Miserable Fate - 4


 

Orange Lily


Kebencian

Jadi gimana rasanya tinggal di apartemen?” suara Mel terdengar memekakkan telinga seperti biasanya. 

Liv menjauhkan ponsel dari telinganya, menggosok daun telinga sebentar, lalu kembali menempelkan ponsel tipis itu ke indra pendengarannya. “Sepi euy!” 

Mel tertawa terbahak. “Nyalain lagu dong.” 

“Udin,” jawab Liv dengan Bahasa slang. Seharusnya dia menjawab ‘udah’ alih-alih udin. Itulah Bahasa pergaulan yang untungnya Mel pun mengerti. “Tapi ya, misalnya gue abis sesuatu gitu, gak bisa gue ngetok kamar sebelah terus minta odol.” 

Beda banget sama waktu lo ngekos ya. Segala lo minta si Cynthia lah, si Alika lah,” timpal Mel. 

“Kebalik keleus,” Liv kembali memplesetkan kata-katanya. Dari ‘kali’ menjadi ‘keleus’. “Mereka tuh yang suka minjem barang gue. Ada yang balik, ada yang nggak. Sampe sekarang blender gue gak dibalikin.”

Emang lo punya blender?” Mel mengernyit bingung.

Beauty blender!” Liv mengoreksi.

Alah benda unyil begitu lo beli lagi aja kali,” Mel mendengus. “Tapi lo kenalan kan sama tetangga-tetangga lo?” 

“Cuma sama si cupu itu aja,” Liv mengingat pria menyebalkan yang tinggal di sebelah apartemennya. Tubuhnya mendadak merinding seketika. Membayangkan pria yang galak itu sjaa membuat Liv merasa tidak nyaman. 

Liv menitipkan beberapa barang di penitipan barang sebelum masuk ke supermarket di bagian bawah apartemennya. Tersenyum pada petugas, lalu kembali berjalan. Saat ini dia sudah hampir kehabisan stok Indomie padahal Liv sudah sangat lapar. Ketika Liv mencari lorong mana yang harus dia datangi, saat itulah dia melihat sosok slengean itu. 

“Ih orangnya ada!” seru Liv mendadak. 

Hah ada apa? Dimana? Di kamar lo?” Mel mendadak heboh.

“Gila kali. Masa di kamar gue. Ini gue lagi mau beli Indomie, sambel, cabe rawit, sayur…” 

Semua peralatan perang melawan kelaparan ya.”

“Harus. Nah eh si cupu ini ada depan gue,” Liv menutup mulutnya agar suaranya tidak terlalu terdengar orang lain di sekitarnya. Entah kenapa langkahnya tiba-tiba mengarah pada si cupu itu. Diam-diam Liv mengikutinya.

Lo emang stalkingin dia kali. Jangan-jangan lo naksir ya?” Tawa terbahak yang begitu puas terdengar di telinga Liv. 

“Idih males. Gak sengaja aja ketemu di sini ya. Lo harus tahu deh dia nyebelin banget kemarin. Gue lagi nyanyi-nyanyi, terus dia ngomelin gue di balkon. Gue kira yang nggak-nggak kan ya. Eh ternyata dia,” Liv mendengus.

Lo takut kan sebenernya? Takut ternyata itu suara gak ada wujudnya?” Mel tertawa geli. 

“Ember,” Liv mengangguk. Ember adalah plesetan dari kata ‘emang’. “Terus dia ngomong ‘ganggu’ dan gue langsung tahu itu suara ada bentukannya. Mas-mas di sebelah kamar gue ternyata.” 

Emang cari masalah sih dia sama lo kayaknya,” 

“Sama semua orang sih kayaknya,” Liv mengibaskan tangannya. “Rese banget asli. Jadi gak mungkin kan gue kenalan sama tetangga sebelah kamar gue itu.” 

Ya lo ajak kenalan aja dia nolak,” kembali Mel teringat pertemuan pertama mereka dengan si cupu itu. 

“Betul. Dia tuh udah cupu, kacamata tebel, bajunya gak banget, rambutnya berantakan…” 

“Lo kalau ngomongin orang, langsung depan orangnya aja,” celetuk sebuah suara dengan nada malas. 

Liv menoleh ke belakang. Melihat siapa yang bicara, membuat Liv terlonjak ke belakang. Si cupu itu sedang melihat-lihat rak di samping Liv. 

“Eh Mel gue telepon lagi nanti ya,” Liv berbisik di telepon. Tanpa mendengarkan tanggapan Mel, Liv mematikan telepon dan memasukannya ke saku. Kemudian Liv menatap pria itu sambil berkacak pinggang. 

“Seneng ya ngomong tanpa nunjukkin wujud,” Liv memulai. Matanya menyipit, hidungnya membesar, dan bibirnya manyun.

Dia hanya melirik Liv sekilas lalu kembali melihat barang-barang apa yang akan dia beli. “Lo juga seneng ngomongin orang di belakang,” katanya santai. 

“Gue Cuma curhat sama sahabat gue,” Liv tidak terima dituduh begitu walaupun memang dia membicarakan si cupu ini tanpa sepengatahuannya. Harusnya sih. Sebelum dia memergoki Liv membicarakan dirinya.

“Soal orang lain,” tambahnya. 

“Soal tetangga sebelah apartemen gue yang nyebelin,” kata Liv.

“Yaitu gue,” katanya kalem.

“Lagian lo tiba-tiba muncul aja sih terus nguping. Kalau lo gak nguping kan gak akan tahu gue ngomongin lo,” Liv mengibaskan rambutnya dan berdecak. 

Si cupu ini mendadak berhenti. Sedetik kemudian dia memasukan selai kacang ke keranjang lalu menghadap Liv. Liv hampir mundur selangkah karena takut dia akan mengkonfrontasi Liv. Rupanya dia malah tertawa. 

“Pertama, lo ngomong kenceng. Sampai 3 meter juga orang masih bisa denger. Kedua, lo berdiri di lorong tempat barang yang mau gue beli. Apa gue harus batalin rencana gue demi gak dengerin lo gossip?” Dia mengibaskan tangannya. “Lo gak sesignifikan itu.” 

“Duh sombong banget sih orang ini,” Liv menjulurkan lidahnya. “Rugi waktu gue.” 

Liv menghentakkan kakinya lalu pergi dari hadapan si cupu itu. Daripada menghabiskan waktu dan energinya untuk bertengkar, lebih baik sekarang Liv membeli barang-barang yang dia butuhkan. Indomie dan kroni-kroninya. Begitu sampai di atas, Liv akan membuat dua porsi dan memakannya di dalam saja. Tidak di balkon agar tidak memunculkan keributan dengan si katro di belakang itu. 

Liv celingak-celinguk mencari deretan rak yang menjual mie instan. Deg. Tiba-tiba Liv ingat sesuatu dan melirik ke belakang. Rak berisi ratusan bungkus Indomie rupanya ada di belakang. Tepat berhadapan dengan rak yang masih dihadapi si cupu itu. 

Pikiran Liv langsung berputar. Kalau Liv memilih rak lain demi menghindari laki-laki ini, berarti dia kalah. Kalau Liv kembali… ya Liv akan kembali. Toh seperti yang dikatakan orang itu. Lo gak sesignifikan itu. 

Dengan langkah tegap dan wajah yang menunjukkan tekad, Liv kembali ke lorong tersebut. Ditatapnya orang itu sebelum mulai mengambil berbungkus-bungkus mie instan. “Gue balik lagi karena yang mau gue beli ada di sini.” 

Dia berbalik menatap Liv. “Mau yang lo beli seisi supermarket juga gue gak peduli.” Lalu dia pergi dan meninggalkan Liv yang semakin kesal. 

“Rese lo!” seru Liv. Beberapa orang memperhatikannya tapi Liv tidak peduli. Segera ia mengambil berbagai rasa mie instan. Termasuk rasa yang tidak pernah dia coba sebelumnya.


*** 


Meskipun Liv meyakinkan dirinya untuk tidak takut bertemu dengan laki-laki itu, tetap saja Liv melihat sekeliling setiap berpindah lorong. Sebisa mungkin tidak berada dalam lorong yang sama dengannya. Rasanya Liv seperti seorang yang sedang mengutil. Padahal dia hanya menghindari seseorang saja. 

Liv menghela nafas. Akhirnya kegiatan belanjanya selesai juga. Tinggal membayar di kasir dan cepat-cepat naik. Jangan sampai Liv bertemu lagi dengan pria itu di dalam lift kemudian mereka terjebak dalam kotak besi itu bersama dan….

Brak.

Tersentak, Liv menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang. Khawatir tidak sengaja dirinya menabrak sesuatu dan menjatuhkan etalase. Sekitarnya ternyata aman. Bunyi kencang itu berasal dari rak berisi barang-barang promo yang baru saja berjatuhan karena ditabrak troli. Troli itu sepertinya lepas dari pegangan seorang anak kecil. Anak itu berdiri di tempatnya memegang troli. Wajahnya takut dan dia hampir menangis.

Tanpa pikir panjang, Liv langsung meluncur menuju anak itu. Ditepuknya pundak anak itu. “Kamu gak apa-apa?” Liv tersenyum. 

Anak itu tidak menjawab. Matanya menunjukkan ketakutan dan dia sekarang mengigiti kukunya. Liv menarik tangan dari mulut si anak. 

“Jangan takut. Beresin bareng-bareng yuk,” Liv tersenyum. 

“Ya ampun Alif!” Sebuah suara melengking terdengar. “Kata Mama juga jangan dorong-dorong troli!” 

Sepertinya ibu si anak yang berseru itu. Liv menoleh dan benar saja. Seorang perempuan menghampiri mereka. Wajahnya murka dan malu. 

“Saya bantu beresin ya Bu,” kata Liv pelan. 

“Aduh maaf ya, Mbak. Nakal emang anak ini,” ibu itu menjitak pelan putranya. Tetap tidak tega jika harus menghukumnya di situ. 

Petugas supermarket baru tiba dan melihat kehebohan ini. Petugas itu tampak geram dan sekaligus sebal. Liv sudah bersiap-siap melawan jika dia ternyata marah. 

“Bu, ini jadi rusak, harus diganti,” katanya. Bukannya membereskan kekacauan, dia malah menuntut ganti rugi. 

“Beresin dulu aja, Mas. Urusan ganti belakangan lah. Biar ketahuan mana aja yang rusak mana yang nggak. Lagian keliatannya masih banyak yang bagus kok,” Liv menanggapi. 

“Iya tapi tetep ibunya harus ganti rugi,” si petugas itu menatap ibu dari anak bernama Alif itu. 

“Masnya emang ngeliat ibunya bakal pergi? Nggak kan. Ya udah beresin aja dulu. Bawel banget sih,” Liv refleks berseru. Orang-orang tercengang melihat Liv. Bahkan Liv juga kaget dengan kalimat yang muncul dari mulutnya.

Tanpa memperpanjang urusan, Liv menyimpan keranjang belanjanya dan langsung mengembalikan barang-barang itu ke raknya. Untuk produk yang rusak, Liv pisahkan ke sebuah sisi, tidak dikembalikan ke rak. Liv juga bisa melihat ibu Alif menenangkan putranya lalu membantu Liv membereskan semuanya. Petugas yang tadi dibentak Liv juga akhirnya membantu. 

Liv merapikan rambutnya ketika semua sudah kembali seperti semula. Ketika ia mendongak, ia melihat bahwa si cupu tetangganya sedang memperhatikan sambil melipat tangan di depan dada. Liv menjulurkan lidahnya namun dia tidak merespon apa-apa. Tidak lama kemudian dia pergi begitu saja. 

“Nih bawa semua ke kasir,” kata Liv pada si petugas menyebalkan itu. 

Dia dan temannya langsung mengangkut barang-barang itu ke kasir. Liv sudah akan mengikuti mereka namun pundaknya ditahan. Ibu Alif yang memegang pundaknya. 

“Mbak, makasih ya,” ujarnya.

“Eh, saya gak ngapa-ngapain kok,” Liv mengangkat tangannya. 

Ibu itu tersenyum. Dia memegang tangan putranya yang sudah lebih tenang. “Mbak bantu banyak. Menenangkan Alif, membereskan barang, bahkan marahin petugasnya. Tadinya kalau Mbak gak marah, udah saya yang omelin dia. Ganti rugi gak masalah. Tadi saya sempet shock karena takut barang-barangnya nimpa Alif atau gimana.” 

Liv melirik anak kecil itu. Tangannya terulur dan mengacak rambut Alif. “Untung Alif gak apa-apa ya. Cuma kaget.” 

“Iya. Ya sudah mari kita ke kasir, Mbak,” ujar Ibu Alif. 

Liv dan ibu itu menuju ke kasir. Ketika dia membayar barang belanjaannya sendiri dan membayar ganti rugi atas barang-barang rusak yang disebabkan oleh putranya, dia mengulurkan sebuah kartu kredit Visa Infinite yang hanya dimiliki oleh sebagian orang. Mendadak mata Liv menjadi silau. Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya. 

“Sekalian sama barang mbaknya ya,” kata Ibu Alif.

“Eh gak usah, saya bayar sendiri aja Bu,” Liv mengangkat tangannya.

“Udah gak apa-apa,” Ibu Alif mengambil keranjang dari tangan Liv dan mengulurkannya ke kasir. 

“Padahal gak perlu. Maaf merepotkan, Bu,” ujar Liv tidak enak hati. 

“Anggap ucapan terima kasih saya,” kata Ibu itu. Mereka bertiga berjalan ke luar supermarket. Ketika di luar, ada beberapa orang dengan pakaian rapi yang langsung menghampiri ibu Alif dan mengambil barang belanjaannya. Beliau juga mengedikkan kepala dan orang-orang itu masuk. Liv menoleh ke belakang dan mereka mengangkut barang yang rusak atas ulah Alif.

Liv menghela nafas sepelan mungkin. Ternyata ibu ini bukan orang sembarangan. Setelah dipikir-pikir, dari penampilannya memang sophisticated. 

“Saya pamit ke atas dulu Bu. Terima kasih untuk semuanya,” Liv mengangguk. 

“Iya. Terima kasih ya Mbak. Oh iya ini kartu nama saya.” 

Liv segera mengeluarkan kartu namanya sendiri setelah menerima kartu nama dari Ibu Alif. Ketika membaca tulisan di kartu nama tersebut, mata Liv langsung membelalak lagi. Direktur sebuah perusahaan penerbangan di wilayah Asia. Pantas saja. 

“Permisi, Bu. Dah Alif,” Liv melambai lalu segera pergi menuju ke atas. 

Liv memasuki Liv yang ramai. MAsih kaget dengan dirinya yang tiba-tiba bertemu si cupu, membentak petugas supermarket, dan pertemuan dengan Direktur perusahaan besar. Liv melihat panel di lift yang masih menunjukkan lantai 5 namun orang-orang sudah mulai keluar. Ketika Liv melihat cermin di pintu lift, kembali ia berseru.

“Hah kok ketemu lo lagi?” 

Tetangga kamarnya hanya melirik dengan malas. Dia tidak menanggapi Liv dan memilih diam saja. Liv menoleh langsung untuk melihat pria itu bukan dari cermin.

“Lo kok tadi gak bantuin sih pas anak itu nabrak rak pajangan dan barang-barangnya jatoh? KokcCuma diem aja?” Liv mulai menyerangnya. 

“Gak perlu,” dia menggeleng lalu menguap.

Liv tiba-tiba ingin menguap juga. Dasar kenapa menguap harus menular? Cepat-cepat Liv menutup mulutnya. 

“Punya sedikit rasa simpati dong lo jadi manusia,” Liv kembali menambahkan. 

“Hmm,” gumamnya. 

“Beda banget deh sama mantan gue. Bahkan ada barang kesenggol dikit aja dia langsung bantu rapiin,” kata Liv, teringat mantan pacarnya sewaktu kuliah. 

“Gue bukan mantan lo,” kata dia lalu keluar dari lift yang sudah sampai di lantai 10. 

“Ya memang, gue bersyukur karenanya,” Liv kembali berdecak. “Padahal lo ada dan ngeliatin…” 

Dia tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap Liv. Liv mundur selangkah. Khawatir pria ini akan melakukan hal yang tidak-tidak. 

“Sebelum lo ngebentak petugas supermarket itu, pengawal-pengawalnya si ibu itu udah mau masuk dan bantu rapiin. Tapi karena lo bersikap kayak pahlawan, mereka gak jadi masuk. Jadi ngapain gue bantu?” Setelah bicara begitu, dia berbalik lagi dan segera masuk ke kamarnya.

Liv terdiam. Rupanya laki-laki ini sudah tahu lebih dulu mengenai para pengawal itu. “Hih tapi tetep aja basa-basi dikit kek!” Liv berseru dengan geram tapi tidak bisa didengar. Toh dia sudah masuk ke kamarnya.


*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?