Miserable Fate - 23

 Begonia

Waspada

Liv dan Ian duduk di karpet apartemen Ian. Keduanya berpakaian santai, suasana menyenangkan, di samping mereka ada beberapa cemilan dan minuman, ditemani sayup-sayup suara televisi yang disetel dua volume sebelum sunyi sama sekali. Di hadapan Liv dan Ian tersebar beberapa foto dan kertas yang dipenuhi coretan. 

“Aku anak tunggal, ayahku meninggal sewaktu aku kuliah, dan lebih baik tidak membicarakan beliau. Bukan karena beliau kejam atau bagaimana, tapi karena, yah, aku belum benar-benar bisa mengingat beliau tanpa merasa sedih sama sekali,” Ian tersenyum kecut.

“Aku paham kok. Ayahku juga sudah tidak ada dan aku selalu kangen ayahku. Jadi kita simpan saja kenangan mengenai ayah kita masing-masing ya,” Liv meremas tangan Ian untuk menguatkan.

“Oke aku lanjutkan lagi. Ini ibuku, Elsie. Elsie Von Guttenberg,” Ian menunjuk sebuah foto yang hanya menampilkan dirinya dan seorang perempuan. Sepertinya mereka sedang berada dalam sebuah acara formal. Karena wanita tersebut mengenakan kebaya dan Ian sendiri mengenakan jas. 

“Nama mamamu kayak orang Belanda, Yan,” Liv berceletuk kemudian bergantian melihat foto tersebut dan wajah Ian yang asli. 

Ian tertawa. “Memang. Nenekku noni Belanda. Tapi sepertinya darah Belanda gak muncul di wajahku. Orang bilang aku lebih mirip ayahku.” 

“Begitu,” Liv mengangguk. 

“Keluarga mamaku lebih banyak tinggal di luar negeri. Belanda, Singapura, dan New York,” Ian melanjutkan.

“Wow,” Liv berseru sambil memegang pipi dengan kedua tangannya.

“Berlebihan kamu,” Ian menoyor kening Liv sambil tersenyum tipis. “Sedangkan keluarga ayahku tinggal di Jogja. Jadi kalau kita ke Surabaya nanti, yah, sebenarnya kamu hanya akan bertemu mamaku.” 

“Gak apa-apa. Kayaknya aku juga belum siap-siap banget kalau langsung ketemu sama seluruh keluarga besar kamu,” Liv mengelus dadanya seakan memberi kekuatan dan kesabaran untuk dirinya sendiri.

“Tapi nanti mungkin ada saatnya, Liv,” Ian berbisik lirih.

“Nanti aku lebih siap,” Liv tersenyum memamerkan giginya. Ian mengangguk saja. “Mamamu orang seperti apa?” 

“Hmm,” Ian memegang dagunya. “Mama adalah orang yang tegas. Saking tegasnya kadang bisa disalah artikan sebagai galak. Tapi aku yang sejak lahir tinggal dengan mama, tahu bahwa beliau tidak segalak kelihatannya. Di balik kata-katanya yang mungkin sedikit tajam, pasti terselip makna dan maksud yang baik.” 

“Aku bisa bayangin. Semacam…hmm, mungkin kamu hujan-hujanan terus pas pulang mama kamu ngomel-ngomel karena takut kamu sakit?” 

“Iya, semacam itu.” Ian tersenyum. “Memang pernah kejadian. Mama bilang ‘mama tuh takut kamu sakit. Takut kamu kenapa-kenapa karena kalau hujan itu, pandangan suka gak jelas. Kalau gak sengaja ketabrak gimana?’ Ngomongnya galak tapi ekspresinya sedih.” 

“Ya ampun, gemes,” Liv terkikik.

“Sekarang sih ketawa. Dulu tetep aja panik juga,” Ian nyengir. Ian lalu menunjukkan foto lainnya. Sebuah foto ibunya di hadapan sebuah mall. Wajahnya terlihat semakin tegas namun tetap cantik dan aura kepemimpinannya menguar. Sepertinya foto ini diambil beberapa tahun lalu, karena di situ Tante Elsie terlihat lebih muda dari foto pertama yang Ian tunjukkan.

“Ini dimana?” 

Ian menyebutkan sebuah nama mall yang membuat Liv mengernyitkan kening. “That mall belongs to our family,” Ian nyengir.

“Er, what?” Liv benar-benar tidak menyangka. 

Ian menggaruk kepalanya lalu bersandar di sofa. Kali ini dia bicara sambil menatap foto itu. Tidak berani melihat Liv. “Almarhum kakekku dari pihak ibu punya beberapa bisnis di sini. Bisnis yang kemudian digabungkan dengan bisnnis kakekku dari pihak ayah. Sebelum menikah, mama diminta kakek mengurus mall dan segala tetek bengeknya. Sejak punya aku, beliau memutuskan untuk bekerja dari rumah, mengurus anak satu-satunya. Bisnis mall yang dia punya sekarang diurus oleh adik ayahku yang tinggal di Jogja. Bisa dibilang sekarang mama tinggal ongkang-ongkang kaki.” 

Sekarang Ian tertawa kaku. Berbeda dengan Liv yang mengangkat alisnya dan terbengong-bengong. Ian cepat-cepat menutup mulutnya. 

“Pokoknya kamu gak usah khawatir. Begitu kenal kamu, Mama pasti suka kamu. Kalian pasti langsung akrab,” Ian merangkul Liv dan mengelus lengannya.

“Aku harap begitu yah, Yan. Gak gampang lho mengambil hati seorang ibu. Apalagi oleh perempuan yang berusaha ‘mengambil’ anak laki-laki satu-satunya,” Liv memiringkan bibirnya. Perasaannya mendadak tidak karuan saat harus bertemu dengan ibu dari kekasihnya ini. Apalagi setelah mendengarkan penjelasan Ian lebih dalam.

“Jangan kebanyakan mikir,” Ian lagi-lagi menyentil kening Liv. “Bersikap biasa saja. Kayak ke aku.” 

“Kayak ke kamu? Awal-awal kenal kita berantem mulu. Kamu mau aku kayak gitu juga ke mama kamu?” 

“Ah,” Ian mendengus. “Gak sih.” 

“Teruuus?” 

Do your best self aja, Liv,” Ian mengacungkan jempolnya.

“Oke,” Liv menempelkan jempolnya ke jempol Ian dengan malas. 

“Kalau begitu sekarang giliran aku ya,” Liv mengeluarkan ponselnya. “Aku gak punya foto-foto cetak keluargaku kecuali yang dipajang di kamar. Tapi aku gak minat copot semua piguranya dan bawa ke sini.” 

Ian mengangguk dan tertawa. “Iya, gak masalah.” 

“Nah ini mamakuuu. Mamaku paling kucinta.” Wajah Liv langsung berubah saat menceritakan ibunya. Lebih ceria dan lebih ‘berisik’. “Nita Adinda. Namanya sama iritnya seperti namaku.”

“Nita Adinda dan Olivia Anindya?” 

“Yep. Nama mamaku sederhana, sama seperti kepribadiannya. Berbanding terbalik dengan aku, kepribadianku gak sesederhana namaku,” Liv memandang foto dirinya dan ibunya, tersenyum haru. Wajah Liv dan ibunya begitu mirip. Tak perlu dijelaskan pun orang—orang akan tahu bahwa mereka memiliki hubungan darah. 

“Yeah, kamu kan galak, berisik, keras kepala…”

“Ssst. Diterusin nanti kamu malah ngomongin semua kejelekan aku. Kapan aku jelasin soal Mama?” Liv menempelkan jari telunjuknya di bibir Ian sambil menggeleng kuat-kuat.

“Mamaku orangnya asli kaleeeeem banget. Kalau anaknya bandel, yaitu aku, alias anak satu-satunya, beliau pasti cuma menghela nafas, pasang muka sedih, terus gak ngomong apa-apa. Tapi sekalinya ngomong, terlalu sedih dan bikin menyayat hati. Sampai akhirnya aku gak tega lagi buat nakal.” Sudut-sudut bibir Liv menekuk ke bawah.

“Contoh?” 

“Hmm,” Liv mengetuk keningnya. “Waktu aku nyuri gorengan di kantin sekolah.”

“Kamu nyuri gorengan?” Ian berseru kaget tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. 

“Ish ketawanya biasa aja dong.” Liv pura-pura cemberut. “Waktu itu aku lupa bawa uang jajan yang udah dikasih sama Mama. Di sekolah, aku lapar banget asli. Jadi aku ambil gorengan diam-diam. Aku udah niatkan kok untuk bayar pas nanti punya uang. Tapi… namanya anak kecil, aku lupa.” 

Ian masih terus tertawa. 

“Singkat kata, sore itu aku langsung mules. Karma kali ya. Mama dan kakek panik, aku langsung dibawa ke rumah sakit dan katanya aku keracunan.” Liv sekarang ikut tertawa. 

“Segitunya?” Ian mengeryit.

“Iya. Gabungan antara makanannya memang gak bersih, perut aku yang lagi kosong banget, sama kena karma karena nyuri. Akhirnya aku bilang deh aku beli gorengan tapi belum bayar.” 

Ian masih berusaha menahan tawanya karena sekarang memasuki bagian yang cukup sedih. 

“Wajah mama makin sedih, terus dia bilang gini, ‘Maafin Mama ya Liv. Mama gak merhatiin kesehatan kamu. Sampai-sampai kamu terpaksa jajan sembarangan.’ Kan aku jadi sedih yaaaaaa…..” 

Sekarang Ian tersenyum lebar melihat wajah Liv yang penuh ekspresi. “Alhasil aku berikrar pada diri sendiri pokoknya gak boleh lupa bawa uang, kalau jajan harus yang bener, dan gak boleh nyuri lagi. Gak tega liat wajah Mama soalnya.” 

“Untung kamu cepet tobatnya. Padahal masih kecil,” Ian terkekeh.

“Begitulah. Pokoknya aku paling gak bisa ngecewain orang tua, mamaku apalagi.” Liv tersenyum haru sekali lagi. Mengelus foto dirinya yang sedang memeluk sang ibu dari belakang. “Karena itu juga, meski aku tinggal jauh dari ibuku, aku gak bisa ‘nakal’.” 

“Maksudnya?” 

Liv menoleh menatap Ian dengan tatapan yang penuh arti yang dalam. “Aku gak bisa nakal. Meskipun aku kerja di lingkungan public figure, artis, influencer, dan lain sebagainya, aku adalah anak yang paling baik.” 

Ian tetap mendengarkan dengan cermat. 

“Aku gak pernah minum-minuman keras. Aku gak pernah narkoba. Aku gak pernah clubbing, live music dikesampingkan ya. Aku juga bukan penganut free sex,” Liv nyengir malu. “Tapi kalau cium gak apa-apa ya. Hehehe.” 

Kali ini Liv tersenyum malu-malu. Tangannya bergerak-gerak.

“Kamu gak…keberatan?” 

Ian malah tersenyum tulus mendengar itu. “Nggak. Malah aku bangga. Aku juga… berpikir hal yang sama. Menjaga diri untuk orang tuaku” 

Liv terharu mendengar tanggapan Ian. Lebih terharu lagi ketika Ian mencium keningnya lama. Liv tahu bahwa dia tidak salah menjatuhkan pilihan pada si cupu berkacamata ini. 

Thank you,” bisik Liv. 

“Lalu apa aktivitas ibumu?” Ian melongok ke layar ponsel Liv. 

Liv, yang sekarang bersandar di pundak Ian, menggeser layar ponselnya untuk menunjukkan foto-foto lainnya. Ada foto Liv dan ibunya di pantai, ada Liv dan ibunya mengenakan kebaya seragam, ada Liv dan ibunya di photobox, ada Liv dan ibunya sedang selfie dengan wajah konyol. Hanya Liv saja tentu, ibunya hanya menatap putrinya dengan heran. 

“Mama PNS di Pemkot. Yah, lumayan untuk menyibukkan diri. Masih beberapa tahun lagi sih sampai pensiun. Kalau pensiun katanya nanti mau bantu ngurus cucu aja,” Liv terkikik. 

“Begitu?” Ian tersenyum. “Saudara-saudaramu yang lain?” 

“Aku gak punya kakek nenek. Paman dan bibi semuanya tinggal di Surabaya. Tapi nanti kamu gak akan aku ajak ketemu paman bibi. Ribet pasti. Harus bikin appointment dulu,” Liv menolehkan wajahnya. Menaruh dagunya di pundak Ian sehingga sekarang wajah mereka berdekatan. 

“Hmm, oke. Mendengar cerita kamu, kayaknya lebih mudah aku ketemu mamamu daripada kamu ketemu mamaaku,” Ian mengangkat alisnya.

“Sepertinya begitu. Kamu gak grogi bakal ketemu mamaku?”

Ian tertawa lagi. “Grogi, tapi yah aku usahakan tampil sebaik mungkin.”

“Good luck for me then,” Liv berkata geli dan gugup pada saat yang bersamaan. 

You can do it,” Ian menyemangati. Sedetik kemudian Ian menempelkan bibirnya di bibir Liv. 

Liv membalas ciuman itu. Ciuman lembut yang membuat dirinya seakan dialiri listrik. Tangan Liv yang memegang ponsel sekarang melepaskan ponselnya karena kedua tangannya ia alihkan untuk menakup pipi kekasihnya. Liv mengalihkan ciumannya ke pipi Ian, bergeser naik seiring Ian juga mencium dagunya…

“Aduh,” Liv mendadak mundur.

“Eh kenapa?” Ian terkejut. 

“Kepentok kacamata,” Liv mengelus pipinya. “Kayaknya kalau mau cium, kacamata kamu buka dulu deh.” 

Lagi-lagi Ian tertawa. Berkebalikan dengan Liv yang cemberut dan menggosok pipinya. Namun demikian, Ian melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya di atas meja. 

“Sini,” panggil Ian lagi. 

Senyum Liv mengembang lalu kembali mendekati kekasihnya. Kembali mencium bibir Ian, merambat hingga ke pipi, ke telinga, kemudian ke kening Ian ketika Ian sedang mencium leher Liv. Liv menarik nafas panjang lalu mendorong pelan tubuh Ian. 

“Cukup,” Liv memegang pundak Ian dan tersenyum tipis, seakan mengingatkan. 

“Ah. Iya bener. Tapi… eh, er, aku permisi dulu,” Ian mendadak berdiri. Sambil memegang bagian bawah tubuhnya, dia berjalan susah payah ke kamar mandi. Liv mengerti suatu hal yang mungkin disebabkan ciumannya. Kali ini giliran Liv yang tertawa terbahak-bahak menertawakan kekasihnya. 


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?