Miserable Fate - 19
Four Leaf Clover
Jadilah milikku
Crystal is calling.
Ian melongok ke layar ponsel Liv yang menyala. Ponsel itu bergetar di atas meja ruang tamu ketika Liv sedang mengambil sesuatu di kamarnya. Ian mengambil ponsel itu dan berdiri di ambang pintu kamar Liv.
“Crystal nelepon,” kata Ian, mengulurkan ponsel Liv.
“Oh?” Liv yang sedang mengikat rambutnya segera menyelesaikan urusannya dan mengambil ponsel dari tangan Ian. “Gimana Crys?”
“Udah mau nyampe nih Liv. Nanti kemana?”
“Cari aja tower F. Parkir deket situ. Terus nanti naiknya bareng Mel aja. Dia juga udah mau nyampe. Mel udah tahu tempat gue. Tahu Mel kan?” Liv bicara sambil mengeluarkan makanan yang sudah dia beli.
“Iya udah pernah ketemu. Tapi nanti bilang Mel kalau gue nungguin dia,” ujar Crys lagi.
“Iya nanti gue bilangin. Jadi sama Jamie?”
“Jadi. Nih dia yang nyetirin. Oke, cari parkir dulu ya.”
Setelah telepon Crystal selesai, Liv segera menelepon Mel.
“Mel, udah nyampe? Bareng Adam kan? Nanti naiknya tunggu Crystal dulu ya. Biar bareng dia. Terus kalau udah di depan kamar gue, langsung buka aja. Gue nggak turun karena masih ada yang dikerjain. Oke?”
“Okeeeee. Ini gue lagi parkir sama Adam.”
Liv kembali menyimpan ponselnya dan melihat apa lagi yang harus dia siapkan. Ian berdiri di sampingnya dan ikut melihat beberapa makanan dan cemilan yang Liv siapkan untuk tamu-tamunya. Sengaja Ian datang lebih cepat untuk membantu Liv.
“Butuh bantuan apa lagi?”
“Udah sih kayaknya,” Liv berbalik menghadap Ian. “Mereka juga pada bawa makanan lagi. Makanannya jadi banyaaaaak banget padahal orangnya cuma berenam.”
“Oke,” Ian memasukkan tangan ke saku celana jeans-nya. Sedetik kemudian dia mengeluarkan tangannya lagi. “Liv, er, soal kemarin…”
Liv mengernyit. “Kamu nggak bermaksud minta maaf kan?”
“Eh? Yah, maksudnya begitu. Aku khawatir kamu marah karena kemarin…”
Liv malah mengangkat bahu. Didekatinya Ian dengan ekspresi malu-malu dan disentuhnya pipi Ian dengan jari tangannya. “Aku malah heran kok nggak ada kelanjutan apa-apa lagi.”
Awalnya Ian masih kaget. Lama kelamaan dia mendengus lalu melingkarkan tangannya di pinggang Liv. Liv terkikik.
“Gak ada chat apa-apa. Gak ada obrolan apa-apa dari kamu datang pagi ini ke sini. Gak ada bunga atau apapun juga,” Liv tersenyum lalu menaruh tangannya di pundak Ian.
“Gimana kalau kita selesaikan apa yang harus diselesaikan,” Ian berbisik lirih. Liv tersenyum dan kali ini dia lebih siap. Perlahan Ian menempelkan bibirnya di bibir Liv. Menekannya sedikit demi sedikit dan memancing Liv untuk membuka mulutnya. Liv menggigit bibir Ian. Keduanya memasukkan lidah ke mulut satu sama lain. Tangan Liv menyusup ke balik rambut Ian dan Ian memeluk Liv semakin erat.
***
“Bener di sini kan Dam?” tanya Mel pada Adam.
“Iya. Mana ada yang lebih norak dari temen lo yang nempel namanya sendiri di pintu,” tunjuk Adam pada pintu apartemen Liv yang bertuliskan inisial L.
Crystal terkikik. “Langsung masuk aja?”
“Tadi sih Liv bilang langsung masuk aja,” Mel mengangguk. Tangannya terulur memegang gagang pintu dan dibukanya pintu tersebut. “A…”
Mel tidak jadi mengucapkan salam. Matanya membelalak dan mulutnya menganga melihat pemandangan di depannya. Sahabatnya sedang berciuman dengan heboh dengan seorang pria yang Mel tidak kenali.
“Kok bengong?” Crystal bertanya bingung. Dia berjalan ke samping Mel dan mencari tahu apa yang membuat Mel membeku seperti itu. Saat dilihatnya sang manajer sedang bercumbu, Crystal memekik.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Liv dan Ian segera melepaskan diri. Terkejut melihat orang-orang sudah berdiri memandangi mereka.
“Hah lo kan tetangga yang cupu dan rese itu!” Mel berteriak sambil menunjuk Ian.
Wajah Ian bersemu karena malu. Dia hanya mengangguk dan mengangkat tangannya.
“Eh kalian udah nyampe,” kata Liv sembari cengengesan.
“Pantesan ya nyuruh langsung naik. Masih ada yang dikerjain katanya,” kata Mel, melirik Crystal. Keduanya mencibir.
“Ternyata ini toh yang dikerjain,” Cyrstal menimpali.
“Sibuk banget emang,” Mel mengangguk.
Mereka berempat akhirnya masuk, menaruh barang bawaan masing-masing dan duduk di sofa. Liv dan Ian masih berdiri di tempat mereka dengan salah tingkah.
“Oke, oke. Yang gue maksud sibuk sih bukan yang barusan ya. Tapi lo semua paham aja deh,” Liv mengibaskan tangannya. “Guys, ini Ian, tetangga gue, tinggalnya di sebelah. Ian, ini Mel yang pake baju biru. Crystal yang pake baju kuning. Jamie pacarnya di sebelah. Adam, sobat gue juga sama Mel, yang mukanya paling playboy.”
“Halo Ian. Gue Mel, sobatnya Liv dari kuliah,” Mel melambai dan mengedipkan matanya. “Cuma tetangga nih? Tetangga kok jilat-jilatan?”
Liv melemparkan pelototan pada Mel. Crystal terkikik.
“Aku, Crystal. Yang diurusin sama Liv. Ternyata Liv punya Ian ya. Pantesan Febri dicuekin,” Crys mengulurkan tangan dan menjabat tangan Ian.
“Ah ya.” Hanya itu tanggapan Ian. Setelah itu Ian bersalaman dengan Adam dan Jamie.
Setelah puas mengejek Liv dan Ian, mereka mulai menikmati cemilan yang disediakan Liv dan memesan delivery makanan untuk makan siang mereka. Mel menyalakan Netflix dan mulai memilih film. Liv yang duduk nyaman di samping Ian langsung sewot ketika Mel akan memutar film horror.
“Nggak mau! Gila lo pada. Jangan horor kenapa siih?”
“Kan nontonnya rame-rame, Liiv,” kata Crys membela Mel.
“Tapi abis kalian pulang kan gue sendiri di sini. Nanti kalau gue masih kebayang hantunya gimana?” Liv masih menggeleng-geleng.
“Lo minta Ian temenin lah,” celetuk Mel.
Liv memutar bola matanya, melirik Ian yang sedang mengunyah tanpa berekspresi apa-apa. Liv berbalik kembali ke teman-temannya. “Nggak ada film horor pokoknya. Kalau kalian tetep nyetel itu, gue turun. Nongkrong di coffee shop bawah.”
Teman-temannya tertawa, termasuk Adam, sedangkan Jamie hanya tersenyum saja.
“Ya udah, film pembunuhan ye?” Mel menawarkan jalan tengah.
“Nah itu boleh deh,” Liv setuju.
Liv kira film pembunuhan tidak akan semengerikan film horor. Nyatanya, dengan lampu dimatikan dan suara musik yang tepat, mampu membuat Liv tetap terkejut. Beberapa kali Liv, Crystal, dan Mel berteriak kaget. Berbeda dengan Ian, Jamie, dan Adam yang tetap kalem dan malah asyik ngemil kacang.
Ada suatu adegan yang membuat Liv refleks menutup wajahnya dan berpaling ke arah Ian. Untunglah tidak ada yang melihat. Hanya Liv yang kemudian merasa malu karena mendadak memeluk Ian. Ian hanya tersenyum dan memeluk Liv. Setelah itu dia kembali mengunyah kacang.
Film selesai dan Mel mengusulkan mereka bermain monopoli. Sambil bermain, beberapa topik obrolan dilontarkan. Semua orang terkena pertanyaan.
“Kalian kapan lulus, Jam, Crys?” tanya Mel.
“Masih setahun lagi, Kak,” jawab Jamie.
“Aku kayaknya masih dua tahun lagi,” Crystal mengangkat bahu. “Soalnya kemarin-kemarin ada mata kuliah yang nggak aku ambil supaya jadwal kuliah nggak terlalu padat. Jadi baru ambil di semester berikutnya.”
“Nggak apa-apa sama kampus?” tanya Mel lagi.
“Nggak apa-apa. Asal nggak lebih dari 6 tahun aja,” Crystal mengangguk.
“Terus sekarang cewek lo siapa, Dam?” Giliran Liv bertanya.
“Nggak ada,” Adam mengangkat bahu. Keningnya berkerut, bingung apakah harus membeli hotel atau tidak.
“Masa sih? Yang sama manajer coffe shop itu udahan?”
Adam mendongak. “Nggak pernah jadian.”
“Cuma icip aja,” sindir Mel. Adam cengengesan dan membeli hotel.
“Ngomong-ngomong jadian,” Crys menatap Liv. “Bu Manajer gue udah jadian?”
Liv bengong, lalu melirik Ian.
“Yah, kalian keburu datang sih jadi…”
“Woooo, nyalahin kitaaa,” Mel melempar bantal ke arah Ian yang ditangkap Ian dengan mudah dan Ian tersenyum saja.
“Perasaan dulu tuh lo galak deh Yan. Kok sekarang bisa deket sama Liv sih? Pake Liv nggak cerita apa-apa pula,” Mel menggeleng.
“Sampe aku jodohin sama cowok lain lho,” Crystal nimbrung. Crystal dan Mel ini rupanya cocok dan langsung akrab.
“Kasihan tuh cowok,” Mel menggeleng.
“Ya namanya sering ketemu sih Mel,” Liv mengibaskan tangan. “Gitu deh pokoknya.”
“Tapi pada intinya belum pada jadian ya?” Crystal menyimpulkan.
Ian menggeleng dengan tampang polos sementara Liv langsung menggeram.
“DP dulu bisa kaliiii,” seru Mel. Membuat Liv gantian melemparkan bantal dan sukses mendarat di wajahnya.
Permainan monopoli jadi berantakan dan tidak ada yang berminat melanjutkan. Akhirnya Ian dan Adam memutuskan untuk merokok di balkon dan Jamie hanya nimbrung daripada terlibat obrolan dengan para wanita. Di dalam, Liv, Ian, dan Crystal mengobrol sambil mencoba beberapa make up.
“Jamie nggak ngerokok, Crys?” tanya Liv sambil memejamkan mata saat alisnya dibentuk oleh Mel.
“Nggak. Tapi ya sering ikut nongkrong gitu aja kalau temen-temennya ngerokok,” jawab Crys sambil memulas kukunya dengan kutek.
“Ian ngerokok ya?” Mel ikut bertanya.
“Iya. Tapi cuma siang sampe malem doang. Untungnya pagi-pagi dia milih workout,” kata Liv.
“Pantesan,” kata Mel dan Crys bersamaan.
“Apaan?” Liv membuka mata dan menyipit menghadapi mereka berdua.
“Dari tadi gue perhatiin tuh Ian body-nya kece juga. Cuma tampangnya aja agak culun,” kata Mel.
“Setuju,” Crys mengangguk. “Beda banget sama Jamie yang kerempeng.”
“Namanya juga anak kuliahan. Liat deh nanti kalau udah kerja. Rajin olahraga. Paling jadi juga kayak Ian,” Liv nyengir.
“Jadi gimana sih lo bisa jadian?” Mel lupa akan tugasnya menggambar alis Liv dan memilih duduk bersila.
“Belum jadian. Lo denger sendiri tadi dia bilang apa,”
Mel mengibaskan kedua tangannya. “Ya udah. Gimana caranya kalian tadi bisa sucking each others’ face?”
Liv melirik keluar dulu. Memastikan Ian tidak akan masuk dalam waktu dekat. Liv berdeham dan mulai bercerita. “Singkat aja ya…”
***
“Crys, besok kita kuliah pagi,” pintu kaca dibuka dan Jamie melangkah masuk. Diikuti Adam dan Ian yang sudah selesai merokok.
“Oh iya. Udah jam 7 ya sekarang,” Crys melihat jam tangannya. “Bentar lagi ya Jam, aku bantu Liv beres-beres dulu.”
“Eh nggak usah. Lo balik aja kalau emang besok ada kuliah,” Liv memegang tangan Crystal, mencegahnya beres-beres.
“Nggak apa-apa. Paling beres-beres sampe jam 8. Nyampe rumah paling telat jam 10. Masih jam normal kok sama Mama Papa,” Crystal tersenyum, dia kemudian melirik Jamie. “Yuk.”
Mereka lalu mulai membereskan rumah. Laki-laki membuang sampah dan para perempuan mencuci perabotan. Pukul 8 kurang, apartemen Liv sudah kembali seperti sedia kala.
“Thanks for coming, guys. Nggak ngapa-ngapain tapi seru,” kata Liv sambil memeluk Crystal dan Mel bersama-sama.
“Thank you juga Liv. See you tomorrow at office ya,” kata Crystal.
“Eh nggak di office kali. Di ICE kan? Rehearsal?” tanya Liv, mengingat jadwal Crystal terdekat yang dia ingat.
“Oh iya lupa. Hehe,” Crystal menggaruk kepalanya.
“Sering-sering deh leyeh-leyeh begini. Nanti gantian di rumah gue ya,” Mel mengedip.
“Bawa cowok dong lo. Ngedate rame-rame nanti kita,” timpal Liv.
“Ah nyindir sih lo ya. Tau aja gue doang yang jomblo,” Mel mendengus.
“Adam single tuh,” tunjuk Liv.
“Bah, mending gue single daripada jadian sama Mel,” kata Adam sambil melengos.
“Eh kurang asem,” Mel menjitak kepala Adam dan membuat semuanya tertawa.
“Yuk ah balik dulu ya,” Mel mengulangi. “Dah, Liv. Dah, Ian. Selamat melanjutkan apa pun yang kalian ingin lanjutkan sejak tadi siang.”
Liv menggeleng namun Ian hanya tersenyum saja. Keempat orang itu pergi dan Liv menutup pintu apartemennya. Bersandar di pintu lalu menghadap Ian.
“Liv,” panggil Ian, mendekat dan mengambil tangan Liv untuk digenggamnya. “Aku nggak tahu gimana bilangnya.”
“Hmm,” Sedikit demi sedikit Liv tersenyum, menunggu ucapan Ian dengan sabar.
“Sedikit demi sedikit I’ve grown a feeling for you dan aku tahu ini bukan perasaan biasa aja. Ini bukan sekedar perasaan yang kita punya ke tetangga. Bukan sekedar perhatian atas kesulitan ataupun kondisi orang yang deket sama kita. Ini lebih dari itu dan awalnya aku nggak tahu apa itu. Bawaannya adalah aku selalu ingin ada di deket kamu. Aku nggak suka kalau kamu deket sama cowok lain, si Febri itu atau bahkan cuma ngobrol sama Rizky Febian dan manajernya. Lama kelamaan aku mulai berpikir apa ini namanya ci…”
“Sssst,” Liv menaruh jarinya di bibir Ian. “Jangan sebut kata C itu. Geli,”
Ian tersenyum, menyingkirkan tangan Liv dari bibirnya dan menaruhnya di pipi Ian.
“Dan yang harus kamu tahu. Saat aku memutuskan berhubungan dengan perempuan, aku bukan hanya sekedar ingin aku dan dia jadi sesuatu yang disebut couple. Aku punya visi ke depan bahwa aku dan dia akan… menikah.”
Ian menatap Liv agak ragu. Khawatir Liv akan melepaskan pegangan tangannya ketika Ian menyinggung masalah pernikahan. Ternyata Liv diam saja.
“Kamu bermaksud menikahi aku?” tanya Liv pelan.
“Tujuanku ke arah sana. Sudah bukan saatnya lagi bermain-main. Meski bukan berarti aku melamar sekarang juga,” Ian menarik nafas dan menghembuskannya. “Dan aku akan lanjut hanya kalau kamu setuju. Ciuman kita tadi untuk menunjukkan bahwa aku punya perasaan ke kamu dan aku serius.”
“Berarti kalau aku membalas ciuman kamu itu tadi, tandanya aku juga punya perasaan ke kamu?”
“Bisa dibilang begitu,” Ian mengangkat bahu.
“Dan kalau aku setuju untuk berhubungan dengan kamu, tandanya aku punya keinginan untuk menikah dengan kamu?”
“Maksud aku begitu,” Ian mengangkat bahu lagi.
Liv diam, matanya menatap langsung Ian di balik kacamatanya. Ian menunggu jawaban Liv dengan balas memandang Liv. Tangannya mulai berkeringat dan Ian semakin tidak percaya diri. Ketika genggaman tangannya pada Liv melonggar dengan anggapan Liv akan menolaknya, Liv tersenyum. Lebar sekali. Membuat Ian merasa melihat tubuh Liv bersinar.
“Aku setuju kok,” Liv tertawa, memegang tangan Ian dengan begitu erat.
Wajah Ian terlihat begitu sumringah mendengar persetujuan Liv. Dia mengubah pegangannya menjadi pelukan. Merengkuh tubuh Liv ke dalam tubuhnya yang kokoh.
“Jadi sekarang kamu pacar aku?” Liv tertawa, memeluk Ian, dan bersandar di dada Ian.
“Iya,” Ian tertawa, mengelus rambut Liv dan menciumnya.
Ian masih tersenyum lebar saat memegang kedua pipi Liv dan menciumnya untuk kedua kali.
***
Liv berguling di tempat tidurnya. Lampu kamar sudah dimatikan tapi dia masih belum bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi adegan-adegan antara dirinya dan Ian tadi. Mereka masih berciuman beberapa kali kemudian mengobrol di sofa sampai Ian memutuskan untuk pulang karena besok dia harus bekerja.
Besok adalah hari pertamanya resmi sebagai pacar seorang Ardiansyah Chandra. Liv tersenyum sendiri, tidak menyangka Ian yang jadi lawan bertengkarnya sekarang jadi kekasihnya. Pacarnya, yang punya tujuan menikahinya.
Liv membuka galeri foto dan melihat-lihat isinya. Dilihatnya sebuah foto yang diam-diam Liv ambil saat Ian sedang makan Indomie. Pagi hari setelah Liv menangis semalaman karena bertengkar dengan Crystal. Di foto itu Ian memegang mangkuk besar dan matanya fokus menatap TV. Liv punya pikiran iseng dan dia langsung mengupload-nya ke Instagram.
Most annoying person in this world. ♥
Begitu tulis Liv di Instagram. Tidak lupa dia mengetag Ian yang sudah dia follow tidak lama setelah dia menemani Ian di Gala Dinner perusahaannya.
Muncul komentar dari Mel dan Crystal tidak lama setelah foto itu terupload.
Asyik, go public! Tulis Crystal.
Beda deh yang baru jadian ♥. Tulis Mel.
Liv tersenyum-senyum dan membalas komentar mereka hanya dengan tawa dan emoticon tersipu, plus mengingatkan Crystal untuk tidur karena dia ada kuliah besok pagi. Tidak lama setelah itu muncul notifikasi komentar lainnya yang langsung membuat Liv membelalak.
Yet you are still my gorgeus girlfriend. I know.
Liv tidak tahan untuk tidak tertawa dan menendang-nendang selimut saking gemasnya.
***
Ian baru selesai mandi saat muncul notifikasi di ponselnya. Menunjukkan bahwa Olivia Anindya baru mengetagnya di Instagram. Ian duduk di tempat tidurnya lalu melihat foto yang diunggah Liv.
Rupanya foto Ian sedang makan mi beserta caption yang menggemaskan. Ian tersenyum dan langsung memberi love pada foto itu. Awalnya Ian tidak akan menuliskan komentar apa-apa. Hanya saja ketika dia melihat Mel dan Crystal ikut berkomentar, Ian tidak tahan juga.
Yet you are still my gorgeus girlfriend. I know. Tulis Ian.
Ian berbaring di tempat tidurnya lalu mencari foto di galerinya. Bukan hanya Liv yang mau menunjukkan bahwa dia baru punya pacar. Ian juga mau menunjukkan bahwa dia punya seorang kekasih pilihan hatinya.
Setelah mencari beberapa lama, Ian menemukan foto Liv saat mereka Gala Dinner. Foto Liv saat sedang menyanyi lagu Rizky Febian. Liv terlihat begitu menikmati dan pastinya dia tetap terlihat cantik.
Tanpa menunggu lama, Ian mengupload foto itu ke Instagramnya dan menuliskan caption serupa dengan yang Liv tulis.
Most noisy person in this world. ☺
Sama seperti dirinya, Liv juga tidak perlu waktu lama untuk melihat foto yang baru diunggah Ian. Segera Liv menuliskan komentar. Ian hanya tersenyum dan mengulangi membaca kalimat itu terus menerus.
But you love me. I know. ♥
“I know Liv, I know,” gumam Ian.
***
Komentar