Miserable Fate - 3
Daisy
Polos, kesucian, keteguhan, bahagia, kesederhanaan, kesetiaan cinta
Liv mencium wangi Indomie goreng dengan khidmat. Tidak ada yang lebih menyenangkan baginya selain pulang bekerja dan memanjakan diri di rumah. Kali ini caranya memanjakan diri adalah dengan membuat Indomie goreng dobel dan segelas es teh manis ukuran besar. Membuat dia merasa seperti di warkop saat jaman kuliah dulu. Seharian Liv menghabiskan waktu di lokasi syuting dan pada malam harinya Liv bertemu calon klien iklan baru Crystal. Meeting berlangsung lama dan Liv hanya sempat meminum kopi. Akibatnya sekarang perutnya keroncongan dan dia tidak mengantuk sama sekali.
Liv meminum tehnya perlahan-lahan. Merasakan manis dan segarnya teh mengaliri tenggorokannya.
“Aaaah enak,” ujar Liv. Untuk membuat suasana hatinya semakin baik, Liv membawa makanan dan minumannya ke balkon. Dia sudah menyulap balkonnya menjadi tempat yang nyaman untuk diduduki sembari melihat pemandangan Jakarta di kala malam. Dengan sofa dan selimut untuk mencegah kedinginan. Liv melipat kaki di atas sofa, menaruh teh dengan hati-hati di meja, menyimpan ponsel di sebelahnya, dan berdoa sebelum memulai makan. Baru ketika Liv selesai berdoa, ponselnya berdering.
“Ada apa nih Crystal nelepon jam 11 malem?” gumam Liv dan segera mengangkat telepon itu.
***
Ian meregangkan badannya yang terasa kaku. Dia belum beranjak dari mejanya sejak 3 jam lalu dia sampai di apartemen setelah bekerja. Kembali dia bekerja di rumah karena dia merasa kurang lengkap jika menghabiskan waktunya hanya bengong. Tapi sekarang Ian butuh istirahat.
Ian membuat kopi dengan coffee maker dan menyalakan lagu jazz klasik untuk menamani malamnya. Sambil menggerakkan badannya untuk lebih luwes, Ian membawa kopi dan rokoknya ke balkon. Di balkon ini adalah salah satu tempat favorit Ian selain kamarnya sendiri. Ian bisa duduk berjam-jam di tempat ini dan mendapatkan banyak ide yang bermanfaat untuk pekerjaannya. Ian juga bisa duduk mendengarkan musik di balkon sambil melihat keramaian kota Jakarta dan menelepon keluarganya yang berada di kota lain. Di sini juga dia merasa tenang setelah aktivitasnya yang padat seharian ini.
Sayangnya malam ini kenyamanannya sedikit terganggu.
Ian mencari sumber suara yang mengganggunya malam ini. Sebelumnya dia tidak pernah terganggu saat memerlukan waktu sendirian. Ian menghela nafas dan menggeleng. Dia menaruh kopi dan memperbaiki kacamatanya lalu berdiri. Dihampirinya pagar balkon dan dia menoleh ke kanan. Tetangganya di sebelah kanan tampak hening. Lagipula jarak balkonnya dengan balkon tetangga sebelah kanannya terbilang jauh. Ada ruangan kamar tidurnya dan kamar tidur tetangganya untuk mencapai balkon. Ketika menoleh ke kiri, Ian mengerti. Ini pasti ulah tetangga barunya yang membuat keributan kemarin.
Ian berdeham, bersiap untuk menimpali kata-kata tetangganya agar tidak terlalu berisik dan mengganggu ketenangan malamnya. Dia menempelkan diri ke tembok dan menjulurkan kepalanya. Tetangga sebelahnya tidak terlihat tapi Ian bisa mendengar suaranya. Sepertinya dia sedang mengobrol.
***
“No, Crys, I said no,” Liv menentang bahkan ketika Crystal baru saja mengatakan satu kalimat.
“Kenapa?” Crys merengut di telepon. “I was invited to one of the coolest party in town.”
“Which will get you into nothing,” Liv menggaruk telinganya. “I know the list of invitation. All of them are persons you have known before. On the other side, attending the party these days, when you have class to attend tomorrow, is not a good idea.”
“Cuma sebentar, Liv. Setelah itu pulang,” pinta Crystal lagi.
“I’m sorry but I know you, Crys. Nggak akan sesebentar yang lo maksud. Lo pasti bakal terlena. Ngobrol sana sini, ujung-ujungnya pulang pas pestanya selesai. Lagipula gue nggak mau ya lo datang terus masuk Lambe Turah gara-gara lo kedapetan minum atau pake baju kayak gimana atau tiba-tiba cium siapa. You are the Indonesian sweethearts and I’m not gonna put your career for a short getaway party,” Liv berkata dengan tegas untuk memperingatkan Crys.
“Okay,” akhirnya Crys setuju. “Mungkin gue akan bantu Ruby belajar aja di rumah.”
Ruby adalah adik perempuan Crys yang masih duduk di bangku SMA. Liv mendapat ide. “Maybe, instead of attending some random party, you can post you and Ruby working on her homeworks to show how clever and caring sister you are. It could be more of positive publicity for you.”
“Hmm, ide bagus. Lagipula PR Ruby tentang Kimia, aku harusnya bisa membantu,” Crystal setuju. Saat ini dia berkuliah di Fakultas Teknik UI.
“Setuju. Lagipula Crys, if there is any party you should attend, I’ll find you kind of social party, biggest party of the year, opening of new branded store, and that kind. Leave it to me,” Liv meyakinkan Crys sekali lagi.
Kali ini Crys tertawa. “Oke, I trust you,”
“Well you should. Inget ya Crys, sekarang lo adalah penyanyi muda andalan Indonesia. Kalau penyanyi muda cowok kita punya Rizky Febian, young, good looking and talented, penyanyi muda cewek kita punya Crystal Claudia. Sheryl Sheinafia, lewat!” Liv berkata semakin berapi-api.
“I know it Liv. I know. You have said it to me thousand times,” Crys terkikik. “Oke kalau gitu aku bantu Ruby belajar dulu. Sudah malam tapi dia tetap masih bingung dengan PR-nya. Sampai bertemu besok ya Liv.”
“Oke. Jangan lupa istirahat. Kelas besok jam 8 kan?”
“Yeah. Nanti ketemu di lokasi photoshoot di Radio Dalam jam 2 kan?”
“Iya. Istirahat Crys. Don’t mind of asking me if you are confused about anything.”
Crystal menutup teleponnya sehingga akhirnya Liv bisa menikmati mi gorengnya yang sudah mulai mending. Ditambah lagi dengan angin yang menerpa semakin kencang. Liv mengangkat bahu, yang jelas dia punya perut yang minta dipuaskan. Jadi Liv tetap menikmati mi gorengnya dengan lahap.
***
Ian mendengarkan suara Liv yang terdengar jelas hingga ke balkonnya dengan saksama. Perempuan ini terdengar bossy dan senang menyuruh. Ian berharap dia tidak perlu bertemu muka lebih banyak daripada yang sudah pernah terjadi.
***
Another morning another meeting. Liv bangun terlambat karena malam sebelumnya dia baru menemani Crystal interview di radio. Awalnya Liv tidak ingin ikut karena pagi ini dia harus breakfast meeting dengan merk kecantikan yang ingin menjadikan Crystal sebagai brand ambassador. Apa daya, beberapa menit sebelum Crystal on air, produser program radio tersebut meminta Liv datang karena dia ingin membicarakan konsep Crystal ‘membajak’ program radionya. Liv bersedia karena ini merupakan promo yang bagus untuk album Crystal. Alhasil pagi ini Liv bangun kesiangan dan dia terburu-buru keluar dari apartemen.
“On the way ya, Mas,” gumam Liv membacakan teks yang dia kirimkan kepada sang klien. Padahal dia masih di depan lift. “Eh tab gue mana ya?”
Liv membuka tasnya dan menyadari bahwa tab yang biasa dia pakai untuk menulis catatan meeting tidak ada dalam tasnya. “Aduh!” Liv segera berbalik kembali menuju kamar. Sambil tetap melihat ponsel untuk membaca grup Whatsapp yang pagi-pagi sudah aktif membahas promosi album Crystal.
Brugh!
“Aduh sakit!” Liv berseru dan memegang pundaknya. Tabrakan yang terjadi dengan orang entah siapa ini membuat Liv merasa pundaknya akan cedera. Liv mengangkat kepala untuk melihat makhluk yang menabraknya. “Lo?”
Ian memutar bola matanya karena dia harus berhadapan dengan orang ini lagi. “Kalau jalan itu matanya ke depan,” Ian berkata dengan jelas sambil menatap Liv dengan tajam. Setelah bicara begitu dia langsung pergi.
“Hei minta maaf kali!” Liv berteriak.
“Bukan gue yang salah,” balas Ian tanpa menoleh. \
“Lo nyebelin tau nggak!” Liv berseru. Ketika dia memutuskan tidak memperpanjang masalah dengan Ian dan bergegas membuka pintu kamar, mendadak tangannya terasa lemas. “Ouch.”
Rasanya Liv tidak mampu mengangkat tangan kanannya. Mungkin badan laki-laki itu terbuat dari baja sehingga Liv langsung kewalahan saat menabraknya. Liv menarik nafas dan berusaha mengangkat tangannya yang terasa lemas. Berusaha mengambil kunci di dalam tas tapi pundaknya terasa nyut-nyutan.
“Mau ngapain?”
Liv melihat laki-laki itu ternyata sudah kembali di sampingnya.
“Bukan urusan lo. Sana pergi!” Liv menggebah Ian dengan tangan kirinya yang sehat.
“Ya udah kalau nggak mau dibantu,” Ian berkata pelan lalu pergi lagi.
“Nyebelin,” gumam Liv. Dengan susah payah akhirnya Liv berhasil mengelurkan kunci dan segera masuk untuk mengambil tabnya. Dia berusaha mengurangi gerakan yang akan membebani tangannya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat meeting, Liv memijat pundaknya agar terasa lebih baik. Dalam hati Liv berpikir bahwa pertemuannya dengan si tetangga sebelah tidak pernah meninggalkan kesan baik. Sekali lagi Liv mengingatkan dirinya untuk menjaga jarak.
***
“Kapan kamu pulang, Nak?” tanya ibunya malam itu.
Ian menggaruk kepalanya. Dia sudah tiga bulan lebih tidak pulang ke Surabaya. Semua itu karena ibunya selalu bertanya kapan dia akan menikah. Bukan Ian tidak ingin menikah. Dia mau, tapi tidak saat ini. Ian belum menemukan perempuan yang tepat. Meskipun dia sudah rindu pada ibunya yang sekarang tinggal sendiri dan hanya ditemani asisten rumah tangga.
“Belum tahu, Ma,” jawab Ian akhirnya.
“Selalu gitu setiap Mama tanya,” terdengar suara merengut ibunya dan Ian sudah tahu ke arah mana kelanjutan obrolan ini.
“Mama tuh sudah semakin tua. Kami semakin jarang pulang. Kamu tega membiarkan Mama sendirian terus?”
Ya, mulai, pikir Ian.
“Apa sih yang kamu cari di Jakarta? Jodoh? Nggak kan? Buktinya sampai sekarang Mama nggak pernah dikenalkan dengan siapa-siapa,” ibunya melanjutkan.
Oke. Skenario yang sama.
“Setidaknya kalau kamu punya istri, nanti punya anak, Mama kan bisa ditemenin anak kamu nanti di sini,” kata ibunya lagi.
Mana mungkin aku di Jakarta tapi anakku di Surabaya, Ma?
“Jadi kapan?” Ibunya kemudian berhenti.
“Pulangnya?” sambar Ian.
“Nikahnya?”
Ian menghela nafas sambil menjauhkan telepon. “Mungkin pekan depan waktu ada long weekend, Ian akan pulang.”
“Bener ya?” Suara ibunya langsung terdengar ceria. “Kamu ambil cuti tambahan kalau perlu. Jadi bisa agak lama di Surabaya. Ya nak ya?”
“Soal cuti, Ian lihat nanti ya Ma. Soalnya lagi ada project gede. Belum tentu bisa ditinggal lama-lama,” Ian bicara setenang mungkin.
“Apa gunanya kamu jadi Manajer kalau nggak bisa cuti barang sehari? Minta anak-anakmu yang handle dong, Yan.” Sekarang ibunya terdengar galak.
“Makanya Ian lihat nanti ya Ma. Ian usahakan. Percaya deh,”
Kali ini ibunya tidak berkata apa-apa. Ada jeda kosong diantara ibu dan anak ini.
“Ma?”
“Kamu tahu kan betapa Mama kangen sama kamu?” Ibunya berkata dengan sedih.
Ian memejamkan matanya. Tiba-tiba Ian teringat masa-masa kecilnya dulu. Tinggal bertiga bersama ibu dan ayahnya. Selalu bahagia dan tidak pernah kurang suatu apapun. Beranjak dewasa, Ian menuntut ilmu ke ibu kota. Menempuh pendidikan di bidang yang dia sukai, Information Technology. Kemudian dia mendapatkan berita bahwa ayahnya tewas dalam kecelakaan. Meninggalkan ibunya sendirian. Ian tahu dia seharusnya pulang dan menemani ibunya menghadapi semua itu. Ian memang pulang, untuk kemudian kembali ke Jakarta dan kembali ke Surabaya kurang dari hitungan jari dalam setahun. Ian hanya tidak bisa terus ingat bahwa setiap pulang, ada bayangan ayahnya yang tidak akan bisa dia lihat lagi. Di Jakarta, dia bisa selalu berharap ayahnya ada di rumah. Walaupun ketika Ian pulang dan mendapati ayahnya tidak ada lagi, kenyataan itu menghancurkannya diam-diam.
“Ian juga kangen Mama,” kata Ian dengan susah payah.
“Ya sudah. Jaga diri baik-baik di Jakarta. Jangan lupa makan. Kurangi rokokmu itu dan jangan keseringan begadang. Sering-sering telepon Mama ya,” Ibunya mengucapkan kalimat yang Ian tahu selalu diucapkan di akhir percakapan mereka.
“Mama juga sehat-sehat ya,” pesan Ian pada ibunya.
Telepon kemudian berakhir. Ian melihat kalender untuk memastikan benar ada long weekend di pekan depan. Dia segera memesan tiket pesawat untuk menemui ibunya sekaligus tiket pesawat untuk dia kembali ke Jakarta. Setelah e-ticket dia dapatkan, Ian mengirimkan screenshot tiket tersebut kepada ibunya.
Ian mengambil rokoknya dan duduk lagi di balkonnya. Malam ini langit cerah. Bintang muncul di langit dan berkerlap-kerlip bergantian. Ian mulai merokok sambil menatap langit. Suasana saat itu terasa sunyi.
Sampai…
“I’m way too good at goodbyeeeeeeeee….”
Ian langsung terbatuk mendengar suara keras dan sumbang. Ini pasti ulah tetangga barunya. Tetangga yang dalam setiap pertemuan mereka pasti menimbulkan pertengkaran dan belum dia ketahui namanya.
“No way that you see me cryyyyy-y-y,” suara itu kembali terdengar menyanyi dengan sepenuh hati.
Ian memutuskan untuk berdiri dan menempelkan diri sedekat mungkin ke tembok pembatas balkonnya.
“Hoi!” seru Ian.
***
“Hoi!”
Liv tersentak. Cepat-cepat dia menghentikan nyanyiannya dan mendengarkan dengan saksama. Seruan yang baru dia dengar apakah memang nyata atau halusinasinya saja? Liv memandang ke kanan dan ke kiri. Di kamarnya tidak ada orang lain. Lagipula ini lantai 10. Jangan-jangan…
“Suara lo sumbang,” terdengar suara lagi.
Jantung Liv berdetak makin kencang. Jangan-jangan itu suara ‘penghuni’ kamar ini yang ternyata tidak suka karena dia menyanyi sesuka hati. Liv langsung memejamkan mata dan berkomat-kamit.
“Nggak usah nyanyi lagi. Ganggu telinga,” suara itu berkata lagi.
Liv rasanya mengenali suara itu.
“Ganggu!”
Liv terperangah. Itu suara yang sama yang membuatnya sebal selama beberapa hari tinggal di apartemen ini. Rasa takutnya hilang, digantikan rasa sebal. Liv menengok ke kanan dan ke kiri. Karena di sebelah kirinya tidak ada kamar dan dia pernah melihat orang menyebalkan itu tinggal di sebelah kanan kamarnya, pasti saat ini dia juga berada di sebelah kanannya.
Sebelum mengkonfrontasi orang menyebalkan itu, Liv melihat balkonnya. Dia tidak bisa mengambil resiko untuk nyawanya demi membalas perlakuan menyebalkan si tetangga. Keselamatan tetap yang utama. Oleh karena itu Liv segera mengambil selendang dari kamarnya, menalikan itu ke pinggangnya dan menalikan ujung satunya ke pagar. Setelah itu Liv berpijak pada sofa yang dia geser ke pagar, memegang tembok sekuat tenaga, setelah itu melongokkan kepala ke balkon sebelah.
“Heh apa sih marah-marahin!” seru Liv.
***
Ian kira tegurannya berhasil membuat perempuan itu jera. Nyatanya sekarang di hadapannya dia muncul seperti monyet sedang mengintip. Ian kaget dan dia mundur selangkah. Tidak menyangka bahwa dia senekat itu untuk memanjat pagar. Cepat-cepat Ian mengatur kekagetannya dan menatap perempuan nekat ini sambil menggeleng.
“Ada bakat kayak monyet ya. Manjat-manjat,” komentar Ian.
Perempuan itu mengangkat bahu. “Setidaknya gue punya keberanian buat ngomelin orang secara langsung. Bukan cuma kedengeran suaranya sampe bikin orang takut.”
Ian tertawa. “Jadi lo sempet takut tadi?”
“Heh kata siapa? Nggak ya. Gue cuma kaget,” perempuan itu menggeleng. Tidak terima dibilang takut.
“Mending lo turun deh. Daripada di bawah liat terus dianggap ada percobaan yang nggak-nggak. Setelah turun mending lo tidur. Nggak usah nyanyi-nyanyi. Ganggu tetangga,” kata Ian pelan tapi mata dan ekspresinya seperti mengejek.
“Tetangga siapa? Lo? Ih sorry. Daripada harus mengurangi hobi menyanyi gue, mending gue ganggu lo sampe bosen. Bye!” Setelah bicara begitu, perempuan itu menghilang. Ian sempat khawatir dia terjermbap ke tanah. Namun ketika dia masih mendengar suara menggerutu dari sebelahnya, Ian tahu perempuan itu baik-baik saja dan masih akan terus mengganggunya.
***
“Kalau nggak mau diganggu mending tinggal di hutan aja sono. Paling direcokin gajah ama singa,” gerutu Liv tanpa mengurangi volume suaranya.
“Cause everytime you hurt me the least that I cryyyyyyyy!” Liv kembali menyanyi sekeras mungkin dan sesumbang yang dia bisa. Hanya demi membuat tetangga di sebelahnya semakin kesal.
***
Komentar