Miserable Fate - 18

 Acacia


Cinta yang murni

“Iya minggu depan yuk. Main ke tempat gue lagi,” kata Liv melalui telepon pada Mel. “Ajak Adam juga. Udah lama kan nggak kumpul-kumpul. Ya lo bawa makanan juga lah.” 

“Harusnya tamu dong dijamu,” balas Mel. 

“Dih lo mah bukan tamu. Lo anggota tidak tetap,” kata Liv. 

“Berasa gue anggota Dewan Keamanan PBB ya. Tidak tetap. Lo mau gue bawain apa?” 

“Hmm, gimana kalau cemilan mecin?” Liv menjilat bibirnya. 

“Mecin mulu lama-lama bego lo,” 

“Maaf aja ya. Gue udah pinter. Makan mecin dikit paling IQ gue turun 1,” Liv mengibaskan rambutnya bangga. 

“Iya deh iya. Mau lo apa gue yang kontak Adam?”

“Gue aja gue,” 

“Terus lo mau undang siapa lagi?” 

“Duh berasa apartemen gue segede GBK kali ya. Cuma lo aja ama Adam. Nggak tau deh katanya Crystal mau main juga ke tempat gue. Tapi nanti gue tanya.”

“Lakinya si Adam doang?” 

”Emang sejak kapan kita kumpul-kumpul dan Adam nggak jadi satu-satunya laki?” Liv pura-pura heran. Sejurus kemudian Liv dan Mel sama-sama tertawa. 

“Untung dia masih suka cewek ya nggak sih,” Mel terkikik. 

Playboy malah. Sekarang ceweknya yang mana lagi tuh?” 

“Yang pegawai bank bukan sih?” 

“Ih itu udah putus. Terakhir yang gue tahu yang kerja di coffee shop,” Liv menepuk pipinya, mencoba mengingat-ingat. 

“Nanti kita interogasi langsung deh,” 

“Sippo!” 

“Oke see you soon!”

“See you!” seru Liv. 

“Mau ngapain siiih?” Crystal menepuk meja Liv dan tersenyum lebar. 

“Eh ngagetin aja,” Liv mengelus dadanya. “Mau kumpul-kumpul aja di apartemen gue. Makan, ngemil, nonton, main game, ngobrol. Lo jadi mau ikut? Hari Minggu ini.” 

“Mau mau! Harusnya Minggu mau jalan sama Jamie. Tapi bisa diganti deh di waktu lain,” Crystal bergerak-gerak girang. 

“Ajak aja Jamie sekalian. Yang penting bawa makanan ya!” Liv mengedip.

“Horeee! Siap!”


*** 


“Yan, nanti kalau udah nyampe di apartemen, mau temenin gue belanja dulu gak?” Liv bertanya pada Ian yang untuk kesekian kalinya menjemput Liv dari Crystal Corp.

“Belanja buat keperluan apa?” 

“Jadi hari Minggu ini bakal ada Mel, Adam, Crystal, dan Jamie main ke tempat gue. Setidaknya gue mau siapkan cemilan. Soalnya gue kan gak bisa masak. Makan nanti delivery aja,” Liv menerima helm dari tangan Ian namun tidak langsung menaiki motor. 

“Boleh,” Ian mengangguk. 

“Thank you, Yan,” Liv tersenyum dengan wajah berseri-seri lalu mereka mulai berkendara menembus jalanan Jakarta. 

Sepanjang perjalanan pulang sebenarnya Ian bertanya-tanya. Apakah ada kemungkinan dia diajak juga? Karena sebenarnya Ian juga ingin mengajak Liv keluar bersama. Rupanya Liv sudah terlanjur membuat janji bertemu dengan teman-temannya yang lain. 

Ketika sampai di supermarket apartemen, Ian terpikir untuk bertanya. Siapa tahu ada kesempatan. Tapi apakah itu akan membuatnya jadi seseorang yang senang ikut campur?

“Kenapa belanjanya harus sekarang, Liv? Hari Minggu masih beberapa hari lagi,” Ian bertanya setenang mungkin kepada Liv yang mendorong troli di sebelahnya. 

“Soalnya hari ini aja gue ada waktu kosong. Besok sampai Jumat gue bakal ada meeting sampai malam. Hari Sabtunya gue ke Bekasi seharian buat ikut off air Crystal. Jadi langsung ketemu hari Minggu aja,” Liv mengangkat bahu. 

“Begitu,” Ian menggumam pelan. 

“Jadi besok lo gak perlu jemput gue ya,” Liv menoleh pada Ian dan menepuk lengannya. Sedikit usapan di lengan Ian memberikan efek tertentu ke sekujur tubuhnya. 

Memang akhir-akhir ini Ian sering menjemput Liv jika Liv sedang bisa pulang cepat. Walaupun yang dimaksud menjemput adalah Ian menunggu di Indomaret yang berjarak 100 meter dari kantor Liv. Liv sudah bilang pada Ian untuk menunggunya di lobi Crystal Corp. Namun Ian menolak dan memilih menunggu di minimarket itu saja. 

“Cuma akhir-akhir ini aja lo sering pulang cepet?” Ian kembali menyambung pembicaraan.

“Ho oh. Untung meeting banyakan siang atau di kantor. Off air Crystal juga nggak perlu gue ikut semua. Beda sama mulai besok dan minggu depan. Bakal lebih sibuk karena Crystal minggu depan Crystal harus rehearsal buat acara awards.” 

“Oh,” Ian mengangguk. 

“Lo nggak sibuk ya?” Liv ganti bertanya.

“Belum. Masih kerjaan biasa,” Ian mengangkat bahu. 

“Eh hari Minggu nanti, lo bisa datang kan?” Liv berhenti di depan etalase minuman dan berdiri menghadap Ian. 

Ternyata… 

“Gue diundang juga?” tanya Ian pura-pura bodoh. 

Liv tertawa. “Iya dong. Masa iya gue udah ngajak lo temenin gue belanja buat hari Minggu tapi lo sendiri gak dateng. Sebagai tetangga terdekat gue, ya sudah seharusnya lo datang dong, Yan.” 

Nada bicara Liv terdengar biasa saja. Ekspresi wajahnya juga terlihat ceria dan penuh canda tawa. Padahal di dalam hatinya, Liv deg-degan setengah mati. Berharap Ian bisa datang dan mereka akan menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman Liv lainnya. Perasaan takut juga muncul di saat yang sama. Khawatir Ian ternyata tidak bisa dan menolak permintaan Liv. Pasti Liv akan kecewa sekali jika Ian tidak bisa ikut.

“Oke, gue bisa,” Ian mengangguk.

Hati Liv bersorak girang. Dalam pikirannya, dia bisa menari dan bergoyang-goyang karena senang. Namun karena mereka sedang ada di tempat umum dan Ian tidak boleh—belum boleh—tahu bagaimana perasaan Liv atas jawabannya, Liv menanggapi Ian hanya dengan tersenyum. 

“Bagus. Kalau lo punya film atau mainan, nanti dibawa ya,” Liv mengacungkan jarinya.

“Bisa,”

Ian dan Liv mendorong troli bergantian dari satu etalase ke etalase lainnya. Sebagaimana perempuan ketika dihadapkan pada situasi belanja, tangan Liv menarik turun benda-benda yang dipajang dan tanpa pikir panjang menaruhnya ke dalam troli. Ian memperhatikan itu semua dan bergidik. 

“Lo beneran butuh ini semua? Bukannya yang datang nanti cuma enam orang?”

Liv berbalik menghadap Ian. “Buat persediaan, Yan. Sekalian aja siapa tahu nanti ada yang mampir lagi ke tempat gue. Cemilannya udah ada. Bisa juga kalau gue lagi laper malam-malam dan pengen ngemil. Tinggal ambil koleksi cemilan deh.”

“Ini mau lo cemil juga?” Ian menjawil sebuah bungkusan.

“Ini sih buat persediaan yang lain,” Liv menjulurkan lidah dan menyambar bungkusan pembalut wanita dari tangan Ian. Ian tertawa menanggapinya. 

Belanja akhirnya selesai ketika Ian sudah merasa Liv tidak akan pernah berhenti mengambil bermacam barang. Perempuan dan kebiasaan belanja. Meskipun sudah berjalan kesana kemari, tetap saja mereka bersemangat dan membayar ke kasir dengan wajah yang sama saat mereka masuk. Liv membayar semua barang belanjaannya kemudian menyodorkan beberapa kantung ke tangan Ian. Keduanya sama-sama memegang dua kantung besar di tangan mereka. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Liv dan Ian bersama-sama berjalan kembali menuju ke atas. 

“Besok meeting dimana aja Liv?” Ian terpikir mungkin untuk menjemput Liv juga dari tempat meetingnya. 

“Kenapa? Kamu mau jemput lagi?” 

Baik Liv maupun Ian keduanya sama-sama terdiam. Terkejut akan respon Liv yang mendadak mengubah lo-gue menjadi aku-kamu. Pipi Liv mendadak terasa panas dan cepat-cepat ia meralat.

“Maksudnya…”

“Iya kalau boleh,” Ian memotong agar tidak membuat Liv semakin salah tingkah.

“Besok di SCBD, besoknya lagi di studio RCTI, hari Jumat ke Trans,” suara Liv entah kenapa tidak terdengar selantang biasanya. Mungkin dia masih malu atas respon refleksnya tadi. 

“Jam?” 

“Kalau di SCBD meetingnya dari sore. Mungkin jam 7 sudah selesai. Kalau yang di RCTI dan Trans, bisa sampai jam 9,” Liv menatap Ian. “Gak apa-apa?” 

“Gak apa-apa,” Ian mengangkat bahu. 

“Nanti dijapri lagi ya untuk waktu dan tempatnya,” Liv tersenyum malu-malu. 

Liv dan Ian sudah sampai di depan kamar Liv. Liv masih belum mengeset kode sehingga ia masuk masih menggunakan kunci biasa. Begitu pintu dibuka, Ian ikut masuk untuk menata barang belanjaan di lemari. 

“Ah, beres. Makasih banyak ya, Yan,” Liv mengelap keningnya dan menatap lemari dengan puas. Sudah banyak makanan yang bisa dia suguhkan bagi tamu-tamunya nanti.

“Sama-sama,” Ian kembali menatap Liv. “Aku…pulang dulu.” 

Momen terkejut itu kembali muncul. Baik antara Liv maupun Ian. Liv terpana karena Ian juga mengubah panggilannya. Ian terkejut karena ia juga berani untuk melakukan hal tersebut. Bagi Ian maupun Liv, perubahan panggilan ini bukan hanya hal yang biasa.

“Iya,” Liv berseri-seri menanggapi Ian. Ditanggapi seperti itu, membuat Ian ikut merona malu juga. 

“Ya sudah. Sampai besok,” Ian mengangkat tangannya dan mengelus puncak kepala Liv sekilas. 

Ian meninggalkan unit Liv dengan Liv yang berdebar di dalamnya. 


*** 


Mungkin Ian dianggap sebagai supir. Sama seperti para supir yang ada di ruang tunggu untuk menanti kedatangan artis-artisnya. Karena Ian menolak untuk naik dan menemui lift di studio. Ian memilih untuk menunggu bersama para supir saja. 

Ketika Liv menghampiri ruang tunggu dan menemukan Ian sedang merokok dengan para supir, Liv otomatis tertawa. Ian tampak begitu membaur dengan para supir. Mereka tertawa dan mengobrol dengan akrab. Padahal saat ini secara tampilan pun Ian lebih rapi dari biasanya. Dia mengenakan kemeja, rambutnya disisir rapi, sepatunya bersih, kacamatanya juga mengkilat. 

“Permisi, saya mau ajak pulang mas-mas yang satu itu,” Liv mengetuk pintu ruang tunggu dan menghentikan obrolan mereka. 

“Wah kebalik nih. Biasanya supir yang diminta nyamperin. Ini malah disamperin sama nyonyanya,” celetuk salah satu supir. 

Liv kembali tertawa. Rasa lelahnya mendadak hilang. “Iya, Pak, sekali-sekali.” 

Ian mematikan rokoknya lalu menghampiri Liv. Liv masih tertawa saat mereka sudah berjalan beriringan menuju mobil Liv yang tadi dibawa oleh Ian. 

“Nyambung banget kayaknya sama para supir,” Liv menyenggol lengan Ian. 

“Cocok ya?” Ian menyunggingkan senyum miring.

“Cocok,” Liv mengangkat jempolnya dan kembali tertawa. 

“Obrolannya kocak-kocak,” tambah Ian. 

“Oh iya? Apa aja?” 

Belum Ian menjawab, ia malah meraih tangan Liv dan memegangnya seakan-akan itu adalah gestur yang biasa. Kebalikan dengan Ian yang terlihat begitu santai saat memegang tangan Liv, Liv langsung bengong dan tubuhnya mendadak seperti dialiri listrik.

“Bahas soal selingkuhan bos mereka, bahas soal biaya parkir di mall yang mahal tapi mereka yang bayar karena alasannya bos mereka gak punya receh, bahas soal berantem-berantem bos mereka. Macem-macem,” jelas Ian tanpa ekspresi sama sekali. Tidak pula menyadari Liv yang mendadak panas dingin karena tangannya dipegang Ian. 

“Gitu,” Liv hanya mengangguk saja. Untunglah tidak lama kemudian mobil Liv tampak dan Ian melepaskan pegangan tangannya. Bukan Liv tidak mau, ia hanya kaget. 

Untunglah selama perjalanan pulang menuju apartemen, tidak ada gestur dadakan yang membuat jantung berdebar seperti tadi. Liv berusaha melupakan adegan tadi dan menganggap Ian hanya melakukan sesuatu di luar kesadarannya. Mereka berdua masih mengobrol seperti biasa sampai ketika memasuki lift yang hanya diisi mereka berdua. 

Awalnya Ian hanya menatap pantulan Liv di cermin. Liv yang menyadari bahwa dirinya ditatap Ian, balas memandang melalui cermin. Liv tersenyum sedikit dan mengucapkan kata ‘Apa?’ tanpa suara. Ian hanya mendengus dan tersenyum tipis. Ketika pintu lift terbuka, Liv berjalan lebih dulu namun Ian bisa mensejajari langkahnya dan kembali memegang tangan Liv.

Liv berhenti melangkah lalu menatap Ian. Ian menatap Liv lekat-lekat. Entah bagaimana caranya atmosfer di sekitar mereka mendadak terasa berubah. Liv perlahan membalas pegangan tangan Ian dengan meremasnya lembut. Liv juga membalas tatapan Ian dengan bingung. Ian yang sekarang menatap Liv dengan intens di balik kacamatanya membuat Liv semakin salah tingkah tapi Liv tidak berkeinginan melepaskan tatapan itu. Apalagi saat perlahan Ian menunduk dan semakin mendekatkan wajahnya. 

Liv tahu akan apa yang terjadi kemudian kalau Ian terus melanjutkan niatnya dan Liv tidak berbuat apa-apa. Tapi memangnya Liv ingin berbuat apa? Rasa-rasanya Liv akan menerima saja. Liv perlahan mulai memejamkan matanya.

Grasak grusuk grasak. 

Ian dan Liv langsung menjauhkan diri. Mereka menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang anak kecil sedang menyeret kantung belanjaan. Orang tuanya berjalan di belakang. Liv menghela nafas. Untung saja anak ini tidak melihat adegan 17+ yang bisa menyebabkan Liv dan Ian didemo keluar dari apartemen ini.

Tetangga mereka itu melewati Ian dan Liv sambil tersenyum. Liv balas tersenyum dan Ian hanya mengangguk. Sebelum terjadi hal yang tidak terduga, cepat-cepat Liv melepaskan pegangannya dari tangan Ian, membuka pintu kamar, dan menyerukan, “Dah, Ian!” tanpa melihat langsung ke orangnya.

Di balik pintu yang tertutup, Liv memegang dadanya yang berdetak lebih cepat seperti kalau dia baru selesai berlari. Ian akan menciumnya!


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?