Miserable Fate - 5
Jasmine
Kekayaan
Hari masih terlalu dini. Matahari bahkan belum menampakkan dirinya. Liv sudah terbangun dan melaksanakan seluruh ritual paginya. Sambil meminum jus jambu, Liv membuka aplikasi WhatsApp dan sudah ada hampir 500 unread message. Padahal tadi malam Liv sudah meyakinkan diri bahwa semua pesan penting sudah ia balas. Rupanya dlam hitungan jam—ketika orang seharusnya tidur—orang-orang ini malah sibuk berdiskusi di grup.
Liv mengambil tas dan sepatunya. Ia akan berangkat bekerja saat ini juga. Ketika ayam bahkan belum menunaikan kewajibannya. Pesan-pesan belum terbaca itu nanti saja dibacanya. Liv memilih menelepon supir Crystal Corp yang seharusnya menjemput, sembari mengenakan sepatu.
“Sudah di bawah, Pak?” tanya Liv dengan ramah.
“Sudah, Mbak. Tepat di depan tower yang Mbak Liv bilang,” jawabnya.
“Siap. Saya sudah mau turun. Tunggu sebentar ya,” Liv mematikan telepon dan memasukannya ke dalam saku. Segera dia buka kunci pintu, keluar dari kamar, dan kepalanya refleks menoleh ke sebelah kanan. Liv menggeleng kuat-kuat. Untuk apa memikirikan tetangga galaknya?
“Pagi, Pak,” sapa Liv dengan ramah begitu pintu mobil dibuka.
“Pagi, Mbak. Hari ini seharian ya?” sapa si supir.
“Sampai malem bahkan, Pak. Udah dikasih jadwalnya belum?”
“Udah sih Mbak. Sekarang jemput Mbak Crystal di rumahnya lalu ke Blok M untuk interview radio kan ya?”
“Benar. Yuk, Pak. Jalan,”
Mobil pun berlalu dari kawasan apartemen Liv. Liv sekali lagi melihat suasana yang masih begitu sepi dan gelap. Teringat akan beribu pesan belum terbaca, Liv membuka kembali ponselnya.
Liv, hari ini jadinya ada 6 radio yang akan interview Crystal untuk single-nya. Yang 1 tambahan baru confirm tadi malem. Dia via telepon aja. Minta waktu jam 2 siang.
Liv berdecak. Jadwal dadakan begini adalah hal yang paling Liv tidak suka. Penambahan ini membuat Liv harus mengatur ulang dan memastikan semua yang sudah direncanakan tetap berada dalam alurnya. Tidak bisa Liv menolak memasukkan jadwal itu selama memang masih memungkinkan.
iPad Liv langsung bertengger di pahanya. Liv membuka aplikasi yang berisi jadwal Crystal dan melihat aktivitas apa yang dilakukan artisnya jam 2 siang. Pukul 1 selesai interview radio. Pukul 1-2 waktu makan siang. Pukul 2 sudah harus meluncur menuju lokasi radio lainnya. Wawancara melalui telepon di perjalanan harusnya memungkinkan.
Oke. Interview radio via telepon. Crys lagi di jalan buat ke radio lain jam segitu.
Liv melihat lagi obrolan lainnya.
Buat Desta sama Gina katanya mereka minta Liv nyanyi plus acting sedikit. Durasinya ditambah juga. Gimana Liv?
Melihat ini, Liv menghela nafas. Memang Crystal datang ke radio untuk mempromosikan single barunya. Jadi dia pasti akan menyanyi. Kemudian disuruh berakting? Bukannya Crystal tidak bisa. Dia pernah berakting pada beberapa iklan dan jadi cameo beberapa film. Asalkan Crystal tidak keberatan saja.
Crystal mau?
Mau. Balasan Crystal muncul tidak lama begitu Liv menanyakan hal tersebut. Sepertinya Crystal juga sedang on memantau grup WhatsApp.
Ok then. Gue lagi otw jemput lo ya Crys.
Liv kembali membaca pesan lainnya.
Tawaran brand ambassador buat Toko Buku Gramedia. Buka harga di 2 M. Selama 1 tahun. Include pemotretan, beberapa kali post di IG, syuting vlog, off air. Detailnya menyusul kalau meeting.
Tawaran ini membuat Liv tersenyum. Jumlah yang tidak sedikit dan dari perusahaan yang memiliki imej baik. Apalagi Crystal juga dikenal sebagai sosok yang pintar.
Kapan meeting?
Edwin si tim Business Development Crystal Corp tidak langsung menjawab. Mungkin dia masih tidur. Liv akan sabar menunggu mengenai informasi tersebut. Semoga tawaran ini bisa berhasil.
Liv keluar dari grup WA Crystal Corp. Dia melihat chat pribadi. Ada pesan yang dikirimkan Mel, ada pesan yang dikirimkan ibunya, namun lebih banyak pesan yang tidak Liv kenali nomor pengirimnya. Pesan-pesan dari orang-orang yang dia kenal, dia balas segera. Pesan dari nomor tidak dikenal mencakup:
Halo ini Kak Liv?
Kak Liv, salam dari Crystalovers di Semarang.
Kak Liv, Crystal sombong amat.
Tanpa pikir panjang, Liv langsung memblok nomor tersebut.
Liv, berapa tarif Crystal semalam?
“Heh brengsek!” Liv otomatis berseru. Segera ia capture pesan tersebut dan mengirimkannya ke tim Legal Crystal Corp.
Kebanyakan pesan yang masuk adalah dari fans-fans atau orang iseng yang bermaksud ingin dekat dengan Crystal. Liv tidak pernah membalas pesan dari orang seperti itu. Urusannya dengan Crystal hanyalah soal pekerjaan. Jadi, hubungi Liv untuk urusan pekerjaan Crystal. Selain itu, jangan harap ada balasan.
Beginilah peran dari seorang manager artis yang sedang naik daun. Liv senang menangani Crystal. Crys anak yang baik, mudah diatur, kadang banyak bertanya, tapi itu karena dia ingin tahu apa yang ia kerjakan. Crys juga mudah berteman dengan orang lain. Baik itu kru TV, kru pemotretan, klien, bahkan penggemar yang tidak sengaja bertemu dengannya di lokasi syuting. Dia memang sering mengeluh lelah. Bagi Liv itu wajar. Crys juga manusia dan dia masih sangat muda. Baru 21 tahun. Dia juga aktif kuliah karena orang tua dan kakaknya melarang jika Crystal hanya fokus sebagai penyanyi.
Pendidikan itu nomor satu. Menurut keluarganya.
Sudah hampir lima tahun Liv menangani Crystal. Dari mulai dia hanya masih penyanyi muda yang culun. Sampai sekarang menjadi Indonesian sweet hearts yang dipuja oleh berbagai kalangan. Crystal juga sudah menganggap Liv sebagai kakaknya. Mereka bahkan lebih dekat daripada Crys pada kakak perempuannya sendiri, Jade.
Mobil kantor sampai di depan rumah Crystal. Liv menelepon artisnya dan tidak lama pintu pagar terbuka. Mobil masuk ke dalam carport dan Crys seperti berlari dari teras rumah menuju mobil.
“Pagi!” seru Crys dengan riang. Dia masuk sambil mengenakan tas ransel mungil, beberapa pakaian, dan kotak makanan. “Kata Mama, buat sarapan.”
“Wah baik banget,” Liv menerima kotak itu kemudian membantu Liv menata barang-barangnya. “Udah berangkat Mama?”
“Belum. Masih siap-siap buat bantu Ruby terus nanti kerja. Berangkat sekarang yuk,” ajak Crystal.
“Oke,”
Mobil kembali keluar dari rumah Crystal. Sebelum jadi artis pun dia sudah merupakan putri dari orang berada. Ayahnya sekarang seorang Direktur perusahaan FMCG. Ibunya seorang Direktur perusahaan pembiayaan. Hanya Jade dan Ruby yang akan menjadi wanita karier seperti ibunya. Crystal memilih terjun di dunia entertainment tapi tetap saja, harus mengutamakan pendidikan.
Liv dan Crystal menjalani promo single dari radio ke radio. Diawali oleh wawancara yang membuat Crystal tidak berhenti tertawa karena Desta dan Nyctagina. Setelah itu mereka menuju studio untuk melakukan pemotretan sebagai persiapan publikasi Crystal sebagai brand ambassador produk kecantikan remaja. Tidak lama di studio, mereka menuju radio lainnya.
Ketika interview di radio ini, Liv memperhatikan Crystal. Dia menjawab pertanyaan dengan lugas, santai, dan kadang penuh tawa. Diam-diam Liv tersenyum. Ini seperti melihat adikmu sendiri sukses dan bahagia. Adik yang tidak pernah Liv miliki karena dia anak tunggal dan tumbuh di lingkungan yang sepi. Teman bermainnya sewaktu Sekolah Dasar, sibuk dengan urusannya masing-masing begitu mereka beranjak ke SMP, SMA, dan kuliah.
Jika Liv punya seorang adik, dia akan mendidik adiknya dengan berbagai aturan yang dibuat demi kebaikannya. Sayangnya, Liv tidak punya adik. Jadi rencana-rencana yang Liv susun, banyak ia terapkan pada Liv.
Contohnya saja adalah kemandirian. Meskipun Crystal adalah penyanyi terkenal, Liv tidak mau membuat Crystal manja. Tidak perlu ada sejumlah kru yang mengikuti Crystal kemana pun dia berada. Dia bisa melakukan make up sendiri. Dia bisa memilih pakaian sendiri dan kadang dibantu tim wardrobe. Dia bisa mencari hiburan sendiri jika menunggu waktu syuting, dengan membaca atau mengajak ngobrol orang lain. Dia bisa kesana kemari menggunakan mobil kantor, fasilitas yang sengaja disediakan oleh Jade. Liv menemani karena Crystal setidaknya tetap butuh satu orang di sampingnya. Liv ada di situ sekaligus untuk berhubungan dengan klien dan melihat prospek penting apa yang mungkin akan terjadi di masa depan.
“Lapar, Liv,” rengek Crystal ketika mereka selesai interview. Tepat pukul 1 sesuai rencana Liv.
“Mau makan apa?”
“Burger!” Cyrstal mengacungkan jarinya, matanya berbinar.
“Dasar bocah,” Liv menggeleng tapi tertawa. Langsung diarahkannya mobil menuju salah satu restoran fast food yang lokasinya paling dekat dengan lokasi radio tadi.
Mereka makan dengan santai namun serius. Supir kantor pun dengan senang hati makan dalam meja yang sama dengan mereka. Crystal tidak keberatan. Katanya supaya dia bisa kenal lebih banyak orang. Meskipun kadang beberapa supir kantor yang merasa tidak enak jika harus makan bersama. Akhirnya mereka meminta makanan dibungkus dan akan makan ketika Crystal dan Liv beraktivitas.
Interview radio melalui telepon dilakukan pukul 2 tepat. Sesuai perkiraan Liv, mereka sedang dalam perjalanan. Kali ini menuju studio TV untuk melakukan taping acara talkshow.
“Liv, kok gue ngantuk?” Crystal menguap.
“Tidur aja. Paling sejam lagi nyampe,” Liv melihat arlojinya.
“Oke,” Crystal mengangguk dan tanpa basa-basi, langsung tertidur. Liv sementara itu tetap terjaga. Pemandangan jalanan Jakarta di sekitarnya. Suasana masih cukup kondusif, tidak ada kemacetan seperti yang dikhawatirkan Liv.
Matanya tiba-tiba melihat seorang anak yang duduk di motor dan memeluk erat ayahnya. Ayahnya mengendarai motor dan sedang menunggu lampu merah berubah menjadi lampu hijau. Pelukan anak itu begitu erat. Wajahnya yang menoleh ke samping terlihat biasa saja tapi Liv tahu dia tidak nyaman karena pelukannya pada sang ayah terhalang helm.
Senyum merekah di bibir Liv. Teringat ayahnya sendiri. Ayah yang bekerja di luar kota, menurut ibunya. Hanya pulang seminggu sekali di akhir pekan. Itu pun hanya di hari Sabtu. Tapi Liv senang. Ketika ayahnya pulang, dia akan mengantar dan menjemput Liv di sekolah dengan motornya. Liv akan menjadi seperti anak itu, memeluk ayahnya erat seperti enggan untuk melepaskan. Mereka akan menghabiskan waktu berdua saja. Sesekali ibunya ikut. Untuk waktu yang singkat, Liv merasa keluarganya utuh. Kebahagiaan yang ia tabung untuk hari-hari sepi berikutnya. Sampai ayahnya datang kembali.
Lampu hijau menyala. Motor itu melaju dengan hati-hati. Begitu pula mobil yang ditumpangi Liv. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di studio. Perlahan, Liv membangunkan Crystal dan bersiap turun.
“Gue cari kopi dulu ya. Lo mau ikut apa langsung ke studio?” tanya Liv pada Crystal yang nyawanya masih belum terkumpul.
“Ikut ikut!” Crystal melonjak-lonjak.
Dengan segelas kopi di tangan masing-masing, artis dan managernya menuju studio tempat acara talkshow dilaksanakaan. Liv melepas Crystal untuk ditangani tim make up dan hairdo. Dia sendiri bertemu Produser dan kru. Menyapa, mengobrol, menjalin hubungan baik.
Selesai taping, Liv mengajak Crystal makan malam sebelum menuju lokasi interview terakhir. Artisnya ini walaupun bertubuh kurus, tapi tetap selera makannya banyak. Liv memakluminya, tentu saja. Crys masih dalam masa pertumbuhan.
“Gak bau bawang kan Liv?” tanya Crys sambil menciumi nafasnya sendiri.
Liv malah tertawa. “Bau. Biar vampire gak deket-deket,” kata Liv iseng.
“Ih gak mau ah. Ambil sikat gigi dulu ah,” Crys sudah akan kembali ke mobil, alih-alih masuk ke gedung radio tempat mereka melaksakan interview yang terakhir. Liv memegang tangan Crystal dan menariknya masuk.
“Kagak bau. Canda gue. Nih permen,” Liv mengangsurkan sekotak permen minta dan Crys langsung mengulum permen itu dengan bahagia.
“Halo, Crystal dan…Liv?” sapa seseorang di ambang pintu tempat studio tempat Crys akan interview.
“Iya, gue Liv,” Liv mengulurkan tangan dan menjabat uluran tangan laki-laki itu.
“Gue Febrian, Febri. Produser acara ini,” katanya.
Liv menunduk dan melihat bahwa pegangan tangannya sedikit lebih lama daripada yang seharusnya. Perlahan, Liv menarik tangannya dan tersenyum. “Halo, Feb.”
“Crystal on air sekitar 10 menit lagi. Ini udah closing acara sebelumnya. Silakan langsung ke dalam aja. Nanti sama penyiarnya dijelaskan mau ngapain aja,” lanjut Febri.
Crystal mengangguk dan masuk ke ruangan kaca. Dia menyapa para penyiar yang akan siaran selama dua jam ke depan. Belum apa-apa, Liv sudah melihat Crystal tertawa. Syukurlah, berarti wawancara hari ini bisa berjalan lancar sampai akhir.
“Managernya Crystal?”
“Eh gue?” Liv menoleh pada Febri. “Iya.”
“Baru ya ke sini?” tanyanya lagi. “Soalnya biasanya gue ketemu sama orang lain kalau Crystal mampir ke sini.”
“Iya. Biasanya Crystal sama roadman kalau gue lagi gak bisa. Hari ini, mumpung gue bisa dan full jadwal Crystal promo dan pemotretan, jadi gue yang ikut,” Liv tersenyum.
“Gitu. Lo lebih di posisi strategis apa teknis?” tanya Febri lagi.
“Sebenernya strategis. Tapi buat bikin strategi kan perlu in touch ke lapangan juga kan?” Liv nyengir.
“Bener. Eh, gue masuk dulu ya. Mau bahas beberapa hal lagi sebelum on air. Kalau mau minum, ngemil, ini ada. Gak usah ragu-ragu ya.” Febri menunjuk meja berisi cemilan.
Liv mengangguk dan mengangkat jempolnya. “Siap, makasih ya Feb,”
Rupanya Febri lama berada di dalam kotak kaca itu. Dia baru keluar lagi ketika sesi interview Crystal selesai dan dia akan menyanyi sebagai penutup acara interview. Febri keluar dengan senyum di wajah dan menghampiri Liv yang menunggu sambil mengotak-atik proposal di iPad-nya.
“Udah kelar. Tinggal nyanyi,” kata Febri.
“Lancar gak?” Liv mengunci iPad dan memasukannya kembali ke dalam tas.
“Lancar. Pada cinta sama Crystal,”
“Syukur deh,” Liv mengangguk.
Febri tidak berkata apa-apa lagi. Begitu pula dengan Liv. Mereka hanya berdiri bersisian memperhatikan Crystal yang akan menyanyi. Walaupun perasaan Liv mengatakan bahwa sesekali Febri meliriknya. Liv akan pura-pura tidak tahu saja.
Aktivitas hari ini selesai dan Liv langsung memulangkan Crystal ke rumahnya. Sudah larut malam. Luar biasa, pikir Liv. Berangkat saat matahari belum bertugas dan pulang saat matahari sudah selesai bekerja.
“Thank you so much, Liv,” Crystal memeluknya.
“Sama-sama Crys. Istirahat ya. Salam buat Papa, Mama, Jade, dan Ruby,” balas Liv dan menepuk pundak Crystal.
“Iya. Anyway, tadi ada yang ganteng lho,” kata Crystal, matanya mengerjap.
“Heh ngapain bahas yang ganteng. Inget tuh pacar di Depok,” Liv menyentil kening Crystal.
“Eh buat lo kali. Bukan buat gue,” Crystal manyun.
“Ah gue balik dulu ya. Capek. Dah, Crys,” Liv mengabaikan kata-kata Crys dan langsung berbalik masuk ke mobil.
Liv tidak peduli kalau tadi ada sejuta pria tampan sekalipun. Saat ini, pria belum ada dalam prioritasnya. Bekerja saja dulu.
***
Komentar