Miserable Fate - 17
Orchid
Cinta, rayuan
Liv melihat jam tangannya untuk ketiga kalinya dalam waktu 15 menit. Baik Jade sang atasan, Jemima sang asisten, maupun Crystal sang artis, semuanya bingung melihat Liv yang mendadak tidak fokus terhadap meeting mini yang mereka adakan. Biasanya Liv selalu fokus 100% terhadap apa pun yang mereka kerjakan.
“Liv?” Jade memanggil.
“Ya!” Liv menjawab sedikit lebih keras dari seharusnya. “Eh, kenapa Jade?”
“Are you in hurry? Lo udah ngeliat jam tangan hampir lebih sering daripada orang normal,” kata Jade dengan tatapan menyipit dan penuh pertanyaan.
“Hahaha. Nothing. Cuma berasa jam gue kok kayaknya ada yang aneh,” Liv mengangkat bahu lalu mengetuk-ngetuk jamnya lagi.
“Kalau gitu, kita bisa fokus ke meeting lagi?”
“Lanjutkan!” Liv pura-pura bersemangat padahal dia sudah sangat ingin pulang sedari tadi. Pukul lima. Saat jarum jam menunjuk angka lima dan dua belas seharusnya Liv sudah keluar dari gedung Crystal Corp untuk menuju…
“Kita lanjut besok ya. Jangan lupa to do list masing-masing,” Jade menutup buku dengan bunyi cukup keras hingga Liv terlonjak. Tidak disangka meeting ternyata sudah selesai. Liv tidak menunjukkan bahwa dia kaget dan tidak mendengarkan kata-kata Jade sebelumnya. Ia tetap mengangguk patuh seakan ingat lalu segera mengambil tasnya.
“Liv, makan yuk,” ajak Crystal, menghentikan gerakan Liv dengan kedua tangannya.
“Eh? Sekarang?” Liv kebingungan.
“Iya dong. Kan lapermya sekarang. Yuk,” ajak Crystal lagi, tangannya merangkul tangan Liv.
“Eh, bukan gue gak mau, Crys. Tapi gue lagi buru-buru. Maaf banget ya. Masih ada Jemima sama Ori kok. Gue duluan ya. Dah,” Liv menepuk pundak Crystal, menarik tangannya dari pegangan Crystal, lalu hampir berlari keluar. Semua orang tampak bingung melihat Liv yang terburu-buru tapi tidak mengabari kemana dia akan pergi.
Liv melangkahkan kaki secepat yang dia bisa. Ikatan rambutnya bergoyang-goyang seiring langkahnya yang lebar. Ketika sampai di tempat yang dia tuju, kepala Liv menoleh ke kanan dan ke kiri mencari orang yang menunggunya.
“Mau?”
Liv menoleh ke kiri. Ke arah seseorang yang sedang menjilati es krim dengan rambut berantakan, kacamata yang bertengger di hidung, dan pakaian yang sangat tidak modis. Orang tersebut mengulurkan es krim lain ke hadapan wajah Liv yang sedang bingung.
“Mau.” Liv menerima es krim itu dan sekarang tersenyum lebar. Layaknya anak kecil yang diberi upah es krim dan membuat dia senang luar biasa. Bagi Liv, menerima es krim dari orang ini pun merupakan kesenangann yang luar biasa.
“Pulang setelah es krimnya abis aja ya,” ajak Ian lalu mengedikkan kepala ke teras minimarket.
“Oke,” Liv mengangguk dan kemudian mengikuti Ian untuk duduk di teras minimarket. Menikmati sore hari yang syahdu sembari menjilati es krim, duduk di lantai di sebelah si cupu, dilatarbelakangi minimarket yang berwarna oranye terkena semburat matahari sore.
***
Liv berjalan bolak balik di lorong supermarket. Mengecek barang belanjaannya untuk yang ketiga kalinya. Mencocokkan apa yang ada di troli dengan apa yang ada di resep.
“Oke, udah lengkap,” Liv mengembuskan nafas beberapa kali kemudian berbalik. Langkah-langkahnya tegap dan cepat menuju kasir. Liv menyelesaikan pembayaran dan langsung kembali menuju ke atas. Di unitnya, Liv langsung membongkar isi belanjaannya, mengurutkannya sesuai dengan urutan kebutuhan berdasarkan resep yang ditentukan.
Hari ini hari Sabtu. Liv memilih untuk tidak pergi kemana-mana dan melatih kemampuan memasaknya. Kali ini Liv akan mencoba membuat strawberry cheesecake. Sebenarnya bukan hanya sekedar melatih kemampuan memasak, tapi sekaligus untuk menyenangkan perut seseorang.
Liv sudah mengkonfirmasi keberadaan Ian pada orangnya langsung. Bertanya apakah Ian akan ada di rumah atau punya rencana berangkat ke luar. Saat Liv bertanya, Ian menjawab dengan polosnya bahwa ia berniat hanya berolahraga, tidur, makan, dan bermain Xbox seharian. Tidak ada rasa curiga dari Ian bahwa Liv mungkin punya suatu rencana untuknya.
Pukul empat sore, strawberry cheesecake Liv sudah jadi. Karena Liv masih belum pandai memasak, kali ini ia mengikuti saran Ian. Liv menyimpan kuenya dalam sebuah loyang kemudian melapisi setiap bagian luar dengan krim supaya adonan yang proporsinya tidak cantik itu bisa tertutupi. Dengan hati-hati, Liv membawa kue menuju unit sebelahnya.
“Ian,” panggil Liv setelah mengetuk dengan susah payah. Sebisa mungkin menjaga agar kuenya tetap stabil dan tidak jatuh meskipun Liv hanya memeganginya dengan satu tangan.
“Ian buka dong,” Liv mengetuk lagi.
Pintu terbuka setelah Liv mengetuk yang ketiga kalinya. Muncul wajah Ian yang seperti mengantuk. Di wajahnya ada bekas merah seperti huruf L.
“Sorry, ketiduran,” ujar Ian.
Wajah kesal Liv lama-lama berubah menjadi geli. Ian terlihat begitu menggemaskan. Ekspresinya yang polos ini berbanding terbalik dengan ketika Ian sedang mengejek Liv. Mungkin pemandangan ini yang akan Liv lihat setiap pagi jika ia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Ian.
Eh, berpikir apa Liv ini.
“Itu bekas apa di pipi?” Liv menunjuk bekas kemerahan di pipi Ian.
“Ini,” Ian meraba pipinya. “Kayaknya tadi pas ketiduran, remote nempel di pipi. Jadi berbekas.”
Liv terkikik. “Jadi kayak ada codetnya.”
“Iya ya. Biarin lah. Nanti juga ilang. Masuk, Liv,” Ian memberi ruang bagi Liv untuk masuk. Liv berinisiatif masuk dan duduk. Strawberry cheesecake yang Liv buat dia taruh di atas meja.
“Ada apa?” Ian duduk di tempat kosong yang lain.
“Cobain deh ini. Strawberry cheesecake. Harusnya secara rasa dan tampilan udah lebih baik dari waktu gue bikin cake in the jar yang waktu itu,” Liv menunjuk-nunjuk kue itu dengan gembira.
“Oh,” Ian memperhatikan kue yang ditaruh di meja ruang tamunya. Memang masih hanya sederhana. Berbentuk bundar dengan lapisan krim dan beberapa buah stroberi.
“Cobain,” Liv menggeser kue itu.
“Sebentar,” Ian bangkit berdiri dan menuju dapur. Liv terus memperhatikan sampai ketika Ian kembali membawa dua buah piring kecil, dua buah garpu, dan sebuah pisau. “Kita coba.”
Ian membagi empat kue itu. Satu potong untuk Liv, satu potong untuk dirinya sendiri. Tanpa ragu-ragu, Ian memotong kue bagiannya dengan garpu dan menyuapkan satu potongan. Selama proses memotong hingga memasukan kuenya ke dalam mulut, mata Ian tidak lepas dari Liv. Begitu juga sebaliknya.
“Gimana?’ tanya Liv khawatir. Dia sendiri tidak menyentuh kue bagiannya.
“Lo juga cobain dong,” Ian memotong kue lagi dan menyuapkannya ke mulut Liv. Liv mengunyah tanpa melepaskan pandangannya dari Ian. “Menurut lo gimana?”
“Harusnya lo duluan dong yang jawab,” Liv merengut. “Kan gue buat kue ini buat lo.”
Keduanya mendadak terdiam. Liv menyadari bahwa kata-katanya barusan menunjukkan perhatiannya pada Ian. Cepat-cepat Liv memalingkan wajahnya. Begitu pula Ian. Dia mengambil potongan lain dan mengunyah dengan cepat.
“Enak kok. Lebih enak dari yang kemarin,” kata Ian setelah kue bagiannya habis.
“Beneran?” Liv bertanya dengan sangsi.
“Iya. Lebih banyak latihan lagi. Nanti lo gak kalah sama chef asli,” Ian mengangkat jempolnya meski wajahnya tetap terlihat datar. Berkebalikan dengan Liv yang langsung berseri-seri.
“Thank you, Ian. Nah yang ini dimakan semua ya sampai habis,” Liv menyodorkan sisa kue di atas piring. Mata Ian melebar melihat Liv dan kue itu bergantian.
“Tapi gak sekaligus ya,” usul Ian. Untunglah kue buatan Liv kali ini memang enak.
“Santaiiiii,” Liv mengangkat jempolnya. Mendengar Ian mengatakan enak saja sudah cukup membuat Liv puas dan bahagia.
***
Malam itu Liv dan Ian tidak hanya menikmati strawberry cheesecake buatan Liv saja. Ian menawarinya menonton film dan Liv langsung memilih La La Land. Awalnya Ian tidak yakin untuk menonton film itu. Lama kelamaan dia benar-benar menyesali persetujuannya menonton film musikal ini. Liv menyanyi sepanjang film!
“Tau gitu nonton yang lain aja,” kata Ian sambil memijat keningnya.
“Gak boleh nyesel ya,” Liv mendorong lengan Ian dengan telunjuknya. “City of staaarsss~~~”
Ian menggeleng dan pasrah saja mendengar suara sumbang Liv menyanyikan seluruh soundtrack La La Land ini. Ketika filmnya usai dan mereka masih memutuskan untuk menonton film lainnya, kali ini Ian yang memilihkan film Kingsman. Ian kira Liv akan bosan. Ternyata Liv malah terkagum-kagum dan langsung jatuh cinta dengan Eggsy.
“Udah malem,” gumam Ian saat credit title film Kingsman muncul.
“Iya nih,” Liv bangkit berdiri. Menggeliat untuk meregangkan tubuhnya yang kaku. Hampir empat jam duduk menonton sembari ngemil rupanya cukup membuat pegal. “Gue pulang deh. Thank you ya Yan.”
“Gue anter,” Ian bangkit berdiri.
“Kemana?” Liv mendengus tertawa. “Tempat tinggal gue tepat di sebelah tempat tinggal lo.”
Ian mengangkat bahunya dan tetap ikut melangkah ke luar. “Silakan,” ujar Ian dengan sopan. Masih dengan terkikik geli, Liv keluar.
Mereka berjalan tanpa bicara apa-apa. Jarak pun hanya sekitar 10 langkah. Dalam satu tarikan nafas, mereka sudah berada di depan unit Liv.
“Terima kasih untuk cheesecake-nya,” kata Ian.
“Terima kasih untuk film dan cemilannya,” balas Liv.
“Selamat… istirahat,” Ian berpesan.
“Lo juga. Gue masuk ya. Dah!” Liv membuka kunci kamarnya dan masuk. Sebelum menutup pintu, Liv mengintip ke luar, ke arah Ian yang masih berdiri sambil tersenyum. Liv membalas senyuman itu lalu menutup pintunya.
***
“Kyaaaa!” Liv berjingkat-jingkat girang di kamarnya. Melompat-lompat dan menjatuhkan diri di tempat tidur.
“Aduuuuh,” Liv menutup wajahnya yang ia ketahui sekarang bersemu kemerahan. Tidak disangka Liv menghabiskan waktu yang cukup lama dengan tetangganya. Liv senang sekali. Entah kenapa dia senang.
“Duh ada apa dengan gue ini,” Liv bertanya pada dirinya sendiri melalui pantulan cermin di kamarnya. “Dia kan cupu.”
Muncul sekelibat penampilan Ian dari kepala hingga kaki. Penampilan yang hingga sekarang pun kadang membuat Liv menggelengkan kepala. Meskipun Liv mulai terbiasa dan tidak memiliki masalah dengan itu.
“Dia juga geek banget,” Liv memajukan bibirnya. Teringat pekerjaan Ian sebagai anak IT yang menjadikan dia tidak terlalu peduli dengan penampilan.
“Dia juga galak,” Liv memiringkan kepalanya. Saat mereka sudah sering pulang bersama pun, Ian masih tetap sering melontarkan kalimat-kalimat yang membuat Liv sebal.
“Tapi abs-nya…” Liv menggelengkan kepala saat bayangan Ian yang shirtless kembali hinggap di kepalanya.
“Aaaa kayaknya gue gila!” Liv menjatuhkan diri di tempat tidur dan menarik selimut menutupi kepalanya. Berusaha menepiskan pikiran mengenai perasaan yang mungkin sedang ia rasakan.
***
Komentar