Miserable Fate - 14
Sweet William
Satu senyuman
Liv berdiri mematung di depan pintu unitnya. Sesekali melirik ke sebelah kanan. Tangannya sudah mengangkat untuk membuka pintu tapi kemudian Liv mengurungkan niatnya. Kembali ia menatap ragu ke sebelah kanan. Akhirnya Liv memutuskan untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Perlahan, Liv berjalan hingga sampai di depan pintu unit tetangganya. Selama beberapa menit, Liv memandangi pintu itu.
Saat ini Liv baru saja pulang dari rumah Crystal setelah menghabiskan waktu seharian bersama adik tanpa hubungan darah alias artisnya. Hubungan keduanya sudah kembali baik. Seakan-akan tidak ada masalah apa pun yang menerpa mereka sebelumnya. Karena itulah Liv ingin menemui Ian. Liv ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Ian selama ia menghadapi masalah dengan Crystal.
Sekali lagi Liv melihat jam tangannya. Sudah pukul 10 lewat. Mungkin Ian sudah tidur. Mungkin kedatangan Liv hanya mengganggu. Lagipula besok Ian masih akan bekerja. Lain kali saja. Liv kembali berbalik dan kali ini benar-benar masuk ke kamarnya.
***
Ian berangkat bekerja di waktu yang sama seperti biasanya. Ketika berjalan menuju lift, langkahnya terhenti sebentar di depan pintu unit tetangganya. Kepalanya menoleh melihat pintu yang tertutup rapat itu. Sesungguhnya Ian ingin tahu bagaimana hasil pertemuan Liv dan Crystal itu.
Kembali Ian memalingkan pandangannya dan melanjutkan langkahnya. Mungkin saat ini Liv masih beristirahat atau bahkan sudah kembali bekerja. Lain kali saja Ian menghubungi Liv.
Di dalam lift, Ian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia melihat nomor-nomor kontak di sana. Matanya berhenti sejenak di nama ‘Olivia’. Jarinya berhenti di atas layar, hampir menekan nomor tersebut. Hingga lift terbuka di lantai bawah, Ian masih belum bergerak. Ketika ia berjalan keluar lift, Ian menutup layar dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku.
***
Liv berjalan gontai dari mobilnya. Setelah hubungannya dengan Crystal kembali membaik, itu artinya hubungan pekerjaan mereka juga kembali normal. Kembali dipenuhi meeting, workshop, latihan, pemotretan, promo, dan segala macam urusan terkait keartisan. Liv belum bertemu lagi dengan Ian. Mereka belum berkesempatan untuk berpapasan lagi. Janji bertemu pun tidak mungkin. Liv memang sudah memberikan nomornya pada Ian tapi Ian rupanya tidak terpikir untuk menghubungi Liv lebih dulu.
“Hah,” Liv menghela nafas dengan kencang. Orang yang melihatnya bisa menganggap dia sedang menghadapi masalah yang begitu besar. Padahal sebenarnya Liv hanya ingin tidur saja.
“Lo kayak nenek-nenek.” Seseorang berkomentar dari belakang Liv.
Liv menoleh ke belakang dengan cepat. Seseorang yang cukup dia harapkan untuk bertemu, sekarang berdiri di hadapannya. Berdiri dengan gayanya yang cuek dan menyebalkan. Keluhan yang semula muncul dari mulut Liv menghilang dan digantikan seruan terkejut.
“Wah, Ian!” Liv berseru dengan girang. Tangannya diangkat dan dilambaikan dengan bersemangat. “Udah lama gak ketemu.”
Ian hanya mengangkat bahu lalu kembali melanjutkan berjalan. Di dalam pikirannya sempat terlintas apakah ia bertanya saja pada Liv bagaimana pertemuannya dengan Crystal waktu itu? Tapi Ian memutuskan untuk tetap berjalan.
Liv yang melihat kesempatan langka ini langsung memegang tas Ian yang disampirkan di satu bahu. Seperti dulu, langkah Ian tertahan dan ia kembali hampir terjatuh. Liv tidak akan melepaskan Ian setelah dia menunggu hampir dua minggu untuk bercerita.
“Narik tas orang lagi,” gumam Ian dengan tatapan galak.
“Hehehe,” Liv nyengir. Giginya yang rata ditampakkan saat Liv tertawa. “Ngobrol yuk.”
“Ada yang perlu diomongin?” tanya Ian dengan datar cenderung sinis.
Kening Liv berkerut. Seakan-akan mereka mengobrol jika memang memiliki topik penting untuk diobrolkan. Padahal sebenarnya Liv hanya ingin berterima kasih.
“Ada!” kata Liv cepat. “Makanya, ayo. Mumpung belum terlalu malem.”
Liv menarik-narik tas Ian seperti anak kecil menarik pakaian orang tuanya untuk minta dibelikan mainan. Ian mempertimbangkan sejenak ajakan Liv kemudian dia akhirnya setuju. Tanpa perlu berkata, Ian berjalan melawan arah yang dia tuju sebelumnya. Melihat Ian yang sekarang setuju untuk mengobrol dengannya, membuat Liv girang dan dia pun melepaskan pegangannya dari tas Ian. Mereka berjalan bersisian.
“Mau ngobrol dimana?” Ian melayangkan pandangan ke sekeliling mereka.
“Situ,” Liv menunjuk sebuah coffee shop di apartemen mereka yang buka 24 jam.
“Oke,” Ian pun mengarahkan kakinya ke situ. Diikuti Liv yang masih tersenyum senang.
Begitu mereka masuk, Liv berinisiatif untuk memesankan kopi bagi Ian.
“Americano? Kopi Sumatera? Kopi Gayo? Apa?” tawar Liv pada Ian. Matanya bergantian melirik papan menu dan Ian yang sudah duduk lebih dulu.
“Teh aja. Gue udah minum kopi di kantor,” jawab Ian dengan kalemnya.
“Oke kalau gitu,” Liv kembali berbalik dan memesankan minuman bagi Ian dan bagi dirinya sendiri. Setelah membayar dan menunggu pesanan diantarkan, Liv duduk di hadapan Ian. Wajah Ian menunjukkan semacam pesan agar Liv segera mengutarakan maksudnya mengajak Ian mengobrol.
“Jadi gue mau bilang makasih,” Liv tersenyum semanis mungkin.
“Untuk?”
Liv mengangkat dua jarinya.
“Satu, karena mau dengerin curhat gue dan nemenin gue semaleman.” Liv melipat satu jarinya. Ian mendengarkan dan hanya mengangguk sedikit.
“Dua, karena ngasih usul supaya gue dan Crys kasih jeda satu sama lain dan baru ketemu setelah kami berdua sama-sama tenang. Hari Minggu pekan kemarin kami ketemu. Seperti lo bilang, girls’ day seharian di rumah dia. Kita ngobrol, curhat, saling memaafkan. Setelah itu kami kembali seperti biasa,” Liv melipat jari kedua dan menaruh tangannya di atas meja. Kemudian Liv bercerita hampir detail mengenai pertemuannya dengan Crystal beberapa waktu lalu. Ian mendengarkan dengan saksama dan tanpa menyela.
“So, thank you so much,” Liv kembali tersenyum dengan tulus.
Ian memperhatikan wanita di depannya. Wanita yang semakin jarang bersikap galak dan menyebalkan. Malah tergantikan dengan ekspresi ceria, tangguh, namun juga tetap memiliki sisi rapuh yang perlu dilindungi. Wanita yang menjelaskan rasa penasarannya tanpa Ian perlu bertanya.
“Yan?” Panggilan Liv menyadarkan lamunan Ian.
“Iya, sama-sama,” balas Ian dengan singkat.
Liv sepertinya tidak sadar bahwa Ian sempat berkelana dengan pikirannya saat melihat Liv. Wanita itu sekarang sedang mengagumi café latte yang diberi latte art. Seperti halnya anak kekinian, Liv sedang memotretnya dari berbagai angle supaya bisa dipajang di media sosial.
Tanpa sepengetahuan Liv, Ian masih terus memperhatikannya. Bahkan saat Ian meminum tehnya sekalipun. Tingkah laku Liv ini mengingatkan Ian pada ejekannya dulu. Bahwa Liv terlihat seperti anak-anak karena kelakuannya.
“Wah lucu banget,” celetuk Liv tiba-tiba.
Ian mengikuti arah pandang Liv. Rupanya Liv sedang melihat televisi yang dipajang di salah satu sudut. Tayangan pada TV tersebut menunjukkan channel National Geographic dan sedang membahas perihal beruang kutub. Ian kembali memalingkan pandangannya kepada Liv. Liv masih memperhatikan tayangan tersebut dengan tatapan kagum.
“Gimana rasanya punya beruang kutub?” Liv menatap Ian dan bertanya serius. Semacam pertanyaan ‘bagaimana caranya memiliki rumah dengan garasi yang memuat koleksi mobilnya?’
“Gak bisa lah,” jawab Ian kalem.
“Lucu banget kali ya. Bisa dipeluk-peluk setiap hari,” Liv kembali memperhatikan televisi.
Ian mengangkat kedua alisnya. “Aneh-aneh aja pertanyaan lo,” Ian menghirup kembali tehnya lalu mengeluarkan ponsel yang selama ini tersimpan di saku. Jika Liv memutuskan untuk mengagumi beruang kutub, Ian akan memilih untuk main game saja.
“Eh liat itu beruang kutubnya sama anaknya,” Liv menunjuk TV dan menepuk-nepuk tangan Ian.
Mau tidak mau Ian kembali melihat TV di belakangnya lagi. Scene sedang menunjukkan beruang kutub dewasa bersama beruang kutub anak-anak. Ian tidak begitu tertarik memperhatikan. Maka ia kembali melihat Liv saja. Liv terlihat begitu terpesona akan pemandangan harmonis dari makhluk berbulu seputih salju itu.
“Gue mau punya anak yang banyak nanti,” ujar Liv mendadak.
“Hah?” Kali ini Ian lebih kaget dari sebelumnya.
“Iya. Gue anak tunggal soalnya. Jadi kalau punya anak, gue mau punya minimal tiga. Kalau lima juga gak apa-apa,” Liv menghadap Ian sepenuhnya. Dia tersenyum begitu lebar. Di mata Ian, mendadak Liv seakan mengenakan gaun putih yang anggun, menggendong seorang bayi, dan memegang tangan anak kecil lainnya…
Cepat-cepat Ian menggeleng, mengenyahkan pikiran tersebut.
“Lo gak khawatir sama pendidikan, pergaulan, dan segala macamnya?” Ian bertanya hati-hati.
“Takut. Tapi itu PR gue. Gue sebagai orang tua harus punya bekal yang cukup dan harus bisa menjadikan anak-anak gue bibit unggul. Bukan hanya anak-anak yang lahir karena nafsu orang tua mereka,” Liv menambahkan tawa bernada gugup setelah kalimatnya. “Gue jadi curhat.”
Ian tidak menanggapi dengan kata-kata apa pun. Ia hanya terdiam. Sebenarnya Ian juga terpikir untuk memiliki keturunan beberapa orang. Seperti keinginan ibunya. Akan tetapi, Ian bukan Liv yang bisa dengan mudahnya bercerita soal harapannya kepada orang lain. Terutama orang lain yang baru sebentar ia kenal dan sebagian besar waktu mereka dihabiskan dengan bertengkar.
“Kalau lo udah selesai, kita ke atas yuk,” Liv menunjukkan jarinya menghadap ke atas.
“Gue sudah selesai,” Ian mendorong gelasnya ke tengah lalu bangkit berdiri. Di hadapannya, Liv melakukan hal yang sama. Mereka berjalan beriringan keluar dari coffee shop tersebut. “Berapa?”
“Apanya?” Liv menoleh pada pria cupu di sebelahnya ini.
“Yang tadi,” Ian mengeluarkan dompet dari saku celananya.
“Gak usah. Gue traktir sebagai ucapan terima kasih,” Liv mengangkat tangannya dan tertawa.
“Gue terima ucapan terima kasihnya kalau gue dikasih kesempatan bayar yang tadi. Setidaknya minuman bagian gue aja,” Ian mengeluarkan selembar uang 50 ribu.
“Ian, beneran deh…” Liv pura-pura cemberut.
“Liv…” Ian berhenti berjalan. “Kita adalah teman dan teman gak seharusnya selalu mentraktir hanya untuk mengucapkan terima kasih.”
Liv ikut terdiam. Sekarang Ian menganggapnya teman. Menurut Liv, sekarang ini pun Ian sudah membalas ucapan terima kasihnya lebih dari cukup.
“Ya udah, tadi tehnya 30 ribu sudah termasuk pajak,” Liv menyerah. Pura-pura cemberut dan mengulurkan tangan untuk meminta uang. Padahal sebenarnya Liv menahan senyum,
“Oke,” Ian mengganti uangnya dengan lembaran yang lain lalu menaruhnya di tangan Liv.
“Thank you,” Liv menaruh uang tersebut dan memasukkannya ke saku. “Thank you for everything, Ian.”
“Sama-sama,” Ian mengangguk. Kembali cuek dan cenderung jutek. Liv tidak tahu saja bahwa malam ini Liv memiliki tambahan nilai di mata Ian.
***
Komentar