Mudik

Mudik. Katanya mudik itu Cuma ada di Indonesia aja. Beribu-ribu orang berbondong-bondong ‘pulang’ ke kampung halaman, sekali dalam setahun, demi berkumpul bersama keluarga. Biasanya tradisi mudik ini lazim dilaksanakan pada momen Lebaran, terutama Idul Fitri. Entah kenapa kebiasaan ini bisa muncul. Saya gak akan bahas asal mula mudik sih, Cuma ingin bahas mudiknya itu sendiri aja. Iya sendirian, mungkin dia jomblo, mungkin dia baru putus makanya jadi sendiri. Entahlah.

Buat saya pribadi, baru kenal mudik adalah ketika masuk jaman kuliah. Karena itulah pertama kalinya merantau ke luar kota Bandung, tepatnya merantau ke Depok (ga ada tempat lebih jauh lagi?). Padahal minimal sebulan sekali pulang ke rumah di Bandung, tapi momen mudik saat Lebaran tetap jadi momen yang ditunggu-tunggu. Kalau saya, waktu jaman kuliah gak terlalu mikirin gimana persiapan mudik. Karena biasanya libur Lebaran itu udah libur kuliah jauh lebih dulu (apalagi Fakultas Psikologi suka libur seminggu lebih dulu), jadi tinggal nentuin tanggal pulang (yang masih belum ramai arus mudik), pesen travel seminggu sebelum (atau bahkan ga pesen) lalu pulanglah ke Bandung. Balik ke Depok juga suka-suka aja. Beda sama pas udah ngantor. Terhitung baru 2x sih Lebaran pas udah kerja. Tapi rasa was-was itu kemudian muncul. Gimana kalau ga kebagian tiket terus ga bisa pulang? Gimana kalau macet? Gimana kalau travel penuuuhhh? Maka dorongan buat beli tiket jauh-jauh hari sudah tak terbendung. Layaknya udah nahan pipis 5 jam dan ga bisa nahan lebih lama lagi buat ketemu toilet. Biar lega. Biar nanti pas mau pulang, Cuma tinggal melenggang kakung (bener ga sih nulisnya?). persoalannya, libur kantor itu biasanya mepet hari Lebaran. Beda sama jaman kuliah yang udah libur jauh-jauh hari. Dimana ketika dekat hari Lebaran membuat kita semua (saya dan berbagai karyawan/ti kantoran lainnya) udah ngebet banget pengen mudik dan menyebabkan puncak arus mudik. Dengan sebanyak itu pesaing, gimana peluang dapetin kesempatan mudik dengan nyaman? Persiapkan dari jauh, tentu. Jadi dengan rasa was-was gak kebagian kesempatan pulang (buat saya), pesen tiket kereta atau travel udah dari jauh-jauh hari.

Nyatanya, bukan saya aja yang berpikir begitu. Dua bulan sebelum Lebaran, PT KAI sudah membuka penjualan tiket kereta Jawa dan habis dalam waktu beberapa jam saja. Terlihat antusiasme orang-orang dalam membeli tiket kereta. Mungkin yang bisa nyaingin Cuma cetakan pertama Harry Potter ketujuh atau antrian orang waktu mau nonton Petualangan Sherina atau orang-orang yang mau beli iPhone 6 sih (kalau punya duit). Eh, tapi bukan antusiasme beli tiket kereta yang bikin ratusan kursi langsung terbabat habis. Tapi antusiasme para perantau untuk kembali ke kampung asal mereka, bertemu sanak saudara, dalam kegiatan berjudul mudik.

Ramadhan dan Idul Fitri bisa jadi adalah momen libur terpanjang yang dimiliki sejarah libur di Indonesia. Libur panjang ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengobati kerinduan akan kampung halaman yang lama tak mereka sapa, keluarga yang lama tak mereka tanyakan kabarnya, atau sawah yang lama tak mereka injak dan rawat. Karena kesibukan di luar kota, sekedar mengejar cita-cita atau memenuhi kebutuhan hidup yang bahkan setelah keringat membanjiri tak juga tercukupi. Setelah petualangan di negeri bukan antah berantah, kita ingin pulang. Pulang ke tempat dimana hati berada. Pulang ke tempat dimana kita dilahirkan dan tumbuh lalu belajar banyak hal. Pulang ke pangkuan orang tua, sekali lagi merasakan bagaimana rasanya dimanja, bukan lagi memanjakan, menjadi dewasa, melainkan mengeluarkan kembali sisi kekanak-kanakan kita.

Apalagi Idul Fitri adalah momen kembali ke suci. Saat semua dosa kita dimaafkan oleh Yang Maha Kuasa, asalkan dosa dengan sesama manusia sudah dimaafkan pula. Mana lagi momen yang paling luar biasa untuk saling memaafkan selain saling bertatap muka, meski hanya dengan komunikasi melalui tatapan mata, tapi kesungguhan permohonan dan pemberian maaf itu tersampaikan. Memang meminta maaf dan memaafkan adalah urusan hati. Bahkan orang tua, tanpa anaknya hadir di depan matanya pun sudah ikhlas memaafkan berjuta dosa anak yang sadar atau tidak sadar dilakukannya. Namun hasil yang kita dapat bukankah ditunjukkan dari usaha yang kita keluarkan? Bagaimana jika kita bersusah payah melangkahkan kaki, berdesakkan di stasiun ataupun terminal, menaiki sang ular besi, lelah menekan rem dan gas, duduk kaku di kotak besar, hanya demi...pulang? Pulang, melepas rindu dan bermaafan.

Maka mungkin alasan-alasan itulah yang membuat kenapa mudik jadi sebuah tradisi yang happening di Indonesia setiap tahunnya. Dilaksanakan beribu-ribu orang dari berbagai penjuru dunia. Dilipun berbagai media cetak, online, maupun televisi. Demi mengabadikan perjalanan dan perjuangan para anak manusia untuk...pulang.


*because home is the place where your heart is*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?