Miserable Fate - 1

 Cyclamen

Selamat Tinggal

Tik tok tik tok. The clock is ticking and that is the only voice we listen in this room, right now. Bahkan suara nafas kami pun tidak terdengar sama sekali. Rasanya seperti kami berusaha keras menahan nafas sekaligus menahan waktu agar tidak beranjak dari saat ini. Meskipun kami tahu, itu tidak mungkin. 

Aku masih memejamkan mataku. Pikiranku masih melayang ke mana-mana. Hatiku masih penuh dengan penolakan. Kepastian menjadi ketidakpastian. Keyakinan menjadi keraguan. Ketenangan menjadi keresahan. 

Dia mengeratkan pelukannya di pinggangku. Gerakannya membuat aku semakin merasa sakit. Sepertinya dia merasakan hal itu karena sekarang tangannya yang lain mengelus rambutku. 

“Liv,” panggilnya. 

Menanggapinya, aku hanya menunduk tanpa membuka mataku. Seakan aku berharap perpisahan kami ini hanya sebuah bunga tidur. Mimpi. Angan-angan yang akan pudar ketika aku membuka mata.    

Poof! 

Seperti balon sabun yang menghilang bahkan oleh sentuhan lembut sekalipun. 

Don’t,” aku membuka mata. “Don’t say anything.” 

Tatapannya di hadapanku menunjukkan bahwa dia pun merasa risau, merasa bersalah, merasa tidak tentu. Dia tidak pernah terlihat seperti ini di hadapanku. Bahkan di hadapan orang lain. Hanya kali ini. 

Matanya yang biasanya dingin dan tidak berekspresi, kali ini begitu keruh. Bahkan di balik kacamata yang dia gunakan. Kacamata itu tidak sanggup menutupi betapa menyesalnya dia atas keadaan yang kami alami. 

“Bisa Liv,” katanya pelan. Tangannya yang besar sekarang memegang tanganku, mengantarkan ke bibirnya. Dia mencium jemariku dengan khidmat. Sentuhannya membuat tubuhku merasa dialiri oleh listrik beribu volt.

“Gak mungkin. Sudah terlambat,” aku menggeleng. Menolak kuat-kuat apa pun argumen yang telah dan akan dia katakan.

“Kita masih bisa mengusahakan.” 

“Dan menyakiti lebih banyak hati lagi?” 

“Dan kamu gak peduli dengan hati aku?” 

Pertanyaannya membuatku terdiam. Hanya air mata yang masih menitik di pipiku. Kami berdua tidak bicara. Dia kembali menatapku dan membuatku seakan ditembak oleh senapan yang langsung melumpuhkan seluruh sendi-sendi tubuhku. 

Tik tok tik tok. Bunyi jam itu kembali terdengar. Entah kenapa kondisi ini membuat aku teringat masa-masa kami bersama. Suara jam tidak pernah terdengar. Jarum jam yang bergerak tidak pernah diperhatikan. Bahkan keberadaan benda itu kami abaikan. Kami terlalu menikmati saat-saat bersama. Waktu, kesampingkan saja. 

Aku masih ingat saat kami duduk berdua di sofa itu. Sofa yang sekarang seperti menonton drama kehidupan kami dalam sunyi. Dia dengan laptopnya dan aku yang sibuk menonton TV. Aku yang tertawa saat ada adegan lucu di TV dan dibalas hanya dengan tatapan heran darinya lalu dia kembali bekerja. Di sofa itu juga pertama kalinya dia mencoba masakanku. Pertama kalinya aku memasak selain mie instan. Demi dia. Di sofa itu juga aku tidak sengaja melihat pemandangan yang tidak pernah aku duga bisa aku lihat dari dia. Mungkin sofa itu perlu dipensiunkan juga. 

“Aku gak seharusnya datang ke sini,” kataku. Nafasku memburu atas perasaan yang kurasakan sekarang. Sedih, kesal, marah, kecewa. 

Why?” Dia bertanya. Matanya yang berwarna hitam kelam berkilat oleh kekecewaan. 

“Semuanya…jadi sulit,” kutarik lepas tanganku dari pegangannya. Aku mundur, menjauh dari tubuhnya. 

Tubuh yang kurindukan untuk kupeluk. Tubuh yang besar dan kuat untuk menggendongku saat aku terkapar pingsan. Tubuh yang menguarkan kehangatan bahkan hanya saat kami berdiri bersisian. Tubuh yang tertutupi oleh pakaian seadanya karena dia tidak peduli dengan fashion. Tubuh yang terawat berkat pilihan makanan dan olahraga yang rutin. Tubuh yang dulu selalu memberiku kekuatan.

“Kamu harus tahu kenyataannya,” katanya, mendekatiku lagi. 

“Aku sudah tahu. Waktu itu kamu bilang,” kugelengkan kepalaku kuat-kuat. 

“Kamu harus tahu dengan detail. Saat ini waktunya. Bukan saat kita tidak sengaja bertemu.” Langkahnya yang besar membuatnya kembali berada tepat di hadapanku. Punggungku menyentuh pintu yang tertutup sehingga aku tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Kedua tangannya berada di sisi kepalaku. Kakinya berada di sisi kedua kakiku. 

Aku ingin mendorongnya tapi aku seperti tidak punya tenaga. Lemah. Itu yang kupikirkan terhadap diriku sendiri. Dia kelemahanku. Karena dia juga aku bersedia datang kemari. Datang ke tempat yang sudah berbulan-bulan tidak kukunjungi. Tempat yang penuh dengan kenangan.

“Sudahlah,” kataku dengan lelah. “Sudah.” 

“Aku bisa mengambil ponselku sekarang dan meneleponnya. Aku juga bisa keluar dari apartemen ini sekarang dan mendatangi dia langsung. Aku bisa lakukan…”

“Gak ada yang bisa kamu lakukan,” potongku dengan cepat. Kusentuh bibirnya dengan telunjukku. Dia tersentak. 

Let it be. This is the best,” bisikku. Jari yang ada di bibirnya, kugerakkan perlahan untuk mengusap bibirnya. Kali ini dia tidak kaget seperti tadi. Dia mencium jariku yang ada di bibirnya. Aku melihat dia mencium jariku dan perasaanku menjadi hampa. 

His kiss. A medicine for my sick day. A solution to my problem. A fire to my spirit. 

Aku membiarkan dia masih mencium jariku, menjilatnya dan mulai menghisapnya. Harus kuakui, gerakannya mengirimkan gelenyar yang sudah sangat kuhafal. Hampir meruntuhkan pertahananku. Namun aku harus kuat. Aku harus tegas dengan keputusanku. Tegas terhadap apa yang akan menjadi masa depan kami. 

Perlahan, kugeser jariku ke pipinya untuk menghentikan gerakannya yang hampir membuat imanku lemah. Kuelus pipi dan dagunya yang sekarang dipenuhi bulu-bulu halus. Aku tahu sekarang dia kembali mengabaikan penampilannya. Karena aku tak ada lagi di sisinya? 

Tangan kiriku yang sedari tadi terkulai lemas, kuangkat ke wajahnya. Kedua pipinya kudekap dengan jari-jari lentikku. Jari jemariku menyusuri pipi dan rahangnya, menyentuh dan mengelusnya secara perlahan. 

Matanya tidak lepas dari mataku. Begitu pula aku. Tidak sedetik pun kulepaskan pandanganku darinya. 

Sekarang tanganku bergeser pelan ke samping. Kupegang gagang kacamatanya dan kutarik pelan dari wajahnya. Dia menutup matanya sekilas dan kembali membukanya saat dia tahu bahwa kacamatanya berhasil terlepas. Aku lipat kacamata itu dan kutaruh di saku kemejanya. 

I like to kiss you better when your glasses is off. Aku ingat pernah berkata seperti itu padanya. Awalnya dia hanya menanggapi sambil lalu dan dengan tawa yang singkat. Sekian kali kami berciuman masih dengan kacamatanya bertengger di hidungnya. Meskipun jika aku sedang dalam suasana hati tidak menyenangkan, dia akan membuka kacamatanya lalu menciumku. Tidak ada masalah dengan kacamatanya. Hanya saja aku jadi tidak bisa leluasa melanjutkan ciumanku ke bagian wajahnya yang lain.

Dari sudut mataku, bisa kulihat bahwa dia menurunkan tangannya dari samping kepalaku. Rupanya masih sama seperti dulu. Pikiran dan perasaan kami masih tersambung. Koneksi itu masih ada. 

Dia menurunkan tangannya dan memindahkannya ke pinggulku. Kembali menarikku mendekat sehingga aku kembali terkurung dalam pelukannya. Pelukan yang sekarang terasa putus asa. 

Kulingkarkan tanganku di lehernya dan aku memejamkan mataku. Hanya butuh satu detik hingga kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Sebuah gerakan yang familiar. 

Seakan tidak ada apa pun yang terjadi, kami berciuman. Ciuman yang semula hanya berupa sentuhan, berubah menjadi desakan, berubah kembali menjadi permainan orang dewasa. Orang dewasa yang putus asa dan kebingungan. 

Tik tok tik tok. Suara detik jam dinding itu kembali terdengar. Bunyinya seakan mengingatkanku atas berapa lama waktu yang kami habiskan untuk berciuman. Semakin lama bibir kami bersentuhan, bunyi itu terasa semakin keras, kencang, dan mendesak. Seperti bunyi penghitung waktu di ajang Masterchef yang sering kutonton. Semakin lama, waktu kami semakin habis. Kemudian kami harus menyelesaikan apa pun aktivitas kami saat itu dan mengangkat kedua tangan. Bagi mereka, itu pertanda bahwa mereka sudah selesai. Bagiku, itu pertanda kami menyerah. 

Aku yang pertama menarik bibirku menjauh. Bisa kurasakan bibirku membengkak. Begitu juga dengannya. Kupalingkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik jauh tanganku dari lehernya. Dia juga melepaskan tangannya dari tubuhku. 

Is it final?” katanya.

Yes,” aku mengangguk. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Kupaksakan bibirku untuk tersenyum meskipun tidak ada alasan untuk itu. Sekali lagi, wajahnya terlihat sedih. Ekspresinya seperti anak kecil. Anak kecil yang cintaku padanya harus segera dihapus. Hapus tuntas seperti tulisan di whiteboard menggunakan spidol boardmarker

“Kenapa harus bertemu jika harus berpisah?” katanya kesal.

So we can learn something.” Mendadak aku terkikik.

What so funny?” Dia mengernyit. 

I used to be the one being teached by you. Liv, kamu harus begini. Liv, kamu jangan begini. Sekarang aku yang mendadak lebih bijak.” Hampir saja kuulurkan tanganku untuk kembali mengelus rambutnya. Sepersekian detik kemudian aku ingat bahwa ini adalah hari perpisahan kami. Segera kualihkan tanganku untuk memeluk tubuhku sendiri. Seakan menjadi penguat sekaligus penghalang bagiku sendiri. 

Dia mendengus. 

Funny,” katanya tanpa ada sedikit pun unsur lucu dalam nadanya. 

“Aku…pergi…” 

Dia tidak langsung merespon, melainkan menatap mataku lekat-lekat. Kembali membuatku seperti ditelanjangi. Seakan dia sedang melakukan scanning terhadap diriku dan mencari bukti bahwa aku berbohong. 

There is…” Dia berhenti, menunduk dan menghela nafas. “Nothing I can do, right?” 

Rasanya aneh melihatnya seperti ini. Clueless. Bingung. Tanpa arah. Ketika biasanya dia selalu yakin. Dia selalu tahu apa yang harus dilakuknnya. Dia yang selalu membimbingku dan memberitahuku berbagai hal. 

“Ya,” 

Akhirnya dia mengangguk. “I’ve tried,” dia menambahkan.

I know,” aku tersenyum lagi. “It just won’t work for us.”

Ketika tidak ada lagi yang kami katakan ataupun kami lakukan, sebelum suara jam dinding menyebalkan itu kembali merasuk ke dalam kepalaku, aku berbalik. Pintu berada tepat di belakangku. Seharusnya tidak ada kesulitan untuk pergi.

“Liv,” panggilnya lagi. 

Entah kapan aku bisa mendengar panggilan ini keluar dari mulutnya lagi. Mungkin tidak pernah. Mungkin ini yang terakhir kalinya? Aku ingin merekam panggilan itu dalam kepalaku selamanya. Bahwa ada satu masa dalam hidupku dimana aku merasa sangat dicintai namun harus dilepaskan dalam waktu yang sama. Semua gara-gara situasi. 

“Ya?” Aku menoleh ke belakang. 

Dia sudah kembali mengenakan kacamatanya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya lebih tenang daripada tadi. 

I love you,” katanya. 

I love you, kata Ian. Kurekam jelas wajahnya, suaranya, kalimatnya saat ini. Kurekam dan kusimpan dalam lubuk hatiku yang terdalam. Semacam harta karun yang aku simpan namun kusingkirkan jauh-jauh. Menyimpannya hanya untuk memberikan ketenangan walaupun tidak ada manfaat apa pun yang kudapatkan.

Aku tersenyum. Hanya itu. Kemudian aku membuka pintu dan keluar. 


***

 

 

Novel ini karyaku asli. Pernah dipublikasikan di Webcomics tapi karena mereka menutup layanan novel, jadi hak publikasinya kembali ke aku. Aku putuskan untuk post di blog supaya blog ini juga lebih aktif. Bisa dibaca secara gratis! Semoga suka! 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?