ini membuat Ian hampir tidak pernah menikmati malam Minggu dengan ayahnya. Tapi Ian tidak bertanya dan tidak protes. Toh ayahnya selalu ada bersamanya di hari yang lain. Itu sudah cukup bagi Ian, untuk membuat Ian jadi anak yang bahagia tanpa kurang suatu apa pun. Jika saja Ian tahu bahwa ternyata ayahnya pergi menemui orang lain.
Sekarang ibunya menangis. Menangis penuh rasa sesal dan kesal. Ian—tidak seperti biasanya—hanya diam di tempatnya. Tidak menghampiri ibunya dan memeluk beliau untuk menenangkan. Ian hanyut dalam pikiraannya sendiri. Dirinya diliputi kekecewaan terhadap ayahnya sendiri. Juga ibunya. Ibunya yang menurut Ian sudah menyembunyikan hal yang begitu krusial seperti ini.
Ayah yang selama ini selalu Ian sayangi dan agungkan. Bahwa tidak ada ayah lain yang lebih hebat dari Reza Alamsyah. Seorang pengusaha terkenal, jujur, baik hati, tampan, dan sayang keluarganya. Kenyataannya yang tersembunyi di balik itu membuat kenangan indah yang Ian jaga tentang ayahnya sejak ayahnya tiada, rusak.
“Kenapa… harus begini?” Ian bertanya dengan lirih.
“Kenyataan tidak selalu membahagiakan, Ian,” kata Elsie dengan lirih.
“Saya mencintai Liv,” kata Ian pelan namun tegas. Ian mengangkat kepalanya untuk menatap ibunya. “Hanya kepada dia saya merasakan perasaan yang begitu dalam seperti ini.”
Elsie terperangah. Matanya berkilat-kilat, mulutnya membuka dan menutup. Seperti ingin bicara sesuatu tapi tidak bisa. Akhirnya Elsie memalingkan pandangan. Tidak bisa menatap putranya.
“Tidak bisa, Ian.” Hanya tiga kata yang diucapkan ibunya. Ingin rasanya Ian menolak dan membantah.
“Kenapa… tidak?” Ian kembali tertunduk.
“Tidak perlu orang jenius untuk bisa menjawab pertanyaan kamu,” Elsie mendengus. Ibunya kembali ke wajah tegas. Air matanya mendadak hilang entah kemana. Menguap begitu saja ditiup angin yang sesekali masuk ke rumah berkat ventilasi di dapur ini.
“Ayah saya adalah ayah Liv juga,” Ian mengatakan kesimpulan yang sedari tadi berusaha ia kesampingkan.
Elsie tidak menjawab apa-apa.
“Saya dan Liv bersaudara,” Ian berkata semakin pelan.
Elsie masih diam saja.
“Kami tidak bisa bersama,” Ian menutup monolognya.
“Ya.” Hanya itu yang Elsie ucapkan. Tegas, final. Ian yang sekarang menunduk menatap meja, bisa mendengar suara derit kursi. Pertanda ibunya pergi meninggalkannya sendirian di dapur ini.
Ian menghela nafas. Tidak sanggup untuk menunjukkan rasa sakit hatinya. Selain menunduk dan mengepalkan tangannya begitu keras hingga buku-buku jarinya berubah warna menjadi putih.
***
Komentar