Miserable Fate - 15
Lemon Verbena
Memikat lawan jenis
“Gue mau ajak lo ke Gala Dinner kantor gue,” Ian mengutarakan permintaannya dalam satu tarikan nafas dan dengan wajah tanpa ekspresi.
“Apa?” Liv yang baru saja selesai menuangkan air ke dalam gelas mendadak menghentikan gerakannya. Untung saja dia ingat untuk mengangkat botolnya sehingga gelas tersebut tidak dipenuhi air.
“Jadi kantor gue ngadain Gala Dinner setahun sekali. Yang datang karyawan level manajer ke atas dan beberapa klien. Nah biasanya gue datang sendiri tapi…” Ian melirik ke kanan dan ke kiri untuk melihat kondisi restoran tempat dia dan Liv sedang makan malam bersama. Sebuah pertemuan yang ‘tidak sengaja’. Liv muncul tepat sebelum Ian bermaksud menaiki lift.
Padahal sebenarnya Ian sudah menunggu dengan sabar sampai Liv muncul untuk kemudian mengajaknya makan malam. Hanya saja Ian tidak mau mengakui itu sampai kapan pun. Cara mengajaknya pun dengan gayanya yang cuek dan galak.
Wajah Liv berubah jadi geli mendengar penjelasan Ian.
“Tahun ini gue harus…”
Senyum Liv semakin melebar.
“Datang berdua.” Ian menutup kalimatnya.
“Wooooow,” seru Liv sambil bertepuk tangan. “Berarti di kantor lo itu lo manajer? Kenapa baru sekarang harus datang berdua? Kemarin-kemarin kok nggak apa-apa datang sendiri? Lo kenapa ajak gue? Kan gue nggak kenal-kenal banget sama lo? Sering berantem pula kita. Lo nggak punya cewek yang ditaksir? Jangan-jangan lo naskir gue ya?”
Pertanyaan bertubi-tubi Liv membuat Ian menutup telinganya dan berpaling dari Liv.
“Eh kok malah meleng. Jawab kaliii,” Liv terkikik geli lalu menarik tangan Ian agar kembali menatapnya.
“Nggak ada alasan khusus. Lo mau apa nggak?” Ian kembali menatap Liv dan merengut.
“Kapan?” Liv terkikik.
“Sabtu depan,”
“Oke,” Liv mengangguk tanpa perlu berpikir atau mengecek jadwalnya. Diajak Ian saja dia sudah takjub. Apa lagi diajak ke sebuah acara formal. Agenda lainnya bisa Liv atur belakangan. “Jam berapa? Dress code-nya apa?”
“Acaranya jam 7. Kita berangkat bareng sekitar jam 6. Dresscode-nya formal. Gue akan pake jas dan berarti lo perlu pake gaun,”
“No problem,” Liv tersenyum.
Ian menatap wajah Liv yang tampak berbeda dengan kesehariannya. Perempuan ini penuh kejutan. Mungkin memang beginilah Liv kenyataannya ketika mengenalnya lebih jauh. Akhirnya Ian mengangguk.
“Tapi gue nggak ada mobil untuk berangkat. Jadi mungkin bakal naik tak…”
“Pake mobil gue aja,” Liv memotong. “Tapi lo yang nyetir ya!”
“Oke,” Ian mengangguk lagi.
“Deal,” Liv mengulurkan tangannya.
“Deal,” balas Ian, menjabat tangan Liv.
***
“Udah siap?” Tanya Ian via telepon.
Setelah Liv setuju untuk menemani Ian ke acara kantornya, akhirnya Ian memberikan nomor teleponnya untuk Liv. Sekarang hari H di mana mereka akan berangkat ke Four Seasons untuk acara kantor Ian. Mereka janji berangkat pukul setengah 7 dan sekarang pukul setengah enam Ian sudah menelepon Liv.
“Belum,” Liv mengepit telepon di telinga dan pundaknya. Tangannya mengobrak-abrik lemari yang setengah isinya sudah berserakan di tempat tidur. “Masih jam setengah enam kali, Yan. Kita janjian sejam lagi kan?”
Ian tidak langsung menanggapi.
“Cewek siap-siapnya suka lama,” kata Ian akhirnya.
Liv mendengus. Meskipun dia tidak suka dibilang lama, tapi kata-kata Ian ada benarnya. Sekarang saja Liv belum benar-benar menentukan pakai baju apa. Padahal dia sudah mencari baju dari pagi. Belum lagi make up dan hair do. Ditambah pula dengan sepatu dan tas yang harus dia sesuaikan.
“Lo pake baju apa?” Liv gentian bertanya.
“Jas,”
“Iya gue tau. Maksud gue, jasnya atau dasinya warna apa? Biar gue sesuaikan. Asli gue stuck banget milih baju.” Liv duduk di tepi tempat tidurnya, menduduki sebuah terusan berwarna merah muda.
“Biru, navy blue,” jawab Ian. “Lo pake baju apa aja juga nggak ada yang peduli Liv.”
“Oh ya? Lo yakin? Lo mau gue pake kaos dan ripped jeans sementara lo pake jas?” Nada bicara Liv berubah sarkastik.
“Ya nggak gitu juga,” kata Ian pelan.
“Ya abisan lo bilang pake baju apa juga nggak ada yang peduli. Nyatanya lo peduli kan,” Liv berdiri lagi dan memandangi seisi kamarnya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah gaun one shoulder dengan aksen di bagian pinggang dan panjang selutut. Gaun yang sekali dipakai Liv untuk menemani Crystal di Anugerah Planet Muzik 2 tahun lalu. Liv tidak pernah memakai gaun itu lagi karena merasa belum menemukan acara yang tepat dan jujur saja, gaun itu begitu terbuka.
“Liv,” panggil Ian.
“Gue udah nemu baju. Gue akan siap jam setengah tujuh dan setelah itu berangkat. Lo nggak perlu telepon lagi ya. Sayang waktunya. Oke dah!” Liv mematikan telepon dan langsung melemparkan ponselnya ke Kasur. Diambilnya gaun itu, ditimang dan diperhatikan dari berbagai sisi. Sekali ini Liv akan mengambil resiko atas pilihan yang menurutnya tidak banyak.
***
Pukul 6.21 Liv sudah siap.
I’m ready. Ketik Liv pada Ian. Ian membalas tidak lama kemudian dengan hanya dua huruf. Ok.
Liv menaruh ponsel ke clutch bag berwarna silver dan berdiri di balik pintu. Siap membukakan pintu kapan pun Ian mengetuk pintunya.
Tok tok.
Liv berdeham, menarik nafas, lalu membuka pintu. Seseorang yang berdiri di hadapan pintunya Liv ragukan bernama Ian. Orang ini bukan Ian. Tidak ada rambut berantakan. Tidak ada kacamata bertengger di hidungnya. Tidak ada kaos atau kemeja asal yang dipadu dengan jeans. Tidak ada sepatu Converse belel yang paling senang dipakai Ian.
Orang yang berdiri di hadapan Liv sekarang mengenakan jas 3 kancing berwarna navy blue yang ukurannya begitu pas di tubuh atletis Ian dan berhasil menunjukkan betapa Ian sebenarnya merawat tubuhnya. Pundaknya semakin terlihat lebar dan pasti membuat wanita normal manapun bersedia bersandar di sana. Belum lagi rambutnya yang biasanya berantakan dan mencuat ke sana kemari, sekarang tampak diberi pomade dan disisir ke arah yang sama. Liv merasa seperti melihat Siwon Choi saat menghadiri acara resmi. Sepatu lusuhnya tergantikan loafer hitam mengkilap yang begitu gaya seperti para model di catwalk. Terakhir yang membuat Liv ternganga adalah tidak adanya kacamata Ian yang otomatis membuat wajahnya terlihat berbeda. Sekarang dia mengerti kenapa Superman dan Clark Kent tidak dapat dikenali sebagai orang yang sama.
Atas semua keterkejutan Liv yang ditunjukkan oleh ekspresi wajahnya yang seperti orang bodoh, Liv berhasil mengeluarkan suara hanya untuk bertanya, “Lo minus berapa sih?”
***
Begitu Liv membukakan pintu untuknya, wajah Liv langsung menganga dan Ian tahu itu. Tapi Ian tidak punya waktu untuk mempertanyakan kenapa Liv seperti melihat Justin Bieber muncul di hadapan pintunya. Bagi Ian sendiri dia begitu terpaku melihat penampilan Liv. Gaun biru tua yang senada dengan jas yang dikenakan Ian. Gaun itu menempel begitu pas di tubuh Liv. Pikiran nakal Ian sebagai laki-laki langsung mengarah kepada bagaimana cara melepaskan gaun itu. Cepat-cepat diusirnya pikiran itu. Ian masih terpana dengan riasan wajah Liv yang sederhana namun tetap terlihat menawan. Kulit mulus Liv yang lebih banyak terekspos malam ini. Juga rambut panjang Liv yang diberi ikal-ikal kecil di ujungnya, dilengkapi dengan jepit kecil di sebelah kanan. Ian hanya bisa menelan ludah.
“2,5,” jawab Ian atas pertanyaan Liv yang di luar dugaannya.
“Oh,” Liv mengangguk. “Jadi masih bisa liat tanpa kacamata ya?”
Ian mengangkat bahu. “Lagi gue ganti pake softlens,”
Liv mengangguk. “Kita pergi sekarang?”
“Oke,”
Liv keluar dari kamarnya lalu mengunci pintu. Mereka berdua berjalan bersisian menuju lift. Padahal sudah beberapa kali Ian dan Liv berjalan berduaan. Entah kenapa saat ini terasa berbeda. Keduanya seperti canggung atas keberadaan satu sama lain.
“Eh ini kunci mobilnya,” Liv mengulurkan kunci mobilnya pada Ian saat mereka sudah berada di dalam lift.
“Manual apa matic?” Ian menerima kunci itu dan memutar kunci dengan jemarinya.
“Manual. Bisa?”
Ian mengangguk. “Lebih bisa nyetir manual,”
“Bagus deh kalau gitu,”
Mereka keluar dari lift dan Liv membimbing Ian menuju tempat mobilnya diparkir. Tanpa perlu diberi aba-aba, Ian langsung menuju pintu supir dan Liv duduk nyaman di kursi penumpang. Tidak ada lagi yang bicara saat Ian menyalakan mesin dan mulai keluar dari area parkir. Liv menatap jalanan yang mulai padat lalu menoleh ke sebelah kanan.
“Kenapa lo jarang serapi ini kalau sehari-hari?”
Ian melirik Liv sekilas lalu kembali menghadap jalanan. “Ribet.”
Liv tertawa. “Pake pomade, softlens, gitu-gitu ribet ya?”
Ian mengangguk. “Toh yang gue hadapi komputer juga.”
“Oh iya. Lo tuh anak IT ya?”
“Iya. Lo anak artis kan?”
Liv memutar matanya. “Berasa Valerie Thomas kali gue. Gue anak yang ngurusin artis maksudnya. Jadi bertolak belakang banget kita ya. Lo ngadepin benda mati jadi penampilan suka-suka hati. Gue ngadepin klien-klien jadi penampilan harus selalu prima.”
“Tiap hari lo dandan kayak gini?” tanya Ian sarkastik.
“Yah nggak. Kalau sehari-hari gue berusaha menampilkan imej effortlessly beauty gitu lho.”
Ian sebenarnya tidak paham apa maksud Liv dengan effortlessly beauty, tapi Ian malas bertanya.
“Tapi Yan, lo kayak gini bagus tau. Nggak mau coba kayak gini setiap hari?”
“Pake jas?”
“Yee,” Liv merengut. “Setidaknya baju lo disetrika dan rambut lo dirapiin gitu,” Liv tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengelus rambut Ian.
“Jangan,” kata Ian pelan.
“Eh,” Liv menarik tangannya. “Oh takut rambut lo berantakan ya? Hahaha. Maaf,”
Ian tidak berkomentar lagi. Dia mencegah Liv mengelus rambutnya bukan karena khawatir rambutnya berantakan. Melainkan khawatir Liv memunculkan perasaan aneh di dadanya setelah perasaan aneh lain yang muncul ketika Ian melihat Liv tadi. Dalam pikiran Ian mencatat bahwa Liv menyukai penampilannya yang seperti ini. Setidaknya rambutnya yang serapi ini.
“Nanti acaranya ngapain aja, Yan?”
“Begitu dateng paling nanti nyapa-nyapa orang kantor. Abis itu ada sambutan, pengumuman beberapa penghargaan buat karyawan dan cabang, hiburan dari penyanyi, setelah itu makan malam.” Ian menjawab susunan acara berdasarkan ingatannya setelah membaca sekilas undangan yang dia tinggal di kamarnya.
“Penyanyinya siapa?”
“Rizky Febian,”
Liv terkikik.
“Kenapa?” Ian menoleh kepada Liv, bingung.
“Nggak apa-apa. Gue kenal anak itu. Beberapa kali ketemu dan ngobrol sama manajernya. Mungkin kalau gue mati gaya, gue nyusup ke belakang panggung aja buat ngobrol sama Rahul ya,” Liv tersenyum geli.
“Rahul siapa?” Ian mengernyit.
“Managernya Iky, masa bapaknya. Bapaknya mah Sule,”
Mulut Ian membentuk huruf O namun tidak berkata apa-apa lagi.
“Dan selama acara itu gue akan ikut lo kemana pun, Yan?”
“Hmm,” Ian meletakkan siku di tepi jendela dan tangannya menyangga kepalanya. “Ya kurang lebih gitu. Tapi itu pun kalau gue kemana-mana. Rencana gue cuma datang, salaman sama beberapa orang yang gue temui dalam perjalanan ke meja kita, lalu duduk di sana sampai acara selesai.”
“Oh gitu,” Liv menggerakkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. “Lo akan bilang gue siapa?”
Ian berbalik menatap Liv. Untunglah mereka sedang berada di lampu merah. Bisa bahaya kalau Ian tiba-tiba menatap intens ke arah Liv saat mereka fokus di jalanan. Liv mengangkat alis setelah beberapa saat Ian tidak menjawab pertanyaannya.
“Lo mau gue kenalkan sebagai apa?”
“Yah malah balik nanya. Sebagai nenek lo aja deh,”
Ian mendengus tertawa tapi sebiasa mungkin menyembunyikan tawanya. “Temen lah Liv. Apa lagi?”
Liv mengangguk, melipat kedua tangan di dada dan otomatis membuat dadanya terangkat sedikit. Ian melotot melihat pemandangan itu dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
“Gue khawatir lo bilang gue pacar lo. Makanya harus kompromian dulu kita,’ kata Liv asal.
“Bah,” komentar Ian.
“Kok gitu responnya? Nggak mau ya punya pacar kayak gue? Hih, your lost.” Liv mengibaskan rambutnya.
“Lo kan punya Febri. Ngomong gitu ke Febri sana. Biar lo cepetan ditembak,” Ian membalas asal. Padahal sedikit nada kesal muncul dalam suaranya saat dia menyebut nama Febri.
“Duh jangan ingetin,”
Ian menoleh sekilas kepada Liv, ingin bertanya kenapa Liv tidak ingin membahas perihal Febri. Akan tetapi Ian mengurungkan niatnya dan kembali diam. Dia bukan orang penasaran dan akan selamanya seperti itu.
Mobil Liv memasuka area Marriott dan Ian sedang mengantri agar mobil Liv dibawa petugas valet parking. Dengan demikian Liv dan Ian bisa turun di pintu masuk. Tiba giliran mereka. Petugas valet tersenyum pada Ian dan Ian membalas senyuman dengan ramah. Mereka berdua turun dari mobil dan langsung berdiri di pintu masuk hotel bintang lima ini. Ian hampir langsung melangkah masuk namun Liv menarik jasnya.
“Langsung masuk aja?” Liv mengernyit.
“Iya. Orang udah tau gue jadi nggak usah nunjukkin undangan,” kata Ian polos.
“Bukan itu maksud gue.” Liv melirik ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang dalam radius 2 meter di sekitar mereka. “Lo nggak mau gandeng gue apa gimana gitu?”
“Hah?” Ian terkejut.
“Kan kita datang sebagai couple, Yan.” Liv menghela nafas, tidak percaya. “Kalau kita jalan sendiri-sendiri udah kayak artis ama bodyguard. Gue artis, lo bodyguard. Tapi kalau gandengan kan kayak pasangan beneran.”
“Harus ya? Temen kan nggak gandengan,”
Liv memutar matanya. “Pevita Pearce sama Bubah Alfian cuma temenan tapi mereka gandengan.”
Sebenarnya Ian ingin membantah kata-kata Liv. Namun saat ini Ian merasa waktunya akan terbuang sia-sia kalau mereka bertukar argumen seperti yang biasa mereka lakukan. Jadilah Ian memutuskan mengambil jalan tengah. Ian mengulurkan tangan dan Liv yang wajahnya berubah sumringah langsung melingkarkan tangannya di tangan Ian. Bersama-sama, mereka masuk dan menuju ballroom.
Seakan-akan Queen Elizabeth II baru memasuki ruangan, ketika Liv dan Ian memasuki ballroom, mata-mata langsung tertuju ke arah mereka. Jalan di hadapan mereka tiba-tiba kosong karena orang-orang bergeser ke pinggir dan langsung berbisik dengan teman-temannya. Bisikan yang tidak dimaksudkan sama sekali untuk tidak didengar.
“Itu siapa? Ganteng banget!”
“Nggak tau, gue baru liat cewek atau cowoknya.”
“Dih itu kan Ardiansyah, Manager IT Operation,”
“Yakin lo itu Ian? Kok ganteng?”
“Terus dia jalan sama siapa? Ceweknya ya?”
“Gue kira dia homo.” Ian memutar matanya saat mendengar ini dan Liv terkikik geli.
“Gile serasi banget. Ternyata Ian ganteng kalau mau serius. Ceweknya juga seksi,”
Itu bagian perempuan-perempuan yang terkejut karena penampilan Ian yang berbeda dari sebelumnya. Giliran para pria yang berkomentar, Liv memutar matanya.
“Sayang banget cewek secantik itu jalannya harus sama Ian.”
Pria-pria lain hanya menatapnya dengan tatapan lapar dan lainnya bersiul tanpa suara sambil mengedipkan sebelah mata. Mendapatkan perhatian seperti itu, Ian melepaskan tangannya dari pegangan Liv. Liv kaget dan langsung menatap Ian. Namun rupanya Ian memindahkan tangannya untuk merangkul pinggang Liv dengan protektif dan mendekatkan Liv semakin ke arah Ian. Wajah Liv berubah merah dan panas.
“Well, siapa yang baru datang nih?” Leo berdiri di hadapan Ian, tersenyum penuh arti.
“Bruce Wayne,” jawab Ian kepada temannya. “Liv, ini Leo. Leo, ini Liv.”
“Halo, Liv. Gue Leo, sama-sama Manager IT di sini kayak Ian,” Leo mengulurkan tangan dan tersenyum.
“Halo Leo. Gue Liv,”
“Pacar Ian?” Leo memancing.
“Temen,” Liv menjawab mantap dan melemparkan senyum.
“Yang nanti akan jadi pacar?” Leo masih tidak menyerah.
Liv hanya menanggapi dengan tawa dan Ian mendengus.
“Siapa yang akan jadi pacar?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari belakang. Liv menoleh ke asal suara dan takjub mendapati perempuan dengan gaun panjang berwarna merah terang yang memiliki belahan hingga ke paha. Gaun berpotongan dada rendah itu hampir tidak dapat menampung payudaranya. Liv heran ada yang diijinkan menggunakan gaun seterbuka itu ke acara kantor yang bersifat formal.
“Ini,” Leo yang menjawab. Menunjuk Ian dan Liv.
Perempuan itu sekarang berdiri di hadapan Liv dan Ian. Seakan lupa bahwa baru beberapa detik lalu Leo mengatakan bahwa Liv dan Ian adalah calon pacar, sekarang dia memeluk Ian dan mencium pipi kiri dan kanannya, membuat Ian melepaskan pelukannya kepada Liv. Liv bisa melihat bahwa perempuan itu dengan sengaja menempelkan payudaranya ke arah Ian dan menekannya seiring pelukannya kepada Ian. Liv langsung mengernyit jijik dan Ian berusaha mundur setelah menepuk pundak perempuan itu. Leo memutar bola matanya dan menggeleng.
“Akhirnya kamu datang, Ian,” Nada suaranya dibuat-buat. Liv tahu tipikal perempuan penjilat seperti ini. Baru bertemu beberapa menit saja Liv sudah tidak suka.
“Yeah,” Ian tersenyum sedikit lalu kembali menetralkan wajahnya.
“Orang-orang membahas betapa bedanya penampilan kamu malam ini. Mereka pada baru telat nyadar aja. Padahal aku udah liat kamu seganteng ini dari lama. Sampe bikin orang-orang heran kok aku bisa naksir kamu.” Saat bicara ini, perempuan itu mengelus rambut Ian dan tangannya turun ke pipi Ian.
Rasanya Liv sudah ingin menjambak rambutnya.
“Ehem,” Liv berdeham.
“Kita mau berdiri di sini aja ngalangin jalan atau mau duduk di kursi kita, Sayang?” Liv menekankan kata Sayang dan menunjukkan wajah kesal.
Leo mendengus tertawa lalu menatap ke arah lain. Perempuan yang Liv masih tidak ketahui namanya itu langsung berubah kaku dan mengernyit. Ian menatap Liv dengan heran namun kemudian dia mengangguk.
“Siapa cewek ini?” tanya perempuan sok cantik itu.
Liv langsung berdecak. “Olivia. Pacarnya Ian,” Liv mengulurkan tangan tapi ekspresinya kesal setengah mati.
“Apa? Bohong kan?” Dia berbalik lagi ke arah Ian.
Ian menggerakkan bibirnya membentuk senyuman kilat lalu memegang tangan Liv. “Yah begitulah adanya, Fel. Sorry ya, gue harus ke meja gue. Acara udah mau mulai. Leo, lo ikut?”
“Gue nyusul, Yan. Nunggu bini dulu lagi ke toilet tadi,” jawab Leo masih sambil tersenyum geli.
Ian mengangguk dan langsung menarik Liv menuju meja mereka di deretan kedua. Wajah Liv berubah cemberut sementara Ian masih sama cuek dan datarnya.
“Lo nggak perlu berbohong seperti itu,” kata Ian saat mereka sudah berada di meja dan Liv sudah dikenalkan kepada para manager IT dan pasangannya masing-masing.
“Gimana lagi caranya supaya gue melepaskan lo dari si cumi-cumi itu?” Liv mendengus kesal.
Ian tertawa pelan. “Namanya Felis.”
“Mau namanya Felis kek, namanya Felix kek, namanya Pernis kek. Nggak peduli gue,” Liv mengambil air putih yang tersedia di meja lalu meminumnya banyak-banyak.
“Apa yang bikin lo sebete ini?” Ian mengernyit, tidak habis pikir.
“Toketnya lebih gede dari gue,”
Ian langsung batuk-batuk dan membuat seisi meja memperhatikannya. Dia mengangkat tangan dan berusaha tersenyum untuk menunjukkan dia baik-baik saja. Liv menepuk pundak Ian untuk menghentikan batuknya.
“Itu alasan nomor dua. Yang pertama, gue nggak suka liat gesturnya. Asli, bitchy banget. Nggak bisa ya gerak-geriknya biasa aja? Itu bibir kalau ngomong biasa aja kali. Terus tadi pas cipika cipiki sama lo. Perlu banget nempelin dadanya kayak gitu?” Liv kembali meminum air sambil mendengus.
“Sudahlah. Nggak usah dipikirin,” komentar Ian setelah batuknya reda.
“Jangan-jangan lo emang seneng sama dia ya? Salah dong gue ngaku-ngaku jadi pacar lo? Sori deh,” Liv mengalihkan pandangan dari Ian dengan masih menunjukkan wajah cemberut.
“Nggak!” jawab Ian dengan cepat. Liv sampai kembali memandang Ian karena heran dengan jawabannya. “Nggak.” Ian mengulangi dengan nada yang biasa saja.
Liv memiringkan kepalanya.
“Dia emang PDKT sama gue, Liv. Tapi gue cuma anggap teman,” Ian menjelaskan dengan pelan dan bersandar ke kursi.
Liv memperhatikan Ian beberapa saat dan memutuskan bahwa Ian berkata jujur.
“Oke,” kata Liv akhirnya.
Acara dimulai dan mereka berdua tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya fokus mengikuti rangkaian acara. Termasuk saat Ian dan beberapa temannya dipanggil ke panggung karena berhasil mendapatkan penghargaan Project of the Year dari perusahaan mereka di bidang telekomunikasi ini.
“Selamat ya,” ujar seorang ibu, istri dari manager IT lainnya kepada Liv saat Ian sedang di panggung.
“Eh iya, terima kasih,” Liv tersenyum. Ikut bangga atas pencapaian pacar palsu sekaligus tetangga teman bertengkarnya itu.
“Saya tahu tuh mereka berapa hari nggak pulang karena ngerjain project,” ujar ibu itu lagi.
“Ah iya,” Liv mengangguk. Tiba-tiba teringat saat dia menumpahkan Coca Cola ke laptop Ian. “Bahkan sampai weekend pun kerja.”
“Iya. Sempat ketunda karena laptopnya Ian rusak kena minuman apa gitu katanya,”
Wajah Liv langsung berubah kaku. Kok ibu itu bisa tahu?
“He he,” hanya itu tanggapan Liv.
“Kamu istri atau pacarnya Ian?”
“Hah? Ah, er itu,”
Ibu itu tiba-tiba tersenyum. “Belum dilamar ya,” katanya sambil memegang tangan Liv. “Semoga setelah ini segera dilamar ya. Lumayan bonus dari project ini pasti bisa buat modal nikah.”
Liv memilih tersenyum manis saja dan mengangguk-angguk. Tidak lama kemudian Ian kembali ke kurisnya dengan senyum merekah di wajah.
“Selamat,” kata Liv sambil mengulurkan tangan.
“Thanks,” Ian membalas uluran tangan Liv.
“Jadi waktu gue numpahin coke ke laptop lo itu lo lagi ngerjain project ini?”
“Ah ha,” Ian mengangguk.
“Kok ibu itu sampai tahu kalau laptop lo rusak kena Coca Cola?” Liv berbisik dan menunjuk ke arah ibu-ibu yang mengajaknya bicara.
Ian melihat arah yang ditunjuk Liv kemudian berbisik. “Suaminya manager IT yang ngurusin aset dan data, Liv. Ketika laptop gue rusak, gue harus laporan dan ganti laptop, sekaligus ambil data yang di-back up di storage perusahaan. Dia harus approve penggantian aset kalau tahu alasannya. Nggak aneh kalau dia cerita sama istrinya.”
“Oh gitu,” Liv mengangguk. Liv kira Ian berkoar-koar di kantor soal musibah yang menimpanya. Ah tapi setelah dipikir-pikir lagi, Ian bukan orang seperti itu.
Acara dilanjutkan ke penampilan Rizky Febian. Liv ikut bernyanyi bersama Iky karena dia hampir hafal semua lagu Iky termasuk lagu baru yang dirilis bersama penyanyi asal Singapura. Selama Liv menyanyi, Liv tahu Ian memperhatikannya. Tapi Liv berusaha tidak peduli. Dia tidak mau ke-GR-an. Setelah Iky menyanyikan beberapa lagu, acara dilanjutkan dengan makan malam. Stand makanan dibuka dan karyawan maupun undangan bebas mengambil makanan apa pun. Alih-alih mengambil makanan, Liv malah pamit ke belakang backstage.
“Ngapain?” tanya Ian.
“Ngobrol. Mungkin bisa ajak Iky duet sama Crystal. Bentar ya,” Liv menepuk tangan Ian lalu berjalan ke arah backstage. Seperti yang dia duga, Iky masih bersama krunya. Mengobrol dan berfoto.
“Hei,” sapa orang yang berdiri paling dekat dengan Liv.
“Hei Rahul. Iky keren kayak biasa,” puji Liv setelah bercipika cipiki.
“Ah bisa aja. Lagi ngapain Liv? Crystal diundang?”
“Nggak. Lagi nemenin pacar,” Liv refleks menjawab itu dan sejurus kemudian dia menyesal. Masih saja aktingnya dibawa-bawa. Padahal dia tidak perlu berpura-pura di hadapan Rahul karena toh dia tidak kenal Ian juga.
“Oh anak sini?”
“Yah gitu deh,” Liv hanya meringis. Dia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut karena sekarang Iky menghampirinya, menanyakan kabar dan mereka terlibat obrolan singkat.
“Kapan dong duet sama Crystal?” tanya Liv setelah obrolan basa basi mereka selesai.
“Wah,” Iky tertawa. “Mau banget lah. Tapi Iky ada jadwal rilis lagu beberapa dan album juga. Mungkin buat akhir tahun bisa lah.”
“Bisa banget. Gue ngobrol sama Rahul deh nanti ya,” Liv memandang Iky dan managernya bergantian.
“Ciye Rahul,” salah satu kru Iky mengejeknya dan mereka tertawa. Termasuk Liv.
“Ngomong-ngomong Liv. Cowok lo pake jas biru bukan?” tanya Rahul tiba-tiba.
“Eh, kok tahu?” Liv mengernyit. Apa jangan-jangan mereka kenal Ian?
“Soalnya dari tadi ada yang ngeliatin gue dengan tatapan kayak mau nusuk,”
Liv menoleh ke belakang dan melihat Ian melipat tangannya sambil bersandar di dinding. Liv tersenyum lalu kembali menghadap Iky dan Rahul. “Udah kelaperan kali. Kalau gitu gue pamit ya. Nanti japrian aja ya Hul. Dah,”
“Dah, Liv,” ujar Iky dan managernya bersamaan.
Liv berbalik dan menghampiri Ian. Benar kata Rahul, ekspresi Ian seperti ingin melemparkan pisau. Kenapa sih?
“Udah makannya?”
Ian mengangguk. Mereka berjalan kembali ke arah ballroom.
“Lo nggak makan?”
“Nggak lapar, Yan. Tadi kebanyakan appetizer dan minum. Ini acaranya ngapain lagi?”
“Udah sih. Lo mau pulang?”
Belum sempat Liv menjawab, diihatnya Felis kembali berjalan mendekati Ian.
“Kita bisa pulang sebelum cumi-cumi itu sampai di depan kita?”
Ian tertawa. “Ayo,” Ian kembali memegang tangan Liv. Mereka langsung berbelok menuju pintu keluar sebelum Felis bisa mencapai mereka.
Perjalanan pulang rupanya lebih cepat dari saat mereka berangkat. Mereka mengobrol dengan suasana lebih cair dari biasanya. Kemudian ketika Ian melepaskan Liv di depan kamar Liv, Ian memasang senyum yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya.
“Makasih udah mau gue repotin, Liv.”
Liv mengangkat bahu. “Seneng-seneng aja kok gue.”
“Ya udah. Lo istirahat aja,”
“Oke. Lo juga ya,” Liv mengangkat tangannya dan mengeluarkan kunci pintu apartemennya. Ian menunggu sampai Liv bener-bener masuk. Sebelum Liv kembali menutup pintunya, Ian masih berdiri tersenyum dan kemudian melambai.
“Dah, Ian,”
Kemudian pintu pun ditutup tanpa Liv bisa melihat senyum yang terkembang di wajah Ian.
***
Komentar