Miserable Fate - 6

Cactus


Ketahanan, kehangatan, kebesaran

“Kok lesu sih ganteng?” sapa Felis begitu Ian melewati mejanya menuju ruangannya. 

Ian menoleh ke sumber suara masih dengan satu tangan memegang tas ransel. “Kurang tidur,” jawab Ian lalu berbelok ke ruangannya. 

“Ngerjain tugas kantor?” Felis menyusul Ian ke ruangannya dan berdiri di pintu. 

Tidak mungkin Ian bilang bahwa dia tidak bisa tidur karena suara sumbang tetangganya. Setelah tetangganya selesai menyanyi, dia menyetel lagu yang tidak terlalu keras tapi masih bisa didengar Ian. Ian sampai keluar kamar dan mengetuk kamar tetangganya untuk memintanya mematikan lagu. Pintunya tidak terbuka. Maka Ian kembali ke kamarnya dan suara musik sudah berhenti. Tapi itu hampir pukul 3 pagi. 

“Ada urusan,” jawab Ian pelan. Dinyalakannya laptop untuk persiapan bekerja.

“Urusan apa tuh?” Felis menghampiri meja Ian dan menunduk ke arah Ian. Tangannya bertumpu pada meja dan senyum di bibirnya selalu menggoda. Hari ini dia mengenakan dress yang sesuai lekuk tubuh dan ketik dia menunduk, Ian bisa melihat ‘celengan’ di dadanya. Felis sudah seperti ini sejak dia yang anak Audit bertugas di Divisi IT dengan Ian sebagai salah satu manajernya. 

“Rumit pokoknya,” Ian tersenyum dan berusaha menatap langsung mata Felis. “Bukannya lo punya banyak tugas dan laporan yang harus diaudit ya? Kayaknya kemarin Utari baru bilang kalau lo minta banyak file.” 

Felis kembali berdiri dengan tegak dan mengibaskan rambutnya. Diam-diam Ian berpikir Felis ini mirip Lucinta Luna. Untungnya Felis ini perempuan tulen. 

I know. Ya sudah, aku kembali ke meja dulu. Kalau kamu butuh kopi atau mau makan siang, nggak usah ragu-ragu untuk ajak aku ya,” Felis berkedip. 

“Oke,” jawab Ian sambil tersenyum pada Felis yang berjalan mundur dari ruangan Ian. Seperti tidak rela melepaskan pandangannya dari Ian sedikit pun.

“Nggak kalau gue masih waras,” bisik Ian sambil menggeleng begitu Felis sudah tidak melihatnya lagi. 

Di rumah ada perempuan galak bersuara sumbang. Menyanyi tidak kenal waktu. Di kantor ada auditor genit berbadan seksi. Tidak ada tempat yang aman bagi Ian saat ini. 


*** 


“Liv?’ panggil Crys saat mereka sedang makan siang bersama.

Yes, Crys?” balas Liv tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad.

“Lo nggak minat cari pacar?” tanya Crys dengan polos.

Liv mendadak terbatuk hebat. Crys segera menyodorkan air mineral pada Liv. Liv menyambar botol air mineral dan minum banyak-banyak. Crys menahan tawanya.

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Liv balas bertanya setelah kondisinya kembali normal.

“Biar bisa double date gitu. Terus kalau kita lagi makan kayak gini, lo nggak cuma urusin kerjaan aja. Tapi telepon pacar juga. Bilang, ‘hey babe, aku baru selesai syuting nih. Lagi makan sama Crystal. Miss you. See you tonight.’ Gitu Liv,” Crystal mengangguk-angguk lalu menyeringai. 

Liv menggeleng. “Lo aja yang punya pacar. Biar gue yang urusin kalian semua,” jawab Liv sambil mengangkat bahu. 

“Ih kok gitu. Emang Liv lagi nggak ada cowok yang ditaksir?” Crystal mengeluarkan gaya bicaranya yang seperti ABG. Khas kalau menginginkan sesuatu.

“Nggak,” Liv menggeleng dengan tegas.

“Apa jangan-jangan naksir cewek?” Crys berjengit.

Hell no. I’m straight!” Liv berseru.

“Syukur deh kalau gitu,” Crys mengelus dadanya, lega. Liv tidak habis pikir kenapa Crys tiba-tiba peduli akan kehidupan percintaannya. “Kalau gitu, gue jodohin sama seseorang ya?” 

“Hah?” Mendadak Liv mengernyit. “Nggak ada angin nggak ada hujan gini? Lagian lo berasa cupid aja jodoh-jodohin orang.”

Crystal hanya tersenyum. Dia mendadak sibuk dengan ponselnya. Perasaan Liv semakin tidak enak. Karena Liv curiga, dia mencondongkan tubuh untuk melihat layar ponsel Crystal. Rupanya Crystal sendiri langsung menyodorkan ponselnya. 

“Gue sudah kirim nomor lo ke dia. Namanya Febrian. Dia Produser radio,” ujar Crystal sambil menunjukkan sebuah foto.

“Hah dia?” Liv berseru kaget.

“Iya.” Crystal tersenyum lebar.

“Sama dia mah kan kemarin juga ketemu,” Liv tidak habis pikir. “Kenapa random tiba-tiba ngirimin nomor dia deh?” 

“Dia nanyain lo kemarin waktu gue interview itu. Nanya, manager lo udah ada yang punya belom. Lagian dia kece banget kok Liv. Ganteng gitu. Kalau gue nggak punya Jamie pasti gue naksir Febri. Orangnya juga baik dan keliatan pinter.” Mata Crys berbinar saat menceritakan soal Febri. Liv curiga entah apa yang dilakukan Febri sampai Crystal begitu semangat menjodohkannya. “Liat nih Instagram dia juga followersnya 50 ribu. Fotonya juga bagus-bagus.”

“Gue nggak janji ya Crys. Banyak yang harus gue kerjakan selain urusan percintaan,” Liv menggeleng. Dia kembali duduk nyaman di tempatnya dan berkutat kembali dengan iPad. Urusan kontrak, urusan jadwal, urusan strategi Crystal Corp, itu yang lebih penting saat ini. 

“Nggak ada salahnya mencoba,” ujar Crys dengan nada seperti menyanyi. “Kita pesen dessert-nya sekarang gimana?” 


*** 


“Hey, Ma,” sapa Liv dengan ceria melalui telepon.

Halo, Sayang,” balas mamanya tidak kalah ceria. 

“Lagi apa, Ma?” tanya Liv sambil menaruh tas di sofa dan dia menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk depan TV. 

Lagi gali terowongan nih,” jawab mamanya asal. Liv tertawa. “Lagi bikin resep aja. Kamu lagi apa?” 

“Baru nyampe rumah nih. Tadi nemenin Crystal seharian literally. Baru besok bisa libur karena Crystal ada off air di Malaysia. Aku nggak ikut,” Liv menguap tapi sebisa mungkin tidak didengar mamanya.

Jadi besok libur ya? Nggak pulang?” 

Liv tertawa malu. “Belum ya Ma. Libur aku cuma seminggu-seminggu aja. Minggu depan pas long weekend pun aku ada beberapa meeting. Aku usahakan kalau Crystal ujian, nanti aku bisa ambil cuti.”

Oke,” jawab mamanya lagi.

“Mama kangen Liv ya?” Liv bertanya sambil tertawa.

Iya dong. Masa nggak kangen sama anak satu-satunya?” Mama menjawa juga sambil tertawa. “Yang penting kamu sehat dan nggak lupa sama Mama.”

“Iya pasti. Mama juga sehat-sehat ya. Jangan bikin kue mulu. Sekali-sekali arisan gitu kayak ibu-ibu lain,” Liv berpesan.

Lho Mama udah ikut arisan setahun terakhir. Kamu kemana aja? Makanya pulang,” Mama mencibir.

“Hahaha. Maaf deh. Ya udah, udah malem. Mama istirahat ya. Liv juga mau bobo nih,” ujar Liv saat dia kembali menguap lebar. 

Iya. Oh iya Liv, kalau kamu pulang, jangan lupa bawa calon suami,” 

“Ha ha, Ma.” Hanya itu tanggapan Liv.


*** 


Ian berharap dia bisa pulang cepat ke apartemen dan mendapatkan sedikit kedamaian. Dia baru sampai dari Surabaya tadi pagi dan langsung masuk ke kantor. Tentu saja di Surabaya dia direcoki berbagai urusan kapan menikah. Bahkan ibunya mengadakan acara makan malam dengan mengundang salah seorang putri temannya. Di kantor, dia menghadapi masalah pada project-nya yang membuat dia harus dimarahi oleh Direktur IT-nya. Ian juga sibuk menghindar setiap Felis mendekat dengan membusungkan dadanya yang sudah besar. Sekarang, di apartemen, Ian berharap bisa beristirahat. 

Sayangnya harapan Ian harus tertunda karena dia bertemu si biang kerok itu lagi. Perempuan yang tidak pernah absen memberikan kekesalan pada dirinya dalam setiap interaksi mereka. Kali ini dia melihat perempuan itu seperti kesulitan membawa barang belanjaan. Di tangan kanannya tersampir tas bekerjanya. Di tangan kirinya ada satu kantong besar bertuliskan merk pakaian terkenal. Di kedua tangannya ada beberapa kantung belanjaan dari supermarket. Di tangan kanannya juga ada ponsel yang dia gunakan untuk mengetik. Tas di tangan kanannya beberapa kali melorot hingga dia harus membetulkan lagi. 

Ian menggeleng. Apa dia berpikir dirinya gurita yang punya banyak tangan? 

Ian berusaha untuk menghindari pertemuan dengan perempuan itu dengan berdiri beberapa meter jauhnya. Setelah perempuan itu masuk ke dalam lift, baru Ian akan kembali maju untuk naik. Sialnya, perempuan itu tidak tampak ingin naik. Dia berdiri terus tanpa bergerak kecuali mengetik di ponsel dan memperbaiki posisi tas-tas belanjaan itu. 

Ian semakin lelah. Dia harus segera beristirahat. Diambilnya langkah dan dipasangnya wajah datar dan Ian berjalan ke arah lift, berusaha mengabaikan perempuan tersebut. 

“Eh lo,” 

Ian pura-pura tidak tahu dan terus berjalan.

“Hei, kacamata,” katanya lagi. 

Ian memutar bola matanya lalu berbalik. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku dan dia menatap perempuan itu dengan alis diangkat. 

“Lo orang baik nggak?” tanya perempuan itu dengan senyum lebar di wajah. 

“Bukan,” jawab Ian lalu berbalik lagi. 

“Iya sih gue tahu. Heh bentar,” perempuan itu menarik tas Ian dan membuat Ian kehilangan keseimbangan. Dia berbalik dan tubuhnya menabrak perempuan itu. Dia limbung dan hampir jatuh sebelum Ian kemudian memegang kedua pundaknya dan menahannya agar tetap tegak. 

“Duh lo ampir bikin gue jatoh,” katanya sebal.

“Lo yang tarik tas gue tiba-tiba,” balas Ian pelan. 

“Terserah. Eh kacamata, barang gue banyak dan berat banget. Lo bantu gue bawa ke atas ya?” tanyanya tanpa rasa bersalah. 

Ian mengernyit. “Lo bisa minta jasa supermarket itu buat antar barang lo sampai atas.”

Perempuan itu menggeleng. “Nggak bisa. Gue telat belanjanya. Jam pengantaran udah lewat. Terus ini gue belanja banyak banget buat barang yang kurang di kamar gue.” 

Ian memperhatikan kantung belanja itu lebih dekat dan isinya benar-benar bervariasi. Dari sikat WC sampai chicken nugget. Ian bergantian memandang belanjaan dan wajah si tetangga barunya.

“Nggak, makasih. Lo harusnya pikirin gimana bawanya sebelum beli semua barang itu,” Ian menggeleng dan segera menjauhi perempuan itu. 

“Ih pelit banget sih jadi orang,” seru tetangganya itu.

Ian mendengar bunyi grasak-grusuk dan rupanya tetangganya menyeret beberapa barang dan melewati Ian menuju lift. Dia menekan tombol lift yang terbuka dan masuk lebih dulu. Ketika Ian berdiri di depan lift, dia mengangkat tangannya. 

“Lo nggak boleh naik. Pelit!” katanya lalu menjulurkan lidah. 

“Hah?” Ian bengong menatap pintu lift yang perlahan menutup. 

Tidak habis pikir akan kelakuan perempuan itu, Ian akhirnya menekan tombol lift untuk membuka lift lainnya. Lift muncul tidak lama kemudian dan segera mengantarnya ke lantai 10. Begitu lift terbuka di lantai 10, Ian kira lorong ini akan kosong. Rupanya di depan kamar si perempuan itu masih ada pemiliknya yang berdiri kebingungan. Kantung belanjaannya disimpan di kakinya dan dia sibuk merogoh isi tasnya.

Ada apa lagi ini? 

Ian berusaha tetap kalem dan berjalan melewatinya. Sepertinya dia tidak sadar Ian sudah tiba karena dia tetap mencari-cari isi tasnya dengan panik. Ian berpikir dia pasti lupa menaruh kunci apartemen. 

“Lo lupa naro kunci ya?” celetuk Ian di sampingnya. 

Dia menoleh cepat lalu kembali melihat tasnya. “Iya. Gue lupa ada di mana. Kayaknya  udah gue bawa tapi nggak ada.” 

Tumben nggak galak. 

“Lo bisa masuk pake kode,” Ian mengusulkan. 

Dia menggeleng. “Belum gue set. Jadi gue masuk pake kunci biasa.”

Setelah tetap tidak menemukan apa-apa, dia menoleh kembali pada Ian dan memegang tangannya. “Lo tungguin belanjaan gue bentar. Gue mau turun ngecek di mobil. Oke ya? Jangan kemana-mana! Awas kalau pergi!” 

Setelah bicara begitu dia pun berlari menuju lift dan menekan tombolnya dengan tidak sabar. Ketika pintu lift terbuka, dia langsung masuk. Ian menghela nafas. Bubar sudah rencana tidur cepatnya. 

“Ini barang ditaro di sini juga nggak ada yang nyolong,” kata Ian pada kantung-kantung belanjaan itu. Dia berjongkok dan melihat satu per satu isinya. 

Ketika Ian membuka tas belanjaan yang berisi baju, Ian menghela nafas. Tangannya merogoh tas itu dan menarik keluar sebuah benda. Kunci. 

“Emang kalau benda nggak ditaro di tempatnya biasa, pasti bakal bikin bingung,” gumam Ian. Mungkin perempuan itu tidak sengaja menaruh kunci yang sudah dia persiapkan ke tas belanjaannya. Mengingat dia tampak sibuk dengan ponselnya sedari tadi. 

Ian berdiri bersandar di dinding selama beberapa menit. Dia tidak punya nomor telepon tetangganya ini untuk mengabari bahwa kuncinya sudah ditemukan. Jadi Ian harus menunggu sampai dia menyerah mencari di mobil dan kembali ke atas. 

Jam menunjukkan hampir pukul 11 ketika perempuan itu kembali naik dengan wajah panik dan bingung. Ian menoleh dan baru akan bicara namun omongannya disela. 

“Nggak ketemu. Di mobil nggak ada. Kunci cadangan juga nggak bisa disediain kalau malam gini. Aduh gimana ya?” katanya sambil memegang tasnya dan matanya berkeliling, tidak fokus. 

Ian langsung mengulurkan kunci yang dia temukan. “Ada di tas H&M lo,”

“Ya ampuuuunnnnn,” serunya kaget sekaligus bersyukur. “Pasti gue nggak sadar taro di situ. Makasih banget yaa. Jadi gue bisa tetep masuk.” 

Ian sedikit bingung akan perubahan ekspresi lawan bicaranya. “Oke,” balas Ian dan segera menghindari perempuan itu, kembali menuju kamarnya.

“Sekali lagi makasih ya. Er, nama lo siapa?” tanya perempuan itu saat Ian sudah memasukan kode dan bersiap masuk ke kamarnya. 

Ian berhenti dan menoleh. “Peter Parker.”

“Haah?” Tetangganya terlihat kaget. 

Ian tersenyum tipis dan segera masuk. 

“Gue Olivia. Dipanggil Liv!” teriakannya terdengar di telinga Ian sebelum dia menutup kembali pintunya. 

Oke, Liv. 


*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?