Miserable Fate - 25

 Arbutus

Kamu yang kucinta

Perjalanan selama satu jam tiga puluh lima menit dimulai. Setelah aman berada di ketinggian dan diperbolehkan melepas sabuk pengaman, Liv kembali melirik ke sebelah kanannya. Ke arah Ian yang sekarang sedang memejamkan mata.

Baru sekarang Liv memperhatikan benar-benar penampilan Ian pagi ini. Rambutnya berantakan. Jauh lebih berantakan dari biasanya. Kacamatanya miring. Bajunya kusut. Sepatu sneakersnya tidak ditalikan. Matanya yang tersembunyi di balik kacamata, memiliki sedikit lingkaran hitam. 

Liv menghela nafas. Rasa marahnya menguap seketika. Tergantikan rasa khawatir dan iba. Melihat Ian yang seperti ini sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Pertama kali Liv bertemu Ian pun Ian seperti ini. Dengan pakaian yang seadanya, sepatu yang sesuka hati, rambut yang mencuat kesana kemari, dan kacamata. Hanya saja, sekarang Liv tahu bahwa dibalik penampilannya ini, hari ini Ian sudah bekerja keras. Dia pasti sangat lelah. Terus menerus marah karena Ian datang terlambat tidak akan ada keuntungannya. 

Memang Liv khawatir jika terjadi sesuatu karena Ian tidak membalas pesannya. Toh kenyataannya sekarang Ian sudah berada di sampingnya. Ian berada begitu nyata dan baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan. 

Dengan hati yang tidak lagi panas, keinginan Liv sekarang adalah membuat Ian merasa nyaman. Tanganya terulur untuk merapikan rambut Ian yang mencuat kesana kemari. Rupanya gerakan Liv membangunkan Ian. Dia menoleh ke sebelah kirinya. Menatap Liv dengan bingung. 

“Gimana kerjaannya? Udah beres?” Liv bersuara sebelum Ian bisa bicara apa pun. Nada bicara Liv jauuuuh berbeda dengan tadi. Sekarang terdengar lembut.

“Udah,” Ian tersenyum sekarang. Berani bicara tanpa perlu khawatir membangunkan singa tidur seperti tadi. Dalam hatinya dia lega karena Liv cepat sekali memaafkannya. Tidak perlu mengalami drama seperti wanita pada umumnya.

“Selesai jam berapa memang?” Liv masih melanjutkan merapikan rambut Ian. Ian diam saja diperlakukan seperti itu. Nyaman.

“Jam dua,” Ian menjawab lalu sedetik kemudian menguap. 

“Pantesan. Pasti masih ngantuk ya,” Liv benar-benar prihatin kali ini. Diam-diam dia merasa kasihan juga pada Ian. “Ya sudah, tidur gih.” 

“Gak apa-apa?”

“Kenapa harus apa-apa?” Liv mengernyit bingung.

“Nanti kamu ngambek karena gak ditemenin dalam perjalanan,” jawab Ian sambil memperbaiki posisi duduknya. Perlahan dia menaruh kepalanya di pundak Liv dan melipat kedua tangan di dada. “Kalau kamu gak keberatan.” 

Meskipun mereka pernah melakukan lebih dari sekedar duduk bersebelahan, tapi diperlakukan seperti ini tetap memberikan sensasi tersendiri bagi Liv. Bisa dirasakannya pipinya memanas. Tanpa bisa dicegah, bibirnya menyunggingkan senyum.

“Gak keberatan kok,” ujar Liv dengan lirih. Liv mengangkat tangannya dan mengelus pipi Ian. Pelan, pelan, dan pelan. Sampai Liv menyadari bahwa Ian benar-benar tertidur di pundaknya.


*** 


Liv rela membiarkan punggungnya kaku dan bokongnya seakan tidak berasa. Semua demi Ian yang tidur nyenyak di pundaknya. Dia tidak terbangun saat petugas mengantarkan cemilan bagi mereka. Dia tidak terbangun saat beberapa anak kecil di samping mereka mengobrol dan tertawa-tawa. Sepertinya Ian memang sangat-sangat lelah. Liv menghitung. Jika Ian baru tidur pukul 2 dini hari dan terbangun pukul 3 dini hari, berarti dia hanya tidur satu jam. Ditambah dengan waktu tidur yang tidak disengaja, berarti Ian hanya tidur dua jam. Jika Ditambah lagi dengan satu jam setengah, berarti Ian hanya tidur tiga jam setengah. Tetap saja tidak cukup untuk waktu tidur orang dewasa. 

“Kasian kamu. Dapet masalahnya di waktu gak tepat banget,” Liv berbisik pelan. Sengaja, Liv ikut bersandar juga ke arah Ian. Liv menaruh tangannya di kaki Ian dan mengelusnya perlahan untuk memberikan kenyamanan pada Ian. Tadinya Liv bermaksud mengelus tangan Ian. Sayangnya Ian masih pada posisi melipat kedua tangan di depan dada. 

Tanpa terasa rupanya satu jam setengah sudah berlalu. Padahal rasanya Ian baru saja memejamkan matanya. Pengumuman terdengar. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Seluruh penumpang diminta untuk mengenakan sabuk pengamannya kembali.

“Ian,” Liv menepuk pelan pipi pria di sampingnya ini. “Bangun. Sebentar lagi kita landing.”

“Hmm,” Ian menggumam tidak jelas. Matanya masih terpejam meskipun dia menarik tubuhnya untuk duduk tegak. Matanya baru setengah terbuka saat dia mengenakan sabuk pengaman. Matanya baru benar-benar terbuka saat mereka merasakan getaran dari roda pesawat yang menyentuh landasan.

“Nyampe?” tanya Ian dengan wajah mengantuk.

“Nyampe,” Liv sekarang tersenyum. “Turunnya tunggu orang-orang lain dulu aja ya.” 

Ian mengangguk dan menguap lagi. Dia meregangkan tubuhnya. Liv sampai bisa mendengar bunyi gemeretak beberapa tulang yang kaku. 

“Pasti di kantor tidurnya gak enak,” tebak Liv.

“Aku tidur di kursi,” Ian membuka kacamata dan memijat matanya. 

“Ya ampun,” Liv memegang pundak Ian dan memijatnya.

“Sebelahnya juga dong,” pinta Ian.

“Sini sini,”

Ian mengira Liv hanya bercanda. Nyatanya, ketika Ian menggeser tubuhnya, Liv benar-benar memijat pundak Ian. Memang tidak sebegitu ahlinya, tapi tetap membuat Ian lebih nyaman. 

Thanks anyway,” gumam Ian.

Anything for you,” Liv tersenyum.

“Kemana singa betina galak yang tadi marah-marah ya?” Ian mengangkat alisnya.

Liv tertawa. “Udah gak galak lagi. Luluh gara-gara liat singa jantannya tidur saking capeknya.” 

Wajah Ian berubah jadi cengengesan. “Makasih ya. Udah sepi nih. Yuk turun.” 

Ian kembali mengambil ransel milik Liv dan Ian yang disimpan di kabin. Mereka termasuk orang-orang yang terakhir keluar dari pesawat. Berbeda dengan saat mereka memasuki pesawat, mereka keluar sembari bergandengan tangan. 

“Kita gak dijemput. Mungkin perlu cari taksi,” usul Ian saat mereka berjalan bergandengan tangan.

“Kamu mau sarapan apa dulu gitu?” Liv menawarkan.

“Kamu lapar?” Ian malah balik bertanya.

“Nggak sih. Tapi kan kamu abis lembur. Mungkin butuh asupan gizi,” Liv menggeleng.

“Oh,” Ian mengangguk paham. “Cari roti gitu dulu gimana?”

“Dan kopi?” 

Ian tertawa. Memang ia butuh kopi yang pekat. Seperti yang biasa ia nikmati setiap pagi sehabis work out

“Ide bagus,” Ian setuju. 

Mereka berdua menuju salah satu kedai kopi yang sudah buka sejak pagi. Liv membiarkan Ian duduk dan dia yang memesankan roti maupun kopi bagi Ian. Ian memperhatikan gerak-gerik Liv yang lincah dan diam-diam tersenyum. Sungguh Ian memang tak salah pilih. Dari semua wanita yang ada di dekatnya, hanya Liv yang membuatnya merasakan hal yang tidak pernah ia rasakan. Liv juga yang menunjukkan ketertarikan kepadanya, terlepas dari seperti apa penampilannya.

Ian memperhatikan, Liv saat ini sedang mengobrol dengan pengunjung lainnya yang juga menunggu pesanan. Sepertinya seorang ibu muda yang usianya beberapa tahun di atas Liv. Liv dan ibu itu menoleh ke arah Ian dan membuat Ian kebingungan karena mendadak ditatap ketika dia sedang memperhatikan Liv. Ibu itu mengangguk kepada Ian dan dibalas dengan anggukan bingung. Mereka kembali mengobrol dan giliran Liv yang menoleh ke arah keluarga ibu tersebut. Rupanya dia datang bersama suaminya dan seorang anak balita yang sedang tertidur di stroller

Entah karena apa, Liv menghampiri stroller itu, menghampiri balita itu. Liv tersenyum dan sesekali kembali mengobrol dengan sang ibu. Ada satu momen ketika Liv memperhatikan balita itu dengan senyum terpampang di wajahnya. Dia tidak berkata apa-apa. Balita itu tidak berperilaku apa-apa. Liv hanya menatapnya. Terus menatapnya hingga Ian menyadari bahwa itu adalah tatapan mendamba. Bahwa kekasihnya ini sepertinya ingin memiliki seorang bayi juga. 

Ian menelan ludah. Bagi orang lain, diajak langsung menikah mungkin adalah hal yang menakutkan di awal-awal hubungan. Tidak sedikit orang yang khawatir untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius hanya karena mereka baru ‘sebentar’ berhubungan. Di sisi lain, banyak pula yang hanya berhubungan sebulan atau dua bulan dan memutuskan untuk melaju ke jenjang yang lebih serius. 

Hubungan Ian dan Liv memasuki bulan kedua, meskipun pada faktanya mereka sudah mengenal lebih dari itu. Usia mereka pun sudah bukan usia yang tidak layak untuk menikah. Ditambah dengan pemandangan di depannya sekarang dan ingatan Ian akan interaksi Liv dengan anak kecil lainnya. Kekasihnya ini memang menyukai anak-anak.

Sebuah pemikiran melintas di benak Ian. Sesuatu yang sebenarnya sudah pernah ia pikirkan sebelumnya. Hal tersebut semakin diperkuat saat ini. Ketika Ian melihat Liv berada di dekatnya hari ini. 

Ian akan terus menjaga Liv. Ian akan terus membuat Liv berada di sisinya. Ian akan membuat Liv bahagia bersamanya. Ian tidak akan melepaskan Liv. Ian akan berusaha keras memenuhi semua kebutuhan Liv dana pa pun yang Liv inginkan. Semua ini karena satu hal.

“Ada apa? Kok ngeliatin aku kayak gitu?” Liv menghampiri meja dengan membawa dua gelas kopi dan dua buah roti untuk sarapan mereka.

Ian menggeleng dan tersenyum. 

Liv menggerakkan kepalanya tapi tidak bertanya lebih jauh. Dia memilih untuk menata sarapan mereka agar mudah dimakan. Di mata Ian, gerakannya begitu anggun. Bahkan setelah perjalanan subuh selama satu setengah jam, di matanya Liv masih tetap terlihat prima dan segar. Bukan karena make up, karena sekarang wanita di hadapannya tidak mengenakan make up kecuali sedikit lip gloss di bibirnya. Rambutnya pun diikat ekor kuda seperti biasanya.

“Tuh kan ngeliatinnya gitu lagi. Kenapa sih?” Liv mulai cemberut karena bingung atas sikap Ian. 

Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Liv, Ian malah mencondongkan tubuhnya. Tangannya terulur dan mengelus pipi sang kekasih. Melihat gelagat Ian, Liv jadi semakin bingung. 

“Aku sayang kamu, Liv. Sungguh,” kata Ian dengan sepenuh hati. Sejujur yang bisa dia rasakan. Setulus yang bisa dia ungkapkan. Selugas apa yang seharusnya. “I want to spend my lifetime loving you.”

Sentuhan Ian di pipinya, ucapan Ian di hadapannya, dan tatapan Ian yang lurus menuju matanya sendiri, membuat Liv yakin bahwa kata-kata Ian itu bukanlah mengada-ada. Semua hal itu membuat Liv merasakan ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Dengan pipi yang memerah bukan karena udara dingin, dengan mulut yang mengeluarkan tawa bukan karena lelucon, dengan tangan yang gemetar karena terlalu bersemangat, Liv membalas tatapan Ian. 

“Aku juga,” Liv membalas.


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?