Miserable Fate - 20

 White Carnation


Good luck!

“Crystal jadi bawa 3 lagu kan?” Liv mengkonfirmasi pada tim Production acara awards di salah satu TV ini. Crystal sendiri sedang bersiap-siap untuk rehearsal setelah menyelesaikan kuliahnya tadi siang. 

“Iya, Mbak. Untuk 2 lagu duet sama Rossa dan Sheila On 7 ya. Tapi Rossa sama Sheila baru bisa rehearsal hari Rabu,” kata anak Creative itu. 

“Iya sih gue tahu. Jadi Crystal akan datang ke sini lagi hari Rabu ya,” Liv mengelus dagunya.

“Betul. Oh iya, Mbak. Aku dapet titipan katanya nanti anak wardrobe mau ketemu buat bahas outfit Crystal selama tampil.”

“Oh iya. Kapan itu?” 

“Aku nggak tahu pasti, Mbak. Mungkin nanti Mbak Liv dihubungi langsung sama orang wardrobe-nya,”

“Ya udah kalau gitu. Makasih ya,” Liv tersenyum setelah obrolan mereka selesai dan Liv kembali ditinggal oleh si anak Creative. 

Liv baru akan menghampiri ruang tunggu artis untuk menemui Crystal, ketika ada orang yang memanggilnya. Segera Liv menoleh. Kemunculan orang yang memanggilnya itu benar-benar tidak Liv duga sebelumnya dan itu membuat Liv membeku dan bersikap canggung. 

“Eh, hai, Feb,” Liv mengangkat tangannya, melambai dan segera menurunkannya lagi.

“Nemenin Crystal?” Febri menyapa dengan ramah seperti biasa. Senyum di wajahnya terlihat sebagaimana biasanya mereka bertemu. 

“Iya. Kalau acara awards gini emang suka gue temenin. Lo?” 

Announcer gue juga lagi rehearsal. Dia jadi MC off air. Jadi gue temenin aja. Bentar doang sih,” jawab Febri dengan santai. 

“Oh gitu,” Liv mengangguk. “Eh gue…”

“Lo udah punya pacar ya?” 

Shoot! Febri pasti lihat post gue di Instagram.

“Hehe.” Liv ragu-ragu menyelipkan rambut di balik telinganya. “Begitulah Feb.” 

“Hmm,” Febri mengangguk, bibirnya sedikit tersenyum. Liv semakin bingung harus bersikap apa. Febri yang mendekatinya tapi Ian yang jadi pacarnya. Apa Febri akan berpikir bahwa Liv memberi Febri harapan palsu?

“Sejak kapan, Liv?” Febri bertanya lagi. 

“Baru tadi malem, Feb,” Liv menjawab jujur dengan harapan Febri tidak akan menaruh curiga kepadanya. Toh beberapa hari terakhir ini dia dan Febri juga tidak sering bertemu. Hanya berkomunikasi sebatas chat.

“Oh gitu,” Febri memasukkan tangan ke saku celananya. Dia masih tersenyum. Liv mulai berpikir Febri seperti merencakan sesuatu. Ah tapi mungkin itu hanya pikiran Liv yang terlalu sering membaca novel detektif. “Selamat ya.” 

Liv berusaha tersenyum. “Thanks. Dan… gue minta maaf ya Feb.” 

“Untuk?” Febri masih tersenyum dan Liv semakin merasa bersalah. 

“Yah… ya lo tahu lah…” Liv berdiri semakin salah tingkah. 

“Iya gue tahu Liv. Tapi ya sudahlah. Yang bisa gue harapkan sih lo cepet putus aja.” Kemudian Febri tertawa setelah bicara seperti itu. Liv melongo.

“Ha ha ha,” Hanya itu respon Liv.

“Gue nggak bercanda,” Febri tersenyum. “Gue masuk duluan ya Liv. Sampai ketemu. Jangan terlalu capek ya.”

Liv masih terdiam saat Febri menepuk pundaknya dan berjalan melewatinya menuju ruang tunggu artis. 


*** 


“Kamu di mana?” Suara berat Ian terdengar begitu Liv mengatakan halo.

“Di hati kamuuuuuu,” balas Liv lalu terkikik geli.

Ian menanggapi hanya dengan dengusan. “Aku ke kamar kamu nggak ada jawaban.” 

“Aku masih di JCC, Ian. Masih rehearsal untuk Crystal. Belum lagi nanti ada interview dan fitting yang belum selesai,” Liv duduk di kursi kosong lalu menggerakkan kepalanya. Terdengar bunyi tak pelan tanda tubuhnya sudah terlalu kaku.

“Bukannya rehearsalnya di BSD?” Seingat Ian, kemarin Liv ada di BSD.

“Jadi weekend ini tuh Crystal nyanyi di dua acara awards. Sabtu di BSD, Minggu di JCC. Seminggu ini full dia rehearsal, fitting, interview, take VT, photoshoot, banyak deh,” Liv memijat keningnya. 

Ian terdiam. Itulah sebabnya sejak mereka resmi pacaran, Ian belum juga bertemu muka dengan Liv lagi. Ini sudah hari Kamis dan rupanya setiap hari Liv berangkat pagi dan pulang malam. 

“Kamu udah makan?” Suara Ian melembut. 

“Belum,” Liv menggeleng. Bahkan dia tidak terpikir untuk makan ketika sedari tadi dia meeting sana sini, bertemu Creative, Produser, PR, reporter, dan segala macamnya. Belum lagi diskusi via telepon dengan tim di kantor untuk persiapan rilis single ketiga Crystal. 

“Masih lama kamu di sana?” 

Liv melihat arloji Daniel Wellingtonnya. Sudah pukul 11 malam tapi Crystal baru akan naik ke panggung. Mungkin baru setengah 1 dia bisa pulang. 

“Masih, Ian. Kamu nggak akan nunggu aku di apartemen kan?” Liv menggoda. Sedikit berharap Ian akan menunggunya di apartemen. 

“Nggak. Ya sudah, kamu kerja lagi supaya bisa pulang cepet,” pesan Ian. 

Liv tersenyum. “Thanks, pacarku,” Liv tersipu dan bergerak-gerak manja. Padahal dia tidak bisa pulang kalau Crystal belum selesai, tapi dia tetap mengapresiasi perhatian dari Ian yang belum dia temui lagi. Harus Liv akui dia cukup rindu melihat Ian secara langsung. 

Begitu telepon usai, Liv kembali memasukan telepon ke sakunya dan menghampiri Crystal di belakang panggung. Kembali memastikan bahwa konsep penampilan Crystal sudah sesuai dengan imej yang dimiliki Crystal dan tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan kontrak-kontrak yang terikat dengan Crystal. 

Hampir pukul 12 malam ketika ada seorang kru TV panitia acara yang menghampiri Liv di depan panggung. Saat itu Liv sedang melihat Crystal bergerak dari satu sisi panggung ke sisi yang lain bersama koreografer. 

“Mbak Olivia?”

“Iya saya,” Liv menoleh, menutup sebelah telinganya untuk mendengar lebih fokus.

“Ada yang nyariin Mbak di depan. Katanya bawa makanan,” si kru berteriak di telinga Liv untuk mengatasi suara bising. 

“Siapa?” 

Dia menggeleng. Hanya memberi isyarat untuk mengikutinya. Liv berpamitan pada si koreografer dan ikut melangkah keluar dari ruang utama JCC menuju lorong yang kondisinya lebih sepi. 

“Itu, Mbak,” si Kru menunjuk seseorang yang berdiri menatap sebuah pengumuman. Tangan kanannya masuk ke dalam saku, tangan kirinya memegang keresek hitam, dia mengenakan jaket kulit, sesekali tangannya membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya.

Liv tersenyum. 

Thank you,” ujar Liv pada si pengantar dan melangkah mendekati orang yang mencarinya.

“Seinget aku, aku nggak pesen delivery makanan apa pun,” Liv berbisik di telinga Ian, memegang tangannya dan bergelayut manja. 

Ian menoleh, terkejut saat ada yang memeluknya tiba-tiba. Ekspresinya berubah saat diketahuinya Liv yang merangkul mesra dirinya. Ian tersenyum sedikit. 

“Makan,” Ian mengacungkan keresek. “Nasi goreng.” 

“Sama kamu?” Liv mengambil keresek itu dan melihat isinya.

“Iya,” 

Masih sambil memegang tangan Ian, Liv mengajak Ian menuju ruang tunggu di mana mereka bisa makan dengan leluasa. Ian langsung makan dengan lahap, sementara Liv hanya memainkan sendok dan menatap Ian. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. 

“Nggak mau makan?” tanya Ian bingung.

“Masih mau ngeliatin kamu,” kata Liv genit. Kata-kata itu membuat Ian memutar bola matanya dan berniat melanjutkan makan. Liv menepuk pundak Ian untuk mengembalikan perhatian Ian padanya. 

“Apa?” 

Secepat kilat Liv mengecup bibir Ian lalu kembali duduk tegak di kursinya. 

“Liv, ini tempat umum ya,” kata Ian pelan. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri. 

“Ih santai aja. Lagi sepi juga. Lagian orang-orang pada fokus sama urusan masing-masing juga kok,” Liv terkikik. 

Sekali lagi Ian memandang sekelilingnya. Memang tidak banyak orang di sekitar mereka. Adapun orang berseliweran, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Ian kembali menatap Liv yang balas menatapnya dengan tatapan ‘bener-kan?’

“Lain kali jangan diulang, Liv,” Ian kembali makan.

“Oke. Kamu bukan penganut public display of affection ya?” Liv menyangga dagunya, mulai makan tapi tetap lebih fokus memperhatikan Ian. 

“Tergantung. Kalau cium seperti tadi, lebih baik tidak.” 

Liv tersenyum lebar. “Baik,” 

Ian menemani Liv yang menemani Crystal rehearsal sampai semuanya selesai. Pukul setengah 1 malam Crystal, Liv, 1 orang asisten Crystal, dan Ian, keluar dari JCC untuk pulang. Crystal langsung masuk ke dalam Alphard dan menyisakan Liv dan Ian saja. 

“Aku bawa mobil,” Liv menunjuk mobilnya yang diparkir di sebelah mobil Crystal tadi. 

“Aku yang nyetir,” Ian mengulurkan tangan meminta kunci. 

“Tadi kamu ke sini pake apa?” tanya Liv sambil mengeluaarkan kunci dari tasnya.

“Motor,” jawab Ian, tangannya masih terulur.

“Kalau ikut pake mobil, motor kamu gimana?” Liv tidak jadi menyerahkan kunci mobilnya.

“Nanti pagi aku ambil ke sini. Mana kuncinya?” 

“Nanti kamu bolak balik,” 

“Liv,” Ian berkata dengan nada menegur. “Sekarang udah jam setengah 1. Sebentar lagi bahkan jam 1. Kalau kita terus berdebat nggak penting gini, makin lama kita pulang. Jadi kasih aku kunci mobilnya, biar aku yang nyetir. Di mobil, kamu bisa tidur.” 

“Oh,” Liv baru menyadari bahwa Ian menawari menyetir mobilnya agar Liv bisa beristirahat. Berkorban sampai meninggalkan motornya di pekarangan parkir JCC. Akhirnya Liv menyerahkan kunci mobil ke tangan Ian dan mereka pun langsung masuk ke dalam mobil.

Dalam perjalanan pulang, bukannya Liv tidak ingin tidur, tapi dia tidak bisa tidur. Ian tidak mengajaknya bicara agar Liv bisa beristirahat. Tapi yang terjadi hanyalah Liv yang meringkuk di mobil, mendengarkan musik, dan memperhatikan wajah Ian. Sesekali tangan Ian terulur untuk mengelus rambut Liv dan membuat Liv kegirangan seperti kucing dielus majikan. 


*** 


“Halo,” kata Ian begitu dia mengangkat telepon dari Liv.

“Hei,” Liv menyapa, memasukkan tangan ke saku dan berjalan tak tentu arah. Menghindari orang-orang yang ramai berkumpul.

“Kenapa Liv?” tanya Ian yang sedang menonton film di kamarnya.

“Kamu tahu kan malam ini sama besok ada acara Awards? Yang seminggu ini Crystal latihan terus…” 

“Iya, tahu, lalu?” 

“Aku udah di lokasi dari pagi,” 

“Iya Liv kamu udah bilang tadi di WhatsApp,” 

“Iya ya hehehe,” 

Liv kembali diam. Begitu pula dengan Ian. Ian masih menunggu maksud sebenarnya dari Liv meneleponnya sekarang. Padahal, kalau Ian melihat jam, sekarang sudah pukul 1 siang dan seharusnya Crystal sudah mulai bersiap-siap untuk entah apa dan Liv pun akan ikut terbawa sibuknya. 

“Aku sebenernya punya 1 undangan, jatah aku. Kamu mau datang nggak?” 

“Oh,” 

Ian berpikir sejenak. Menonton acara awards di sebuah TV bukanlah favoritnya. Lagipula kalau dia datang, Liv pasti akan sibuk dengan urusannya. Kalau Ian tetap di rumah, dia bisa melakukan berbagai hal. Liv mendengarkan keheningan antara dirinya dan Ian dengan perasaan tidak karuan. Entah kenapa menawarkan undangan kepada Ian rasanya seperti ketika dia SMP dan mengajak orang yang ditaksirnya untuk makan bakso di depan sekolah.

“Aku harus datang jam berapa?” 

Perasaan Liv langsung lega begitu Ian berkata hal tersebut.

Open gate jam 4 sih, acara mulai jam 7. Tapi karena kamu dapet tiket tribun, jadi masuknya paling telat jam 6 aja pokoknya. Kabari aku kalau kamu udah datang, nanti aku jemput dan anterin sekalian ke tempat kamu. Oke?” 

“Dan ini acara awards yang di…”

“BSD,” 

Ian mengusap wajahnya. Demi sang kekasih, dia akan menempuh perjalanan Jakarta BSD di hari Sabtu. Semoga jalanan masih bersahabat. 

“Oke,” 

“Oke, Ian. Sampai ketemu ya!” Liv berseru girang. Mau tidak mau membuat Ian diam-diam tersenyum. 


*** 


Liv menunggu sosok berkaus, bercelana jeans, berkacamata, dan rambut berantakan di pintu gerbang menuju daerah tribun. Sosok itu tidak kunjung tiba sampai ketika teleponnya berdering dari orang yang ditunggunya. Liv segera mengangkat telepon sambil tetap mencari sosok Ian.

“Nyari siapa?” tanya Ian kalem. 

“Kamu. Kamu udah dateng?” Liv bertanya bingung.

“Aku di belakang kamu dari tadi,” 

Liv segera berbalik dan kembali melongo. Kali ini Ian mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung hingga ke siku, celana khaki, sepatu Adidas classic, kacamata bertengger di hidung dan rambut yang disisir rapi. Perlahan senyum Liv mengembang. 

“Pantesan nggak dikenali. Ini Vino Bastian apa Ardiansyah?” Liv menghampiri Ian cepat-cepat. 

Ian mengangkat bahu. 

Begitu sampai di hadapan Ian, Liv langsung merangkul Ian dan hampir mencium bibirnya. Sedetik sebelum melakukan itu Liv ingat bahwa Ian tidak suka dicium di depan umum. Lagipula saat ini sangat banyak orang di sekitar mereka. Jadilah Liv hanya mencium ujung bibir Ian. Langsung membuat pipi Ian bersemu merah. Segera dia berdeham.

“Jadi gimana?”

“Ini undangannya,” Liv menyodorkan undangan berwarna hitam kuning. “Masuknya lewat pintu itu.”

Mereka berdua sama-sama melihat ke arah pintu yang sekarang masih dipadati beberapa orang yang sedang diperiksa sebelum dipersilakan masuk. Ian mengangguk lalu kembali kepada Liv. Liv menatap Ian dan masih tersihir oleh penampilan Ian. Kenapa dia tidak setiap hari berpenampilan seperti ini?

“Tempat duduknya bebas, mau duduk di kursi mana silakan. Tapi nanti ada bagian-bagiannya, ini bagiannya ada di undangan. Kamu tanya aja bagian B2 ini di mana. Abis itu kamu duduk manis deh nonton acaranya,” Liv tersenyum lebar lagi. Ian menerima undangan dan memperhatikanya dengan saksama. 

“Kamu akan di sini sampai jam berapa?” 

“Tergantung kamu aja. Ini acaranya sampai jam 11. Crystal sih tampil jam 10. Setelah itu dia paling akan duduk di kursi artis, nonton. Aku sudah boleh pulang saat itu. Crystal ditemani Ori dan Jamie. Nah kalau kamu mau pulang jam 10 juga, ayok. Kalau kamu mau sampai selesai, nanti aku nyamperin kamu.” 

Ian berpikir dengan cepat. Lebih baik dia dan Liv pulang jika Liv sudah menyelesaikan urusannya. Pacarnya ini butuh istirahat. Ian tahu seminggu ini Liv tidak pernah pulang sebelum pukul 12. 

“Kasih tahu kalau kewajiban kamu selesai. Setelah itu kita pulang,” Ian memutuskan.

“Berarti nggak sampai selesai ya? Oke,” Liv mengangguk. “Kalau gitu kamu masuk sekarang aja. Aku… Eh, kamu bawa motor?” 

“Taksi. Ninggalin motor di BSD supaya bisa nganterin kamu pulang pake mobil kayaknya bakal susah ngambilnya,” Ian menggerakkan bibirnya sedikit. 

Liv tertawa. “Tahu aja. Nah sekarang nonton yang tenang ya pak supir. Nyonya mau kerja dulu.” 

Ian ikut tertawa pelan lalu berbalik. Mengantri bersama orang-orang untuk masuk ke dalam ICE. Demi memenuhi permintaan dari kekasih tersayang.


*** 


Di belakang, suara musik masih berdentam kencang. Penampilan dari salah satu band kebanggaan Indonesia, Sheila On 7 mengiringi langkah Ian keluar dari hall utama. Liv bilang pekerjaannya sudah selesai dan sudah memastikan Crystal duduk manis bersama Jamie menonton acara. Oleh karena itu Ian keluar untuk pulang.

Ian mendapati Liv sedang bersandar di tiang, menunggunya. Saat melihat Liv kali ini Ian baru menyadari bahwa Liv terlihat lelah. Dia menunduk dengan tangan terlipat di dada, matanya terpejam. Ian mempercepat langkahnya. Liv mendengar derap langkah lalu membuka matanya. Tersenyum saat melihat Ian mendekatinya.

“Hei,” 

Ian memperhatikan Liv lagi. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang tidak tertutup sempurna oleh concealer. Perasaan Ian, tadi Liv tidak terlihat seperti ini. Apa karena tadi mereka berdiri dalam tempat yang tidak terlalu terang?

“Kenapa?” Liv memiringkan kepalanya. “Ini kuncinya. Aku parkir di parkiran dalem.” 

Ian mengambil kunci lalu segera berjalan. Di sampingnya, Liv mengikuti sambil mengetik di ponselnya. Ian mencari parkiran yang dimaksud dan mencoba menemukan mobil Liv. Dipandanginya mobil yang diparkir satu per satu. 

Bruk.

Ian segera menoleh dan melihat ternyata Liv sudah terkapar di aspal.

“Liv!” 

Wajah Ian panik luar biasa. Segera Ian berlari menghampiri Liv dan berlutut di sampingnya. Tubuh Liv sedikit mengeluarkan aura panas dan wajahnya semakin pucat. Nafasnya terdengar begitu pelan. 

“Liv, kamu nggak apa-apa?” panggil Ian, menepuk-nepuk pipi Liv.

Liv tidak menjawab. Cepat-cepat Ian mengambil ponsel Liv yang terjatuh, memasukkan ke tas Liv, lalu menggendong Liv. Pencarian akan mobil Liv dilakukan lebih cepat. Begitu mobil ditemukan, Ian segera mendudukkan Liv di kursi belakang dan menyetir mencari rumah sakit terdekat. 


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?