Miserable Fate - 16

 Gardenia


You are beautiful, secret love

“Bentar,” Liv memasang headset ke telinganya, menyimpan ponsel ke sakunya lalu mengambil tas dan memakai sepatunya. Sepagi ini, hari Senin, dan asistennya sudah menelepon membicarakan project. “Film apa?” 

“Film komedi romantis. Crystal jadi cameo aja. Ceritanya temen pemeran utama cowok yang sekarang udah jadi artis,” jawab Jemima melalui telepon. 

Script udah dikirim?” 

“Udah. Kemarin pas Crystal ke kantor sih dia udah baca dan nggak keberatan. Tapi lo baca dulu deh kontraknya dan script detailnya,” 

Liv mengangguk lalu membuka pintu kamarnya. Begitu dibuka, rupanya sudah ada seseorang yang menunggunya. Senyum Liv refleks terpasang di wajahnya. 

“Jem, gue udah mau otw ke kantor. Kita bahas di sana aja ya,” Liv segera mematikan telepon dan melepas headset-nya. 

“Hai,” sapa Liv, tersenyum. Menutup pintu tanpa melihatnya. 

“Pagi,” sapa Ian datar. 

Penampilannya membuat Liv terkejut, tapi tidak lama. Ian mengenakan kemeja flannel dengan dua kancing teratas dibuka dan menampilkan kaos hitam polos di dalamnya. Dia mengenakan celana jeans dan sepatu Converse yang tampak baru dicuci. Rambutnya dia beri pomade walaupun tidak serapi saat dia mengenakan jas. Kacamatanya masih tetap bertengger di hidungnya. Tas ransel hitamnya disampirkan di satu pundak. Keseluruhan, Ian tampil jauh lebih baik dari penampilan sehari-harinya yang biasa.

“Tumben,” Liv menunjuk rambutnya. 

Ian menyapukan tangannya ke rambut. “Coba gaya baru.” 

“Bagus,” Liv tersenyum. 

“Lo berangkat kerja?” 

“Iya. Lo juga kan?” 

“Pake apa?” 

“Gue berencana pesen ojek online aja. Lagi males bawa mobil. Lagian hari ini bakal banyak di kantor doang sih,” jawab Liv sambil mengangkat bahu. 

“Gue bisa antar,” kata Ian. Liv mengangkat alisnya. “Pake motor.”

“Untungnya gue bisa terima kok,” jawab Liv lalu tertawa. 


*** 


“Lo abis dapet duit segepok,” tembak Leo tiba-tiba begitu Ian datang di kantor pagi itu.

“Apaan lo tiba-tiba ngomong begitu?” Ian mengernyit lalu mengabaikan Leo, langsung masuk menuju ruangannya.

“Hmm,” Leo berdiri di salah satu dinding ruangan Ian. Kedua tangannya terlipat di dada. “Penampilan lo jauh lebih segar hari ini. Rambut lo rapi, baju lo keren, dan lo senyum sepanjang keluar dari lift sampai di sini. Tadi gue perhatiin.” 

“Wah bini lo bisa ngiri sama gue karena diperhatiin sama lakinya,” sindir Ian. Tanpa menanggapi Leo lebih jauh, Ian menyalakan laptopnya. 

“Gara-gara cewek yang kemarin kan?” Leo menghampiri sahabatnya dan duduk di hadapan Ian. “Siapa namanya? Liv ya?” 

Ian mengangkat kepalanya sedikit untuk kemudian menggeleng. “Gak usah kayak infotainment lo.” 

“Ya terus apa lagi alasan penampilan lo yang kayak abis kena make over? Tiba-tiba ngajak cewek ke gala dinner. Padahal biasanya juga datang sendiri. Sepanjang acara ngobrol akrab berdua. Acara belum kelar, udah pada ngilang. Besokannya dateng dengan tampilan beda dari biasanya dan wajah lo super sumringah.” Leo tersenyum penuh arti. “Dapet berapa ronde?” 

“Gila,” Ian menatap Leo dengan tajam. “Gue dan Liv gak ada hubungan apa-apa.” 

“Kenapa nggak? Belom?” Leo malah menantang dan tertawa puas. “Gak berani lo?”

Ian menggaruk kepalanya. Temannya ini memang pantang menyerah kalau urusan ejek mengejek. Dipikir-pikir, Ian memang butuh orang untuk diajak bercerita juga. 

“Belum… yakin aja apa beneran suka atau gimana,” kata Ian pelan. 

Leo ingin tertawa melihat temannya yang seperti ABG saat mengalami cinta pertama. Di sisi lain, Leo menghargai perasaan Ian. Selama mengenal Ian, belum pernah Leo melihat Ian memperhatikan hal lain selain pekerjaan, keluarga, dan aktivitas olahraganya itu. Melihat Ian tertarik pada seorang wanita seperti ini, ikut membuat Leo bersemangat. 

“Cerita dulu dong dari awal soal hubungan lo sama cewek ini,” goda Leo. 

Ian menatap wajah Leo dengan pandangan ragu-ragu. 

“Cerita doang. Kalau ternyata gue gak bisa bantu, ya berarti lo tetep usaha sendiri,” Leo mengangkat bahunya. 

Ian memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Leo. 


*** 


“Ayo makan, jangan kerja mulu,” Leo mengetuk pintu ruang kerja Ian dengan gaya seperti ingin melakukan demo. 

“Santai woi. Gue masih bisa denger,” teriak Ian untuk mengatasi gedoran Leo. 

“Ada yang beda nih Yan,” ujar Teguh. Salah satu anak IT teman Ian dan Leo. 

“Apanya?” Ian melirik sekeliling saat berdiri dan mengambil ponsel beserta dompet. 

“Muka lo,” celetuk Teguh. 

“Hah?” Ian mencari kaca tempat dia bisa bercermin. “Gak ada yang beda.” 

“Lo keliatan lagi jatuh cinta.” Teguh tertawa. “Jadi gimana sama yang kemarin diajak ke gala dinner.” 

“Wah gila bahkan lo aja tahu,” Ian menggaruk kepalanya. Padahal Teguh tidak hadir dalam acara kemarin malam. 

“Semua cewek bahas lo, Yan. Sampe mau gak mau gue denger ceritanya juga. Asli pada heboh banget di tempat gue.” Teguh menggeleng tidak percaya. Baru kali ini para perempuan ceriwis di tempatnya heboh membahas seorang pria di Divisi IT. Apalagi pria itu adalah Ian. Pria yang tidak akan dilirik dua kali oleh wanita manapun di perusahaan mereka. Baik wanita super terkenal maupun wanita yang sama-sama kutu buku juga. Ya, kecuali Felis. Semua karena penampilan ‘Pak Ian’ yang kurang terlalu menarik dan bahkan sama sekali tidak menarik. 

“Berlebihan,” ujar Ian.

“Memang,” Teguh mengakui. “Ganteng banget Ian. Beda banget mukanya. Kenapa sehari-hari gak kayak gitu? Itu cewek siapa? Pacarnya? Gitu-gitu lah pertanyaan orang-orang. Sampai akhirnya mereka minta nomer HP lo sama gue.” 

“Lo kasih?” Ian panik. Dia tidak biasa menyebarkan nomor ponsel pribadi untuk orang lain. Jika bisa, Ian lebih memilih ponselnya tetap tenang dari gangguan nomor tidak dikenal. Orang asing ataupun yang mengirimkan iklan. 

“Nggak. Gue suruh mereka minta sendiri,” Teguh tertawa. Leo yang sedari tadi mendengarkan juga tertawa. 

“Gue rasa gue harus ngumpet,” Ian mengangkat bahu. 

“Lumayan lho dikejar-kejar cewek. Lo gak mau?” Teguh menggerak-gerakkan alisnya. 

Ian malah merinding sendiri dikejar-kejar begitu banyak wanita. Satu Felis sudah cukup membuatnya pusing. Satu Liv sudah cukup membuat perhatian Ian tersita. Tidak perlu berbagai jenis wanita lain datang dalam hidupnya. 

“Gue mau hidup gue tetap damai,” Ian menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Leo dan Teguh tertawa. Sebagai sesama pria yang sudah beristri, mereka paham sekali bagaimana kehidupa seorang laki-laki yang ditemani seorang wanita selama hidupnya.

“Perempuan memang kadang susah dimengerti dan bikin ribet. Tapi percayalah, lo pasti butuh salah satu dari mereka. Jangan kelamaan mikir, Yan,” Teguh menepuk pundak Ian dengan gaya seperti motivator. 

“Iya, terima kasih himbauannya,” sahut Ian acuh tak acuh.

Mereka bertiga masuk ke dalam lift. Di dalam, diam-diam Ian membuka ponselnya dan melihat chat antara dirinya dan Liv. Singkat saja, Liv mengucapkan terima kasih karena Ian mengantarnya ke kantor pagi ini. Inisiatif Ian muncul dan jarinya bergerak lincah di layar. 

Nanti perlu gue jemput? 

“Yuk, Yan,” Leo menepuk pundak Ian saat pintu lift terbuka di lantai dasar. 

“Iya, Liv. Eh,” 

Leo dan Teguh berpandangan. Keduanya tertawa, menertawakan teman mereka yang diam-diam rupanya sudah sering memikirkan seseorang. Sementara itu Ian hanya nyengir malu.


*** 


“Udah lama?” tanya Liv dengan sedikit terengah. 

Ian tidak langsung menjawab. Ia seperti terpaku melihat makhluk ciptaan Tuhan di hadapannya. Jika biasanya ia bertemu Liv dengan rambut panjangnya diikat untuk kemudahan mobilisasi, sekarang rambutnya diurai. Rambut lurus panjang ini begitu jatuh dan terurai indah hingga ke punggung Liv. 

“Ian?” Liv mengibaskan tangannya di hadapan wajah si cupu tetangganya.

“Gue?” Ian tersadar dari lamunan. “Ini helmnya.” 

“Thank you.” Liv memutar-mutar rambutnya sedemikian rupa hingga seluruhnya masuk ke balik helm. “Maaf ya lama nunggu. Tadi ada majalah yang minta gue dan Crystal foto bareng buat rubrik artis dan manager.” 

“Gak lama,” balas Ian. Satu jam menunggu tidak lama lah, pikir Ian. 

“Ya udah, yuk,” Liv naik ke motor Ian dan duduk nyaman di jok belakang. Liv tidak seperti Felis, yang dengan sengaja memeluk Ian dan menempelkan dadanya di punggung Ian. Liv duduk tegak namun santai. Satu tangan memegang motor, tangan lainnya memegang tas. Dia tampak begitu mandiri namun syukurlah Ian pernah melihat sisi rapuhnya juga. Begitulah Liv.

“Oke,” Ian mulai melajukan motornya menembus kemacetan Jakarta.


*** 


Meski Ian tahu bahwa ia seperti remaja yang pertama kali memperhatikan seseorang, Ian tidak mau mengakuinya. Ian memilih untuk bersikap seperti dulu pada Liv. Tetangganya ini masih saja berisik dan terkadang galak. Dia masih saja sering menyanyi dengan suara sumbangnya di tengah malam. Dia masih sering memanggil Ian dengan sebutan ‘kacamata’ jika Ian bersikap terlalu santai. Dia masih bolak balik unitnya dan unit Ian, membuatkan sarapan singkat berupa roti atau mie, dengan mengenakan tank top tanpa bra dan celana pendek, tanpa sadar apa efeknya untuk Ian.

“Lo udah nyanyi tiga lagu,” komentar Ian pada suatu malam saat dia sedang merokok di balkon dan Liv rupanya sedang menyanyi di balkon unitnya. 

“Eh ada Ian,” Nyanyian sumbangnya digantikan suara ceria. “Iya gue lagi latihan nyanyi buat nanti tampil bareng Crystal.”

“Kasihan Crystal. Abis itu kayaknya penggemarnya berkurang,” kata Ian iseng.

“Heh jahat kali kau!” Liv balas berseru. “Gini gini gue manager penyanyi ya.”

“Manager penyanyi gak berarti bisa nyanyi,” Ian menyembunyikan tawanya dan berusaha tetap terdengar kalem. Keuntungan mengobrol antar balkon tanpa mereka bisa melihat wajah satu sama lain. 

“Gue bisa nyanyi kok. Tapi gak bagus aja,” Ian bisa mendengar Liv mendengus. 

“Gue tidur duluan Liv,” kata Ian. Ia mematikan rokoknya dan menempelkan tubuhnya ke tembok pembatas balkonnya dan balkon Liv. 

“Oooookeeee. Met tidur, Ian. Sweet dreams!” Liv berseru dari sebelahnya. 

“Jangan nyanyi supaya gue mimpi indah,” celetuk Ian.

“Ah tega lo. Sana-sana tidur. Gue mau nyanyi lagi,” kata Liv. 

Diam-diam Ian tersenyum lagi. Selama beberapa saat dia masih berada di situ, mendengarkan Liv latihan bernyanyi layaknya penyanyi professional. Latihan pernafasan, senam wajah, dan segala macamnya itu. Ian baru masuk ke kamarnya ketika ia tidak lagi mendengarkan Liv bernyanyi. 

Ian ingat malam itu ia bermimpi Liv bisa menyanyi jauh lebih merdu daripada Crystal.


***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?