Miserable Fate - 22

 White Rose

Cinta abadi

“Ian, weekend depan kamu jadi pulang kan?” suara ibunya terdengar sangat girang dan bersemangat di telepon. Perasaan Ian mulai tidak enak. 

Sebelum menjawab ibunya, Ian membawa ponselnya ke luar ruangan, mencari tempat sepi yang tidak dilewati orang-orang, dan menjauh sejenak dari teman-temannya yang sedang makan siang bersama. “Iya. Kenapa memangnya?” 

“Mama ada janji sama Belinda. Nanti kamu antar Mama ya?” 

Ian langsung menghela napas tanpa suara dan memutar bola matanya. “Dan Tante Belinda ini punya anak perempuan? Anak perempuan yang masih single dan yah usianya sekitar usia Ian?” 

Mamanya terkikik. 

“Punya,” 

Ian langsung sakit kepala. Benar dugaannya. “Mama gak perlu usaha untuk menjodohkan Ian dengan anak-anak perempuan dari teman Mama.” 

“Mama gak menjodohkan kok. Mama cuma minta kamu antar Mama ketemu temen-temen. Kebetulan mereka punya anak gadis. Ya kalau ternyata jadi jodoh kamu, anggap aja itu bonus. Ya kan?” Ibunya masih saja terdengar bersemangat padahal Ian sudah menunjukkan kebosanan. Ia sudah lelah dijodohkan dengan perempuan-perempuan, baik yang dipilihkan ibunya maupun paman dan bibinya. Lagipula saat ini Ian sudah punya seorang perempuan yang ingin dia temui setiap hari. 

“Pokoknya gak usah, Ma. Karena…”

“Karena? Kamu bukan mau bilang bahwa kamu ternyata suka laki-laki kan?” Suara mamanya terdengar galak dan Ian sudah membayangkan matai bunya menyipit.

“Ian sudah punya pacar, Ma,” kata Ian sebelum ibunya bisa berpikir makin aneh. Padahal Ian bermaksud menceritakan itu secara langsung pada ibunya. Bukan melalui telepon seperti ini. 

Duk.

Ian mendengar suara seperti sesuatu yang jatuh. Mungkin HP ibunya. Entahlah, yang jelas ibunya tidak langsung menanggapi kata-kata Ian. 

“Kamu sudah punya apa?” Suara ibunya kembali terdengar. Kali ini seperti penasaran.

“Pacar. P-A-C-A-R,” Ian berkata dengan jelas. Mulutnya membuka lebar seperti penyanyi berlatih artikulasi.

“KAMU SERIUS?” Kali ini ibunya benar-benar berteriak. Ian harus menjauhkan HP dari telinganya agar suara kencang ibunya tidak merusak gendang telinganya. “NAMANYA SIAPA? SUDAH SIAP NIKAH BELUM DIA? SEJAK KAPAN KALIAN PACARAN?”

“Ma, tenang, Ma. Jangan histeris gitu,” Ian menggosok-gosok telinganya. 

“Sebelum-sebelum ini kita teleponan tapi kamu nggak pernah cerita apa-apa. Sekarang tiba-tiba kamu bilang kamu sudah punya pacar. Sejak kapan ini? Kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama ya?” 

“Pacarannya juga baru. Baru mau sebulan,” Ian mengelus rambutnya. Di benaknya muncul bayangan Liv dan otomatis membuat Ian tersenyum. Setelah ini mungkin Ian akan menelepon Liv. Sekedar ingin mendengar suaranya. 

“Sebulan? Baru sebulan?” 

Ian bisa mencium sesuatu yang berbahaya. 

“Sudah sebulan, Ian! Kamu nggak bilang apa-apa sama Mama. Padahal setiap kali Mama telepon Mama selalu tanya soal jodoh. Tega kamu ya,” 

Sekarang Ian malah tersenyum. “Nanti Ian kenalkan dengan Liv.” 

“Namanya Liv? Bagus. Kamu ajak dia ke Surabaya pas kamu pulang nanti ya. Mama cancel janji ketemu Belinda. Bilang Mama mules atau apa gitu. Gampang deh diatur. Oke ya? Ajak Liv ya. Awas kalau nggak!” 

Belum sempat Ian menanggapi, bahwa mungkin Liv ada urusan pekerjaan, ibunya sudah menutup telepon. Ian menyimpan tangan di dadanya. Kalau sudah begini, mau tidak mau Ian pasti harus menelepon Liv. 


*** 


“Mama!” Liv berseru sesaat begitu telepon ibunya tersambung.

“Kenapa Liv?” tanya ibunya dengan nada kalem. Bisa diduga bahwa di Surabaya sana ibunya tersenyum mendengar suara ceria putri satu-satunya. 

Nope, just wanna hear your voice,” kata Liv berseri-seri. “Mama lagi apa?”

“Mama baru pulang kerja. Kamu?” 

“Liv baru mulai kerja. Harusnya ada meeting sama Production House buat bahas video klip single barunya Crystal. Eh taunya orang PH-nya masih ada syuting di luar. Ini aku gabut nungguin mereka.” Ekspresi Liv langsung berubah, dia mengerucutkan bibirnya.

“Udah makan belum?” tanya ibunya dengan lembut. Sangat berkebalikan dengan Liv yang cenderung meledak-ledak.

“Belum. Nanti malam baru mau janjian makan sama Ian,” jawab Liv refleks. Liv langsung menutup mulutnya karena sadar dia baru menyebut sebuah nama yang asing.

“Ian?” 

Liv memutuskan sekarang saatnya mengatakan bahwa dia sudah punya pacar. “Ian pacarnya Liv, Ma. Hehehe.”

“Oooooooooooooh,” tanggapan ibunya pasti sekaligus menggoda Liv. “Mama pengen tahu kayak apa orang ini nih.”

Liv kembali terkikik. “Orangnya dingin gitu, Ma. Cenderung galak. Kadang suka ngomel terus kita berantem.” 

“Kok jelek semua?” Mamanya terdengar sangat terkejut.

“Itu awalnya. Tapi pas semakin deket, Liv bisa tahu kalau Ian itu orangnya tulus, tenang, perhatian, gak banyak ngomong tapi sering bertindak, mau membantu, pinter lagi, Ma. Dia udah manager, terus kemarin project dia sama temen-temennya baru kepilih jadi Project of the Year di kantornya,” Liv tersipu saat menceritakan perihal Ian. Mendadak ia jadi kangen dan ingin bertemu dengan tetangganya itu.

“Oh gitu. Mama mau liat mukanya kayak apa,” 

“Kapan-kapan Liv ajak Ian ketemu Mama deh. Tapi sekarang Liv kirim fotonya dulu ya. Terus Mama kasih tau gimana tanggapan Mama.” 

“Boleh. Jangan lama-lama ajak dia ketemu Mama. Tunggu apa lagi?” 

Sekarang Liv tertawa. “Tunggu waktunya lowong dan tunggu dianya siap, Ma.”

Mamanya ikut tertawa. “Memangnya dia belum siap?”

“Waktu dia ngajak pacaran sih dia bilang tujuannya memang buat nikah,” Pipi Liv semakin terasa panas saat mengingat momen jadiannya dengan Ian. “Ah aduh Mama bikin Liv salah tingkah nih.” 

Mamanya sekarang benar-benar tertawa. Suara anggun tawa mamanya membuat Liv merasakan kehangatan. Rupanya dia merindukan ibunya. “Ya sudah. Kabari Mama ya. Salam buat pacarmu.” 

“Oke, Ma. Liv siap-siap meeting dulu ya. Love you, Ma.”

Love you too, Liv,” 

Mamanya mematikan telepon lebih dulu. Sebelum meeting benar-benar dimulai, Liv segera mengirim foto Ian kepada ibunya. Foto mereka berdua saat pekan lalu Ian iseng mengajak Liv berkencan. Dalam foto, Ian sedang dalam mode cupu dipadu dengan ganteng. Rambutnya berantakan dan dia mengenakan kacamata. Berbanding terbalik dengan pakaiannya yang rapi dan gaya. Ibunya menanggapi begitu centang berubah biru. 

Cakep. 

Hanya satu kata tapi membuat Liv bahagia.


*** 


“Liv,” Ian memanggil Liv saat mereka sudah selesai makan malam. Pecel ayam, tahu, tempe, es jeruk, dan es teh manis yang dibeli di warung tenda. Dimakan di kamar supaya suasana tetap lebih romantis daripada diganggu oleh pengamen yang datang silih berganti.

“Apa?” Liv mengangkat kepala dari layar ponselnya. 

Weekend depan kamu ada acara nggak?” Ian masih ragu apakah dia sudah siap mengajak Liv bertemu ibunya. Tapi dia memang berniat serius dengan Liv, sebagaimana yang Ian sampaikan di hari pertama mereka memutuskan untuk menjalin hubungan. Jadi seharusnya mengajak Liv tidak bisa dibilang terlalu cepat. Walaupun di sisi lain, jika Liv ternyata punya agenda yang tidak bisa digeser, Ian akan bersyukur juga. Ia tinggal mencari alasan kepada ibunya.

“Bentar aku cek agenda dulu ya,” Liv mengangkat tangannya. Liv berbalik dan merogoh tas yang disimpan di lantai. Dikeluarkannya iPad dan langsung menuju aplikasi berisi agenda. “Hari Sabtu aku kosong. Hari Minggu kemungkinan ada off air Crystal. Tapi aku ikut atau nggak masih tentatif sih. Kenapa?” 

“Aku…” Ian berhenti, Liv mengangkat alisnya. “Aku sudah bilang kan kalau aku mau niat serius dengan kamu?” 

Pipi Liv langsung bersemu merah. “Iya,” katanya malu-malu.

“Nah weekend depan itu aku ada rencana pulang ke rumah orang tuaku di Surabaya. Aku mau ajak kamu sekalian ketemu ibuku. Itu pun kalau agenda kamu kosong,” Ian menggaruk kepalanya. 

Senyum Liv terkembang lebar. Matanya berbinar. “Mau!” 

“Hah?” Ditanggapi terlalu positif malah membuat Ian bingung.

“Iya aku mau ikut ke Surabaya. Ibuku juga kan di Surabaya. Jadi bisa aja kita sekalian ketemu orang tua kita. Iya nggak?” Liv jadi terlihat begitu bersemangat. Tangannya memegang tangan Ian dan menggoyang-goyangkannya. Melihat Liv sebegitu bersemangatnya lama-lama membuat Ian lega. 

“Boleh,” Ian mengangguk. “Nanti aku pesenin tiketnya yang bareng sama aku ya.”

Liv mengangguk lagi berkali-kali. Rencana kunjungannya ke Surabaya membuat Liv tidak sabar. Bisa bertemu orang tua Ian! Bisa mendapatkan restu dari orang tua Ian! Semoga ini pertanda baik dalam hubungan mereka.

“Kamu sudah bilang sama mamamu bahwa kamu punya pacar?” Liv memajukan tubuhnya untuk duduk semakin dekat dengan Ian. 

“Awalnya aku baru mau bilang saat pulang ke rumah pekan depan. Tapi tadi Mama telepon. Yah, mau ngenalin aku sama anak dari temennya lagi,” Ian menggaruk kepalanya.

“Mau dijodohin?” Liv menahan tawanya.

“Iya. Walaupun awalnya Mama bilang dia minta aku antar ke tempat janjian dengan temannya. Tapi aku tahu itu cuma rencana awal. Ujung-ujungnya Mama mengenalkan anak temannya untuk yang kesekian kalinya. Untuk kesekian kalinya juga aku tolak,” Ian menggeleng.

“Lalu Mama kamu pasrah begitu saja ketika kamu menolak?”

“Nggak, pastinya. Beliau masih keukeuh. Akhirnya aku bilang bahwa aku punya pacar. Aku gak bisa menyembunyikan kamu lebih lama lagi ternyata,” Ian mengacak rambut Liv lalu tersenyum.

Liv berinisiatif untuk mengecup sebentar bibir kekasihnya ini. Pipi Ian memerah. “Terus reaksi Mama kamu gimana?” 

“Kaget. Kayaknya HP-nya sampai jatuh. Setelah itu itu Mama minta aku ajak kamu ke rumah,” Ian nyengir. 

“Yeay! Aku gak sabar ketemu Mama kamu,” Liv tersenyum lebar dan terlihat girang sekali.

“Kamu semangat banget,” Ian mencubit pipi Liv. 

“Iya soalnya nggak sabar mau nikah,” Liv bergoyang padahal saat ini tidak ada musik yang diputar di sekitar mereka. Hanya tayangan dari Fox yang menemani mereka makan malam sedari tadi. 

Ian langsung tertawa terbahak-bahak. Awalnya Liv terkejut melihat Ian tertawa begitu lebar. Baru kali ini Ian menunjukkan ekspresi bahagia yang jauh lebih ekspresif dari biasanya. Berikutnya Liv ikut tertawa bersama Ian. Untunglah hanya ada mereka berdua saat ini. Kalau tidak, pasti mereka sudah jadi perhatian orang-orang.

You are so…” Ian speechless, menatap Liv dengan geli namun cinta. Jemari Ian ditautkan dengan jemari Liv.

Cute? Pretty? Funny?” Liv mengerjapkan matanya dengan centil. Dengan gaya, Liv menyelipkan beberapa helai rambut di balik telinganya.

Ian menggeleng, bibirnya masih tersenyum.

So?” Liv memiringkan kepalanya.

I love you,” bisik Ian. 

Giliran Liv yang speechless


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?