Miserable Fate - 7
White Heather
Perlindungan, keinginan akan terkabulkan, semoga berhasil
“So, lo mau nonton apa?” Febri melihat daftar film yang ada di belakang konter tiket dan kemudian menatap Liv.
“Apa aja boleh deh. Yang penting nggak horor. Gue nggak suka horor,” Liv mengangkat bahu.
“Film Indonesia mau?” tawar Febri sambil tertawa.
“Haha. Ya nggak apa-apa. Tapi kalau dalam dua bulan udah ada di TV lagi, sayang nggak sih?” Liv menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kalau gue sih nggak sayang ya. Gue maunya sayang sama lo soalnya,” kata Febri dengan ekspresi datar. Membuat Liv memutar bola matanya.
“Ah elah Pak baru juga jalan sekali. Eh gue beli cemilan ya. Lo mau apa?” Liv menunjuk konter penjualan makanan.
“Popcorn dan coke aja. Eh ini duitnya,” Febri mengeluarkan dompet.
“Nggak usah,” Liv mendorong tangan Febri. “Lo bayar tiketnya, gue bayar cemilannya. Oke ya?”
Sebelum Febri bisa membantah dengan dalih bahwa dia yang mengajak Liv nonton dan sebagainya, Liv segera berjalan menuju konter makanan dan memesan apa yang diinginkan Febri dan tentu untuk dirinya sendiri. Seember popcorn asin, coke untuk Febri dan air mineral untuknya sendiri.
“Udah?” sapa Febri begitu Liv berbalik.
“Eh udah nih. Popcornnya sekalian aja ya,” kata Liv sembari mengangkat ember popcorn itu.
“Boleh. Studionya baru buka sekitar 20 menit lagi. Kita duduk depan pintunya?” Febri menawarkan.
“Oke,” Liv mengangguk.
“Sini gue bawain popcornnya,” tangan Febri terulur.
“Eh nggak apa-apa,” Liv menggeleng.
“Lo bawa minum, gue bawa popcorn. Impas,” Febri nyengir dan Liv pun akhirnya setuju. Mereka berjalan menuju studio dengan membawa barang masing-masing.
“Lagi santai hari ini, Liv?” Febri memulai pembicaraan.
“Nggak juga sih Feb. Tadi siang abis back to back meeting. Untungnya malem udah lowong. Lo gimana?”
“Jam kerja gue sih sebenernya jam 11 sampe jam 9. Jadi ya gitu-gitu aja. Ini sengaja gue minta ijin balik duluan.” Febri menunjuk kursi kosong dan Liv langsung duduk di sana. “Lagi sibuk ngurusin apa lo?”
“Ituuu, promo single-nya Crystal plus persiapan photoshoot dan TVC segala macem karena Crystal kan jadi Brand Ambassador make up remaja gitu. Sisanya ya gitu-gitu aja,” Liv menjawab, mengangkat bahu.
“Lo keliatan enjoy banget ya sama kerjaan sekarang?” Febri tersenyum.
“Kenapa lo bisa ngomong gitu?” Liv tertawa.
“Waktu lo main ke radio gue. Kayaknya lo girang aja gitu. Terus waktu liat Crystal interview dan nyanyi, gue kayak liat ibu yang bangga sama anaknya waktu dapet juara,” Febri mengangguk.
Liv tertawa lagi. “Iya sih gue seneng aja ngerjain ini. Challenge-nya ada aja terus setiap hari. Jadi gue keluar dari zona nyaman banget. Untungnya lagi si Crys dan tim gue semua orangnya seru. Crys juga bukan tipe artis yang nyebelin banget gara-gara dia terkenal. Dia masih mau denger kata-kata gue. Bikin kerja nggak berasa pressure-nya. Padahal mah, jangan ditanya.”
“Bagus sih itu. Biar lo nggak bangun tiap pagi dan bawaannya udah stres,” tambah Febri.
“Gue stres kalau bangun pagi terus inget tagihan belum pada dibayar, Feb,” Liv nyengir dan keduanya tertawa.
“Apalagi kalau abis beli barang harganya lumayan,” kata Febri setuju.
“Bener banget!” Liv mengangguk-angguk.
Panggilan untuk studio mereka berkumandang. Liv dan Febri segera berdiri untuk masuk ke dalam. Bagi Liv, ‘kencannya’ malam ini dengan Febri tidak buruk. Dia bisa mengobrol mengenai banyak hal dengan Febri tanpa terbebani untuk terlihat bagus. Keduanya juga sering bergantian menimbulkan obrolan yang mengundang tawa. Bagi Liv pun Febri tidak memaksa ataupun mengatakan sesuatu yang mengusik Liv. Termasuk saat Febri menawarkan mengantar Liv pulang dan Liv menggeleng karena dia membawa mobil sendiri.
“Thank you for everyting ya Feb,” ujar Liv saat Febri mengantarnya hingga ke mobil.
“No problem, Liv. Hati-hati di jalan ya,” balas Febri.
“Iya lo juga. Gue duluan ya. Dah,” Liv melambai dan menjalankan mobilnya.
***
Ian berpikir kapan dia bisa keluar dari keramaian ini. Dia merindukan balkonnya (dikurangi suara berisik yang akhir-akhir ini sering mengganggunya). Daripada dia terus berada di dalam ruangan bising dengan orang-orang yang menyanyi dan berjoget. Ian menyalakan rokoknya lagi dan melihat teman-teman divisi IT yang sedang menyanyi.
“Mau minum?”
Ian melihat Felis membawa segelas minuman berisi bir dan menyodorkannya kepada Ian. Tentu saja dengan Felis yang menempelkan dadanya sedekat mungkin ke lengan Ian.
“Gue nggak minum, Fel,” jawab Ian sambil tersenyum dan mengangkat tangannya. Di sudut matanya, Ian bisa melihat temannya Leo tersenyum dikulum melihat Felis yang gencar PDKT dengan Ian.
“Oh sorry,” Felis menaruh gelas di meja dan kembali bergelayut manja di tangan Ian. “Terus maunya apa?”
Ian menarik tangannya dari pegangan Felis dan menggeleng. “Kayaknya gue mau pulang.”
“Eh iya nih aku juga,” ujar Felis.
Ian mengangkat alisnya.
“Sebenernya aku udah harus tidur jam segini. Nggak baik buat kecantikan,” kata Felis dengan manja.
“Ya udah. Balik lah,” jawab Ian cuek. Ian mematikan rokoknya, mengambil tas, dan berdiri.
“Kamu anter aku ya?” Felis ikut berdiri dan menggandeng lengan Ian.
“He?”
“Aku nggak bawa kendaraan. HP aku juga mati jadi nggak bisa pesen taksi,” Felis menggoyangkan ponselnya yang gelap.
Ian ingin menolak, seperti dia selalu menolak setiap Felis menyodorkan dirinya pada Ian.
“Anterin lah Yan. Kasian cewek malem-malem gini masa balik sendiri,” Leo sudah berdiri di samping Ian dan menepuk pundak temannya. “Ya kan, Fel?”
Felis mengangguk bersemangat. “Kalau aku kenapa-kenapa gimana?”
“Gue naik motor,” Ian berkata cepat. Motornya Ninja. Apa Felis bisa naik motor dengan rok ketat seperti itu.
“Oh aku tahu motor kamu. Aku nggak keberatan kok,” Felis mengangguk dan tersenyum lebar.
Ian memutar bola matanya dan akhirnya mengangguk. “Ya udah ayo.”
Tanpa menunggu Felis mengambil tasnya dan berpamitan dengan orang lain, Ian sudah meninggalkan ruang karaoke. Setelah beberapa langkah, Ian mendengar bunyi hak sepatu dan Felis sudah berjalan di sampingnya.
“Rumah lo di mana?” tanya Ian saat mereka berjalan.
“Pejaten,” jawab Felis dengan manja. “Pelan-pelan dong Yan jalannya.”
“Jalan gue emang segini, Fel,” jawab Ian tanpa mengurangi ritme berjalannya. Tiba-tiba tangannya ditarik dan lengan Felis sudah terkait di lengannya. Ian menatap tangan mereka yang bertautan lalu memandang Felis.
“Biar bisa beriringan jalannya,” kata Felis dengan mengedipkan sebelah mata.
Ian menghela nafas. Dia tarik tangannya tapi Felis menarik kembali sehingga mereka tetap bergandengan. Awalnya Ian melihat Felis sebagai perempuan yang menarik. Dia cantik dan enak diajak mengobrol. Teman-temannya tergila-gila pada Felis karena tubuhnya yang seksi. Entah kenapa Felis malah memilih untuk mendapatkan hati Ian, yang tidak terlalu tertarik kepadanya dan yang menurut teman-temannya, penampilannya paling biasa.
“Gue nggak bawa jaket tambahan,” ujar Ian saat mereka sudah sampai di motornya.
“Nggak masalah. Aku nggak gampang masuk angin kok,” jawab Felis.
Ian mengangguk lalu menaiki motornya dan menyalakan mesinnya. Setelah dia siap dan motor dalam kondisi tegak, Felis menjejakkan kaki kirinya pada pedal dan mengangkat kaki kanannya ke sisi lain. Setelah itu dia duduk dengan manis.
“Siap?” Ian menoleh ke belakang.
“Siap dong,” jawab Felis.
Ian mulai menjalankan motornya keluar dari lahan parkir dan memasuki jalanan yang mulai kosong. Saat Ian sedang ngebut di jalanan, perlahan sepasang tangan menyusup dan memeluk dirinya dari belakang. Ian juga bisa merasakan punggungnya ditempeli ‘sesuatu’ dan pundaknya menjadi sandaran seseorang.
Ian berusaha tetap tenang walaupun pikirannya mulai dipenuhi berbagai hal. Ian memutuskan untuk banyak berdoa saja. Dia laki-laki normal yang sebenarnya tergoda saat disodorkan sesuatu seperti ini oleh perempuan yang memiliki keindahan tubuh di atas rata-rata. Dia juga punya kebutuhan. Di sisi lain Ian juga ingat bahwa dia hanya menganggap Felis sebagai rekan kerja. Tidak ada dalam kamusnya untuk melakukan ‘lebih’ kepada seseorang yang bukan siapa-siapanya
Perjalanan 15 menit yang terasa 15 jam bagi Ian dalam mengantar Felis ke rumahnya. Felis turun dari motor Ian dan meminta Ian menunggu sampai pintu pagar rumah besarnya dibukakan. Saat Ian menunggu sambil melipat kedua tangannya, Felis menunjuk-nunjuk helm Ian.
“Apa?” tanya Ian setelah helmnya terbuka.
“Aku mau ngomong sesuatu takutnya kamu nggak denger,” kata Felis.
Padahal kedengeran aja.
“Ngomong apa Fel?” tanya Ian dengan sabar.
Felis tidak menjawab, melainkan memegang pundak Ian dan mengecup bibirnya. Ian ingin menghindar tapi dia sedang duduk di motornya sehingga dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Dia ‘terpaksa’ menerima ciuman Felis yang harus dia akui, terasa lembut di bibirnya.
“Selamat malam,” kata Felis setelah melepaskan ciumannya. Dia melambai lalu berbalik dan berjalan menuju rumahnya dengan gaya sesensual mungkin. Ian menggeleng dan mengusap wajahnya.
***
Pukul 12 malam dan Liv masih terjaga. Dia sedang mengerjakan laporan keuangan untuk Crystal yang nanti akan disamakan dengan catatan yang ada pada pihak Accounting. Sebagai Manajer yang bertanggung jawab, Liv juga harus memberikan laporan yang transparan kepada Crystal dan keluarganya.
Sayup-sayup suara lagu pilihan dari Spotify menemani Liv mengerjakan tugasnya. Sesekali tangannya mengambil gelas kopi dan menyeruput isinya. Malam yang tenang dan damai. Liv juga tidak mengantuk sama sekali. Plus besok Crys sedang ada acara bersama teman-teman kuliahnya dan tidak ada meeting yang penting. Liv bisa berangkat ke kantor agak siang dan bersantai di sana. Suasana seperti ini jarang terjadi sehingga Liv ingin menikmatinya dengan khidmat.
Liv menekan tombol Ctrl + S setelah laporannya setengah jalan. Dia menguap sedikit dan tiba-tiba lampu kamarnya mati. Begitu juga dengan laptop dan AC.
“Ya ampun!” Liv menggeleng. Berbekal senter dari ponselnya, Liv berjalan ke luar kamar untuk mengecek apakah kamarnya saja yang mengalami mati listrik. Perlahan Liv keluar dan membuka pintu. Ternyata lorong itu juga gelap. Seluruh tubuh Liv mendadak merinding. Dia tidak bisa berada dalam kegelapan dan kesunyian seperti ini. Liv harus melakukan sesuatu.
Ditolehkannya kepala ke kamar sebelah. Apakah Liv berani?
***
Komentar