Miserable Fate - 26

 Bilberry

Pengkhianatan

“Ibu kamu tinggal di sini sendiri?” Liv menatap rumah besar berwarna putih dan biru yang menjulang di depannya. Ian sedang memencet bel agar pagar dibukakan untuk mereka. Begitu selesai sarapan, mereka langsung menaiki taksi menuju rumah Ian. 

“Setelah Papa nggak ada, iya. Tapi nggak bener-bener sendiri. Ada asisten rumah tangga, supir, yah begitulah,” Ian mengangkat bahunya. 

“Setidaknya mamamu nggak sendirian ya,” Liv tersenyum hangat, pegangan tangannya semakin erat di tangan Ian. 

“Mamamu sendirian ya?” 

Liv mengangguk. “Iya. Makanya beberapa kamar di rumah disewain ke orang.” 

Ian setuju. Daripada tinggal sendirian, tempat yang kosong bisa dimanfaatkan. Penyewa juga bisa menjadi teman supaya kehidupan sehari-hari tidak terlalu sepi. Tentunya setelah memastikan bahwa penyewa adalah orang yang bisa dipercaya. 

Tidak lama kemudian pintu pagar rumah itu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Seluruh tubuh Liv langsung semakin waspada. Wajah wanita paruh baya itu langsung berubah begitu melihat Ian. 

“Den Ian!” serunya, terharu dan tersenyum lebar.

“Mbak Siti,” sapa Ian lalu memeluk wanita tersebut. “Jangan kayak baru ketemu. Bulan lalu juga saya pulang.” 

“Den Ian harusnya pulang lebih sering. Jadi bibik nggak selalu kaget kalau liat Den Ian,” wanita yang disebut Mbak Siti itu mencubit pipi Ian. Menanggapi itu, Ian hanya tersenyum. Dia baru menyadari keberadaan Liv setelah beberapa saat kemudian. Pandangannya beralih antara Liv dan Ian berkali-kali. “Ini siapa?” 

Ian sudah membuka mulutnya, Liv sudah maju untuk bersalaman, namun Mbak Siti kembali berbicara.

“Pacarnya Den Ian ya? Nyonya udah cerita katanya Den Ian mau bawa pulang pacarnya. Sampe nyonya nggak jadi lho mau ketemu Nyonya Belinda,” Mbak Siti kembali bicara dengan berseri-seri. Liv jadi tersipu malu. “Cantik. Den Ian nggak salah pilih.” 

Mbak Siti berpindah ke depan Liv. Memeluk seperti mereka sudah kenal lama. Liv yang canggung berubah jadi lebih santai dan balas memeluk Mbak Siti. 

“Makasih Bu Siti,” kata Liv malu-malu

“Mbak Siti aja. Dari kecil juga Den Ian udah manggil Mbak Siti.” 

Liv mengangguk. “Iya, Mbak Siti.”

“Ayo masuk ya. Mamanya Den Ian udah nungguin dari tadi. Udah masak ayam rica-rica kesukaan Den Ian. Langsung makan ya. Lapar kan dari Jakarta?” Mbak Siti kembali berjalan menuju rumah, pagar dibiarkan tidak digembok. Ian mengulurkan tangannya untuk Liv genggam. Keduanya berjalan bersamaan mengikuti Mbak Siti menuju ke rumah. 

“Nyonya seneng banget Den begitu tahu Den Ian sudah punya pacar. Bahkan kemarin ngobrol sama Mbak Siti, nanya-nanya baiknya kalau mau nikah, di gedung apa ya di sini.” Mbak Siti masih lanjut berbicara dalam perjalanan mereka menuju rumah, yang ternyata cukup jauh. 

Liv dan Ian berpandangan. Ian menunjukkan wajah minta maaf tapi Liv hanya tertawa tanpa bersuara. Liv menggeleng tanda bahwa dia tidak keberatan dengan semangat itu. 

“Den Ian mau nyimpen barang di kamar dulu atau langsung ketemu Nyonya? Nyonya di dapur tadi Den.” 

“Saya langsung ke dapur aja, Mbak,” Ian mengangguk, mengajak Liv menuju ke sebelah kanan setelah masuk ke rumah. 

“Den Ian juga udah kangen sama Nyonya ya?” Mbak Siti menoleh ke belakang. 

Ian tersipu dan tertawa pelan. “Yah begitulah, Mbak. Biasa ngobrol di telepon aja.” 

Liv melihat bagaimana cara Ian merindukan ibunya. Malu-malu. Ekspresi kekasihnya ini begitu menggemaskan hingga Liv tersenyum dan otomatis mengelus tangan Ian yang ia genggam.

Akhirnya mereka sampai di rumah utama. Begitu Liv memasuki rumah, yang dilihatnya adalah sebuah hall berukuran sedang. Di ujung sana ada dinding dengan air yang bergemericik. Di sebelah kiri ada ruang tamu dan ruang keluarga yang disekat oleh dinding yang tingginya tidak sampai ke langit-langit. Di ujung dekat dinding air terdapat tangga yang sepertinya mengarah ke kamar-kamar di atas. Di sebelah kanan terdapat taman dan di sebelah taman terdapat dapur terbuka yang menghadap taman tersebut. Ke dapur itulah Liv dan Ian menuju. 

Sebelum mereka sampai di dapur, Liv sudah bisa melihat seseorang yang sedang bekerja di dapur. Dari belakang, sosoknya tampak tegap dan gerakannya sigap. Rambutnya digelung dan menggunakan terusan berwarna hijau muda. Sekilas, beliau tidak terlihat seperti memiliki putra berusia 30 tahun. 

Liv menatap Ian, “Your mom?” 

Ian mengangguk. Diremasnya tangan Liv. Liv sendiri harus mengakui bahwa dia gugup tapi sepertinya Ian lebih gugup lagi. Karena tangannya yang memegang tangan Liv begitu erat. Liv membalas dengan mengelus lengan Ian. Menenangkannya. 

“Nyonya,” panggil Mbak Siti. 

Seperti gerakan slow motion, perempuan yang melahirkan Ian berbalik. Bibirnya tersenyum karena akan bertemu putra satu-satunya. Tanpa diduga, senyumnya perlahan memudar dan tangannya yang memegang toples bumbu entah apa, melonggar dan membuat toples itu terjatuh. Bunyi toples plastik membentur lantai cukup memekakkan telinga, isinya berhamburan ke lantai. 

Liv langsung berjengit. Ian juga. 

“Ma?” tanya Ian.

“Nita?” Mamanya Ian menyebut sebuah nama. Matanya membelalak, raut mukanya tidak bisa ditebak, tubuhnya membeku. 

Liv menggeleng. “Aku Liv, Tante. Nita... mamaku.” 

Liv menatap Ian yang balas menatapnya dengan gelengan. Ian kebingungan dengan kondisi ini. Dia melepas pegangan tangan Liv dan menghampiri ibunya. 

“Pergi,” kata Mamanya Ian dengan suara keras. Sekarang wajahnya terlihat dipenuhi amarah dan kebencian. 

“Ma?” Ian bertanya bingung. 

“Pergi kamu dari rumah saya!” kata beliau lagi. 

Jantung Liv langsung berdetak cepat. Dia takut, benar-benar takut dan tidak mengerti. Liv bergantian menatap Mbak Siti, Ian, dan mamanya. 

“Ini pacar kamu? Ini perempuan yang kamu pilih jadi pacar?” Mama Ian berpindah memandang anaknya. Wajahnya benar-benar murka. “Dari seluruh perempuan di dunia ini dan kamu memilih dia?!”

Ian bingung menatap ibunya. “Mama kenapa?” 

“Dia ini…” Mama Ian kembali menatap Liv. Matanya berkilat-kilat dan membuat Liv gemetar. “Dia ini adik kamu!” 

Saat itu juga Ian dan Liv membeku di tempat. Mereka menatap mama Ian dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Sedikit Liv bisa mendengar Mbak Siti menghela nafas. 

“Maksud Mama apa?” Ian bertanya, suaranya terdengar getir. 

“Papa kamu selingkuh dari Mama. Diam-diam menikah lagi dengan perempuan bernama Nita. Mereka punya anak dan ya dia ini. Mama nggak mungkin salah karena wajahnya… wajahnya sama persis dengan wajah Nita saat muda dulu!” 

Liv semakin bergetar. Dia memang sering dibilang mirip ibunya sewaktu muda. Tapi apa benar dengan yang dikatakan ibunya Ian? Liv tidak percaya dan tidak mau percaya. 

“Mama… mama saya nggak mungkin seperti itu,” Liv berkata dengan susah payah. Dia hampir menangis, matanya sudah terasa panas. 

“Oh kamu mungkin nggak percaya. Siapa yang bakal percaya dia anak hasil selingkuh?” Mama Ian mengibaskan tangan, dia berkata penuh dengan rasa benci dan kesal. “Coba kamu tanya sendiri sama Nita. Orang yang jadi ayahmu namanya Reza Alamsyah kan?” 

Ian berbalik menatap Liv, matanya melebar. Liv membalas menatap Ian. Ketika menatap mamanya Ian, Liv mengangguk. Ian semakin terkejut karena Liv membenarkan nama ayahnya, yang juga nama ayah Ian. 

“Huh nggak kusangka bisa bertemu anak hasil selingkuhan suamiku di sini. Mengaku pacar anakku pula.” Mama Ian melemparkan tatapan benci sekali lagi pada Liv. Liv berjalan mundur perlahan. “Sekali lagi saya minta kamu pergi dari rumah saya. Saya nggak sudi lihat anak Nita ada di rumah saya!” 

Tanpa menunggu, Liv langsung balik kanan dan berlari cepat. 

“Liv!” Ian berseru dan ikut mengejar. 

Liv mengabaikan panggilan Ian dan terus berlari. Berlari sekencang mungkin, mengingat ilmu berlari yang pernah dia dapatkan saat Crystal mengajaknya ikut Fun Run 10K. Menghadapi gerbang, Liv segera membuka selot pagar dan berlari keluar. Rumah Ian berada di dalam kompleks, sehingga Liv perlu berlari lagi hingga dia menemukan jalan besar. 

“Liv, tunggu!” Ian berhasil mengejar Liv hingga keluar dari rumahnya. 

Liv tidak mau mendengar. Tangisnya sudah pecah, pandangannya sudah kabur. Begitu mencapai jalan besar, Liv hampir saja tertabrak motor karena terlambat berhenti. Sambil menahan tangis dan meminta maaf, Liv mencari taksi dan mendapati beberapa taksi sedang parkir di depan ruko. Segera Liv menaiki taksi paling depan dan meminta supir menuju daerah rumahnya. Ian tidak dapat mengejarnya. 


*** 


Tok tok tok. 

Liv mengetuk pintu rumahnya. Matanya masih mengeluarkan air mata dan Liv berusaha keras menahan agar ingusnya tidak keluar. Pintu itu belum terbuka.

Tok tok tok! 

Liv mengetuk semakin keras. 

“Sebentar!” 

Liv memindahkan berat badan dari kaki kanan ke kaki kiri. Tas yang tersampir di bahunya terasa semakin berat seakan Liv mengisi tasnya dengan batu. Liv mengangkat tangan lagi untuk mengetuk ketika pintu akhirnya terbuka.

“Liv?’ Mamanya terlihat kaget melihat putri satu-satunya berdiri di depan pintunya sambil menangis. “Bukannya kamu bilang mau pulang agak siang?” 

Liv melemparkan tasnya ke lantai lalu memeluk ibunya. Menangis di pelukan ibunya. Meskipun kebingungan tentang apa yang terjadi, Nita Adinda balas memeluk putrinya, mengelus rambutnya. 

Selama beberapa menit mereka berdua berpelukan. Nita membiarkan putrinya menangis sampai Liv memutuskan untuk berhenti. Saat Liv bisa mengontrol tangisnya, dia melepaskan pelukannya. Mulutnya membuka dan menutup, ingin menanyakan sesuatu.

“Duduk dulu ya?” tawar ibunya. 

Liv mengangguk. Dia membiarkan ibunya membimbingnya duduk di ruang tamu. Sebelum duduk di sebelahnya, Nita mengambil tas yang Liv tinggalkan di luar lalu membawanya ke dalam. Nita menaruh tas di sofa lalu duduk di samping Liv. 

“Kamu kenapa?” tanya Nita kepada putrinya. 

Masih dengan sisa-sisa tangisan dan tubuh yang bergetar, Liv memberanikan diri menatap ibunya. “Apa benar, hiks, Papa, hiks, sebelum dengan Mama, hiks, sudah punya istri dan anak?” 

Belaian Nita di rambut Liv terhenti. Wajahnya terkejut dan beliau mematung. Kilasan-kilasan masa lalu yang sudah berusaha ia kesampingkan, sekarang mendadak muncul kembali. Perlahan tangannya turun dari rambut putrinya. Raut wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar dan tangguh, sekarang berubah menjadi ekspresi yang bagi Liv sekalipun, terlalu menyesakkan untuk dilihat. Wajah ibunya terlihat sedih, namun ada ekspresi lain selain kesedihan. Ibunya merasa sakit. 

Rasa penasaran Liv tergantikan. Ia tidak mau melihat ibunya sedih seperti ini. Liv ingin melihat ibunya bahagia. Bukan perasaan sakit yang terlihat di wajah ibunya yang beranjak tua. Liv mulai berpikir supaya ibunya tak perlu menjawab pertanyaan itu jika harus membuatnya menjadi seperti ini.

Sayangnya, perlahan, beliau mengangguk. 


*** 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?