Miserable Fate - 27
Helenium
Air mata
“Dengar cerita Mama dulu ya,”
Liv mengabaikan kata-kata ibunya. Dia semakin menangis histeris. Menunduk dan menenggelamkan wajah di pangkuannya.
“Liv, denger Mama,” Nita kembali membelai rambut Liv.
Bukannya mendengar, Liv malah menangis semakin keras.
“Tolong, Liv, dengar Mama ya? Jangan nangis,” kali ini Nita terdengar putus asa dalam usahanya menjelaskan sesuatu yang dia simpan rapat-rapat selama ini.
Liv mengangkat wajahnya. Berusaha menahan tangisnya agar tidak keluar. Liv menyusut hidungnya. Dadanya masih naik turun karena tangis. Nita menatap putrinya dan menahan nafas.
“Papa dan Mama sudah pacaran sejak kuliah,” Nita memulai. “Kami kenal ketika di kelas bersama dan mulai pacaran sejak tingkat 2.”
Liv mendengarkan dengan saksama.
“Kami pacaran lama, Liv. Sampai kami berdua lulus lalu masing-masing mulai bekerja. Saat kami sudah merasa siap, Papa kamu, Reza, ajak Mama ketemu orang tuanya. Sebelumnya, kamu harus tahu kalau Papa kamu adalah anak dari keluarga terpandang. Keluarga ibunya punya bisnis pertanian dan furnitur dan keluarga ayahnya bahkan masih keturunan dari keluarga kerajaan.” Nita berhenti, menghela nafas.
“Mama bukannya nggak tahu soal itu. Awalnya memang tidak. Mama cuma melihat Papa sebagai sosok yang ramah, humoris, pintar, dan pekerja keras. Mama bahkan baru tahu bahwa keluarga Papa berada sejak kami memutuskan bekerja. Papamu bilang tidak mau bergantung dari uang orang tuanya dan oleh karena itu dia bekerja. Jujur, saat itu Mama cukup minder.” Nita tersenyum kecut. Liv menatap ibunya, tidak mengerti.
“Kakekmu cuma guru Liv,” Nita tersenyum, kali ini tulus. “Dan nenekmu cuma punya warung kelontong. Kalau dibandingkan dengan keluarga Reza, keluarga Mama nggak ada apa-apanya.”
Liv ingat bahwa kakeknya adalah seorang guru. Beliau yang rajin mengajari Liv berbagai pelajaran ketika Liv masih kecil, mengajak Liv membaca dan menceritakan berbagai hal. Beliau meninggal saat Liv di bangku SMA dan Liv sangat sedih saat itu. Neneknya, memiliki toko kelontong tidak jauh dari sekolah tempat kakeknya bekerja. Sekarang toko itu dikelola oleh pamannya, adik Nita.
“Seperti yang sudah Mama duga, ketika Reza mengajak Mama ketemu orang tuanya, mereka menolak Mama. Mereka tidak setuju Reza menikahi perempuan yang bukan siapa-siapa seperti Mama. Reza membantah. Reza meyakinkan bahwa Mama orang yang tepat. Segala cara halal kami lakukan untuk mendapatkan restu namun keputusan tetap bulat dan kami memutuskan untuk berpisah.”
Nita menghela nafas. Kisah sedih tersebut rupanya membuatnya sedih. Akan tetapi, saat kembali bicara, suaranya mantap. “Kami setuju untuk menjalani hidup masing-masing walaupun kami tahu bahwa Mama masih cinta dia dan dia masih cinta Mama. Selama 1 tahun kami tidak saling bertukar kabar. Reza datang mencari Mama ketika dia akan menikah dengan Elsie. Elsie, perempuan dari keluarga berada dan keturunan Belanda. Keluarganya punya bisnis yang dibangun dari sejak jaman Belanda. Reza bilang Elsie adalah pilihan orang tuanya dan bahwa dia sebenarnya masih mencintai Mama.”
“Mama berusaha menerima kenyataan itu. Bahwa akhirnya Reza akan jadi milik orang lain. Mama memutuskan bahwa ini saatnya melupakan Reza dengan sebenar-benarnya. Sayangnya, rencana tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Reza dan Mama masih sesekali bertemu dan setahun setelah dia menikah dengan Elsie, Reza melamar Mama.”
Liv menganga. Ayahnya melamar ibunya saat dia masih menikah?
“Mama terkejut, pasti. Ayah, kakekmu juga. Kakekmu menolah mentah-mentah keinginan Reza untuk menikahi Mama. Ayah bukannya tidak tahu bahwa Reza sudah menikah. Entah apa yang dikatakan Reza. Kakek akhirnya setuju menikahkan Mama dengan Reza.”
Mulut Liv masih menganga. Dia benar-benar tidak mengira bahwa cerita ibunya benar-benar nyata.
“Kami tidak selingkuh, Liv. Kalau yang dimaksud dengan selingkuh adalah berhubungan romantis. Setiap pertemuan kami setelah Reza menikah tidak pernah hanya berdua. Tidak pernah ada kontak fisik. Tidak pernah lebih dari sekedar mengobrol. Mengobrol tentang pekerjaan, hobi kami masing-masing, kondisi perekonomian. Tidak sedikit pun membahas cerita khusus yang pernah kami alami atau kehidupan pernikahannya dengan Elsie,” Nita mengelus rambutnya perlahan.
“Pernikahan kami sah secara agama dan tercatat di KUA. Hanya saja Reza tidak bercerita pada Elsie bahwa dia sudah menikah lagi dan Mama tidak bisa leluasa menemui Reza karena Reza tetap lebih mengutamakan keluarga awalnya.” Mama menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Itulah kenapa Mama selalu bilang bahwa Papa bekerja di luar kota dan hanya bisa menemui Liv seminggu sekali. Padahal sebenarnya ayahnya memiliki keluarga lain yang lebih dia utamakan. Hingga Liv dewasa, dia selalu percaya cerita itu. Termasuk ketika ibunya bilang ayahnya meninggal karena kecelakaan di luar kota sehingga mereka tidak bisa menyelenggarakan pemakamannya.
“Mama hamil kamu tidak lama setelah kami menikah,” kali ini Mama tersenyum, mengelus pipi Liv seperti yang biasanya beliau lakukan.
Sedikit demi sedikit Liv tersenyum. “Apa, Mama tahu bahwa Papa juga punya anak dari Tante Elsie?”
Mama mengangguk. “Seperti yang tadi Mama bilang, Reza tidak pernah bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan Elsie. Namun ketika Mama bilang bahwa Mama sedang hamil, Reza baru mengaku bahwa dia dan Elsie punya seorang putra berusia 1 tahun.”
Jantung Liv berdetak cepat. Otaknya memulai kalkulasi secara cepat. Jika ayahnya melamar ibunya setahun setelah pernikahan pertamanya dan ketika ibunya mulai hamil Liv, anak pertamanya berusia 1 tahun, maka jarak usia Liv dengan anak pertama ayahnya adalah 2 tahun. Tepat seperti jarak usia Liv dan Ian saat ini, 2 tahun.
“Apakah…” Liv menelan ludahnya. “Apakah nama putra pertama papa adalah Ardiansyah Chandra?”
Mata ibunya membelalak. Kaget. “Gimana kamu tahu?”
Liv kembali menunduk. Liv tidak tahu. Liv hanya menebak. Ian selalu menyebutkan dua nama depannya saja. Tanpa nama belakangnya. Itu membuat Liv tidak tahu bahwa nama belakangnya adalah Tirtojoyo. Sama seperti nama belakang ayahnya. Kalau Liv tahu sejak awal bahwa Ian dan ayahnya menyandang nama yang sama, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Liv tidak perlu jatuh cinta setengah mati kepada pria itu hanya untuk mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan darah. Hubungan dari ayah yang sama, yang telah tiada, yang menolak mereka bicarakan.
“Ardiansyah, Ian,” Giliran Liv yang mengambil nafas panjang. Nita terkejut ketika Liv menyebut nama lengkap Ian. Nita tidak berpikir bahwa ketika putrinya menyebutkan nama kekasihnya adalah Ian, nama lengkapnya adalah Ardiansyah. Ardiansyah Chandra, nama yang beberapa kali disebutkan suaminya. “He’s my boyfriend, Ma.”
“Apa?” Nita benar-benar terkejut dan tidak menyangka.
Liv mulai menceritakan awal pertemuanya dengan Ian. Bagaimana mereka yang awalnya saling berseteru kemudian jadi akrab dan akhirnya berpacaran. Liv juga bercerita mengenai kejadian dua jam lalu saat dia diusir begitu saja oleh Tante Elsie.
“Ya ampun, Liv. Berarti dia…”
“Kakakku, beda ibu. Aku tahu,” Liv berkata lemas. Nita tidak tahu harus bersikap apa selain menarik Liv ke pelukannya, membiarkan putrinya menangis lagi.
***
“Liv. Makan yuk,” Nita memanggil putrinya yang sedari tadi hanya duduk di ruang tamu. Memeluk lutut sambil memandang satu-satunya foto keluarga yang dia punya.
Foto ayahnya, ibunya, dan dirinya. Tampak harmonis dan bahagia. Seperti keluarga normal lainnya.
“Liv gak lapar,” jawab Liv tanpa melepaskan pandangan dari foto itu.
Liv selalu ingat bahwa dia memiliki waktu yang menyenangkan bersama ayahnya. Satu dari tujuh hari selalu jadi hari yang paling indah dalam hidup Liv. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Bermain di taman, menuju toko buku, hujan-hujanan dan bermain tanah, semua dilakukan bersama ayahnya.
Perasaan sedih kembali muncul jika Liv harus melepaskan ayahnya pergi. Katanya ayahnya harus kembali bekerja di luar kota. Semula, Liv tidak mau menerimanya. Lama kelamaan, Liv menurut. Hatinya yakin bahwa pada pekan berikutnya, ayahnya akan kembali hadir dan mereka akan melepas rindu.
Liv tidak pernah bertanya dimana ayahnya bekerja. Sebagai apa ayahnya bekerja. Kenapa dia hanya punya waktu satu hari dalam seminggu? Liv tidak mau tahu karena dia takut dengan dia bertanya, ayahnya tidak akan pernah datang sama sekali. Liv iri dengan anak-anak lain yang sering diantar dan dijemput oleh ayahnya, bukan kakek, nenek, atau ibu seperti dirinya. Walaupun ayahnya selalu menyempatkan diri untuk mengambil rapor Liv bersama ibunya.
“Kenapa ya, Ma?” Liv bertanya lirih.
Nita duduk di samping putrinya, merangkul pundak Liv yang terasa begitu lemah, dan menyandarkan putrinya kepada dirinya. Nita merangkul Liv dan mengelus rambut putrinya yang panjang. Rambut kesayangan dan kebanggaan ayahnya.
“Mama juga gak tahu, Nak,” gumam Nita. “Mama hanya tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, kehilangan, kesempatan kedua, meskipun kesempatan kedua itu harus dibayar dengan sesuatu yang berat.”
Liv kembali menitikkann air mata.
“Mama memang egois. Menginginkan Reza untuk kembali kepada Mama. Memiliki keluarga yang utuh. Padahal tidak ada yang utuh dari kami. Kami harus menyembunyikan keberadaan hubungan kami. Bersikap seolah-olah kami bukanlah sepasang suami istri. Kamu tidak bisa mendapat kasih sayang utuh dari ayahmu setiap hari, seperti anak-anak lainnya. Kamu bukan anak yang dibawa ayahmu ke acara-acara kantornya, untuk ditunjukkan bahwa kamu adalah anak kebanggaannya. Sepintar apa pun kamu,” Nita sekarang menangis lebih deras lagi.
Liv memeluk ibunya dan mereka menangis bersama-sama.
“Maafkan Mama juga karena membuat kamu tidak bisa bersama dengan orang yang kamu sayang,” ujar Nita dengan susah payah.
“Bukan salah Mama, Mama jangan begini,” Liv juga berkata dengan sulit.
“Harusnya Mama gak pernah menerima lamaran Reza karena Mama tahu dia sudah beristri,” kembali Nita menumpahkan rasa sesalnya.
“Mama sayang Papa. Wajar Mama ingin bersama Papa. Liv juga…”
Nita memeluk putrinya semakin erat.
“Liv juga menyayangi Ian meskipun sekarang Liv tahu kami gak bisa bersama,” tangis Liv benar-benar tumpah tanpa bisa ditahan. Dia menangis histeris, bersama-sama dengan ibunya yang juga merasakan sakit hati. Penyesalan yang muncul di belakang atas tindakan di masa lampau.
Jika Reza melihat semua ini, mungkin dia juga merasa bersalah. Melihat wanita yang dia cintai dan putri kandungnya berpelukan dan menangis seperti ini. Hanya karena dirinya.
***
Komentar