Miserable Fate - 9
Camomile
Semangat saat kesulitan
Liv mengenakan sweater kebesarannya lalu membuat susu coklat hangat dalam segelas mug. Setelah mengenakan kaos kaki panjangnya, Liv membuka pintu menuju balkon dan duduk dengan nyaman di sofa mungilnya. Liv bersenandung pelan. Saat ini suasana hatinya sedang baik dan dia sedang ingin menikmati malam yang sunyi. Hari ini cukup sibuk dalam pekerjaannya, bahkan dia harus menghadapi drama di pagi hari dan menghadapi Febri yang menurut Liv masih dianggapnya sebagai teman saja. Akan tetapi menjelang akhir hari ini Liv merasa tenang dan dia belum ingin tidur sehingga duduk di balkon menatap langit malam yang cerah menjadi pilihannya.
***
Ian membuka pintu menuju balkon dan mengeluarkan rokoknya. Dia duduk di sofa dan terdiam. Pikirannya tidak terfokus pada satu hal karena dia membiarkan apa saja yang dia lihat masuk ke dalam pikirannya. Jika ingin jujur, Ian baru saja memikirkan kue yang ada di meja dapur bersama seseorang yang memberikannya kue itu. Ian tidak berkata apa-apa pada Liv selain ucapan terima kasih. Ian merasa itu cukup. Ucapan terima kasih sudah cukup.
***
Liv menaruh mug di meja kecil dan berjalan menuju tembok pemisah antara balkon kamarnya dan kamar sebelahnya. Dia ingin mencoba tapi seandainya pun orang yang dia maksudkan tidak ada, Liv tidak akan merasa sedih ataupun menyesal.
Liv berdeham dan menempelkan telinganya.
“Ian?” panggil Liv.
Tidak ada jawaban. Mungkin suaranya terlalu pelan.
“Ian?” Liv kembali memanggil dengan suara lebih keras.
***
Ian merasa ada yang menyebut namanya. Dia menajamkan telinganya untuk memastikan bahwa dia tidak berhalusinasi. Perlahan dia menghirup rokoknya.
“Ian?”
Sekarang dia tahu bahwa dia tidak berhalusinasi. Memang benar ada yang memanggil namanya. Siapa lagi yang bisa memanggilnya ketika dia berada di lantai 10, pintu kamarnya dikunci, dan tidak ada siapa pun lagi di sini. Ian mematikan rokoknya di asbak dan berdiri, menghampiri tembok pemisah unitnya dengan unit sebelahnya. Melipat kedua tangan di dada dan bersandar.
“Kenapa Liv?” tanya Ian dengan suara cukup keras.
***
Liv tersenyum menyadari bahwa Ian ternyata ada di balkon dan mendengar panggilannya. Tubuh Liv menjadi lebih rileks. Liv bersandar dalam posisi lebih nyaman untuk mengobrol dengan tetangga sebelahnya. Tidak nekat seperti monyet layaknya yang dia lakukan beberapa waktu lalu.
“Gue tahu gue bilang nggak akan ganggu lo setelah gue kasih kue. Tapi gue sekedar mau ajak ngobrol aja sih,” kata Liv, membuka pembicaraan.
“Ajak ngobrol apa ganggu orang? Udah jam setengah 1 malem juga,” balas Ian pada kata-kata Liv.
Liv memutar bola matanya. “Lo sendiri juga belum tidur. Kalau lo udah tidur sih ya nggak akan gue ajak ngobrol.”
Ian tidak menanggapi.
“Yan, lo kerja di mana?”
“Gue udah tidur,” Terdengar balasan Ian.
“Yee ngaco. Kalau udah tidur gimana jawabnya deh? Lo tidur di balkon?”
“Begitulah. Berganti suasana hati,” jawab Ian dengan santai.
Liv tertawa pelan agar Ian tidak bisa mendengar suaranya.
“Jadi gimana?”
“Apanya?”
“Kerja?”
“Di kantor,”
“Ihhhh rese,” Liv berdecak. Mulai semakin kesal dengan cara Ian menanggapi.
“Gue tahu,”
“Iya emang lo rese. Udah berapa orang yang bilang lo rese coba?”
“Nggak gue itung,”
“Ya sih. Kalau lo itung namanya lo ga ada kerjaan,”
“Nah itu tahu,” balas Ian lagi.
“Aduh Ian. Asli ya lo itu. Awas lho nggak punya pacar,” ancam Liv sambil mengubah posisi berdirinya. Dia meletakkan tangan di atas pagar balkon dan berusaha menoleh ke kanan untuk melihat Ian. Rupanya tidak terlihat.
“Nggak perlu diancem juga emang nggak punya,” kata Ian.
“Hahahahahaa,” Liv tertawa puas. “Syukurin lo.”
Tanpa Liv ketahui, Ian tersenyum di sampingnya. Dia kembali menyalakan rokoknya.
“Yan, lo usianya berapa sih?” Liv kembali mengajukan pertanyaan untuk menimbulkan obrolan antara dirinya dan si tetangga.
“31.” Kali ini Ian menjawab tanpa bercanda dan tanpa nada menyebalkan.
“Wow tua,” celetuk Liv refleks.
Ian tidak menanggapi.
“Lo nggak mau tau usia gue berapa?” Liv berseru.
“Katanya cewek nggak suka ditanya usia,” jawab Ian. Liv sudah akan menanggapi ketika Ian menambahkan. “Kalau diliat dari kelakuan sih kayaknya masih 12 tahun ya.”
“Heeeh maksud lo?”
“Masih suka grasak grusuk, teriak-teriak sesuka hati, ngapa-ngapain nggak pake mikir, lari-lari, terus pegangan tangan sama cowok kayak baru puber.”
Liv terbatuk lalu memutar bola matanya.
“Ngasal banget lo emang ya. Gue udah 29 tahun tauk,” Liv menjulurkan lidah padahal Ian tidak bisa melihatnya.
“Nggak keliatan,”
“Gue emang awet muda,”
“Kelakuan lo kayak bocah,”
“Eh berisik ya Ian!”
“Ngapain ngajak ngobrol kalau gue berisik?”
“Hih,” Liv menginjak lantai saking kesalnya. Bukan kesal yang membuatnya ingin melakukan sesuatu yang berbahaya pada Ian. Melainkan kesal karena Ian bisa saja membalas kata-katanya.
“Tidur, Liv,” kata Ian akhirnya.
“Belom ngantuk gue,” balas Liv.
“Ya udah gue tidur duluan. Bye,” kata Ian.
“Eh Yaaaaaan,” Liv berseru tapi tidak ada tanggapan dari Ian. “Yah lo beneran udah tidur ya?”
***
Sebenarnya Ian masih berdiri di tempatnya. Menghabiskan rokoknya sambil mendengarkan Liv menggumamkan beberapa kata. Ian juga belum mengantuk. Dia berencana tidur pukul 2 malam ini. Rasa kantuknya belum muncul. Dia hanya ingin menjahili Liv lagi. Lagipula Liv tidak bisa melihatnya untuk memastikan apakah Ian benar-benar tidur atau tidak.
Jadi saat itu Ian bersandar dan tersenyum.
***
“Besok jalan yuk,” ajak Melissa kepada Liv melalui telepon.
“Besok?” Liv mengulang perlahan. Matanya melirik ke satu arah kemudian Liv menggelengkan kepalanya. “Ke mana?”
“Ke mana aja. Makan enak, nonton, terus belanja. Gue pengen lipstick sama sepatu baru deh. Terus ya ngopi-ngopi aja. Terakhir kita ketemu kan pas gue bantu lo pindahan. Itu udah sebulan lewat lho Liv,” Mel berkata dengan nada mengingatkan.
“Iya sih, tapi gue liat besok dulu ya Mel,” kata Liv sedikit tidak enak.
“Eh kenapa nih? Lo mau jalan ama cowok baru ya? Malam Mingguan?” Mel terdengar berubah menjadi lebih ceria.
“Ngarep. Itu sih harapan lo dan gue juga. Biar nggak malam Mingguan sama cewek lagi, sama cewek lagi. Tapi yah.. Bukan gitu juga sih,” jawab Liv ragu-ragu.
“Lo ada acara apa gitu ngurusin Crystal?”
Liv terdiam. Apa dia menggunakan alasan Crystal untuk menolak ajakan Melissa? Memang besok Crystal ada acara off air di salah satu Pensi.
“Ya besok Crystal emang ada off air sih,”
“Oh gitu,” Mel terdengar kecewa dan Liv meminta maaf dalam hati. “Yah gue rasa gue jalan-jalan sendiri aja atau ajak adek gue. Walaupun dia pasti minta ditraktir ini itu.”
Liv tertawa. “Kewajiban kakak dong membahagiakan adiknya.”
“Adik gue kayak tuyul. Bisa tiba-tiba ngilang, tiba-tiba muncul, minta anu, minta ono,” Mel berdecak.
“Haha. Maaf ya Mel,”
“Tapi minggu depan after office hours kita ketemu ya. Gue mau cerita soal cowok ganteng yang gue temuin di kantor. Nggak bisa lewat telepon ini ceritanya,” Mel kembali berkata dengan berapi-api.
“After office hours lo sama gue waktunya suka beda, Mel,” Liv terkikik.
“After office hours gue! Nanti gue jemput lo di manapun lo berada. Oke ya? Dah Liv!”
“Dah, Mel! See you!”
Liv memutuskan telepon lalu berbaring di tempat tidurnya. Selimut menutupi hingga leher dan Liv berdoa agar rencananya besok berjalan lancar.
***
“Cooking is not really my thing,” Liv menghela nafas lalu merapikan rambut yang berantakan. Kemampuan terbaiknya dalam dunia masak memasak hanyalah membuat mi instan dengan telur, kornet, dan keju. Sekarang dia harus membuat kue sederhana tanpa oven dengan mengikuti resep dari Instagram yang dia temukan. Tetap saja rasanya sulit dan hasilnya tidak secantik foto yang ditampilkan.
Ragu-ragu Liv menyicipi kue yang sudah dia buat.
“Hmm, it’s not bad for the taste. But the looks, oh my God,” Liv menggeleng lalu banyak berdoa agar orang yang memakannya tidak akan menolak sebelum mencobanya.
“Mandi duluuuu,” Liv berseru setelah menyimpan kuenya dengan aman. Setelah mandi, Liv akan membawa kue masterpiece-nya ini ke orang yang entah bagaimana caranya berhasil membuat Liv bersusah payah di dapur.
***
Liv memperhatikan wajahnya lagi melalui pantulan layar ponsel. Seharusnya dia menanyakan terlebih dahulu apakah orang yang dia tuju ada di rumah atau tidak. Agak percuma kan kalau Liv susah payah membuat kue tapi ternyata dia memilih menghabiskan waktu hari Sabtunya di tempat lain selain di rumah? Lagipula sekarang sudah siang juga. Bukan tidak mungkin dia tidak di rumah.
“Ish bego juga sih gue. Kenapa nggak tag jadwal dulu aja ya? Tapi gapapa deh coba dulu,” Liv berdeham dan kemudian mengetuk pintu itu.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Ya?” Ian melongok dari celah pintu dan kebingungan melihat Liv yang mendadak tersenyum lebar.
“Halo!” sapa Liv dengan ceria. “Udah makan siang belum?”
Ian memperhatikan dua jar berisi kue yang diangkat Liv dengan bangga. Kemudian tatapannya kembali ke arah wajah Liv dan dia terlihat heran. Ian membuka pintu lebih lebar lalu bersandar di tepi pintunya.
“Belum,”
“Pas banget! Ini gue coba-coba bikin kue karena liat resep di Instagram. Mungkin lo mau coba?” Liv mengulurkan satu jar ke arah Ian. “Jangan liat dari bentukannya. Pasti nggak cantik. Tapi rasanya enak kok.”
“Lo bukan percobaan ngeracunin gue kan?” Ian menatap jar yang dipegang Liv dengan mata menyipit.
“Ish nggak bisa ya nggak nyindir sekali aja?” Liv memutar bola matanya. Menarik kembali tangannya.
“Masuk deh,” Ian mengedikkan kepalanya dan mempersilakan Liv masuk.
Liv tersenyum di balik punggung Ian dan masuk dengan wajah sumringah. Dia meletakkan kedua jar berisi kue di atas meja ruang tamu dan dilihatnya bahwa Ian seperti sedang mengerjakan sesuatu. Laprop, buku, headset, kertas-kertas, berserakan di lantai.
“Lagi kerjain sesuatu, Yan?” tanya Liv sambil duduk dengan hati-hati di salah satu sofa yang kosong.
“Biasa lah, kerjaan,” jawab Ian. Dia menghampiri kitchen set lalu diam. “Lo mau minum apa?”
“Es Milo satu bang,” jawab Liv sembari nyengir lebar. Jawabannya membuat Ian menggeleng.
“Gue bukan warteg meski tampilan kayak abang-abang warteg,” Ian menjawab sedikit jengkel lalu membuka kulkas.
Liv tertawa terbahak-bahak. Mana ada abang warteg yang punya badan seseksi Ian?
“Ada Coca Cola atau lo mau bikin teh atau kopi?”
“Coca Cola aja,” Liv mengulurkan tangan dan menanti dengan sukarela.
Ian membawakan Coca Cola untuk Liv dan untuk dirinya sendiri. Ketika akan menaruhnya di meja, dia sendiri kebingungan karena meja dan sofanya dipenuhi berbagai barang. Alhasil dia harus merapikan barang-barangnya ke satu sisi lalu menaruh dua kaleng coke itu bersama kue.
“Nah, cobain gih,” Liv mengulurkan kue buatannya kepada Ian yang duduk kaku di sampingnya.
“Dalam rangka apa lo bikin beginian?” Ian mengambil satu jar dan memperhatikan isinya.
“Pengen aja,” Liv mengangkat bahu.
Ian langsung menoleh dengan cepat. Tatapannya curiga.
“Apaan deh ngeliatnya gitu amat,” Liv mendelik. Dengan cepat Liv mengambil jar yang tidak dipegang Ian lalu menyendok isinya dengan sendok kecil yang sudah dia tempelkan di masing-masing jar. “Liat nih gue makan juga kok.”
Liv mencolek isinya dan menyuapkan ke mulutnya. Rasa dingin dan manis langsung terasa di lidahnya, membuat Liv memejamkan mata karena enak.
“Mmmm,” gumam Liv.
Ian memperhatikan Liv lalu menelan ludah berusaha tidak terlihat. Ekspresi Liv itu di pikirannya seperti Liv sedang… Ah, lupakan, pikir Ian. Cepat-cepat Ian menggeleng dan mengambil sendok kecil di jar miliknya. Setelah berdoa beberapa kali, Ian menyendok isinya dan memasukkan kue itu ke dalam mulut.
“Enak?” tanya Liv dengan mata berbinar.
“Nggak seenak Harvest Cakes,” jawab Ian sembari mengangkat bahu.
“Wah gila sih. Masa gue dibandingin sama Harvest? Ya jelas gue kalah lah,” Liv cemberut tapi tetap mengunyah bagiannya. “Lagian ini pertama kalinya gue bikin kue.”
“Waduh,” Ian berseru. “Jangan-jangan masih ada kulit telor di dalemnya ya?”
Lagi-lagi Ian mengangkat jar itu dan menerawang isinya. Ian tampak benar-benar curiga dan itu membuat Liv semakin sebal. Sebagai wujud rasa kekesalannya, Liv memakan bagiannya dengan berapi-api.
“Nih yang gue abis tanpa insiden apa-apa,” Liv menaruh jar ke dalam meja lalu melipat tangannya dengan wajah cemberut.
“Kayaknya itu lo telen juga kulit telor dan segala macemnya ya?” ejek Ian lalu dia tertawa.
Liv masih merasa kesal akan ejekan Ian tapi mau tidak mau dia merasa lebih baik ketika Ian tertawa dan melanjutkan memakan kuenya.
“Jadi gimana? Kalau lo nilai, kue gue berapa nilainya?” Liv melirik jar kosong dan Ian bergantian.
“7 out of 10,” jawab Ian.
“Really?” Liv tidak menyangka Ian akan memberinya nilai setinggi itu. Liv pikir Ian hanya akan memberinya nilai 6 paling tinggi. Yah dengan penampilan kuenya yang amburadul ditambah sifat Ian yang sepertinya masih senang mencari masalah dengan Liv.
“You need to improve the looks,” komentar Ian, mendentingkan sendok ke jar. “Nata kue di jar kayak gini kan nggak gampang. Apalagi dia di jar bening gini, yang harusnya tampilan jadi poin utama. Jadi mending kalau lo belum bisa ngasih tampilan bagus, mending taro di loyang biasa aja.”
“Tapi gue baca di resepnya itu ditaro di jar gitu,” Liv merengut.
“Ada tulisan wajib nggak?”
Liv mengernyit, mengingat-ingat. “Nggak sih.”
Ian mengangkat bahu. “Sama masih agak kemanisan, Liv. Gue nggak tahu sih standar manis lo gimana. Tapi menurut gue, ini agak kemanisan.”
“Oh, oke. Gue catet,” Liv mengangguk.
“Mana?”
“Hah apanya?”
“Katanya lo catet. Tapi lo nggak ngapa-ngapain?” Ian mengernyitkan keningnya.
“Haiiyyyaaaahhhh,” Liv mendorong pundak Ian lalu tertawa. “Bisa aja lo Yan.”
Ian tidak menanggapi. Dia malah menyalakan kembali laptopnya lalu mencari entah apa di antara tumpukan kertas-kertasnya. Liv memandanginya dengan heran.
“Lo mau ngapain?” tanya Liv sambil mengambil sekaleng Coca Cola.
“Lo sendiri ngapain?”
“Minum?” Liv mengulurkan kaleng soda tersebut.
“Setelah selesai, lo udah bisa pulang lagi,” ujar Ian tanpa memandang Liv.
“Ih ngusir lo?” Liv tertawa dan lagi-lagi menyenggol pundak Ian dengan sok akrab. Mungkin Liv bergerak terlalu heboh, sehingga kaleng Coca Cola itu sedikit miring dan isinya mengalir ke luar. Membasahi beberapa dokumen dan merembes ke dalam laptop Ian.
Ian dan Liv keduanya terpaku. Memandangi beberapa kertas yang warnanya berubah menjadi coklat. Liv menahan nafas.
“Liv,” bisikan Ian terdengar seperti pisau tajam di telinga Liv.
“Ya ampun Ian maaaaaffff,” Liv berdiri dan segera mencari tisu. Tangannya masih memegang kaleng Coca Cola dan isinya terciprat ke sana-kemari, membuat lebih banyak lagi kertas ternoda oleh soda.
“Liv,” panggil Ian kepada Liv yang bergerak mondar mandir tak jelas mencari tisu dan berusaha menyelamatkan namun nyatanya membuat lebih berantakan.
“Sorry, sorry, ini gue berusaha bersihin kok,” ujar Liv panik.
“LIV!” Akhirnya Ian berteriak. Liv membeku di tempatnya dan memandang Ian dengan kaget.
“Mendingan lo pulang deh,” Ian berkata pelan tapi tidak mengurangi kejengkelan di dalam suaranya.
“Tapi ini berantakan, Yan,” cicit Liv.
“Yang akan lebih berantakan kalau lo tetap di sini,” Ian mendesis.
“Yaudah kalau gitu,” kata Liv pelan lalu perlahan menegakkan tubuhnya. Liv mengambil ponsel dan jar kosong lalu perlahan melangkah ke luar.
Sebelum pintu ditutup, Liv berbalik dan melihat Ian yang mengelap laptop dengan hati-hati. “Maaf ya Ian.”
Ian tidak menanggapi.
***
Komentar