Miserable Fate - 21

 Fig

Argumen


Tubuhnya terasa lemas. Berbalik pun sulit. Mengulet seperti kebiasaannya ketika bangun pun terasa penuh perjuangan dan hasilnya tidak semenyenangkan biasanya. Perlahan Liv membuka mata. Hal yang pertama dilihatnya adalah Ian yang menatapnya galak. 

“Kok…” ujar Liv bingung.  

“Kurang tidur, kurang istirahat,” Ian menyentil kening Liv.

“Aduh,” Liv menyentuh keningnya yang terasa sakit karena disentil Ian.

“Kamu kerja itu harus tahu kondisi juga. Emang kamu digaji segimana sih sampai lupain kesehatan sendiri?” Ian terlihat sangat geram dan tidak habis pikir. Dia duduk di kursi di samping tempat tidur Liv. Tubuhnya kaku saking kesalnya. Hilang sudah ekspresi manis yang dilihat Liv beberapa jam lalu saat Ian datang untuk menonton acara awards di BSD.

“Hei!” seru Liv dengan lantang.

Meskipun kepalanya terasa pening dan badannya super lemas, tapi mendengar Ian berkata seperti itu tetap membuat Liv merasa terserang. Apa maksud kata-kata Ian itu? Kenapa sampai bawa-bawa gaji segala? Kenapa dia membuat Liv merasa bahwa dirinya bekerja begitu keras demi uang sampai tidak mempedulikan dirinya sendiri?

“Maksud kamu apa? Kok ngomongnya gitu?” Liv abaikan rasa pusing di kepalanya dan lemas di sekujur tubuhnya. Hatinya lebih merasa sakit sehingga Liv lebih memilih maju melawan kata-kata pacarnya ini. Bangkit dari tidurnya untuk menatap Ian dengan pandangan yang sejajar.

“Tadi kamu pingsan di parkiran. Aku bawa kamu ke rumah sakit langsung. Kata dokternya kamu kecapekan, hampir dehidrasi, kurang makan juga. Kapan sih terakhir makan?” Ian melipat tangannya dan menyipit. 

Liv tersentak. Memang seminggu ini dia banyak menunda makan dan minum. Tidur pun hanya 4 jam sehari. Setelah itu kembali ke kantor, ke rehearsal, ke meeting, ke berbagai acara. Pekan ini memang begitu padat. Makan pun kalau Ian tidak membawakan ke tempat Liv, dia tidak akan makan. Makan yang disediakan klien pun Liv jarang sekali menikmatinya.

“Aku sibuk. Banyak yang harus diurus,” Liv menutup mata, kembali berbaring, dan berbalik memunggungi Ian. Bukannya dia tidak mau makan dan tidak memperhatikan dirinya sendiri. Liv tipe orang yang tidak bisa menikmati sesuatu—makanan sekalipun—kalau ia punya sesuatu yang mengganjal di hatinya. Seminggu kemarin, penampilan Crystal di dua acara penghargaan ini sangat krusial sehingga banyak yang membuat Liv tidak tenang.

“Nggak penting kerja sampai ngorbanin kesehatan sendiri,” kata Ian lagi. Nada suaranya masih terdengar pedas.

“Bodo amat. Yang penting hasilnya memuaskan,” balas Liv. Dia sedang sakit, kepalanya pening. Liv tidak dalam kondisi mau diceramahi. Bahkan oleh Ian yang sebenarnya perhatian dan peduli akan kondisinya. Apalagi tadi dia menyebut soal gaji segala. Apa maksudnya? Malah sebenarnya sekarang pun Liv ingin turun dari tempat tidur dan mengecek persiapan untuk penampilan Crystal berikutnya. Liv ingin memastikan acara di JCC ini pun berjalan lancar.

“Liv, aku serius. Kamu boleh memperhatikan orang lain tapi diri kamu sendiri juga tetep penting. Kalau kamu sakit, gimana kamu bisa ngurusin orang lain?” Ian terdengar mendesak dan masih sedikit geram.

“Iya, tahu. Sana kamu pulang aja deh. Aku lagi nggak mau diceramahin,” Liv menarik selimut menutupi kepalanya. “Aku mau tidur lagi sebelum besok berangkat.”

“Nggak,” Ian membantah dengan cepat. “Gak boleh. Aku telepon Crystal nanti supaya kamu gak usah datang besok.” 

“Kamu gak punya nomer Crystal,” Liv menanggapi dari balik selimut.

“Aku bisa cari dari HP kamu,” Ian terdengar percaya diri.

Liv kembali membuka selimut dan mencari ponselnya dengan panik. Liv belum menyentuh benda itu lagi sejak tadi malam. Jangan sampai ponselnya hilang atau tertinggal entah di mana. Mendadak kepalanya berdenyut sakit lagi.

“Ada di dalam tas,” Ian mengedikkan kepalanya. Menunjuk tas Liv yang tersimpan di atas meja.

“Udah ah, kamu bikin aku makin pusing ada di sini tapi marah-marah melulu,” Liv menjatuhkan kepalanya kembali ke atas bantal dan menarik lagi selimut menutupi wajahnya. 

“Aku beli nasi gorang tadi dalam perjalanan pulang. Kamu makan. Abis itu minum obat. Semuanya ada di meja dapur. Nasi gorengnya harus diabisin. Obatnya harus diminum. Besok nggak usah nemenin Crystal manggung lagi. Awas kalau bandel,” Ian menasehati tapi terdengar seperti mengancam bagi Liv. 

“Iya iya sana ah berisik,” balas Liv masih dari balik selimut.

Ian menggeleng. Kalau begini mereka jadi seperti waktu awal bertemu. Bertengkar terus. Sepertinya sekarang pun mood Liv sedang tidak bagus. Jadi Ian memutuskan pulang setelah memastikan Liv beristirahat. Besok Ian akan datang kembali sejak pagi untuk memastikan Liv makan dan tidak berangkat kemana-mana. 

Ian bangkit dari kursi untuk pulang. Sebelum keluar dari kamar Liv, Ian mengulurkan tangan ke posisi di mana kepala Liv tertutup selimut. Ditepuknya kepala Liv dua kali dan setelah itu Ian pun kembali ke kamarnya. 


*** 


Ian bangun pagi-pagi sekali, melakukan rutinitasnya seperti biasa, mandi, kemudian menuju kamar sebelah. Tadi malam Ian sengaja membawa kunci apartemen Liv agar pagi ini dia bisa masuk. Toh semalaman ini Liv juga seharusnya tidak kemana-mana. Jadi tidak masalah jika kuncinya Ian bawa. 

Ketika memasuki unit Liv, semuanya masih sama seperti saat tadi malam Ian meninggalkan tempat ini. Ian membuka kamar Liv dan melihat bahwa Liv masih terlelap. Nafasnya teratur dan dadanya naik turun secara berirama. Ian memilih menghabiskan waktunya selama lima menit memperhatikan perempuan ini tidur. Liv terlihat lebih tenang, dan meskipun rambutnya mencuat ke sana kemari, di mata Ian dia tetap terlihat cantik. 

Ian berbalik ke luar, menuju dapur. Obat yang diberikan dokter tadi malam sudah berpindah ke luar kantung. Ian menginjak tempat sampah yang ada di dapur untuk membuka tutupnya. Kertas nasi sudah berpindah tempat ke situ. Hal ini pertanda Liv sudah memakan makanan dan obatnya. Ian jadi lebih lega. Dia tidak punya alasan untuk jengkel kepada Liv hari ini. Kecuali jika Liv memaksa berangkat menuju acara awards nanti malam. 

Sambil menunggu Liv bangun, Ian menyalakan TV dengan volume minim. Rasanya Ian sudah menonton 1 film saat terdengar suara dari dalam kamar tidur Liv. Suara tersebut diikuti suara pintu dibuka dan muncullah Liv. Rupanya dia sudah berganti pakaian dari pakaian yang ia kenakan tadi malam. 

“Kamu pagi-pagi udah di sini aja,” kata Liv dengan suara serak dan tangan yang mengucek mata. Tampaknya rasa kesal Liv pun sudah menguap pagi ini.

“Mau ajak sarapan,” kata Ian singkat.

“Ke?” Liv membuka sebelah matanya.

“Di sini aja. Aku pesen dari bawah buat dianter ke atas. Kamu mau makan apa?” 

Liv menggeleng lalu menguap.

“Liv, kamu harus makan,”

“Bukan. Aku nggak tau mau makan apa. Jadi terserah kamu aja. Aku mau pipis dulu,” Liv mengibaskan tangannya. Masih dengan mata setengah terpejam, Liv masuk ke kamar mandi dan meninggalkan Ian. Ian menggeleng. Segera dia menelepon salah seorang tukang jualan yang ada di bawah apartemen mereka. Saking langganannya dan Ian bisa duduk di sana, makan, lalu mengobrol berjam-jam, mereka jadi saling kenal. Bang Bobi ini jadi loyal sekali terhadap Ian dan bahkan bersedia jika Ian minta mengantarkan makanan ke atas. 

Ian memesan dua buah bubur dari pedagang tetangga Bang Bobi lalu tambahannya adalah beberapa gorengan dan kopi jualan Bang Bobi. Begitu selesai menelepon, Liv keluar dari kamar mandi, terlihat lebih sadar dan rapi. 

“Aku udah makan nasi goreng tadi malam dan udah minum obat,” Liv keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Ian. Wajahnya sudah lebih segar dan rambutnya sudah diikat dengan rapi. “Jadi nggak usah galak-galak kayak tadi malam.” 

“Oke,” Ian mengangguk.

“Dan aku sudah telepon Crystal,” Liv menautkan jemari kedua tangannya. “Aku bilang aku datang telat ke JCC karena mau istirahat lebih lama.”

Wajah Ian langsung berubah, kembali terlihat kesal. 

“Liv, sudah aku bilang. Hari ini kamu nggak usah kerja. Kamu istirahat aja. Kamu datang ke sana nanti sibuk lagi, lupa makan lagi, lupa minum. Mending di rumah, istirahat bener-bener. Kalau besok kondisi kamu sudah normal lagi dan kamu mau kerja, boleh deh.” Ian terdengar geram dan ingin marah tapi masih berusaha keras ditahannya. 

Liv menatap Ian dengan wajah polos, tanpa ekspresi. 

“Liv, don’t test my patient,” desis Ian. 

Are you trying to be a protective boyfriend?” tanya Liv sembari mengulurkan tangan dan mengelus pipi Ian. 

Disentuh seperti itu membuat Ian mengurangi amarahnya. 

“Yeah,” 

“Aku gak jadi ke JCC kok. Tadi malem setelah kamu pulang, aku telepon dia dan Crystal pun udah oke kalau aku gak nemenin dia hari ini. Ada Jamie dan Ori yang nemenin dia. Aku setuju istirahat di rumah seharian, asal kamu nemenin aku seharian supaya aku nggak bosen tapi kamu jangan marah-marah lagi kayak tadi malem. Kalau kamu gak ada, aku jalan-jalan ke mall aja sekalian,” Liv memeluk Ian, meletakkan kepalanya di pundak Ian. Saat ini pun, Liv merasa dia sudah sembuh. 

“Kamu mau ngapain aja, aku temenin. Selama itu bisa bikin kamu istirahat supaya mendingan,” Ian memegang tangan Liv dan mengelusnya perlahan.

“Oke, oke. Sekalian tolong nyapu, ngepel, sama nyuci ya,” Liv terkikik.

“Hah?” Ian terdengar kaget dan menanggapi serius kata-kata Liv.

“Bercanda. Mana makanannya? Lapar,” Liv bergelayut manja.

“Sarapannya masih diantar ke sini,” Ian mengelus rambut Liv. Sekarang ia benar-benar terdengar penuh kasih sayang. Tidak ada rasa kesal dan nada galak seperti beberapa menit lalu.

“Hmm. Badan aku masih lemes banget dan kepala aku masih kliyengan,” Liv memejamkan matanya lagi.

“Mau tiduran sambil nonton?”

Liv tidak menjawab, melainkan hanya nyengir begitu lebar. Ian yang mendadak paham, menggeser duduknya agar Liv bisa berbaring di pangkuannya. Begitu Liv berbaring, Ian meraih tangan Liv dan menciumnya. 

“Sehat dong. Aku panik lihat kamu sakit,” kata Ian pelan.

Liv menatap wajah sang kekasih di atasnya. Sedetik kemudian Liv tertawa. “Iya, maaf ya bikin kamu khawatir.” 

Liv dan Ian saling berpandangan sampai pintu diketuk menandakan sarapan telah tiba.

 

*** 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?