Miserable Fate - 24
Stephanotis
Berjalan-jalan
“Aku harus bawa baju berapa banyak?” tanya Liv di telepon. Ian yang sedang berada di meja kerjanya di kantor, mengernyit heran. Ian menjauhkan teleponnya untuk melihat nama penelepon. Setelah memastikan bahwa yang meneleponnya adalah benar si pacar, Ian kembali menempelkan benda tersebut ke telinganya.
“Liv? Baju? Buat apa?” Ian masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba Liv menelepon dirinya, di siang hari bolong, dengan suara penuh kepanikan.
“Buat ke Surabaya,” jawab Liv yang terdengar gemas. “Kita… mungkin akan ada makan malam atau semacamnya gitu?”
“Hah gimana?” Ian malah makin kebingungan dengan pertanyaan Liv. Mereka kan hanya akan ke Surabaya, yang notabene adalah kampung halaman masing-masing. Mereka juga tidak merencanakan untuk makan malam romantis atau apapun.
“Ah sudahlah. Aku aja yang panik kayaknya. Gak jadi, gak jadi,” Liv jadi sewot sendiri. Sedetik kemudian telepon ditutup.
“Lah?” Ian menatap layar teleponnya dengan bingung. Daripada semakin membingungkan dan mungkin menimbulkan kepanikan, Ian menelepon balik Liv.
“Kamu lagi packing?” Pertanyaan Ian sesaat setelah Liv mengatakan halo.
“Nggak. Aku, Crys Ori, dan Jemima lagi jalan-jalan di mall. Aku cerita sama mereka kalau aku mau ke Surabaya dan ketemu mama kamu. Mereka bilang aku harus persiapkan berbagai jenis pakaian. Makanya aku tadi tanya aku harus bawa baju berapa banyak,” Liv terdengar malu sekaligus sebal.
“Oh gitu,”
“Iya. Mereka bilang, mungkin kamu bakal ajak aku dinner sama mamamu atau gimana. Makanya aku harus pakai baju formal.” Liv tertawa garing. “Aku kepedean ya? Maaf ya, emang mereka kadang suka racun.”
Ian tersenyum walaupun tidak bisa dilihat oleh Liv.
“Sejujurnya, aku juga gak berpikir ke sana. Maaf ya,”
“Eh gak apa-apa. Kenapa jadi kamu yang minta maaf deh?”
“Aku cuma berpikir kita ketemu mamaku, kemudian ngobrol. Setelah itu kita ketemu mamamu, ngobrol juga. Makan malam rame-rame, tapi gak perlu di tempat yang mewah. Jadi gak perlu dress up segala.”
“Oooh,” Liv berseru lega. Ini lebih baik daripada yang Liv bayangkan daripada dikompori oleh cewek-cewek di belakangnya. “Oke. That’s much better.”
“Syukurlah kalau begitu,” Ian juga terdengar lega.
“Aku bawa ransel gak masalah? Kamu bakal malu gak jalan di sebelah aku?”
Ian malah tertawa lebih dulu daripada menjawab pertanyaan Liv. “Selama kamu pake baju, aku gak malu lah, Liv.”
“Heh bandel ya!” Liv pura-pura marah.
“Hey, it’s an old jokes,” Ian membantah, masih tertawa.
“I know,” Liv ikut tertawa.
***
Liv begitu bersemangat sekaligus deg-degan menghadapi keberangkatannya ke Surabaya besok. Bertemu ibunya saja tidak membuat Liv bersemangat seperti ini. Bertemu ibu dari pacarnya yang membuat Liv bersemangat sekaligus gugup. Hari Jumat, Liv ijin pulang kantor lebih cepat agar bisa mempersiapkan diri sekaligus mengecek ulang barang bawaannya untuk dibawa dalam flight dini hari besok.
Begitu sampai di kamarnya, Liv mengeluarkan daftar barang bawaan dan melakukan pengecekan ulang atas barang-barang yang sudah ada dalam tas ranselnya. Ketika semua benda sudah berada di tempatnya, Liv menghela nafas lega. Saatnya tidur cepat untuk bangun cepat pula. Supaya tidak terlambat menaiki pesawat.
Malam itu Liv baru menyempatkan diri menghubungi Ian untuk memastikan jam keberangkatan mereka dari apartemen. Sedari awal, Liv berpikir bahwa mereka pasti akan berangkat bersama-sama.
“Halo,” terdengar suara Ian dengan nada yang lelah.
“Halo, Ian, kamu kok kayak capek gitu?” tanya Liv dengan bingung.
“Yah begitulah. Masih ada yang dikerjakan. Ada apa, Liv?”
“Besok kita pergi jam berapa dari sini?” Liv kembali terdengar ceria.
“Eh…” Keheningan tiba-tiba melanda. “Aku belum bilang ya?”
Perasaan tidak enak menjalar dalam diri Liv. Berbagai pikiran buruk menjalar di kepalanya. Liv mulai khawatir jangan-jangan Ian membatalkan keberangkatan mereka?
“Bilang… apa?” Liv bertanya dengan takut.
“Aku berangkat ke bandara dari kantor,” kata Ian dengan tidak enak.
“APA?!” Liv benar-benar berteriak. “Kok bisa?!”
“Maaf. Ada glitch di beberapa software perusahaan. Harus bisa diselesaikan sebelum Senin. Normalnya diselesaikan akhir pekan, sewaktu gak ada yang pakai semua software itu. Tapi karena akhir pekan aku harus berangkat ke Surabaya, jadi ya mau gak mau harus kuselesaikan malam ini.”
“Ya ampun. Bisa-bisanya kamu ya,” Liv mendengus beberapa kali. “Mau flight subuh tapi malah nginep di kantor. Ya ampun, ya ampun.”
“Maaf, maaf. Aku pasti sampai di bandara tepat waktu kok,” ujar Ian.
“Bukan itu masalahnya,” Liv berkata dengan sedikit membentak. “Kenapa kamu gak bilang dari kemarin? Atau tadi deh. Kalau gitu kan aku bisa ikut ke kantor kamu. Kita tetep berangkat barengan.”
“Kamu ke kantor aku nanti istirahat di mana Liv?” Ian berkata dengan lesu.
“Di mana aja bisa kok. Yang penting kan…”
“Sudah,” Ian memotong. Liv langsung menutup mulutnya. “Sudah hampir jam 11. Masih banyak yang harus aku selesaikan. Kamu juga butuh tidur. Lebih baik kamu tidur sekarang, besok begitu kamu bangun, segera telepon aku. Khawatir aku juga ketiduran. Oke?”
Liv tidak langsung menjawab. Bibirnya cemberut. Dia masih merasa kesal karena Ian tidak memberitahu mengenai hal sepenting ini. Bah di mana bentuk perjalanannya kalau ternyata mereka berangkat ke bandara sendiri-sendiri? Padahal mereka tinggal bersebelahan.
“Ya udah terserah,” Liv memutus telepon lalu menarik selimut hingga ke kepalanya.
Di kantornya, Ian menatap ponselnya. “Wanita dan kata-kata saktinya. Terserah,” Ian menggeleng. Lebih baik sekarang kembali fokus pada alasannya untuk lembur.
***
“Bangun!” seru Liv begitu Ian mengangkat teleponnya. Pukul 3 dini hari.
“Sebentar lagi,” balas Ian dengan suara masih mengantuk.
“Bangun sekarang, Iaaaaaan. Nanti kamu kesiangan!” Liv hampir berteriak. Untunglah di sekelilingnya tidak akan ada tetangga yang terganggu. Kecuali tetangga yang sekarang ada di ujung telepon dan memang ingin Liv ganggu supaya terbangun.
“Iya iya ini aku bangun,” suara Ian terdengar lebih mantap walaupun masih serak dan mengantuk.
“Mandi mandi. Nanti jangan terlambat ya,” ancam Liv lagi. Setelah memastikan Ian benar-benar sadar, Liv menutup teleponnya dan segera berlari menuju kamar mandi.
***
Panggilan untuk penumpang pesawat Garuda pukul 05.30 dari CGK menuju SBY sudah terdengar beberapa kali. Antrian yang semula padat sekarang hanya tersisa beberapa orang. Liv bahkan belum mulai mengantri dan memperlihatkan boarding pass-nya karena orang yang dia tunggu belum juga datang. Perasaan Liv semakin tidak tenang, jantungnya berdegup kencang, keringat mulai menetes di keningnya. Liv paling tidak suka memiliki perasaan ini. Khawatir ditinggal pesawat atau kereta bukanlah sesuatu yang ia senangi. Bahkan terlambat masuk ke bioskop saja Liv tidak suka. Apalagi kalau harus ketinggalan pesawat. Karena orang lain pula!
Liv sudah menelepon untuk yang kesejuta kalinya namun tidak ada satupun yang diangkat oleh Ian. Ini semakin membuat Liv kesal dan khawatir. Khawatir terjadi sesuatu pada Ian tapi lebih banyak kesal karena Ian tak kunjung datang. Sekarang Liv terpikirkan untuk masuk ke pesawat sendirian. Biarkan saja Ian tertinggal pesawat meskipun Liv sudah melakukan check in online untuknya dan untuk Ian.
Liv menghitung dalam hati. Sudah 10 menit menuju pesawat lepas landas. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika dalam hitungan 10 Ian tak kunjung datang, Liv akan pergi.
10, 9, 8… Liv masih tidak melihat tanda-tanda Ian.
7 koma 5, 7, 6 koma 5… Antrian menuju pesawat sudah semakin kosong.
6, 5 koma 5, 5, 4 koma 5… Liv menghela nafas. Bahkan di sekitarnya pun sepi.
4, 3 koma 5, 3, 2 koma 5… Liv mengangkat ransel dan mengaitkannya di pundak.
2, 1 koma 5, 1… Tekad Liv sudah bulat. Dia akan berangkat sendiri.
Dengan langkah tegas karena mengejar pesawat sekaligus kesal karena Ian tidak muncul juga, Liv menuju gerbang pemeriksaan terakhir. Liv menunjukkan boarding pass-nya dan tanpa menoleh ke belakang, memasuki pesawat. Ia akan memarahi Ian di lain kesempatan.
Begitu sampai di Surabaya, Liv akan langsung menghubungi ibunya. Mengatakan bahwa dia akan segera pulang ke rumah. Liv membawa ranselnya menyusuri lorong, mencari nomor tempat duduk sesuai dengan nomor kursi yang dia pilih.
Begitu sampai di Surabaya, Liv akan kembali menelepon Ian atau mengirimkan pesan berisi kemarahan kepada si pacar yang PHP. Liv menemukan kursinya dan membuka tutup kabin untuk menaruh ranselnya.
Begitu sampai di Surabaya, Liv akan…
“Maaf terlambat,”
Dengan dramatis, Liv menoleh ke samping. Mencari tahu siapa yang membantunya mengangkat ransel untuk menaruhnya di kabin. Ransel itu tersimpan di kabin dengan mudahnya. Berbanding terbalik dengan Liv yang susah payah mengangkat ranselnya sendiri.
Rupanya Ian yang berdiri di situ. Nafasnya terengah-engah. Bibirnya separo tertarik ke samping. Seperti berusaha tersenyum namun ragu.
“KAMU KEMANA AJA?” Liv langsung berteriak. Semua orang menoleh ke arahnya dengan kaget.
“Liv,” Ian terkejut. “Tenang, tenang, nanti aku jelaskan.”
Ian memegang pundak Liv lalu menyuruhnya duduk. Matanya menatap sekeliling dengan tatapan memohon maaf. Ian sendiri menaruh tasnya di kabin lalu duduk di samping Liv yang sudah siap menembaknya dengan sinar laser dari kedua matanya.
“Kamu kemana aja?” Liv mengulangi pertanyaannya dengan lebih pelan, namun tidak mengurangi rasa marah dan kesal dalam suaranya.
“Maaf membuat kamu khawatir,” Ian menangkupkan kedua tangannya.
“Ya jelas dong. Tadi subuh aku telepon, kamu masih ngangkat. Beberapa menit menjelang take off, kamu belum datang. Ditelepon juga gak diangkat. Gimana aku gak panik coba? Jelaskan, coba, jelaskan, Ardiansyah Chandra!” Liv menunjuk dada Ian dengan jari telunjuknya. Khawatir dan gemas menjadi satu. Giginya bergemeletuk karena marah namun tidak bisa terlalu ekstrim karena banyak orang di sekitar mereka.
“Aku naik motor ke sini dari kantor karena khawatir macet. Ternyata motornya abis bensin, dan pake acara nyasar segala,” Ian menjelaskan dengan tatapan minta maaf.
“Memangnya kamu berangkat dari kantor jam berapa?” Mata Liv menyipit.
“Jam…” Ian ragu-ragu sejenak.
“Ian…” Liv mendesis berbahaya.
“Setengah 5,” Ian tertunduk. Setelah Liv menelepon, Ian memang tertidur lagi. Maksud hati tidur hanya 10 menit, apa daya berkembang menjadi 60 menit. Menyadari keterlambatannya, Ian buru-buru mandi kilat dan mencari kendaraan. Sayangnya nasib sial sedang hinggap sehingga dia baru mendapatkan motor hampir setengah jam kemudian.
Ian bisa melihat Liv hampir melontarkan berbagai kata-kata lainnya. Untunglah saat itu terdengar pengumuman bahwa pesawat akan lepas landas dan peringatan untuk mengenakan sabuk pengaman. Liv tidak jadi mengeluarkan segala sumpah serapah. Dia memilih mengenakan sabuk pengaman dan menatap ke arah jendela.
Perjalanan panjang ini dimulai dengan suasana yang menegangkan.
***
Komentar