Miserable Fate - 8
Ivy
Persahabatan, kasih sayang, kesetiaan
Ian sedang membuka kemejanya ketika lampu kamarnya mendadak padam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, rupanya seluruh listrik padam. Hal ini kadang terjadi jika dia menyalakan alat elektronik melewati batas kapasitas listrik unitnya. Tapi seingatnya dia belum menyalakan apa-apa. Kulkas dan dispenser tetap dibiarkan apa adanya dan Ian hanya menyalakan AC serta lampu. Apa mungkin listrik mati di seluruh unit?
Tanpa merasa perlu mengenakan pakaian lagi, Ian berjalan ke luar. Dia hanya perlu mengecek apakah listrik berhenti mengalir di seluruh unit atau tidak. Jika ya, dia akan menyalakan lampu darurat lalu tidur sembari membiarkan pengurus gedung mengurusi masalah ini. Jika hanya unitnya yang bermasalah, maka Ian akan menelepon pengurus gedung dan meminta untuk memperbaiki aliran listrik unitnya.
Ian membuka pintu dan terlonjak kaget karena ada sesosok orang berdiri di hadapannya dengan wajah disoroti lampu senter.
“F*ck!” seru Ian sambil melompat ke belakang.
“He he he,” sosok itu malah tertawa dan membuatnya semakin menakutkan.
Perlahan Ian menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Si tetangganya ternyata kembali membuat masalah. Ian menggeleng.
“Ini mati listrik semua ya?” tanya Liv polos. Seakan dia tidak baru saja membuat Ian hampir copot jantungnya.
“Iya,” Ian memegang dadanya yang masih berdegup kencang karena kaget.
“Lama nggak ya?” tanya Liv lagi.
“Nggak tahu. Lo ngapain?” Ian menghampiri Liv dan melipat tangannya. Sekilas matanya melihat bahwa lorong pun gelap. Berarti seluruh unit memang sedang mati listrik.
“Gue mau tanya ini kenapa. Sambil gue mau minta lilin kalau ada. Soalnya nggak mungkin gue tidur gelap banget tanpa cahaya apa-apa,” Liv mengangkat bahu.
“Lo mau sekalian ngepet?” tanya Ian dengan mata menyipit.
“Yah mungkin aja kalau lo mau jadi babinya. Gue yang jaga lilinnya. He he,” Liv tertawa lagi. Sekarang dia baru menyadari bahwa si kacamata tidak mengenakan pakaian apa pun selain celana jeans-nya. Di balik wajah galak, kacamata, dan rambut berantakan, ternyata abs-nya begitu menarik. Liv sampai menahan nafas.
“Gue nggak punya lilin,” jawab Ian sambil berjalan kembali ke dalam. Dia naik ke atas sofa lalu mengulurkan tangan ke langit-langit, menggerakkan entah apa dan kamarnya mendadak menyala.
“Kok bisa?” Liv mengalihkan perhatian dari sexy abs dan torso si kacamata ke kamar yang mendadak menyala.
“Ini lampu darurat yang nyimpen daya dari lampu listrik utama. Gunanya kalau mati listrik gini dia bisa tetep nyala,” jelas Ian.
“Oh,” Liv mengangguk-angguk dari ambang pintu.
“Terus lo mau ngapain? Ngetukin tiap pintu buat minta lilin?” tanya Ian lagi.
“Eh,” kata Liv bingung. “Gue nggak kenal sama mereka.”
“Lo juga nggak kenal sama gue,” balas Ian.
Liv memutar bola matanya. “Lo nggak mau diajak kenalan.”
Ian turun dari sofa dan mengangkat bahunya. “Lo bisa tunggu di sini kalau mau. Balik ke kamar lo kalau listriknya udah normal.”
“Terus gue tahu dari mana kalau listriknya udah balik?” tanya Liv dengan sewot. Jangan-jangan orang ini bermaksud menjebaknya.
“Lo biarin aja pintunya kebuka biar keliatan di luar. Lagian kamar tidur gue nggak ada lampu daruratnya, cuma ruang tamu aja. Jadi bakal tetep mati sampai pengurus gedung benerin urusan listrik ini,” Ian memutar bola matanya.
“Oh gitu,” Liv mengangguk, malu. “Kalau gitu gue masuk ya.”
Liv berjingkat-jingkat masuk ke unit milik Ian. Posisinya sama seperti unit milik Liv namun dengan arah berlawanan. Kamar Liv di sebelah kiri sedangkan kamar Ian di sebelah kanan. Tembok pemisah unit mereka tepatnya memisahkan ruang tamu. Liv berjalan agak ragu-ragu lalu pintu di belakangnya tertutup. Membuatnya berdua saja dengan Ian di dalam.
Saat Liv melangkah masuk ke apartemennya, Ian tahu ada yang salah. Liv dengan hotpants dan tank top tanpa bra di dalamnya. Ian bisa melihat sesuatu tercetak di dada Liv dan dia segera mengusap wajahnya.
“Lo tunggu di sofa aja. Gue di dalam kamar,” kata Ian sambil lalu.
“Eh lo mau ngapain di dalam kamar?” cegah Liv. Masa dia ditinggal sendirian?
“Berkebun. Menurut lo?” Ian memutar bola matanya.
“Ya maksud gue. Masa lo di kamar terus gue di sini sendirian gitu?” Liv mengernyit bingung.
“Gue khawatir kalau tetep di sini sama lo isinya berantem mulu,” Ian melipat tangan di dadanya. “Jadi mending gue menyingkir.”
“Lo nggak boleh masuk kamar kecuali…” Liv menggantungkan kalimatnya, menyeringai.
“Apa? Lo mau ikut?”
“Ih nggak ya,” Liv malah mengernyit dan menutup mulut dan dadanya.
Ngerti juga dia.
“Kasih tahu gue nama lo baru lo boleh ninggalin gue di luar sendirian,” Liv melupakan kekagetannya dan sekarang tersenyum.
Ian menghela nafas dan mengangkat alis. “Ardiansyah. Ian,” jawabnya lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
“Met istirahat, Ian!” seru Liv.
***
Ian membuka pintu kamar sambil menguap dan lagi-lagi terlonjak kaget. Lain dari biasanya, di sofanya meringkuk seorang perempuan yang tidur dengan mulut sedikit menganga. Ian melihat sekeliling dan menyadari bahwa listrik sudah berfungsi seperti biasa.
“Pagi, Pak,” sapa Ian melalui telepon pada petugas gedung yang sedang berjaga. “Tadi malam listrik nyala lagi jam berapa ya?”
“Jam 3, Pak Ian,” jawab petugas itu.
Pantesan, ketiduran berarti.
“Oke, terima kasih, Pak.”
Ian menutup telepon dan menyimpan ponselnya di rak. Tanpa menghiraukan Liv yang masih tidur, Ian melakukan ritual paginya. Membuat kopi sambil berolahraga di balkon.
***
“Uuuuuuhhhh,” Liv menggeliat dan membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa lebih pegal dari biasanya. Oh tentu saja. Dia tidur di sofa.
Sofa?
Eh?
Sedikit demi sedikit Liv ingat bahwa tadi malam dia menunggu listrik kembali menyala di kamar tetangganya dan rupanya dia ketiduran. Liv bangkit dan melihat bahwa jam yang terpajang di atas TV menunjukkan pukul 6. Mungkin ini saatnya Liv kembali ke kamarnya sendiri.
Ketika Liv berdiri, dia mencium wangi kopi baru dibuat dan matanya menangkap sosok yang sedang berolaharaga di balkon. Liv kembali duduk dengan perlahan dan memperhatikan Ian berolahraga.
Push up beberapa kali. Sit up beberapa kali. Angkat beban beberapa kali. Squat beberapa kali. Jumping jack beberapa kali. Terakhir pendinginan. Liv menyangga dagunya saat menonton Ian berolahraga. Kali ini Ian tidak mengenakan kacamatanya. Ditambah dengan tetes keringat di keningnya, rupanya dia seksi juga.
Ian menyelesaikan olahraganya dan berbalik ke belakang. Matanya langsung melihat Liv yang sedang memperhatikannya berolahraga. Tanpa merasa malu atau kaget, Ian melangkah masuk sambil mengelap keringat dengan handuknya.
“Baru bangun?” tanya Ian.
Liv memperhatikan Ian yang hanya mengenakan celana pendek. Liv juga memperhatikan gerakan Ian yang mengelap peluhnya dengan handuk. Perhatian utama Liv sekarang tertuju pada perut dan dada bidang Ian. Kenapa dia tidak menyadari ini sebelumnya?
“Liv,” kata Ian lagi.
“Eh lo inget nama gue?” Liv nyengir dan berdiri.
“Lo baru bangun?”
“Iya tadi gue ketiduran karena listriknya nggak nyala-nyala. Maaf ya. By the way, kopi apa? Kayaknya wangi. Gue boleh minta nggak?” Tanpa Ian mengatakan persetujuannya, Liv menghampiri coffee maker dan membuat kopi untuk dirinya sendiri.
“Lo berangkat kerja jam berapa?” tanya Liv sambil bersandar di kitchen set, menunggu kopinya siap.
“Jam 8,” jawab Ian sambil mengambil kopi baginya sendiri.
“Jam 8 dari sini?” Liv menyelidiki.
“Yeah,” jawab Ian sekarang membuka kulkas.
“Nggak kesiangan?”
“Ini lo berusaha lebih akrab sama gue ya?” tanya Ian tanpa basa basi.
“Maksud gue sih iya. Sebagai tetangga kan harus berhubungan baik ya. Tapi lo kayaknya nggak mau orang kenal deket sama lo ya,” Liv mendengus.
“Gue baik-baik aja dengan kondisi ini,” Ian mengeluarkan telur, tomat, selada dan keju dari kulkas lalu menaruhnya di meja dapur.
“Wow lo mau masak?” Liv terperangah.
Ian melipat tangannya lagi. “Gimana kalau setelah kopi lo jadi, lo segera kembali ke kamar lo di sebelah?”
“Kenapa sih lo galak amat? Gue kan cuma nanya,” Liv menjulurkan lidahnya dan menyambar kopinya lalu meninggalkan Ian. Tidak lupa dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja.
“Gue bukan tersangka. Nggak perlu ditanya-tanya,” kata Ian sedikit ketus.
“Ha ha. Galak gini nggak dapet pacar lho,” Liv menjulurkan lidahnya lagi dan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah. Kemudian dia membuka pintu dan keluar.
Ian menghela nafas lega. Akhirnya orang itu pergi dan paginya kembali tenang.
Dug dug dug!
Apa lagi sih ini?
Ian membuka pintu dan melihat Liv kembali berada di depan kamarnya. Belum sempat Ian membuka mulutnya, Liv sudah berkata lebih dulu. Wajahnya panik.
“Kamar gue kekunci. Tadi malem gue keluar nggak bawa kunci,” kata Liv panik.
Rupanya pagi Ian ini belum benar-benar tenang.
***
“Yan,” panggil Liv begitu Ian keluar dari apartemennya. Liv sudah menunggu selama 15 menit sampai Ian keluar untuk berangkat bekerja. Penampilan Ian kembali ‘culun’. Kacamatamya, rambut berantakan, kemeja, jeans, dan sepatu sneakers.
“Kenapa lagi?” tanya Ian sambil berjalan menuju lift. Tidak merasa perlu berhenti untuk bicara dengan Liv secara benar.
“Just wanna say thank you. Gue banyak repotin lo dari malam sampai pagi ini,” Liv mengikuti Ian dan berusaha mensejajari langkah Ian.
“Gak perlu,” balas Ian sambil memencet tombol lift dan berdiri di depan salah satu lift.
“Ya tapi gue ngerasa perlu aja. Gue antar lo ke kantor?” Liv menawarkan.
Ian berbalik memandangnya dengan tatapan heran. “Gue bukan anak TK.”
Liv memutar mata. “Mana ada anak TK sejangkung ini. Gue traktir makan malam deh,” Liv menawarkan solusi lain.
“Gue masih bisa beli makan sendiri,” bantah Ian kemudian masuk ke dalam lift yang terbuka.
Liv menggeleng dan ikut masuk ke dalam lift yang sama.
“Gue beliin lo kue aja ya? Lumayan buat dicemilin di kantor atau di kamar?”
“Gimana kalau…” Ian berhenti dulu.
“Apa apa? Sebut aja,” Liv jadi tersenyum dan menantikan permintaan Ian.
“Lo nggak usah ganggu gue, nggak perlu ke kamar gue, nggak perlu nyanyi-nyanyi di balkon. Jadi gue bisa tinggal dalam damai. Setuju? Oke, thanks.” Setelah bicara begitu Ian keluar dari lift dan membuat Liv bengong.
“Ih reseeeee!” Liv berteriak.
***
“Lo nggak usah nganter gue sampai ke apartemen segala padahal, Feb,” ujar Liv dengan rasa tidak enak pada Febri yang mengantarnya sampai ke apartemen.
“Nggak apa-apa. Lagian kan mobil lo ditinggal di kantor. Udah malem gini masa gue biarin cewek pulang sendiri?” Febri mengedikkan bahunya lalu tersenyum. Setelah memarkirkan mobilnya, Febri turun dari mobil begitu juga Liv. Belum sempat Liv berkata apa-apa, Febri sudah mengulurkan tangannya. “Ayo.”
Liv agak bingung. Tadinya dia bermaksud berterima kasih saja dan setelah itu Febri bisa pulang. Kalau sudah begini, mau tidak mau Liv harus mengijinkan Febri setidaknya naik hingga unitnya dan mereka mengobrol sebentar. Padahal Liv sudah sangat ingin tidur. Seharian tadi dia menjalani meeting dengan banyak klien di banyak tempat. Terakhir meeting di daerah Ampera, dekat radio Fabri. Itulah kenapa kemudian Febri mengantarnya pulang.
“Oh oke,” Liv mengangguk dan mau tidak mau menyambut pegangan tangan Febri. Perlahan Liv mulai agak berkeringat dingin dan berusaha melepaskan tangannya dari Febri namun dengan gerakan sehalus mungkin.
“Ngomong-ngomong, lo bawa kue buat siapa?” Febri bertanya, menunjuk kantung kertas bertuliskan merk toko kue terkenal.
“Hah?” Liv tidak fokus saat itu karena perhatiannya sekarang teralihkan pada sosok berkacamata yang berjalan pelan dengan ekspresi datar cenderung kosong. Kedua tangannya masuk ke saku celana dan tasnya hanya disampirkan di satu bahu. “Ian!”
Liv melepaskan tangannya dari pegangan Febri dan melambaikan tangan kepada Ian. Febri terkejut ketika Liv melepaskan pegangannya. Dia kemudian menoleh bingung pada orang yang membuat perhatian Liv teralihkan.
Ian berhenti mendengar panggilan Liv. Dia memperhatikan Liv dan Febri sebentar dan hampir berpaling lagi. Namun Liv segera menghampirinya.
“Yan,” panggil Liv dengan sedikit terengah-engah dan matanya menunjukkan permohonan agar Ian tidak pergi. Ian langsung paham dan dia tetap berdiri di tempatnya meskipun tanpa mengatakan apa-apa.
“Kenapa Liv?” Febri menghampiri dan menepuk pundak Liv yang sedang membungkuk karena capek.
“Biasa, usia,” Liv nyengir. “Feb, makasih ya udah anterin. Ke atasnya gue ada temennya kok.”
Liv menunjuk pria di sampingnya dan membuat Febri menoleh penuh selidik. Liv tahu tatapan Febri adalah menilai apa Ian bisa dibiarkan berdua saja dengan Liv. Awalnya Febri seperti tidak rela namun ketika Liv mengangguk-angguk, akhirnya Febri menyerah.
“Oke Liv. Selamat istirahat ya. Gue balik,” Febri mengangguk dan melambai.
“Iya. Makasih udah anter ya Feb. Hati-hati di jalan,” Liv melambai dan tersenyum.
Febri tersenyum lagi, melirik Ian sekilas dengan sedikit tidak suka dan tidak rela, lalu berbalik kembali menuju mobilnya. Liv menghela nafas. Dia bisa istirahat juga akhirnya.
Melihat Febri sudah melangkah jauh, Ian langsung melanjutkan langkahnya tanpa pemberitahuan. Dengan langkah pelan dan gaya yang santai Ian menuju lift untuk naik ke kamarnya. Liv menoleh ke samping dan menyadari Ian sudah tidak ada.
“Hei!” panggil Liv dan buru-buru mengejar Ian. “Thanks.”
“Gue nggak ngapa-ngapain” balas Ian sambil menatap pintu lift.
“Ya pokoknya thanks aja.” Liv mengangkat bahu dan tersenyum. Pintu lift perlahan terbuka dan mereka memasuki lift bersama. “Eh ini kue buat lo.”
Ian melirik kantong kue yang diulurkan Liv. Terlihat berpikir sejenak. Liv mulai tidak sabar dan menggoyangkan tangannya.
“Terima aja deh. Nggak gue racunin kok. Lagian kalau lo terima, gue janji malam ini gue nggak akan berisik atau ganggu lo,” Liv berdecak. Tidak sabar melihat sikap Ian.
“Oke. Thanks,” Ian mengangguk dan menerima kue tersebut.
Mendengar Ian berterima kasih membuat Liv terkejut. Cepat-cepat dia kuasai kekagetannya dan ikut mengangguk. Liv menatap Ian dari cermin di pintu lift dan berkata, “Sama-sama.”
***
Komentar