In Between

Aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya menampar orang. Sakitkah? Puaskah? Merasa bersalah? Atau malah tak merasakan apapun?

Rasa penasaranku sekarang sudah terbayar sudah. Menampar orang rasanya sakit, karena aku melakukannya dengan sekuat tenaga. Sehingga menimbulkan bekas merah yang begitu besar di pipinya. Sekaligus aku merasa bersalah. Did I do wrong?

Namun ketika sekali lagi aku berpikir alasanku melakukan hal itu, aku merasa puas.

Puas menampar pipi seorang Gasendra Wiratanika.

***

"Samahita Purwadijaya! Wake up, kebo!"

"Shut up," seru Ama. Menarik kembali selimut yang tadi ditarik oleh Titha, Pratitha Soedarman, sahabatnya. Yang cantik namun tampilannya mirip Agung Hercules.

"Bangun dong Amaaa," panggil Titha lagi, kali ini dengan gaya ala lagu 'bangun dong Lupus'.

"Its Saturday for God's sake, Tit!" Ama akhirnya bangun, melemparkan tatapan jengkel pada Titha.

"Hey dont call me Tit, doesnt sounds good," Titha memberengut.

"Well, I'll keep calling you that if you still trying to make me off my bed," sahut Ama lalu kembali menyusup ke balik bantal.

"Okay I'll take the risk. Wake up!" Titha tak ragu untuk berteriak di telinga Ama. Membuat Ama terlempar hampir 1 meter di kasur.

"Apa sih ah," Ama menggosok telinga kirinya tempat tadi Titha berteriak. "Gue kan udah bilang kalau gua gak mau dateng kesana. Lo gila apa, Ta,"

"Akhirnya lo sudah cukup waras untuk memanggil gue dengan sebutan normal," Titha mengibaskan rambut hitam panjang bergelombangnya lalu berkacak pinggang.

Ama memutar bola mata.

"And you'll regret for the rest of your life," lanjut Titha.

"No, I'll be grateful,"

"Come on, Ama. Ini saatnya lo tunjukkan pada Esa bahwa lo sudah bangkit!"

Wajah Ama berubah keruh saat mendengar nama Esa disebut. "Gue gak peduli lagi sama Esa,"

"Dan lo mau terus menunjukkan bahwa lo sedih setelah putus dari Esa? Gak keluar kamar kecuali buat kerja. Gak ke party karena takut ketemu Esa. Gak update sosmed," Titha menyebutkan kelakuan Ama pasca putus dengan Esa.

"Gue tetep idup kok," jawab Ama cuek. Meski begitu, ia mulai bergerak gelisah.

"Gue udah ajak Fero buat nemenin lo," Titha menyebutkan teman kuliahnya yang Ama juga (sekedar) tahu.

"Dan itu adalah karena?"

"Karena Esa akan datang bersama Laudya,"

***

A week from now supposed to be Ama's one of the happiest day. But not everything goes out as we planned.

Ama berdiri di bagian belakang aula, memandangi acara yang sedang berlangsung di depan. Fero berdiri di sampingnya tanpa bicara apa-apa. Sesekali orang menyapa mereka, terutama Fero, sang alumni kebanggaan Fakultas Ekonomi, sang mahasiswa berprestasi dan sekarang menjadi Senior Partner di KAP ternama. Ia juga sedang membangun bisnis pengepakan makanan. Sedangkan yang lainnya akan menyapa Ama, mantan wakil ketua Senat Mahasiswa yang dulu begitu ramah sekarang amat sangat dingin. Penyebab dinginnya Ama tak lain dan tak bukan adalah si Ketua Senat, Gasendra Wiratanika, Esa.

“Are you going to stand still for the whole event, Ama?” tanya Fero dengan lembut.

Ya Ama akhirnya setuju datang ke acara silaturahmi sekaligus reuni Senat Mahasiswa 15 angkatan. Bersama Titha sang Kepala Kantor Komunikasi, Ama berangkat. Awalnya Ama hanya akan mengenakan kaos dan jeans. Namun Titha memaksanya untuk mengenakan rok mini dan blus. Rambutnya diikat separo. Sangat anggun dan manis. Di aula kampus mereka, Fero menyambut. Fero bukan bagian Senat Mahasiswa namun ia bersedia menemani Ama.

“Mungkin,” jawab Ama.

“Banyak orang yang datang, mungkin kita bisa berkenalan dan menjalin relasi,” usul Fero.

“Gue gak minat, Fero. Maaf. Lo bisa jalan-jalan sendiri kalau mau,” Ama mulai berjalan, menghampiri meja berisi berbagai minuman.

Fero tersenyum. “Gue datang ke sini mau nemenin lo, Ama. Jadi kalau lo gak mau, ya gue ikutin.”

Ama menanggapinya dengan anggukan singkat. Fero ikut melangkah bersama Ama. Ia mengambil jus tomat, berikutnya ia mengambil jus jeruk.

“Your favorite,” kata Fero, mengangsurkan gelas jus jeruk kepada Ama. Ama menatap Fero dan pelan-pelan mengambil gelas itu.

“Kok tau?”

Fero hanya mengangkat bahu, tersenyum tipis lalu meneguk jus tomat.

“Ma, giliran kepengurusan kita untuk foto. Udah dicariin,” Titha tiba-tiba muncul. Ama langsung makin lemas.

“Gue gak usah ikut deh,” gumam Ama.

“Sekali aja Ma. Lupain bentar ya?” pinta Titha.

Fero melingkarkan tangannya di pundak Ama. Ama memalingkan wajahnya, bingung.

“How worse it could be?” tanya Fero, tersenyum.

“You cant imagine, Fero,” gumam Ama.

“You’re brave enough to face the thiefts, why not with your ex?” kata Fero lagi. Mau tidak mau Ama dan Titha tertawa.

“Okay,”

Masih sambil dirangkul Fero, Ama berjalan menuju photo booth. Titha berjalan di sebelahnya. And here they are. Talking like there’s no others in this room. Esa is holding Laudya’s hand and staring at each other.

“Damn,” celetuk Ama.

“Ama…” Tegur Titha.

“Just one pict, okay, Tha?”

Titha mengangguk. Cepat-cepat ia mengajak Ama ke photo booth dan mengoordinir pengurus Senat Mahasiswa angkatan mereka untuk foro bersama. Cepat mulai dan cepat selesai.

“Ama,” panggil seseorang.

That voice…

Ama berbalik. “Apa?” tanyanya ketus.

“Apa kabar?” tanya Esa. Nada suaranya terdengar...sedih?

“Baik,” lagi-lagi Ama berkata ketus.

“Aku lihat Kak Ama datang bersama Kak Fero,” kali ini Laudya yang angkat bicara. Ama melirik Fero yang juga sedang memandanginya. Siap datang saat keadaan darurat.

“Yeah, so?”

“Apa kalian berpacaran?” tanya Laudya lagi.

Haruskah Ama bilang iya hanya demi tidak terlihat menderita di hadapan Esa sang mantan kekasih? Tapi Fero hanya menemani Ama, tak ada hubungan apa-apa diantara mereka. Atau haruskah Ama jujur saja?”

“Ya, kami baru sebulan berpacaran,” Fero yang menjawabkan pertanyaan Laudya. Ia berdiri di belakang Ama, merangkul pinggang Ama. Terpaksa Ama meringis.

“Wow selamat!” seru Laudya, ia benar-benar terlihat senang. Sementara itu, apakah benar yang Ama lihat, tatapan Esa malah sedih.

“Semoga langgeng,” hanya itu yang diucapkan Esa.

Untunglah karena saat itu Titha memanggil semua untuk berfoto. Biasanya, ketua dan wakil yang berdiri di depan dan tengah. Namun karena seluruh pengurus sudah tahu bahwa ketua dan wakil mereka sudah putus, maka mereka membiarkan Esa berdiri di depan tengah ditemani kekasihnya sekarang, Laudya, yang juga salah satu kepala departemen. Sementara sang wakil? Memilih berdiri di barisan paling belakang.

Begitu kameramen menyatakan selesai, Ama langsung pergi dari photo booth. Fero mengikuti dengan khawatir.

“Brengsek,” umpat Ama. Air matanya mengalir lagi.

Fero sampai di hadapan Ama. Tanpa bicara, Fero menarik Ama ke pelukannya.

***

Three months ago, Ama couldnt be more happy than that. She got new position in her office, as a HR Generalist with supervisor level. She have complete parents, 1 nephew and 1 niece. Going abroad once a month. And above all, she have a handsome, kind, funny, boyfriend.

Samahita Purwadijaya loves Gasendra Wiratanika so so so much! They met in campus when they both became a trainee in Senat Mahasiswa. As they learn and grow up in campus organization, they decide to move up as a couple in next election. To be the head and the vice. They won. They spend a year of Senat together and end it happily. Half year from the end of the term, Esa and Ama decided to move their relationship to the next level. As a real couple who fell in love to each other. They were very happy and romantic. All their friends are jealous of them.

“Will you marry me, Ama?” said Esa. Right on their second anniversary.

“Sorry, apa?” Ama tidak mendengar kalimat Esa. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang di mobil Esa. Jalanan macet dan Ama memilih membaca dokumen yang dibawa dari kantor.

Esa berdeham. Ganti menatap sang pacar di sebelah kiri setelah sedari tadi Esa hanya fokus memandangi jalan.

“Kamu mau menikah dengan aku?” Esa mengulang.

Ama bengong. Tidak percaya apa yang didengarnya.

“Kamu lamar aku? Di tengah kemacetan gini?”

Esa nyengir. “Aku udah pengen bilang daritadi waktu kita makan. Tapi susah banget bilangnya,”

“Esa! Tentu aku mau!” Ama berteriak kegirangan. Mumpung jalanan masih macet, Ama memeluk Esa begitu erat. “No ring?”

“Ah, lupa,” kata Esa. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak cincin berisi cincin sederhana. “Here.”

Cincin itu sangat sederhana. Tapi bagi Ama, itu perhiasan terindah yang pernah ia miliki.

Six months after the proposal, Esa belum juga membahas dengan orang tua Ama. Padahal sering kali Esa mampir ke rumahnya.

“Aku belum bilang dengan orang tuaku untuk melamar kamu secara resmi. Aku akan bilang sembari mengajak orang tuaku. Oke?”

Ama akan setuju. Tak membantah kata-kata Esa. Ama masih percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Ama bahkan mengusulkan tanggal pernikahan mereka. Satu bulan setelah Idul Fitri. Esa setuju. Sampai pada suatu malam. Tiga bulan sebelum tanggal yang mereka rencanakan.

7 Mei 2016.

Teman-temannya sibuk memilih agenda untuk dijalani saat long weekend. Sedangkan Ama, sedari pagi sudah berkutat di dapur. Membuat kue dan memasak. Hari ini rencananya Esa dan keluarga akan datang. Rencana pernikahan akan ditetapkan hari ini. Maka dari itulah Ama begitu excited.

“Memang Esa datang jam berapa?” tanya Mama yang bantu Ama memasak.

“Jam 11 katanya Ma,”

“Coba ditelepon deh. Sekarang udah dimana,”

“Oke sebentar,” Ama berhenti memandangi brownies dalam oven dan berlari menuju kamar tempat ponselnya disimpan.

Ada 5 missed calls dari Esa.

“Halo sayang,” ujar Ama begitu Esa mengangkat telepon. “Kamu nelepon aku berkali-kali kenapa?”

“Ama…” Dari suara Esa, Ama sudah tahu ada yang tidak beres. “Bisa kita ketemu?”

“Kita akan ketemu kan sebentar lagi?”

“Sebelum itu. Aku tunggu di Anomali Coffee 30 menit lagi ya,” dan telepon ditutup. Ama khawatir, cemas, hatinya dag dig dug gak karuan. Cepat-cepat Ama mandi dan mengambil kunci motor. Anomali Coffee tidak jauh dari rumahnya di Menteng. Benar saja. Disana sudah ada mobil Avanza milik Esa.

Ama merapikan rambutnya. Meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa Esa hanya perlu diyakinkan.

Esa duduk di samping jendela. Di depannya ada espresso yang belum disentuh.

“Esa,” panggil Ama. Sejak Esa di telepon tadi memanggilnya Ama dan bukan sayang seperti biasa, Ama memutuskan untuk ikut alur Esa.

“Hai, sini,” Esa memang tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Ama duduk di hadapan Esa.

“Lancar kan di jalan?” tanya Esa, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Ama. Tangan Esa tak lagi hangat, namun dingin.

Ama mengangguk. Masih menebak ke arah mana pembicaraan ini.

“Aku...aku mau minta maaf,”

Hati Ama mencelos. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan berakhir indah.

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita,”

Betul kan?

“Kita harus...putus,”

Perlahan Ama menarik tangannya dari genggaman Esa. Menyimpannya di di paha. Suasana riuh rendah mendadak hening di telinga Ama.

“Kenapa?” cuma itu yang bisa Ama katakan.

“Aku..” Esa tampak bingung.

“Salah aku apa? Aku bikin kamu kesal? Ada yang bilang kamu untuk putusin aku?”

Esa menggeleng kuat-kuat. Matanya memancarkan rasa bersalah yang begitu besar.

“Kamu gak salah. Sama sekali. Aku...ini salah di aku,”

“Kamu melakukan apa?” cecar Ama lagi.

“Laudya…” saat mendengar nama ini disebut, Ama tak menyangka ada nama perempuan lain di hubungan yang dijalaninya. Terlebih nama yang Ama juga kenal baik. “Laudya hamil anakku.”

Ama merasa tak perlu lagi mendengar apapun dari Esa. Ama bangkit dengan kemarahan yang sangat besar. Ama bahkan tak berminat mendengar penjelasan Esa ketika dia juga ikut berdiri.

“Aku minta maaf,” ujar Esa.

“Moron!” teriak Ama, sekuat tenaga menampar pipi Esa.

Itulah pertama kalinya Ama tahu bagaimana rasanya menampar seseorang.

***

Setelah Ama menangis di pelukan Fero, Titha berkali-kali mengultimatum Ama untuk tidak kabur dari acara hari ini. Yeah, kayak dia bisa aja. Sayang kan uang 1 jutanya kalau ia batalkan begitu saja?

Ama berdiri di samping Fero di Terminal 2E, menunggu Titha yang sekarang sedang menurunkan koper dibantu Galih, sang pacar. Mereka berempat akan berangkat ke Singapura, short escape. Ini adalah usul Titha, katanya Ama harus jauh-jauh dari Jakarta di tanggal 7 Agustus. Tanggal yang tadinya jadi hari bersejarah Ama dan Esa.

“Buruan sih. Lo bawa baju sekampung?” tanya Ama begitu Titha berada dalam jarak dengar.

“Tau nih, padahal bawa baju se-RT juga cukup,” timpal Galih, membuahkan tepukan di pundaknya oleh Titha.

“Sabar dong. Masih ada waktu 2 jam,” kata Titha.

“Kita belum check in,” kata Ama. Mulai mendorong trolinya ke arah pintu pengecekan.

“Bentar kok itu,” sahut Titha lagi.

Mereka melewati gerbang pemeriksaan secara beriringan. Begitu selesai, Fero mengajukan diri untuk check in.

“Sini sama gue,” ajak Galih. Para pria itu maju ke counter check in sementara Ama dan Tita menunggu di belakang. Galih berasal dari kampus yang berbeda dengan Ama dan Titha. Ia teman sekantor Titha. Tapi sepertinya Fero dan Galih mudah sekali untuk akrab.

“Yang, koper kamu gede. Di bagasi aja gapapa ya?” Galoh menoleh.

“Oh iya gapapa,” Titha mengangsurkan kopernya untuk ditimbang dan diberi label. Dibawa ke bagasi.

Sementara itu Ama anteng saja karena ia hanya membawa satu tas gym dan satu handbag. Fero malah lebih ‘parah’, selain koper kecil yang dia bawa, dia tak bawa apa-apa lagi. Sama seperti Galih.

“Jadi kalau kita lama di bandara, semua gara-gara lo ya,” kata Ama, menyenggol Titha.

“Biarin. Nanti Galih tungguin gue. Lo sama Fero langsung aja ke hotel. Jadi nanti Fero sama lo sekamar, Galih sama gue,” mata Titha berkilat-kilat iseng.

“Itu mah maunya lo,” Ama menjitak kepala Titha. Para pria mendengar pembicaraan ini dan mereka hanya tersenyum.

Masih ada waktu satu jam sampai waktu boarding. Ama, Fero, Galih, dan Titha menunggu di lounge. Titha langsung mengajak Ama selfie, Galih menyapa orang-orang sekitar, dan Fero mengeluarkan buku, membaca.

“Temenin Fero dong tuh,” senggol Titha.

“Udah gede ngapain ditemenin,” balas Ama cuek. Ia melihat-lihat hasil fotonya dengan Titha.

“Lo sih sebenernya yang perlu ditemenin,” celetuk Titha.

“Kenapa gue?” Ama mengangkat kepalanya dari smartphone Titha, melirik sekilas ke arah Fero yang sedang membaca. Ama menelan ludah, sial Fero begitu tampan dengan pose serius membaca dan kaki panjangnya yang ditumpangkan.

“Biar lo lupa segalanya,” Titha berseru dengan semangat, sampai mengangkat kedua tangannya.

“Yee, masa gue amnesia,” kata Ama, kembali memperhatikan foto.

“Biar kayak di lagu gitu. Sini gue mau upload ke Path dulu,” kata Titha. Ama kembali menyerahkan smartphone ke tangan Titha. Pelan-pelan Ama berpindah ke tempat duduk di samping Fero.

“Baca apa?” Ama melirik.

“Hmm?” Fero mengangkat wajah. “Ini,”

Multatuli karya Max Haveelar.

“Ya ampun,” Ama langsung melengos. “Gue baca itu cuma setengah terus nyerah.”

“Gue juga. Ini aja udah setahun belum kelar,” Fero nyengir.

“Masa?” Ama terkejut. Orang secerdas Fero saja butuh setahun membaca buku berat ini? Fero menanggapi hanya dengan cengiran di wajah. “Nanti lo cerita aja ke gue ya kalau udah selesai.”

“Gimana kalau gantian. Lo baca buku lain, nanti kasih tau gue isinya,” tantang Fero.

“Buku apa?”

“Bebas,”

“Crazy Rich Asians? Kevin Kwan,” usul Ama.

Fero tampak bingung karena tidak mengenali judul tersebut. Tapi dia mengangguk. “Oke,”

“Hei hei siap-siap bentar lagi boarding,” Titha menyela pembicaraan Ama dan Fero.

Ama bergegas mengambil tas-tasnya lalu berbaris menuju pesawat.

“Lo di seat berapa Ta?” tanya Ama.

“6B. Lo?”

“7C,” jawab Ama.
Mereka berdua melirik ke arah Fero dan Galih. “Seat berapa?” Ama mengulang.

“6C,” jawab Galih.

“7B,” jawab Fero.

Oke, gumam Ama. Hadapi saja apa yang akan terjadi di negeri tetangga ini.

***

Mereka berempat sampai di The Fullerton Bay Hotel sekitar pukul 2 waktu setempat. Tadi Ama tak jadi pergi duluan dan menunggu Titha sambil melihat-lihat Changi.

“Kita ketemu lagi jam 3 ya,” ujar Titha sebelum geng cewe berpisah dengan geng cowo di depan pintu kamar masing-masing.

“Oke yang,” sahut Galih. Fero mengangguk.

Ama dan Titha memasuki kamar mereka. Tak peduli apapun, Ama langsung merebahkan diri di kasur besar dan empuk ini.

“Baru nyampe tap gue udah capek duluan,” kata Ama.

“Masa sih capek? Bukannya enak ya di pesawat? Nyender di pundaknya Fero gitu,” kata Titha, lagi-lagi ekspresinya iseng.

Ama merengut. Kenapa Titha bisa tahu tadi Ama tidur bersandar ke pundak Fero? Untungnya Fero tak masalah.

“Malu kali,” ujar Ama. Untuk mengalihkan perhatian, Ama segera menghampiri tasnya untuk unpack barang-barangnya.

“Pake baju apa lo ke Tussauds nanti?” Titha melongok isi tas Ama.

“Ini aja, gak ganti,” Ama menarik kausnya.

“Jangan dong,” Titha berlutut, mengobrak-abrik isi tas Ama lebih bersemangat dari si pemilik.

“Weiiiy,” tegur Ama.

“Nah ini,” Titha mengacungkan sebuah rok untuk dipadukan dengan kaos yang digunakan Ama. “Sepatunya lo pake gladiator shoes gue. Rambutnya digerai aja, atau kalau gerah diiket kuda.”

“Lo udah kayak fashion advisor gue,” celetuk Ama. Membayangkan penampilannya nanti.

“Dari dulu bukannya?” Titha berkedip.

***

Titha yang begitu bersemangat berfoto denfan patung lilin. Memperagakan berbagai pose dan difoto oleh Galih. Sedangkan Ama dan Fero berkeliling sambil mengobrol. Membahas plakat yang tertera di masing-masing patung.

“Lo gak mau difoto, Ama?” tanya Fero saat mereka sedang berdiri di depan patung lilin Lady Di.

“Hmm, sama siapa ya?”

Fero mengangkat bahu. “Ada banyak pilihan. Cuma Raffi Ahmad aja gak ada,”

Ama tertawa. “Kayak gue mau aja kalaupun ada,”

Fero juga tertawa kecil. “Cewek biasanya mau sama artis-artis cowok. Cristiano Ronaldo, Brad Pitt, Johnny Depp,”

“Beckham,” potong Ama. “Gue cari Beckham aja.”

Fero mengangguk. Mereka berjalan menuju area lain dan menemukan patung lilin Beckham sedang sit up.

“How do you want to pose?” tanya Fero. Menahan tawa.

Mau tak mau Ama nyengir juga. “Gini aja deh,”

Ama duduk di bangku samping Beckham lalu beepose layaknya orang sit up namun susah payah. Ketika dilihatnya Fero seperti menahan tawa, Ama cepat-cepat bangkit.

“Kenapa sih?” Ama mengambil ponselnya dari tangan Fero. Terlihat bahwa alih-alih kelelahan, Ama seperti sedang ngeden.

“Hahahaha. Jelek banget!” Tawa Ama meledak. Fero pun tak ragu-ragu lagi. Mereka menertawakan foto Ama bersama-sama.

“Sst, kalian kayak di rumah sendiri aja,” tegur Titha.

Ama menanggapinya dengan mengulurkan ponsel ke Titha. Titha melongok bersama Galih.

“Lo sakit perut?” tanya Titha, juga tak bisa menahan tawa.

Aka menggeleng. Entah kenapa wajahnya bisa terlihat seaneh itu.

“Udah yuk. Kita masih mau ke Orchard dulu nih,” ajak Titha. Ama, Fero, dan Galih setuju. Mereka pun berjalan beriringan keluar dari Madame Tussauds. Menaiki bis menuju Orchard Road.

Di sini, apalagi yang mereka cari selain Garrett Popcorn (dan belanja barang-barang bermerk).

“Lo mau rasa apa, Ma?” tanya Fero sebelum mereka mengantri.

“Apa ya, karamel sounds good, butter tastes delicious too, but Macadamia is interesting,” Ama mengetuk-ngetuk dagunya.

“Beli semua aja,”

“Terus yang makan siapa?”

“Your parents? Nephew?”

“Ah, youre right,” Ama masuk ke antrian menyusul Titha dan Galih yang sudah mengantri lebih dulu. Fero mengikuti di belakang.

Ama memutuskan akan membeli Macadamia dan Buttery ukuran Large untuk keluarganya. Mix ukuran Medium untuk teman-teman di kantor dan CheeseCorn ukuran Medium untuk dirinya sendiri.

“Lo beli buat siapa Fer?” tanya Ama.

“Hmm, gak deh kayaknya,”

“Gak beli buat temen kantor?” tanya Ama. Tahu bahwa disini Fero tinggal sendirian. Keluarganya di Padang.

“Males bawanya,” Fero menyeringai.

“Ntar pada nagih lho,”

“Lo usul apa?”

“Mix aja ya kayak yang gue beli. Gimana?”

“Oke,”

Ama mengucapkan pesanannya kepada petugas Garrett. “1 Macadamia Large, 1 Buttery Large, 2 Mix Medium, 1 CheeseCorn Medium. Buat lo sendiri gak beli?”

“Gak usah,” Fero menggeleng.

Mereka bergerak ke kasir untuk membayar. Fero menawarkan diri membawa barang belanjaan. Sembari menyusuri Orchard Road, Ama membuka kantung CheeseCorn dan mulai ngemil.

“Enak?” tanya Fero

“Mau?” Ama bertanya balik.

Fero diam. Ama mengartikan itu sebagai tanda setuju. “Nih,” Ama mengulurkan kantung popcorn. Fero mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi kantong belanjaan.

Ama menelan ludah. Pelan-pelan diambilnya satu popcorn dan diulurkan ke mulut Fero. Fero menyambutnya, popcorn masuk ke dalam mulut, salah tingkah Ama dibuatnya.

“Enak ya,” ujar Fero.

“Mau lagi?” tanya Ama.

“Kalau yang punya mau berbagi sih,” kata Fero jahil. Ama tersenyum. Sambil jalan, sekali-sekali Ama menyuapi Fero dengan popcorn. Mereka tidak sadar bahwa Titha mengabadikan momen itu dengan smartphone.

“Yuk balik. Kita belum makan malam,” Titha menyela, berdiri dintara Fero dan Ama.

“Oh iya. Ayo,”

Mereka bergegas mencari taksi agar cepat kembali ke hotel. Setelah kembali ke hotel, mandi kilat, berdandan singkat, Ama dan Titha keluar kamar. Menuju Restoran The Fullerton Bay, menghampiri Fero dan Galih yang sudah menunggu.

“Oh so beautiful,” gumam Titha. Mengagumi pemandangan Marina Bay Sands di kejauhan.

“Oh thank you,” malah Ama yang menyahut.

“Itu, Ama. Bukan ini,” Titha bergantian menunjuk Marina Bay Sands dan Ama.

“Kamu juga cantik,”

“Lo juga cantik,”

Galih dan Fero mengucap bersamaan. Galih ke Titha dan Fero ke Ama. Ama dan Titha terpana sebentar.

“Thank you honey. I love you,” balas Titha. Ia mencondongkan tubuh mendekati Galih dan mereka berciuman singkat.

Sementara Ama memandangi Fero dengan bingung. “Er, thank you,”

“Pesen yuk,” ajak Fero, ia tersenyum. Mungkin menenangkan sikap Ama yang jadi salah tingkah.

Seminggu yang lalu Fero mengakui Ama sebagai pacarnya dan setelah itu memeluk Ama sampai berhenti menangis. Kali ini Fero menyebut Ama cantik. Titha pasti sangat bahagia karena ini.

Ama dan Titha duduk bersebelahan, menghadap pasangan masing-masing. Mereka berempat membahas hal-hal umum seperti kuliah, kerja, bisnis. Ketika pembahasan mengenai bisnis terlalu dalam, Ama dan Titha beralih ke fashion, artis, gosip, make up.

“Ayang, fotoin dong,” Titha merajuk, mengulurkan smartphone-nya.

Tanpa banyak bicara, Galih mengarahkan kamera kepada Titha. Ama hanya memperhatikan.

“Lo mau difoto juga?” tanya Fero.

“Boleh,” jawab Ama. Ia bergerak mengambil ponsel yang disimpan di tas.

“Pake hape gue dulu aja,” usul Fero.

“Oh oke,” Ama pun berdiri. Di sela-sela meja, dilatarbelakangi Marina Bay Sands, Ama berpose. Fero memandangi Ama dari layar kamera dan menelan ludah.

Ama berpose beberapa kali sampai ia sendiri merasa lelah. “Gantian?”

“Sama lo tapi,”

“Hee?” Ama tak mengerti. Baru ketika Fero menghampiri dan mengarahkan kamera depan ke mereka berdua, Ama mengerti bahwa Fero lebih ingin berfoto berdua daripada sendirian.

“Berapa banyak perempuan yang patah hati kalau foto ini tersebar,” gumam Ama.

Fero mendengar lalu tertawa. “Not even one,”

“Fotoin gue sama Ama dooong,” Titha menghampiri dan langsung berdiri di samping Ama. Galih dan Fero langsung jadi fotografer dadakan. Memotret kedua gadis narsis ini.

***

“Titha mana, Ma?” tanya Galih begitu Ama sampai di restoran untuk sarapan.

“Masih ngabisisn sunblock. Jadi gue turun duluan aja,” jawab Ama santai. Galih tertawa. Ikut masuk ke restoran, menghampiri Fero yang sudah berdiri di dalam.

“Pagi,” sapa Fero, tersenyum begitu...tampan?

“Pagi, Fero. Makan yuk,”

Fero mengangguk. Ama memilih salah satu meja lalu duduk. So.. this was supposed to be the day. Ama should be woke up since 4 or maybe she cant even sleep due to highest excitement. All dressd up and make up on. Waiting with heart beating so fast for the groom. But.. the reality is now Ama sit down, looks peacefully, staring at the morning scenery from the Fullerton Bay Hotels Restaurant. Deep down, Ama feel empty. She doesn’t know what Esa is doing right now. At the day when they should’ve tied the knot.

“Mau gue ambilin makan atau gimana?” tawar Fero. Ama menatap fero lebih lama dari biasanya.

“Kopi aja kalau boleh,”

“Cuma itu? Kita bakal banyak ngabisin energi hari ini. Tambahin ya?”

“Gue ikut aja apapun pilihan lo, Fer,” Ama tersenyum lalu kembali melamun.

“Heh, jangan ngelamun nanti kesambet!” Ama bisa merasakan tepokan keras di pundak Ama. Siapa lagi kalau bukan Titha yang melakukannya.

“Mana ada kesambet disini,” celetuk Ama.

“Kali aja ada impor gitu,” kata Titha. Ia duduk di samping Ama. “Yang, aku sarapan ikut apa aja pilihan kamu ya.” Titha lanjut bicara pada Galih. Titha memutuskan untuk menemani Ama agar Ama tak mengalihkan pikirannya ke acara yang direncanakan terjadi hari ini.

“Nanti lo mau main apa aja, Ma? Gue sih…”

“Esa lagi apa ya, Tha?” potong Ama.

“Siapa Esa? Gak kenal gue. Oh iya, gue main roller coaster itu gak ya. Yang digantung itu…”

“Ketika kita gak jadi nikah, Esa ngapain? Sama Laudya?” Ama masih bersikeras membahas Esa.

“Samahita! Gue ngajak lo kesini bukan untuk bahas Esa lagi!” Titha berteriak sedikit lebih keras. Ekspresi Ama terkejut dan ia seperti mau menangis lagi. Fero dan Galih sudah kembali membawa sarapan.

“Kenapa?” tanya Fero.

“Esa,” gumam Titha, antara kesal dan merasa bersalah. Fero menaruh piring dan kopi di meja, bermaksud memutar menghampiri Ama namun Titha terlanjur memeluk sahabatnya. “Udah dong, Ama. Belum tentu juga kan dia mikirin lo. Saatnya lo move on. Yuk jangan diinget-inget lagi ya,”

Ama mengisak. Karena hatinya benar-benar sakit. Seharusnya ia sudah jadi Nyonya Gasendra Wiratanika sekarang. Kenyataannya, mereka putus. Esa bahkan sudah punya perempuan lain yang akan segera memberikannya keturunan.

“Udah yuk makan, makan,” ajak Galih, berusaha menceriakan suasana.

***

Titha, Fero, Galih, semua berusaha keras mengalihkan perhatian Ama dari hal yang membuatnya menangis tadi pagi. Di bis, Fero mengajak Ama mengobrol.

“Pas libur lebaran lo nonton apa aja, Ma?”

“Hmm, cuma Sabtu Bersama Bapak dan Rudy Habibie. Lo nonton lainnya?”

“Gue cuma nonton Rudy Habibie. SBB bagus?”

Ama mengangguk. “Gue suka aja. Pemainnya bagus-bagus sih. Deva juga pol banget disitu. Pesannya juga jelas bagus,”

“Recommended nih berarti?”

Ama mengangguk lagi. “Tapi kalau mau lebih mendalam sih mending lo baca bukunya aja. Walaupun nonton film bantu visualisasiin sih.”

“Adegan apa yang paling lo suka di film SBB?”

“Hmm, waktu Deva pertama ketemu Sheila di ruang meeting dan waktu dia ngajak makan siang bareng.”

“Akan gue inget buat mantengin adegan itu kalau nonton itu,”

“Iya. Nonton deh. Kalau Rudy Habibie menurut lo gimana?”

Fero tampak berpikir sejenak. “Itu filmnya bagus. Tapi gak tau kenapa rasanya ada yang kurang. Entah di durasinya yang kelamaan. Entah di klimaksnya yang gak klimaks banget.”

“Gue juga merasa begitu. Secara keseluruhan filmya recommended sih,”

“Betul. Bikin kita makin cinta Indonesia kan?”

Ama mengangguk setuju. “Gue paling suka dan sekaligus paling sedih waktu adegan Rudy gantiin ayahnya jadi imam shalat.”

“Yeah. Itulah tanda pria bertanggung jawab. Sejak kecil dia sudah bisa mengemban amanah berarti,”

“Kalau lo lebih suka yang mana?”

“Inget waktu Rudy pertama kali bisa menerbangkan pesawat? Gue membayangkan diri gue sendiri berhasil melakukan sesuatu yang gue inginkan, yang gue usahakan sepenuh hati, siang dan malam. Itu rasanya priceless, Ma,”

Ama menatap Fero. Wajahnya bersemangat dan matanya berbinar.

“Iya. Bagus,”

“Siap-siap yuk,” bisik Titha dari tempat duduk di belakang Ama dan Fero.

Galih menekan bel. Sebentar kemudian mereka berempat turun. Memasuki Vevo City Mall lalu menaiki trem menuju Sentosa Island. Hari Minggu ini rupanya banyak sekali pengunjung. Ama berdiri berhimpitan dalam trem. Sampai tidak sengaja tubuhnya begitu dekat dengan Fero yang berdiri di belakang. Dengan sikap protektif, Fero memegang pundak Ama. Menjaganya.

“Ayok buruan,” teriak Titha begitu mereka turun. Berlari-lari kecil dengan penuh semangat menuju Universal Studio Singapore. “Yeaaay!”

Ama tersenyum melihat tingkah Titha. Ia menghampiri sahabatnya itu.

“Ayaaang,” panggil Titha. Melambaikan topi sebagai isyarat agar Galih memotretnya. Galih mulai mencari angle yang tepat. Ia sama sekali tidak keberatan dengan Titha yang sedikit-sedikit minta difoto. Lebih baik Titha manja padanya daripada pada pria lain. Di samping Galih, Fero memperhatikan Ama dan Titha juga sambil tersenyum.

“Ayo kamu foto sama aku,” Titha memberi isyarat. Ama paham dan ia yang mengambil kamera dari tangan Galih. Pasangan itu berpose beberapa kali dengan Ama sebagai fotografer.

“Kalian foto juga ya,” suruh Titha.

“Hah?” seru Ama.

“Lo dulu gih sendirian,” Titha mendirong Ama ke arah Globe USS. Ama menurut, dengan topi pinjaman dari Titha, ia berpose.

Titha memotret Ama sembari mendengar Fero di sebelahnya berdeham. Wajahnya memerah. Entah apa yang dipikirkannya.

“Udah ya?” tanya Ama.

“Wait!” Titha berteriak. Ia buru-buru mendorong Fero agar berdiri di samping Ama. Fero bingung. Ama juga. Tapi mereka berdiri bersisian menghadap Titha.

“Deketan dong!” pinta Titha. Mereka mendekat pada satu sama lain.

“Rangkul bro!” Galih mengompori.

Alih-alih menuruti Galih, Fero malah tertawa. Ama menatap Fero. “Kok malah ketawa?”

Fero menggeleng. “Topinya miring nih.” Fero memperbaiki topi yang dipakai Ama. Kesempatan ini diabadikan dengan sempurna oleh Titha.

Ama menyentuh topinya. “Foto lagi?”

Fero setuju. Sekarang Fero benar-benar merangkul Ama dan Ama pun tersenyum pada kamera.

“Yuk mulai main!” ajak Galih. Berjalan di depan, diikuti Ama dan Fero. Sedangkan Titha? Titha sedang mengepos foto Ama yang topinya diperbaiki oleh Fero. Foto itu diberi caption, ‘Its hot here in Singapore. But nothing is hotter than this new couple.’

***

“Naik itu?!” Titha menunjuk ngeri roller coaster Cyclon.

“Iya!” Teriak Ama dan Galih. Mereka baru selesai dari arena Transformers. Ama dan Titha sibuk berteriak sementara Galih dan Fero malah tertawa-tawa.

“No way!” Titha menggeleng.

“Ayo dong Yang. It doesnt look that scary,” Galih merayu kekasihnya. Tepat ketika suara teriakan begitu jelas terdengar.

“Gak. Mending aku tunggu sini aja,” Titha celingak celinguk mencari tempat duduk.

“Bagus. Lo jagain barang kita aja kalau gitu. Karena ke dalem ga boleh bawa barang,” Ama langsung menyerahkan tasnya ke pangkuan Titha. Diikuti Fero dan Galih, Ama mulai masuk.

“Oke oke,” Titha menyerah kemudian duduk. Kesempatan ini Titha gunakan untuk mengecek ‘progress’ hasil unggah foto Ama dan Fero di globe USS tadi.

Banyak yang me-love foto itu dan memberi komentar. So sweet, lah. Semoga langgeng lah. Cocok lah. Atau yang cuma ciye ciye.

Melihat respon yang positif, Titha terdorong untuk mengunggah foto lainnya. Foto saat Ama tertidur di bahu Fero.

***

“Lapar lapar gue lapaaaarrr!” seru Titha setelah mereka keluar dari The Mummy.

“Lo kan cuma main Transformers sama Mummy. Kok lebih capek dari kita yang main Cyclon dan Human juga?” Ama melirik.

“Gak tau, bawaan bayi kali,” jawab Titha asal. Jawaban ini membuat Galih melotot, Ama bengong, Fero tertawa.

“Yang?!”

“Canda kali Yang. Ah. Kamu serius banget. Ciuman aja jarang. Lagian aku anaknya kan setia,” Titha langsung bergelayut di lengan Galih sementara ekspresi Galih kembali tenang.

“Ngaco emang lo,” kata Ama lalu ngeloyor duluan. Menuju Starbot Cafe saja.

Fero berjalan di samping Ama. Dikeluarkannya ponsel yang sepertinya daritadi bergetar. Ketika dilihatnya apa yang membuat ponselnya dibanjiri notifications, Fero mendengus tertawa.

“Kenapa Fer?” tanya Ama di sebelahnya.

“Oh nothing. Just some funny pictures from a friend,” Fero memasukkan kembali smartphone ke sakunya. Ama mengangguk lagi.

Dalam hati Fero berpikir. Bagaimana respon Ama kalau melihat apa yang diunggah Titha ke Path tadi. Entah Path saja atau mungkin media sosial lainnya. Agar seluruh dunia tahu. Agar Esa tahu bahwa Ama sudah move on.

Setelah makan, kedua pasangan ini kembali menyusuri permainan-permainan. Mengulang kembali Cyclon dan Human (Titha kembali menunggu di luar), masuk ke area Jurassic Park dan Far Far Away Land, sampai yang unyu macam Sesame Street. Sore menjelang malam mereka menonton karnaval yang lewat.

“Udah malem nih?” Ama melirik jam tangannya yang masih menunjukkan waktu Jakarta.

“Iya udah mau tutup. Beli oleh-oleh yuk cin,” Titha menarik tangan Ama ke toko-toko souvenir. Lagi-lagi Fero dan Gilang hanya mengikuti di belakang. Menyerah kalau urusan belanja.

Titha kalap. Galih menelan ludah. ‘Untung’ Titha masih belum jadi istrinya. Karena Galih benar-benar bingung melihat belanjaan Titha yang seabrek. Dari mulai gantungan, pulpen, kaos, dompet, tumbler.

“Yang ini bawanya gimana?” Galih menggaruk kepala kebingungan. “Belum lagi belanjaan kamu di Orchard kenarin.”

“Gampang pokoknya itu,” Titha melambaikan tangannya.

“Lo beli apa, Ma?” Kebalikan dengan Titha, Ama masih belum mengambil apa-apa.

“Apa ya?” Ama balik bertanya. “Mendingan apa?”

“Lo mau beliin oleh-oleh buat siapa aja?”

“My parents, my sister, my niece and nephew,”

“How about tumbler?” Fero mengusulkan. “Tumbler for your dad and nephew. Wallet for your mom and sister. And for your niece, hmm, doll?”

“You’re right. But I’ll go with wallet for my niece as well,”

Fero mengangguk. Ama hanya menimbang sebentar, mengambil barang-barang lalu membayar ke kasir.

“Fast, huh?” ujar Fero begitu Ama kembali. Sementara Titha masih di kasir ditemani Galih yang geleng-geleng.

“Mau apa lagi emang?” Ama tersenyum.

“Ngopi yuk sambil nunggu mereka?” ajak Fero. Menunjuk Starbucks di sebrang.

“Boleh,” Ama menghampiri Titha. “Gue sama Fero ke Starbucks ya.”

“Oke,” sahut Titha. Galih mengangguk.

“Berhasil ya Yang?” Tanya Galih pada Titha namun memandangi Ama dan Fero yang berjalan beriringan.

“Kayaknya sih gitu, Yang. Tinggal si Fero nembak aja nih. Jangan kelamaan,” Titha ikut memperhatikan pasangan yang ia harap jadian itu.

“100 dollar, Miss,” ujar Kasir, mengembalikan fokus Titha.

“What?!” Titha kaget, Galih geleng-geleng.

***

“One Espresso and one green tea latte,” kata Fero ke kasir Starbucks. Ama mengeluarkan dompet untuk membayar.

“No. My treat,” cegah Fero. Ia mengangsurkan dua lembar uang 10 dollar Singapura.

“Are you sure? Tadi makan siang sama jajan lo yang bayarin. Masa sekarang juga?”

Fero tertawa. Ia mengajak Ama untuk duduk. “Lo udah banyak belanja. Gue gak beli apa-apa. Anggap aja belanjanya gue ya traktir lo.”

“Ingatkan gue untuk membalas kebaikan lo ini,”

Fero tertawa lagi. “Gak usah Ama. Beneran lah,”

Ama diam saja tapi dia menyimpan hal itu di hatinya. Nama Fero dipanggil. Ia berdiri dan mengambil pesanan mereka berdua.

“Samahita,” panggil Fero.

“Apa Alfero?” Ama balas memanggil Fero dengan nama lengkap.

Fero tersenyum. Senang mendengar Ama menyebut nama lengkapnya. Fero melipat kedua tangannya di atas meja lalu mencondongkan tubuh ke arah Ama.

“Gue gak bisa merangkai kata untuk hal seperti ini. Kalau bikin laporan, gue bisa. Intinya gue cuma mau bilang bahwa gue jatuh cinta sama lo. Gue mungkin bukan cowo terbaik yang pernah lo temui. Tapi lo harus tahu bahwa gue akan berusaha menjadi versi terbaik diri gue buat kita berdua,” Fero mengucapkan ini dalam satu tarikan nafas. Dingin es dari gelas Green Tea Latte Ama jadi tak terasa.

“Lo nembak gue?” Ama memastikan.

“Apapun bahasanya, iya. Gue mengajak lo untuk jadi pasangan hidup gue,” Fero terdengar santai tapi Ama tahu dari ekspresinya bahwa Fero juga gugup.

“Gue….entah apa gue bisa, Fer. Lo tahu sendiri seharusnya hari ini…”

Ama tak berani melanjutkan. Fero mengulurkan tangan menggenggam tangan Ama. Memberi ketenangan seketika ke tubuh Ama.

“Gue tahu,” Fero mengangguk.

“Maka dari itu...bolehkah gue berpikir dulu? Bukan karena gue benci sama lo atau gimana. Tapi, lo tau…”

Fero mengangguk. “Take your time, Ama,”

Saat itu Titha masuk diikuti Galih yang menentemg barang bawaan. Saat melihat Fero dan Ama saling berpegangan, wajah Titha jadi lebih ceria.

“Ciyeee,” seru Titha.

Ama dan Fero menoleh. “Apa sih Tha,” balas Ama. Tapi ia tidak melepaskan genggaman tangan Fero.  

“Makan malem ada yang traktir, Yang,” kata Titha pada Galih. Galih memperhatikan Ama dan Fero lalu melambaikan tangan.

“Selamat ya Bro,”

Fero menanggapinya dengan senyum. “Pulang yuk. Lapar,”

Ama mengangguk. Mereka keluar dari Starbucks juga berjalan menuju keluar USS. Kali ini mereka memilih menyusuri jalan menuju Vevo City Mall. Ama dan Fero masih menautkan jemari mereka. Di belakang, Titha dan Galih tidak mau kalah.

***

“Udah jadian?” tembak Titha begitu hanya ia dan Ama di kamar.

“Belum,” ujar Ama. Melempar barang-barangnya lalu bersiap untuk mandi.

“Terus kok udah pegangan tangan?”

“Emang gak boleh?”

“Yaaaa boleh siiih. Tapi udah ditembak kan?” Titha mengikuti Ama ke kamar mandi. Ama mengangguk. “Mau jawab apa?”

“Belum tahu,” Ama mengangkat bahu. “Ini lo mau ngikut gue terus pas gue mandi apa gimana?”

Titha tertawa lalu mundur. “Sori beb. Ntar cerita ya,”

“Iya iya. Hush hush,”

Ama mandi dengan kilat, tidak lupa dikeramas setelah seharian terpapar matahari di USS. Setelah mengenakan piyama, Ama duduk di kasur. Menata barang bawaan agar mudah saat pulang besok. Begitu pula dengan Titha, bedanya, Titha terlihat lebih bingung. Ketika itu Ama baru sadar bahwa ia belum mengecek ponselnya sama sekali seharian ini. Diambilnya ponsel itu dari handbag. Ada beberapa pesan WhatsApp mengucapkan selamat. Ama bingung, selamat untuk apa? Ia kan TIDAK JADI menikah. Ama memutuskan untuk membuka Path dan disitulah ia kaget.

“Pratitha Soedarman!” Ama berteriak.

“Apaa? Gue disini. Lo gak usah teriak-teriak,”

“Lo gilaa yaaaa,” Ama berteriak lagi. “Maksud lo apaaa?”

Ama menggoyangkan smartphone yang menampilkan postingan Titha di Path. Titha memicingkan mata lalu tertawa.

“Itu supaya dunia tahu bahwa seorang Samahita Purwadijaya sekarang sama Alfero Kamahara. Kalian serasi lho!”

“Sumpah ya lo gila banget. Parah parah! Gue harus bilang sama Fero. Minta maaf,”

“Alah bilang aja kalau pengen ketemu,”

“Ish,” Ama mengambil kunci kamar, mengenakan sendal lalu mengetuk kamar sebelah. Pintu dibukakan oleh Fero yang sepertinya juga baru selesai mandi. Rambutnya masih basah. Ama menelan ludah.

“Ama?” sapa Fero. Takjub melihat Ama yang mengenakan piyama. Lucu sekali.

“Lagi sibuk gak? Ngobrol yuk,”

“Tentang?” Fero menutup pintu di belakangnya. Ia sudah berharap Ama akan memberikan jawaban atas permintaannya tadi.

“Postingan Titha di Path. Maaf. Temen gue emang suka semena-mena,”

Fero sedikit kecewa. “Oh itu. Gak masalah kok.”

“Beneran?” Ama menatap Fero. Wajahnya yang tampak tak enak hati itu membuat Fero ingin sekali memeluk Ama. Fero berdeham.

“Iya gak apa-apa,”

“Baiklah kalu gitu,” Ama mengangguk. “Kalau gitu gue masuk lagi ya.”

“Ama,” panggil Fero.

“Ya?” Ama berbalik.

“Are you happy today? Overall, I mean. Are you happy?”

Ama terdiam. “Ya. Thanks to you Titha and Galih. I'm happy,”

Ama tersenyum. Fero juga.

“Glad to hear that,” kata Fero.

Mereka berdua berpandangan, saling tersenyum, lalu masuk ke kamar masing-masing.

***

Perjalanan dari hotel ke bandara bisa dibilang cukup damai. Hanya tertunda sedikit ketika Titha cukup rempong mengurus bagasi. Karenanya Ama dan Fero memilih untuk masuk lebih dulu dan melihat-lihat Duty Free.

Fero memutuskan membeli oleh-oleh coklat untuk keluarganya karena minggu depan ia akan pulang ke Padang. Sambil menemani Fero, Ama mengungah sebuah foto sebagai penutup perjalanannya kali ini.

“Udah nih. Yuk,” Fero menghampiri Ama. Cepat-cepat Ama memasukkan ponsel ke saku. “Titha sama Galih mana?”

“Tuh lagi dorong troli,” Ama menunjuk kedua sejoli itu dengan dagunya. “Sambil jalan aja yuk.”  

Ama dan Fero berjalan pelan menuju gate E. “Fer, cek HP kamu dong.”

Fero menoleh. Kamu? Biasanya lo. Tak banyak bicara, Fero merogoh smartphone dari saku celananya. Sudah terpampang notifications “Samahita Purwadijaya tagged you in a photo.”

Fero memandang sekilas ke arah Ama. Namun Ama memandang ke depan. Lagi-lagi terlihat agak salah tingkah.

Dibukanya aplikasi Path untuk melihat foto apa yang diunggah Ama. Rupanya foto Ama dan Fero tadi malam saat makan malam. Mereka duduk bersebelahan dan sedang mengobrol. Fero berkata sesuatu dan Ama tertawa. Sepertinya momen ini ditangkap oleh Titha atau Galih. Captionnya yang membuat Fero tak menyangka

“Titha said that we looks so good together. But actually I think we feel so good, so right, together. Dont you think so? PS: my boyfriend is telling me the jokes that I cant resist laughing so hard.”

Fero masih diam. Sementara Ama sudah makin salah tingkah. Khawatir ternyata Fero hanya bercanda saat menembaknya kemarin malam. Jika ternyata benar begitu, Ama akan sangat malu dan menyesali permintaannya kepada Titha untuk mengirimkan foto itu.

“Kok diem aja?” Akhirnya Ama memberanikan diri untuk berkata.

Fero menoleh kepada Ama. Menyimpan kembali smartphone di sakunya.

“Aku selucu itu ya sampai kamu ketawanya lebar banget?”

“Haaah,” Ama kaget. Tak mengira bahwa respon Fero malah ‘ini’. “Apa kek responnya.”

Fero tertawa, cepat-cepat dirangkulnya Ama dan diciumnya puncak kepala gadis yang baru jadi kekasihnya.

“Thank you. Promise I’ll be the best,”

***

Fero mengantar Ama ke kantor begitu mereka mendarat di Indonesia. Karena katanya dia masih punya banyak hal yang harus dikerjakan. Berbeda dengan ketiga lainnya yang mengambil cuti hari ini.

“Yakin mau masuk kerja?” Fero bertanya sekali lagi. Mobil sedang menyusuri jalan tol.

“Iya. Aku punya meeting jam 2 siang. Kalau dokumennya gak disiapin dari sekarang, takut gak keburu,”

“Abis itu pulang aja. Memangnya kamu gak capek ya?” tanya Fero.

“Gak kok. Segar bugar begini,” Ama mengangkat tangan kanannya. Berpose ala binaragawati. Hal ini membuat Fero tertawa.

“Iya paham. Pulangnya aku anter boleh?”

Ama diam sejenak, menimbang-nimbang. Memperhatikan pacar barunya ini yang pasti jadi idaman banyak orang.

“Boleh. Kabari aja kalau udah sampai di kantor ya,” kata Ama akhirnya. Fero mengangguk senang.

***

“Yang, telepon tuh,” ujar Galih saat dia sedang mengantar Titha pulang ke apartemennya.

“Males ah, ngantuk,” Titha berguling ke sebelah kiri. Titha memang suka begitu, membiarkan Galih menyetir sementara dia tidur.

“Dia udah nelepon berapa kali aku gak tahu. Angkat dulu aja siapa tahu penting,”

Titha akhirnya membuka mata, mengambil smartphone yang disimpan di pintu mobil. Betapa kagetnya Titha ketika yang menelepon adalah Esa.

“Ngapain Esa nelepon?” celetuk Titha. Galih ikut waspada. Dia sudah diceritakan perihal Esa dan Ama dari Titha. “Halo,”

“Titha?”

“Iya ini gue. Kenapa Sa?”

“Boleh ketemu Tha? Ada yang mau gue tanyain,”

“Soal apa ya Sa? Via WA aja bisa?”

“Gak bisa Tha. Harus ketemu langsung,” Esa bersikeras. Titha memandang Galih, Galih sendiri kebingungan.

“Tentang apa sih emangnya?” Titha sebenarnya masih malas bertemu Esa. Apalagi setelah Esa dan Ama putus.

“Ama. Tentang Ama,” kata-kata Esa membuat Titha terjaga 100%. Tidak ada lagi ragu-ragu.

“Ya udah, kapan?”

***

Pukul 5 di Tanamera Coffe Thamrin. Begitu ujar Esa.

Titha sudah berada disini sejak pukul 4. Ditemani Galih tentunya. Tadi Titha pulang untuk menyimpan barang, istirahat sebentar, lalu kembali berangkat. Galih sama sekali tidak pulang dan memejamkan mata sebentar di sofa rumah Titha. Titha memaksa Galih untuk ikut karena ia khawatir dirinya lepas kendali. Terhadap apapun yang akan diucapkan oleh Esa nanti.

“Mana sih si Esa?” Titha sudah tidak sabar.

“Masih di kantor kali Yang,” kata Galih kalem. Menghirup cafe latte sambil membaca berita di iPad.

“Titha,” sapa seseorang. “Galih.”

Titha mendongak. Akhirnya Esa tiba. Masih mengejakan pakaian kantor.

“Duduk, Sa,” Galih mendorong sebuah kursi agar Esa bisa duduk.

“Thanks, Gal,” Esa pun duduk di hadapan Galih dan Titha.

“Jadi apa, soal apa terkait Ama yang bikin lo ngajak gue ketemuan sama lo?”

Esa memandang kedua orang di hadapannya. Bahkan menghadapi jajaran rektor saja masih lebih baik dari menghadapi Titha yang memandangnya seperti dirinya penjahat kelamin.

“Apa Ama beneran pacaran sama Fero?” adalah kalimat pertama Esa.

“Iya,” jawab Titha ketus.

“Sejak kapan?”

Titha terdiam. Pekan kemarin Fero bilang pada Esa bahwa mereka sudah pacaran. PAdahal kenyataannya kedua orang itu baru resmi berpacaran tadi pagi.

“Setelah Ama putus dari lo sih yang jelas. Ama kan setia,” Titha memilih jawaban aman. Bahkan bisa membuat Esa jadi terlihat lebih bersalah.

“Apa Ama bahagia?”

Titha berjengit. Meski sudah lama kenal Esa, kali ini Titha benar-benar merasa jengkel. “Bahagia lah. Lo gak liat foto mereka berdua? Nih ya gue kasih liat,” Titha membuka galeri fotonya, memperlihatkan foto Ama sedang tertawa bersama Fero. Melihat itu, Esa tersenyum sedih.

“Kenapa Sa? Ada yang belum lo ceritain ya?” tanya Galih pelan.

Esa ganti memandang Galih, lalu menunduk. “Mungkin gue memang laki-laki paling bodoh ya di dunia ini.”

“Iyalah lo sampe putusin Ama gara-gara…” Titha menyela namun Galih menyentuh tangannya, memintanya berhenti. Titha diam.

“Laudya bukan hamil anak gue, Tha,” Esa mengangkat kepalanya. Berkata dengan tegas kepada Titha dan Galih.

“Apa?”

“Laudya, dia....’kecelakaan’. Pacarnya gak mau tanggung jawab. Karena orang tuanya termasuk kenalan orang tua gue, mereka minta bantuan. Gimana caranya supaya mereka gak nanggung malu. Gue kenal orang tua Laudya, gue tahu betapa baiknya mereka dan betapa susahnya hidup mereka. Kalau ada musibah lagi, entah seperti apa hidup mereka.”

“Lo gila ya…” Titha berdesis.

“Jadi gue memutuskan gue yang tanggung jawab. Gue yang akan menikahi Laudya. Padahal kenyataannya gue gak pernah menyentuh Laudya sedikit pun,”

“Terus maksud lo sekarang apa? Mau minta Ama balik lagi sama lo?” Titha berkata ketus.

Esa mengangguk. “Gue selalu sayang Ama, Tha. Lo juga tahu itu,”

“Terus si Laudya mau lo kemanain?”

“Gue akan cari pacrnya supaya dia bisa tanggung jawab,”

“Sambil lo usahain, itu perut si Laudya udah makin gede kali,”

“Gue akan berusaha agar semuanya tetap bisa berjalan dengan baik,”

“Halah. Kalimat politikus banget sih lo. Toh kalau si cowo itu gak balik ke Laudya, lo yang akan tetap tanggung jawab kan? Lalu lo akan meninggalkan Ama untuk yang kedua kalinya. Menurut lo gue akan mengijinkan hal itu? OVER MY DEAD BODY, GASENDRA!”

Setelah berkata itu, Titha berlari keluar. Malas lama-lama bersama Esa.

“Sorry ya, Sa. Gue ngerti maksud lo. Nanti gue coba bantu diskusikan,” ujar Galih, menepuk pundak Esa.

“Iya. Thank you, Gal,”

“Pamit duluan gue,”

Esa mengangguk. Galih buru-buru turun mengejar Titha.

“Yang,” panggil Galih, mengejar Titha yang setengah berlari menuju mobil.

“Gila emang ya si Esa itu. Brengsek!” umpat Titha.

“Yang..” tegur Galih.

“Ini pasti gara-gara si esa liat Ama udah jadian sama Fero. Dulu dia kemana? Kemana dia waktu Ama lagi sedih-sedihnya? Kenapa gak dia cari pacarnya si Laudya dari dulu? Dari waktu perutnya belum terlalu keliatan? Kan ketemunya bisa lebih cepet! Alah ini pasti akal-akalan si Esa doang biar bisa dapet Ama dan juga Laudya. Emangnya cewe tuh bego? Emangnya Ama bego? Gila emang! Gila!”

“Yang, pahami dari sisi Esanya juga,” Galih masih menanggapi dengan sabar.

“Apa yang harus dipahami? Kamu juga bakal kayak gitu ya? Cuma karena ada yang mau ditolong, tinggalin yang lain. Sakiti yang lain. Lupa sama semua janji yang udah dibuat. Iya? Hah?”

“Gak gitu…” Galih bingung bagaimana menjelaskannya.

“Aku mau pulang. Ama gak boleh tahu soal ini. Ingat itu!”

Titha masuk ke mobil, Galih menghela nafas.

***

“Kamu udah makan belum?” tanya Ama, memindahkan rambut yang menutupi kening Fero.

“Belum,” Fero mengangkat wajahnya dari laptop. Saat ini mereka sedang di kantor Fero. Ama menyusul kesini setelah pulang kerja.

“Makan yuk,”

“Mau sih tapi abis ini aku mau langsung balik. Belum packing buat besok,”

“Masih banyak gak kerjaannya? Kalau banyak, aku beliin aja, nanti sambil kerja aku suapin,” Ama berkata dengan nada biasa tapi mendengarnya membuat Fero senang sekali.

“MAsih sih,”

“Aku cari OB dulu ya,” Ama pun bangkit berdiri untuk memesan makanan bagi Fero. Setelah itu ia menunggu di samping Fero yang masih bekerja. 15 menit kemudian nasi goreng datang.

“Nih aaa,” Ama mengulurkan sendok ke mulut Fero. Fero menanggapi dengan senang.

Ama sendiri belum tahu apakah ia benar-benar sudah menyukai Fero. Yang Ama tahu, tak mudah melupakan Esa. Hari-hari bersama mereka sejak 5 tahun lalu. Ama hanya berusaha yang terbaik. Fero melakukan yang terbaik, sudah seharusnya Ama juga.

“Flight jam berapa besok?”

“Jam 7,” kata Fero sambil menyimpan laptop ke jok belakang mobil. “Kamu mau nganter?”

“Hmm, berarti aku harus bangun jam 5 di hari Sabtu ya?”

Fero tertawa. “Nanti aku jemput ke tempat kamu dulu kalau mau.”

“Gak muter?”

“Gak. Gampang lah,”

“Kalau kamu gak keberatan sih gak apa-apa,” Ama nyengir.

“Sama sekali gak keberatan dong. Biar kayak Cinta sama Rangga gitu,”

“Asal jangan 14 tahun kemudian baru pulang aja,” celetuk Ama.

“Gak lah. Seperempat purnama aja gak sanggup. Yuk,”

***

“Pulangnya mau kujemput jam berapa?” tanya Ama sebelum Fero masuk untuk check in. Mereka sudah di bandara.

“Malem sih aku pulang. Takut ngerepotin kamu,”

“Ya udah mobil kamu ditinggal disini aja ya,”

“Bawa aja. Nanti kamu pulangnya gimana? Mending ntar aja aku pake taksi, jadi bisa tidur di jalan,”

“Tidur di jalan nanti kelindes lho,” kata Ama, berusaha bercanda.

“Apa sih, Ama,” Fero mencubit hidung kekasihnya dengan mesra. Ama megap-megap kehabisan nafas karena ia juga sambil tertawa.

Saat Ama masih tertawa, Fero mengambil kesempatan untuk mengecup bibir Ama. “Sampai ketemu lagi ya,”

Wajah Ama bersemu merah. Ditangkupkannya kedua tangan di pipi. Ia mengangguk tanpa berkomentar apa-apa. Fero tersenyum lebar, mulai mengantri. Ama menghampiri dari luar.

“Kabari aku kalau sudah sampai di Padang ya. Titip salam untuk mama dan papa,”

“Siap,”

Ama memperhatikan Fero sampai ia tak terlihat lagi. Perutnya sedikit bergolak. Apa karena kupu-kupunya mulai terbang?

***

“Morning, Ama,”

Ama mengerjapkan matanya. Masih berusaha mengumpulkan nyawa untuk menyadari siapa yang meneleponnya sepagi ini. Jam berapa sih?

Masih jam 5.

“Subuh,” Ama menggumam.

“Ayo bangun,”

Dua detik Ama masih mencerna telepon ini.

“Fero,” pekik Ama. “Udah nyampe Jakarta lagi?”

Di sana Fero tersenyum. Senang akhirnya Ama sadar siapa yang menelepon.

“Suara kamu waktu bangun itu seksi ya,”

“Hmm,” Ama ngulet, lalu berpaling ke sebelah kanan, masih meringkuk di balik selimut. “Kayak Dewi Persik gitu?”

Fero tertawa. “Semacam. Aku mau telepon kamu setiap pagi deh kalau gitu.”

“Gak mau. Aku mau bobo. Eh kamu udah sampai Jakarta lagi kah?”

“Udah. Tadi malam. Makasih ya udah anter. Mobil juga aman di garasi,”

“Iya, tugasku kan menyampaikan mobil aman sampai kost kamu,”

Fero lagi-lagi tertawa.

“Aku kangen dan pengen cerita banyak dan punya oleh-oleh buat kamu,”

“Apa?”

“Apanya apa?”

Ama mengikik. “Oleh-olehnya apa? Kalau gak enak aku gak mau,”

“Oleh-olehnya tas. Jelas gak enak kalau kamu makan.”

Ama dan Fero dua-duanya tertawa. “Jadi gimana?”

“Sushi Tei jam 7 ya Fer,”

“Oke. Aku jemput?”

“Gak usah. Ketemu disana aja,”

“Oke. Have a nice day, Sayang,”

Ama tertegun, Fero sudah mulai memanggilnya dengan mesra. Ama tersenyum sedikit. “Have a nice day, Fero.”

***

“Terus ceritanya apa?” todong Ama pada Fero yang sedang asyik mengunyah sashimi.

“Ya gitu,”

“Ih ya gitu apa?”

“Kamu bukannya lapar? Nih makan dulu sushinya,” Fero mencapit Dragon Roll lalu menyuapkan ke mulut Ama. Ama melahap dan mengunyah dengan cepat. “Mama papa pengen ketemu kamu.”

Ehek!

Ama keselek.

“Tuh kan makanya aku tunda cerita,” Fero tertawa geli. Diangsurkannya gelas Ocha ke hadapan Ama.

“Kok kok bisa tau aku?” tanya Ama setelah tenggorokannya aman kembali.

“Aku cerita. Sekarang aku punya pacar dan gak main-main. Ya udah, mama papa pengen ketemu.”

“Ya ampun, tapi aku…”

“Aku pulang masih bulan depan. Kamu bisa pikirkan baik-baik sampai saat itu,” Fero tersenyum.

Ama mengangguk. Kembali meminum ocha banyak-banyak.

“Oh iya. Sabtu ini aku diundang ke nikahan Helena, malam. Temen sesama Mapres. Kamu bisa ikut?”

“Dimana?”

“Balai Kartini,”

“Boleh. Kamu mau aku pakai gaun atau kebaya?”

Fero diam sejenak. Keduanya pasti membuat Ama terlihat cantik.

“Gaun mungkin ya. Nanti aku pake jas,”

“Okey,”

Fero tak sabar menunggu hari Sabtu.

***

“Gue akan ketemu Ama, Tha.”

Begitu isi pesan singkat yang dikirim Esa ke Titha.

Titha panik. Ia tidak mau Ama disakiti kedua kalinya.

***

“Anak mama cantik banget,” ujar Ibu Tutie saat Ama sedang menunggu jemputan Fero.

“Turunan ibunya,” kata Ama tersenyum.

“Kalau tanjakan, ga cantik lagi?” Ayah Ama, Pak Izhar nimbrung.

“Apa sih Ayah garing banget,” Ama manyun.

“Mana yang mau jemput?” tanya Bu Tutie. Orang tua Ama sudah tahu bahwa Ama punya pacar bernama Fero.

“Katanya masih di jalan. Setengah jam lalu. Sambil nyetir Ma jadi gak bisa leluasa,”

Bu Tutie mengangguk.

“Pulang jam berapa Nak?” Ganti Pak Izhar yang bertanya.

“Jam 10 munhkin ya Yah. Paling telat Ama usahakan jam 11,”

“Oke,”

Tingtiringting!

“Halo?”

Ama mengangkat telepon.

“Rumah pagar putih kan Yang?”

“Iya, ada nomor 25. Kamu udah nyampe?”

“Udah,”

“Masuk dulu ya. Mobilnya parkir di depan aja gak apa-apa,”

“Udah dateng ya?” Tanya Bu Tutie.

“Udah Ma. Lagi parkir kayaknya,”

Semenit kemudian pintu diketuk. Ama bergegas membuka pintu ditemani kedua orang tuanya.

Saat melihat Fero di hadapannya, Ama terpana. Ia mengenakan jas kancing 2 dengan dasi panjang dan kemeja biru tua. Sementara Fero juga terpana melihat Ama mengenakan gaun biru muda dengan kerah sabrina. Gaun itu membuat Ama lebih tinggi, seperti model.


Keduanya saling menelan ludah.

“Selamat datang,” sapa Bu Tutie. Ama dan Fero memalingkan wajah ke Bu Tutie.

“Malam Bu,” Fero melangkah masuk. Menyalami kedua orang tua Ama.

“Fero, ini mama aku, Bu Tutie. Ini Ayah aku, Pak Izhar,”

“Alfero, Pak, Bu,” sapa Fero dengan sopan.

“Mau masuk dulu?” Bu Tutie menunjuk ke dalam.

“Gak usah Ma, takut telat karena macet di jalan,”

“Oh ya udah,”

“Hati-hari nyetirnya ya Nak Fero,” ujar Pak Izhar.

“Iya siap Pak. Nanti saya pulangkan Ama dengan kondisi tak kurang suatu apapun,”

Mereka berdua berpamitan kepada kedua orang tua Ama. Ketika Fero dan Ama berjalan menuju mobil, Pak Izhar dan Bu Tutie bergumam.

“Semoga sama yang ini aman ya Yah,”

“Iya Bu,”

***

“Kamu kenapa ngeliatin aku terus sih?” Ama melirik Fero untuk kesekian kalinya. Mereka sudah sampai di Balai Kartini dan sedang bergandengan masuk.

“Karena kamu cantik banget. Aku suka,”

“Yeeee,” Ama mendengus tapi mau tak mau Ama tersenyum. “Kamu juga ganteng.”

“Kamu bilang apa?” tanya Fero, ia seperti mendengar Ama bicara tapi tak jelas.

“Ini, tamunya gak banyak ya,”

Mereka berjalan lagi. Menyapa beberapa teman yang sudah lama tak bertemu. Beberapa memuji mereka yang begitu serasi. Beberapa mendoakan agar segera menyusul ke pelaminan.

“Waaah, Fero!” seru Helena saat Fero dan Ama bersalaman. “Sama Ama sekarang?”

Ama tak begitu kenal Helena tapi mereka tahu sama tahu.

“Iya,” Fero tersenyum. “Selamat ya Helena,”

“Selamat Helena,” timpal Ama.

“Moga kalian cepet nyusul ya. Cocok banget kalian,”

Ama dan Fero hanya tersenyum. Setelah bersalaman dengan orang tua, kembali menuruni pelaminan dan bergandengan. Beberapa pasang mata menatap mereka.

“Kak Ama?”

Ama berbalik melihat siapa yang memanggilnya.

“Laudya,” ujar Ama. Sikapnya langsung kaku. Khawatir ada Esa tiba-tiba muncul.

“Aku datang sama temen-temen,” Laudya seakan dapat membaca pikiran Ama.

“Oh,” cuma itu yang bisa Ama lakukan.

“Halo, Laudya,” Fero mengambil alih pembicaraan. “Keberatan kah kalau kami keliling dulu? Katanya tadi Ama laper banget sampai mau makan waffel 5 porsi.”

Ama melotot pada Fero.

“Oke,” Laudya mengangguk. Cepat-cepat Fero menarik Ama ke stall terdekat.

“Kamu emang penyelamat ya. Tapi gak usah bilang 5 wafel segala. Kesannya aku maruk banget.”

“Bukannya emang mau wafel?”

“Tapi gak 5!”

Fero tertawa. Setidaknya Ama masih bisa bercanda.

Namun perkiraan Fero sedikit meleset. Meski tadi Ama bisa bercanda, nyatanya sekarang Ama diam saja. Ama memikirkan Laudya. Perutnya sudah semakin membuncit.

“Bengong aja,” Fero mengoleskan es krim ke pipi Ama.

“Ya ampun Ferooo. Dingiiin,” Ama berseru.Tangannya gelagapan mencari tissue. Fero malah puas tertawa.

“Sini aku bersiin,” Fero menarik Ama mendekat. Alih-alih membersihkan dengan tissue, Fero mencium pipi Ama. Lama. Sampai es krimnya hilang. Ama cuma bisa tertegun. “Done.”

“Ma-makasih,”

“Bedak rasanya pait ya,” celetuk Fero. Membuat Ama tertawa dan mencubit pipi Fero. “Ayo kita keliling lagi. Sekalian food testing.”

Ama tersenyum saja menanggapi perlakuan Fero. Mengajak Ama dari satu food stall ke stall lainnya. Sampai mengajak Ama menyumbang suara.

“Kalau kamu nyanyi, kita break seminggu!” ancam Ama.

“Lho kok gitu?” Fero merengut.

“Aku pernah liat video kamu nyanyi waktu malam penganugerahan Mapres. Sama waktu di Singapore. Jelek banget!” Ama berkata berapi-api. Fero lagi-lagi tertawa.

“Iya aku tahu suara aku jelek. Kita foto aja deh ya. Itu temen-temen mapres pada manggil,”

“Nah kalau itu aku setuju,”

Fero kembali menarik tangan Ama ke kerumunan orang yang siap naik ke pelaminan untuk sesi foto bersama. Untungnya Ama kenal beberapa orang sehingga mereka bisa mengobrol.

“Dingin gak Sayang?” tanya Fero begitu mereka sudah keluar.

“Nggak kok,” Ama mengangkat bahu.

“Tapi biar kamu gak masuk angin dan kayak di film-film…” Fero memutar ke belakang Ama, memeluk Ama dari belakang lalu mencium pundak Ama, lama.

Untunglah saat ini sekitar mereka gelap.

Sudah dua kali Fero menciumnya malam ini. Dan setiap kali pula Ama merasa tubuhnya seperti disengat listrik.

“Fer…” Panggil Ama.

“Yeah, nih biar aku terkesan heroik,” kali ini Fero benar-benar menyampirkan jas di pundak Ama. Membuat Ama tersenyum.

***

“Ma,”

“Apa Tha?” sahut Ama tanpa melirik Titha, malah masih tetap asyik melihat-lihat sepatu.

“Damai aja kan hidup lo akhir-akhir ini?”

Ama menoleh ke arah Titha. Sahabatnya itu terlihat cemas sekaligus was-was. “Iya gue baik-baik aja kok. Lo kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

“Gak apa-apa. Gue mau memastikan aja. Fero gimana?”

“Fero sehat,”

“Ye maksud gue bukan itu,” Titha memutar bola mata. Ama tertawa, mengambil sepasang sepatu berwarna biru dan mencobanya.

“Apa dong?”

“Bahagia lo sama dia?”

“Hmm,” Ama tidak langsung menjawab pertanyaan Titha. Melainkan melihat apakah sepatu yang dia pilih cocok di kakinya.  “Fero baik.”

“Ya itu mah gue juga udah tahu. Udah berapa lama lo jadian sama dia? 3 minggu ya?”

Ama mengangguk. “Gue ambil ini aja ah. Ukuran 8,” kata Ama dan langsung berbalik menuju Kasir.

“Ama ih. Ditanya serius juga,”

“Gue harus jawab apa, Pratitha? Fero baik, tampan, sehat,”

“Lo gimana ke dia?”

“Gue nyaman bersama dia. Seneng. Cukup?”

“Udah gak mikirin Esa lagi kan?” Titha sebenarnya tidak ingin menyebut nama itu. Tapi karena Titha bingung bagaimana membahasnya, akhirnya terpaksa pertanyaan itu yang diucapkan.

Ama diam. Wajah dan tubuhnya terasa kaku.

“Esa… nggak. Gue fokus kerjaan sama Fero aja,” jawab Ama dan bergegas meninggalkan Titha. Meski menjawab begitu, Titha tahu bahwa Ama sebenarnya masih memikirkan Esa.

“Mau makan dimana kita?” tanya Titha begitu mereka keluar dari Payless. Ama menenteng satu kantung. Titha? Jangan sedih, dua!

“Bentar ya gue tanya Fero dulu. Dia mau nyusul kesini,” Ama mengeluarkan ponsel lalu menghubungi Fero.

“Cihuy. Udah makin lengket nih berdua,” Titha menyenggol Ama dan dibalas senyuman singkat.

“Kamu dimana Yang?” tanya Ama begitu Fero menyebut halo. Di sebelahnya, Titha membelalak. Wow Ama sudah semesra itu dengan Fero. Titha tidak menyangka. Tapi ia juga sekaligus senang.

“Baru keluar mobil. Kamu sama Titha dimana?”

“Masih di depan Payless. Kamu mau makan apa?”

“Apa aja boleh. Lagi gak lapar banget,”

“Aku mau Fish & Co, boleh?”

“Ya udah. Aku langsung kesana aja ya,”

“Sip. Dah,”

Ama menutup sambungan telepon lalu memandang Titha. “Yuk turun,”
“Sejak kapan udah ayang-ayangan begitu?” Titha mendelik-delik iseng.

“Kapan ya? Sepulang dari kondangannya Helena kalau gak salah,”

“Asyiiik. Seneng gue dengernya,” Titha melompat kegirangan.

“Katro ih Prat,”

Untuk kali ini Titha tidak marah dipanggil dengan sebutan aneh. Dia terlalu senang karena Ama sudah bisa move on. Titha dan Ama berjalan sambil mengobrol menuju Fish & Co. Disana rupanya Fero sudah menunggu. Mengenakan kemeja dan celana coklat.

“Bebeb lo ganteng juga, Ama,”

“Yeah, but sorry he’s taken,” Ama mengangkat bahu. Titha tertawa puas. “Halo,”

“Hei,” sapa Fero, tersenyum hangat pada Ama. “Hei Tha,”

“Hoi Fer,” Titha menyapa dengan senang juga. Ketika itu dirasakannya smartphone Titha berbunyi.

Gue akan menghubungi Ama hari ini. Tolong bantu gue, Tha.

Pesan dari Esa membuat Titha panik seketika. Tadi dia bertanya pada Ama dan rupanya Esa belum menghubungi Ama sama sekali. Kalau kali ini kata-kata Esa benar, berarti sekali lagi Esa akan datang lagi ke hidup Ama. Sementara Ama dan Fero sudah begitu mesra dan nyaman bagi satu sama lain.

“Ehem,” Titha berdeham, berusaha menenangkan hatinya. Namun Fero dan Ama menoleh.

“Kenapa lo?” tanya Ama.

Titha nyengir, menggeleng. Bergegas dia menghampiri kedua temannya.

“Gak apa-apa. Gue lapar,”

Bagi Titha saat itu, Singapore Fish n Chips-nya tidak terasa enak sama sekali. Ia suka makan disini tapi untuk kali ini, karena Titha merasa was-was, makanannya jadi tidak enak sama sekali.

“Lo kenapa sih Tha? Tiba-tiba bingung gitu gue liat,” tanya Ama, mengernyit. Fero ikut memandangi.

“Masa? Gue biasa aja kok. I’m fine. Ini enak ya,” lalu Titha memeasukkan makanan ke mulut. Mengunyah 3x lebih semangat. “Hmm, lezat!”

Ama dan Fero berpandangan, tertawa. “Baru denger gue ada orang ngomong lezat selain di TV.”

Titha nyengir. Sepanjang acara makan, Titha memperhatikan kapan Ama mengeluarkan ponsel, menerima pesan dari Esa. Jika saat itu datang, Ama akan langsung menyambar Ama dan memperingatkan agar jangan menemui Esa. Syukur-syukur kalau Esa tidak jadi menghubungi Ama. Titha akan mengkonfrontir Esa dulu sebelum dia bisa bertindak macam-macam.

Titha memperhatikan dua sejoli di hadapannya. Merasa senang sekali lagi. Dua bulan lalu Ama lebih sering murung. Menyalakan lagu-lagu sedih dan galau. Sekarang Ama banyak tertawa karena Fero banyak menceritakan kisah lucu. Ama juga terlihat nyaman mengobrol dengan Fero. Belum lagi sikap Ama yang begitu mesra kepada Fero. Seperti sekarang ini.

Ama menyuapkan potongan kentang pada Fero saat mereka mengobrol. Karena Fero sedang asyik bercerita pada Ama dan Titha. Atau Ama yang mengambilkan tisu dan mengelap bekas saos di ujung bibir Fero. sebaliknya, Fero juga sedikit-sedikit membelai rambut Ama, mencubit hidung Ama ketika Ama mengeluarkan jokes garing.

Oh Tuhan. Biarkan saja mereka seperti ini.

“Gue sama Fero mau nonton. Lo mau ikut Tha?” tanya Ama ketika mereka selesai makan.

“Gak deh. Gue mau pulang. Siap-siap ke kondangan anak kantor ntar malem.”

“Dijemput Galih?”

“Sekarang nggak, nanti malem iya,”

“Oke,” Ama mengangguk.

“Balik duluan ya tsay. Enjoy your time,” Titha menyalami Ama, mencium pipi kiri dan kanan. “Duluan ya Fer. Jagain Ama.”

“Iya siap, Tha. Ati-ati,”

Begitu Ama dan Fero berbalik menuju bioskop, Titha langsung menghubungi Esa.

“Titha,” sapa Esa.

“Awas lo ya! Jangan berani-berani menghubungi Ama. Kalau gue tahu lo sampai menghubuungi Ama, kita putus pertemanan. Itu satu. Dua, hidup lo gak akan aman, Sa!”

“Lo segitu marahnya sama gue?” tanya Esa. Sedih karena dulu Titha begitu dekat dengan dirinya dan Ama. Mereka akrab sekali.

“Iyalah Sa. Lo sendiri yang bikin kayak gini. Lo yang meninggalkan Ama karena menghamili perempuan lain. Lalu lo tiba-tiba bilang itu bukan anak lo. Lo gak tau ya betapa sakitnya Ama waktu lo putusin dia dengan alasan itu? Setidaknya lo pikirkan alasan lain kalau mau putusin cewek,”

“Saat itu gue juga lagi pusing, Tha,”

“Lo tuh aktivis ya Sa. Pernah ngadepin kondisi lebih parah dari ini, gue yakin. Tapi keputusan lo itu yang bikin gue gak abis pikir. Dan ini Ama yang lo bicarakan. Gue tahu dia tangguh, tapi sekalinya dia dihancurkan sama orang yang dia sayang, dia bener-bener sedih, Esa. Maka dari itu gue gak mau lo menghubungi Ama lagi,”

“Ama perlu tahu, Tha,”

“Terus setelah Ama tahu, apa? Lo mau Ama kembali ke lo? Meninggalkan Fero? Nambah lagi orang yang sakit hati karena lo,”

Esa terdiam sejenak.

“Ini gue bilang sebagai temen, Sa. Please, jauhi Ama. Kalian berdua sudah bahagia dengan hidup masing-masing,”

“Apa benar Ama bahagia, Tha?”

Titha memejamkan mata. Kilasan ekspresi Ama, jawaban Ama, sikap Ama. Ia terlihat biasa saja, bahagia, tapi Titha tahu…

“Iya Ama bahagia. Apalagi sama Fero,”

“Ya sudah,” Esa menghela nafas.

“Ingat kata-kata gue ya Sa,”

“Ya Tha,”

Titha memutuskan telepon.

***

“Masuk dulu kan, Yang?” tanya Ama setelah turun dari mobil. Fero mengantarkannya pulang sampai ke depan rumah.

“Iya tapi gak lama gak apa-apa ya? AKu besok ada main futsal sama temen kantor pagi banget,”

“Iya. Nyapa Mama sama Ayah dulu aja,”

“Yuk,” Fero meraih tangan Ama, menautkan jarinya seiring langkah mereka memasuki rumah Ama.

Rumah keluarga Purwadijaya terasa lebih hangat sekarang. Karena kakak Ama dan anak-anaknya sedang berkunjung ke rumah. Fero dikenalkan kepada kakak perempuan Ama dan kakak ipar Ama, juga keponakan Ama yang berusia 7 dan 3 tahun.

“Om Fero-nya harus cepet pulang Celine, Zidan,” sapa Ama ketika keponakannya masih asyik bermain dengan Fero padahal sudah pukul 9 malam.

“Yaaah. Dadan masih mau main robot,” kata Zidan, mengangkat robot Optimus Prime.

“Nanti Om main lagi kesini ya,”

“Janji ya Om!” Zidan berdiri, mengulurkan kelingkingnya.

“Main sama Celine juga ya Om!” Celine ikut mengulurkan kelingking.

“Iya, siap!” Fero memberi hormat lalu menautkan kelingkingnya ke kedua anak itu. Setelah itu dia memeluk Celine dan Zidan lalu pamit pada kakak-kakak Ama dan orang tua Ama.

“Keponakan kamu pinter ya,” ujar Fero begitu mereka sudah di luar.

“Masa?” Ama mengaitkan tangannya ke tangan Fero, menempelkan tubuhnya ke Fero.

“Yeah. Sebelas dua belas lah sama kamu,” kata Fero lagi. Mereka berjalan menuju mobil.

“Kakak aku itu. Dia emang pinter. Sering ranking di kelas,”

“Anak kita nanti pinter juga gak ya?” Fero menghentikan langkahnya. Mereka sudah sampai di mobil Fero.

“Hmm,” Ama bergumam, pura-pura berpikir. Fero tersenyum, memegang kedua tangan Ama yang sekarang berdiri di depannya.

“Pinter lah ya, punya orang tua Mapres dan wakil ketua Senat,” kata Fero, dia lalu membungkuk dan mencium bibir Ama. Tak peduli apakah ada yang memperhatikan mereka atau tidak. Ama memejamkan mata, membalas ciuman Fero.

“Udah gih pulang ya, besok bangun pagi,” Ama mengacak rambut Fero.

“Yes, sampai ketemu lagi,”

Ama menunggu sampai Fero benar-benar pergi. Setelah itu ia kembali ke rumah, masih mengingat adegannya dengan Fero barusan.

“Ya ampun,” Ama menyentuh kedua pipinya. Terasa panas.

“Ih Tante Ama cium-cium sama Om Feroooo,” teriak Celine begitu Ama masuk ke rumah.

“Heh!” Ama kaget. Ternyata keponakannya mengintip.

“Mamiiii, Tante Ama dicium Om Feroooo,” teriak Celine lagi hingga suaranya terdengar di seisi rumah. Ia berlari menghampiri orang tuanya di ruang TV. Dimana disitu juga ada orang tua Ama.

“Celinee, kamu salah liat kaliii,” Ama benar-benar malu. Apalagi kakaknya memandangnya dengan kaget. Seakan-akan berkata, ‘berani-beraninya ngasih adegan 17+ di depan anak gue’. “Udah ah.”

Ama buru-buru berlari kembali ke kamarnya. Saat itu terdengar bunyi ringtone ponselnya.

“Halo,” Ama mengangkat tanpa mengetahui siapa yang menelepon.

“Ama,”

Jantung Ama seperti terdesak. Meski tidak tahu nomor tersebut, tapi Ama sangat kenal suara tersebut. Esa.

***

Kita harus ketemu, Ama. Ada yang harus kita bicarakan.

Kalimat itu terngiang terus di telinga Ama. Atau memang Ama yang berusaha terus mengingat-ingat apa yang diucapkan Esa via telepon malam itu.

Ama tidak menceritakan apapun pada siapapun. Dia menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri. Saat itu, saking paniknya Ama cuma mendengar sekilas yang diucapkan Esa dan langsung menutup telepon. Setelah itu Esa mengiriminya SMS, mengatakan bahwa Ama bisa menghubungi Esa kapanpun Ama siap untuk bertemu.

Ama tidak mau bertemu Esa lagi sebenarnya. Ia sudah cukup sakit hati diputuskan Esa begitu saja setelah melamar dirinya. Apalagi untuk alasan yang tidak bisa ditolerir.

Tapi….

Saat mereka putus, tak ada penjelasan apapun. Esa hanya mengatakan perihal kehamilan Laudya dan Ama langsung mengembalikan cincin tunangannya. Setelah itu Ama tak menghubungi Esa sekalipun. Begitu pula sebaliknya. Ama meghapus seluruh kenangan yang terkait dengan Esa. Maka ketika Esa bilang ada yang harus dibicarakan, Ama bingung. Ia ingin tahu apa yang dimaksud Esa.

“Kenapa sih Yang bengong aja?” tanya Fero, membelai rambut Ama yang duduk di sebelahnya.

“Hmm? Gak kok gak apa-apa,” Ama lanjut mengaduk fettucini menu makan malamnya.

“Tiketnya udah aku pesenin ya Yang,” Fero berkata lagi, memberitahukan perihal tiket mereka ke Padang minggu depan.

“Aku ke toilet dulu ya,” Ama berdiri, seperti tak mendengar kata-kata Fero.

Fero diam memperhatikan Amayang sikapnya aneh selama beberapa hari terakhir ini. Setelah mereka berpisah hari Sabtu itu, setiap mereka bertemu Ama lebih banyak diam. Bukannya Ama banyak bicara. Tidak. Dibanding Titha, Ama lebih kalem. Tapi kali ini, seperti ada yang dipikirkan Ama dan ia tidak menceritakannya pada Fero. Itu membuat Fero bingung sekaligus khawatir.

“Kamu sehat kan?” Fero menyentuh kening Ama begitu Ama kembali dari toilet.

Ama terperangah. Memegang tangan Fero di kening lalu menurunkannya. “Sehat kok. Kenapa kamu pikir aku sakit?”

“Kamu terlihat aneh beberapa hari ini, Sayang,” Fero menggenggam jemari Ama.

“Biasa aja kok,” Ama berusaha tersenyum. “Pulang yuk. Aku capek banget,”

Fero setuju. Mereka membayar makan lalu masuk ke mobil.

“Kalau ada yang mau kami bagi dan diskusikan, kangan ragu kasih tahu aku ya,” ujar Fero.

Ama menatap Fero lama. Mana mungkin aku ceritain soal Esa ke kamu, Fer? Kalaupun harus, apa aku bisa?

“Peluk dong,” Ama mengulurkan tangannya. Kata orang, pelukan bisa membuat kita jadi lebih tenang.

Fero kaget. Tak biasanya Ama ‘nyosor’ duluan begini. Ditariknya Ama ke pelukan Fero. Fero memeluk Ama seperti laki-laki yang ingin melindungi perempuan yang paling dia sayang. Untuk mengatakan bahwa semuanya aman. Semua baik-baik saja.

***

Senin sepulang aku dari kantor.

Akhirnya Ama memutuskan ia akan bertemu Esa. Menjelaskan apa yang perlu dijelaskan. Ama tahu ia harus memberi keputusan pada Fero apakah ia setuju dikenalkan ke orang tua Fero. Mereka berangkat Jumat ini. Maka dari itu Ama harus menyelesaikan urusannya sebelum itu.

Ama setuju bertemu hari Senin karena tahu Fero akan menjemputnya hari itu. Sehingga Ama bisa langsung bertemu penyelamatnya jika ada masalah yang mungkin muncul.

Ama melangkahkan kaki ke Starbucks yang ada di gedung kantornya. Tempat ia menunggu ketika dijemput Fero ataupun Esa dulu. Di situlah Esa duduk. Di tempat duduk pojok dekat jendela. Memutar pinselnya di tangan sembari memandangi orang-orang.

“Maaf lama,” adalah kalimat pertama Ama. Ia berdiri dengan canggung di hadapan Esa. Esa menyambutnya dengan sumringah, berdiri menyambut Ama.

“Hei, duduk? Atau mau pesen dulu?”

Ama menimbang sesaat. Ia putuskan untuk memesan dulu. Setidaknya jika ia bingung mau bersikap apa, ada minuman yang bisa ia nikmati.

Ama kembali 10 menit kemudian dengan Green Tea Latte Grande di tangan. Ama duduk dengan canggung di hadapan Esa.

“Aku gak pernah bisa nebak kamu beli apa disini. Selalu ganti-ganti,” kata Esa melihat minuman di tangan Ama. Ya, Ama tidak selalu memesan satu jenis minuman setiap kesini. Ia senang berekspeeimen.

Ama menanggapi Esa dengan semyuman singkat.

“Aku senang kamu mau ketemy aku. Maaf kalau kesannya akh memaksa. Aku butuh cerita sesuatu ke kamu,” Esa memulai.

Ponsel Ama yang diset Silent, menyala. Pesan dari Alfero Kamahara, mengatakan ua baru berangkat dari kantor untuk menjemput Ama.

“Kamu apa kabar, Ama?”

Ama menatap Esa lama. Memastikan apa maksud pertamyaan Esa ini. Ketika dilihatnya Esa hanya bertanta hal umum untuk basa basi, Ama menjawab.

“Baik,”

“Gimana kerjaan?”

“Lancar,”

“Ayah, Mama, Celine, Zidan, sehat?”

“Sehat,”

“Celine baru naik kelas 2 ya?”

“Iya,”

Menyadari jawaban Ama yang sangat sibgkat, Esa tersenyum.

“Kamu pasti benci sama aku setelah kita putus ya?”

Ama menggeleng. “Kecewa, ya.”

“Itu yang ingin aku bahas kali ini, Ama,”

Ama tertegun. Memegang Green Tea Latte nya lebih erat. Pesan dari Alfero Kamahara mengatakan ia sudah dekat.

“Aku tidak menghamili Laudya,”

Kalimat Esa ini membuat Ama terkejut. 100% perhatiannya menuju Esa.

“Laudya, dia, punya pacar. Klien di kantornya. Mereka pacaran selama sekitar 6 bulan. Pada bulan ketujuh, Laudya baru tahu bahwa dia hamil. Sudah 5 minggu. Dia memberitahu pacarnya dan minta bertanggung jawab. Pacarnya bilang dia akan bertanggung jawab dan kegemu orang tua Laudya.”

Ama masih bingung.

“Kenyataannya, pria itu pergi. Resign dari tempat kerjanya. Tidak busa dihubungi. Laydya mencari ke tempat tinggal dia di Jakarta dan hasilnya nihil. Orang itu mengaku dia orang Surabaya tapi Laudya juga bingung bagaimana mencarinya. Singkat kata, pria itu menghilang.”

Ama tak mengira kisah tragis seperti ini benar-benar ada.

“Orang tua Laudya datang ke rumahku. Bertemu orang tuaku. Mereka bertiga menceritakan hal ini dan meminta bantuan. Usia kandungan Laudya sudah 10 minggu saat itu. Laudya baru berani bercerita setelah dia gagal menemukan pria itu.”

“Kenapa? Kenapa ke keluarga kamu?”

Esa tersenyum sedih. “Aku belum pernah cerita ini ke kamu ya? Ayah Laudya itu supir keluarga besar aku,”

“Apa?” Ama terkejut. Informasi ini benar-benar baru baginya. Ternyata Esa dan Laudya memang lebih dekat dari yang diperkirakannya.

“Kami tidak membahas itu di kampus karena merasa tidak penting. Laudya kebanggaan orang tuanya. Berhasil diterima di kampus ternama dan bekerja di tempat yang baik. Sayangnya, terjerumus hal seperti ini. Maka dari itu mereka datang sekali lagi ke keluargaku untuk meminta tolong.”

“Dan kamu setuju?”

“Aku setuju untuk menolong,”

“Dengan menikahinya?”

Kali ini Esa tersenyum sedih. “Ya. Awalnya bukan itu yang kupikirkan. Aku berpikir untuk membantu mencari pria itu. Tapi semua tahu kemungkinannya kecil. Sementara perut Laudya akan semakin membesar. Aku tidak tega melihat mereka yang selama ini hidup susah, jadi kembali merana.”

“Kamu tuh…” Ama tak habis pikir.

“Aku juga gak mungkin bilang ke seluruh dunia bahwa Laudya dihamili orang lain. Sehingga aku mengaku itu anakku. Aku membohongi kamu. Masfkan aku,”

“Tega kamu ya, Sa,” mata Ama menyipit.

“Aku mau kita balikan, Ma,” Esa melanjutkan.

“Hah? Maksud kamu…”

“Aku sudah menemukan orang itu,” potong Esa. Ama kembali diam. “Berkat bantuan teman di Surabaya. Sekarang dia sudah kembali di Jakarta. Katanya dia pergi karena tidak siap bertanggung jawab. Tapi aku dan Laudya juga orang tua Laudya sedang berusaha agar dia mau bertanggung jawab.”

“Apa kamu yakin dia akan…”

“Awalnya tidak. Lama kelamaan dia mulai berpikir. Dia tinggal dengan salah satu kenalanku jadi dia tidak bisa kabur untuk kedua kalinya,”

Pesan muncul lagi dari Alfero Kamahara. Sudah parkir dan akan menuju Starbucks.

“Saat dia kembali ke Laudya, aku mohon kamu mau kembali kepadaku, Samahita,”

Ama ingin tidak percaya pada semua ini. Terasa aneh. Tapi Esa benar-benar sungguh-sungguh. Ama kenal tatapan Esa itu. Tatapan saat ia berkata jujur dan benar-benar ingin meraih sesuatu.

Raut muka Ama pasti tampak tak karuan. Maka dari itu ia memilih untuk menunduk.  Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, atau bahkan hanya diam. Ama mendongak, melihat Fero berjalan menuju Starbucks.

“Aku gak tahu, Sa, ini terlalu memusingkan,” Ama mengambil barang-barangnya lalu berlari meninggalkan Esa. Tepat saat Fero akan melangkah masuk.

“Yang?” Fero menangkap tubuh Ama, menahan dengan kedua tangannya. “Kok buru-buru gitu?”  

“Ama, tung…” Esa yang mengejar Ama mendadak menghentikan langkah. Melihat Fero yang berdiri memeluk Ama.

“Kamu ketemuan sama Esa?” tanya Fero dengan dingin.

Esa dan Ama sama-sama diam.

“Sayang?” tanya Fero lagi.

Hati Esa sedikit tersayat mendengar Fero memanggil Ama dengan sebutan itu. Tak pernah sekalipun Esa memanggil Ama dengan mesra.

“Tolong pikirkan, Ama,” Esa berani bersuara.

Fero makin menyipit curiga.

“Ayo kita pulang,” Ama berpaling, menarik tangan Fero menjauh. Esa tak mengejar, memandang Fero yang balik memandanginya dengan dingin.

“Aku sedang tidak mau cerita, tidak mau ditanya-tanya,” kata Ama begitu duduk di dalam mobil.

“Lalu kamu maunya apa? Kenapa kamu ketemu Esa?”

“Just drive home, Fero. Please,”

“Aku bukan supir, Ama. Aku butuh tahu kenapa kamu ketemu Esa? Kenapa kamu ketemu mantan pacar kamu? Mantan pacar yang paling tidak aku sukai,”

“Kita cuma ngobrol,” balas Ama.

“Ngobrol apa sampai kamu keluar dengan wajah kayak gitu dan Esa minta kamu untuk berpikir?”

Ama memijat keningnya. “Can you just drive me home and not asking about anything?”

“Not until you tell me,”

“Oke fine!” Ama membuka kunci mobil lalu berlari keluar secepat mungkin.

“Ama!” Fero ikut turun dan mengejar. Kaki Fero yang lebih panjang mampu mensejajari langkah Ama. “Tunggu.”

“Lepas! Kalau kamu masih terus nanya-nanya soal tadi, jangan ketemu aku dulu. Mungkin bukan cuma Esa yang harus aku tinjau ulang. Kamu juga,” Ama menyentakkan tangannya dari Fero dan berlari.

Kali ini Fero terdiam. Tatapan Ama itu bukan marah. Sedih.

***

Maafkan aku ya Sayang. Aku cuma kaget ngeliat kamu ketemu Esa.

Fero mengirimkan pesan itu setelah mereka bertengkar. Fero mengirimkan pesan lainnya namun tak ada satupun yang Ama balas. Fero juga bilang ia menunggu Ama untuk mengantarkannya pulang tapi Ama mengabaikan Fero dan pulang sendiri.

Ama memang butuh waktu untuk berpikir. Esa yang ternyata tidak menghamili Laudya dan meminta kembali dengan Ama. Fero yang baru sebentar menjalani hubungan dengannya. Ama perlu meninjau ulang perasaannya sendiri. Siapa yang sebenarnya ia inginkan untuk bersama.

“Shopping yuk Tha,” ajak Ama pada suatu waktu. 2 hari setelah ia bertemu Eda dan bertengkar dengan Fero.

“Ayuk! Gue lagi butuh lipstick baru,” Titha menyambut dengan sukacita. Bahkan dari telepon pun Ama tahu sahabatnya ini sangat bersemangat.

“Lo sih kapan aja butuh lipstick baru,” komentar Ama. Titha menanggapinya dengan tertawa. “Nanti malem di GI ya,”

***

Titha sedang asyik mencoba berbagai macam warna lipstick di MAC, Grand Indonesia. Mencoba, melihat di cermin, menghapus. Sementara Ama hanya memperhatikan warna-warna tersebut satu per satu. Menyimpan kembali tanpa mencoba apapun.

“Lo yang ngajak shopping, lo yang gak nyoba apa-apa,” kata TItha setelah sadar bahwa Ama daritadi diam saja.

“Gue bingung mau beli apa,”

“Nih coba-coba lipstick aja,” Titha mengambil lipstick berwarna pink dan mengulurkannya pada Ama. Perlahan Ama mencoba lipstick tersebut ke bibirnya. “Relentlessly Red. Bagus, Ma.”

Ama memandangi sebentar lipstick tersebut lalu langsung mendatangi Kasir.

“Gak coba yang lain dulu?” Titha menghampiri. Membayar lipstick pilihannya juga, The Scene.

“Gak usah,” Ama mengulurkan uang dan membayar. Titha segera mengikuti.

“Ada apa sebenernya?” tanya Titha saat disadari sebenarnya Ama terlihat sangat gusar.

“Gue berantem sama Fero,” akhirnya Ama mulai bercerita.

“Wajar kok dalam pacaran. Kenapa?”

“Karena gue ketemu sama Esa,”

“APA!? Esa jadi ketemu lo?” teriak Titha refleks. Cepat-cepat Titha menutup mulutnya.

“Lo tau sesuatu ya?” mata Ama menyipit.

Titha menggaruk kepalanya, salah tingkah. “Dia minta gue bantuin buat ketemu lo. Tapi gue gak mau dan gue larang dia ketemu lo. Ternyata dia ngajak lo ketemu langsung ya.”

Ama menggeleng dan mengangguk. Ia menghela nafas beberapa kali sampai akhirnya siap bercerita kepada Titha. Sebelumnya Titha menyeret Ama ke Starbucks, favorit mereka.

“Esa ngajak gue ketemu malam hari setelah kita belanja dan makan di Fish & Co itu. Awalnya gue gak mau ketemu, tapi Esa bilang dia mau menjelaskan sesuatu dan gue butuh tahu apa itu. Apa yang bikin kita putus tiba-tiba,” Ama memainkan botol jus apel di hadapannya.

Titha sudah tahu apa yang akan dikatakan Esa dan ini membuat Titha tidak nyaman.

“Akhirnya gue setuju ketemuan sama Esa. Hari Senin. Ternyata dia cerita bahwa bukan dia yang menghamili Laudya,” Ama mengucapkan berita yang seharusnya mengejutkan. Tapi ketika di;ihatnya Titha diam saja, Ama curiga. “Lo udah tahu?”

Titha mengangguk. “Esa ketemu gue dulu dan cerita itu. Setelah kita pulang dari Singapore. Tapi gue larang dia cerita ke lo. Buat apa? Dia mau balikan lagi sama lo. Itupun kalau pacarnya si Laudya balik lagi. Kalau gak? Lo akan sakit lagi, Ma. Itu yang gue gak mau. Gue tahu lo tuh parah banget waktu ditinggal Esa. Apalagi kalau dua kali,”

“Tapi lo harusnya kasih tau gue!” Ama menggeleng tak percaya.

“Ama, lo ga perlu nambah pikiran lo dengan marah ke gue. Sekarang kita disini untuk memikirkan solusi masalah lo,”

Titha ada benarnya. Ama menarik nafas panjang, minum.

“Iya Esa ngajak gue balikan. Karena katanya pacar Laudya itu sebentar lagi mau tanggung jawab. Jadi Esa gak perlu lagi berkorban untuk Laudya,”

“Apa yang lo pikirkan saat itu dan saat ini?” Titha bertanya serius. Sangat jarang terjadi.

“Gue sendiri gak tahu. Jujur, masih ada bagian dari diri gue yang ingin kembali ke Esa. Apalagi setelah tahu ternyata dia gak bersalah. Tapi gue juga punya Fero dan Fero amat sangat baik ke gue. Menurut lo gimana?”

“Ama, jangan memutuskan saat kepala lo sedang panas. Jangan memutuskan karena orang lain bilang apa. Jangan memutuskan karena merasa gak enak hati. Putuskan sesuatu karena hati lo mengarahkan ke sana. Putuskan apakah Esa atau Fero, ketika hati lo condong ke salah satu diantara mereka dan ketika lo tidak bisa hidup tanpa salah satunya,”

“Titha bijak banget…” cuma itu yang bisa diucapkan Ama. Titha tersenyum, memeluk sahabatnya.

***

Ama tertegun sebelum masuk ke rumahnya. Ada Fero sedang berdiri bersandar ke mobil di depan rumah.

“Hei,” sapa Fero, ragu-ragu tersenyum.

Ama berjalan menghampiri Fero. “Udah lama?”

“Lumayan. Aku takut kamu gak mau nemuin aku di kantor. Jadi aku tunggu disini,”

“Masuk yuk,” Ama mengulurkan tangan. Fero menyambut tangan tersebut dan Ama dapat merasakan tangan Fero yang dingin. Tapi Ama tak berkomentar apa-apa.

“Mau minum apa?” tanya Ama saat mereka sudah masuk ke rumah. Fero duduk di sofa seperti biasa.

“Teh boleh,”

Ama masuk ke dapur, membuatkan teh bagi Fero. Saat ia kembali, Fero sedang mengobrol dengan Ayah.

“Ayah tinggal dulu ya Fer,” ujar Pak Ikhwan lalu menepuk pundak Fero.

“Iya Yah. Makasih,”

Ama melihat Ayahnya yang melempar senyuman. Ganti, Ama yang menemani Fero lagi.

“Ayah bilang apa?”

“Ngobrol aja,” Fero tersenyum dan langsung minum. Ama duduk di samping Fero. Mereka saling terdiam.

“Aku minta maaf, atas sikap aku yang terlalu cemburuan. Aku...cuma Esa yang bisa buat aku insecure,” Fero memulai pembicaraan. Ama menatap Fero.

“Maafin aku juga. Saat itu Esa mengatakan sesuatu yang...mencengangkan. Jadi pikiran aku pusing banget. Makanya aku gak merespon kamu dengan baik,”

Fero membelai rambut Ama. “Apa kita udah baikan?”

Ama cuma diam. Melihat itu Fero tahu bahwa ada yang salah.

“Esa ngajak aku balikan…” Bagai petir di siang bolong Fero mendengar itu. Dia tahu bahwa Ama putus dengan Esa karena Esa selingkuh dengan Laudya.

Ama menceritakan kisah Esa. Tanpa perlu menyebutkan bahwa Laudya sedang hamil. Ama cuma bilang bahwa Laudya sedang proses kembali dengan mantan pacarnya yang sudah pernah menyakiti Laudya. Ini membuat Esa tidak perlu lagi melindungi Laudya. Sehingga dia bisa meminta kembali pada Ama.

“Lalu kamu mau?” Fero bertanya dengan suara serak.

Ama menatap Fero, melihat Fero yang suram ini membuat Ama ikut sedih.

Ting tong!

“Mama aja yang bukain,” kata Ibu Tutie dari dalam. Membuka pintu dan langsung membeku. “Ada tamu, Ama.”

“Siapa?”

“Esa,”

Ama tak berani menatap Fero. Setelah menelan ludah, pelan-pelan Ama berdiri, melangkah keluar. Esa berdiri di depan pagar, tersenyum menatap Ama.

Ama melangkahkan kaki menghampiri Esa. Dengan dibatasi pagar, mereka mengobrol.

“Hai,”

“Ya,” sahut Ama. Salah tingkah.

“Maaf ganggu malam-malam. Lagi sibuk?”

Ama menoleh ke belakang. Dilihatnya Fero berdiri di ambang putih. Menatap mereka berdua dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Oh ada Fero,” gumam Esa. Ama mengangguk.

“Aku cuma mau bilang, Ama. Besok malam, Laudya dan Kendro akan menikah. Kalau kamu bersedia kita kembali lagi, aku akan tunggu kamu, kita jadi saksi pernikahan Laudya. Acaranya di Mesjid Sunda Kelapa.”

Ama terpana. Hambatan diantara mereka akhirnya sirna.

“Aku pulang dulu ya. Pikirkan baik-baik,” Esa tersenyum pada Ama yang masih cuma termenung. Sebelum berbalik, Esa mengulurkan tangannya dan membelai pipi Ama. Sudah lama sekali Ama tidak merasakan ini.

Esa kembali masuk ke mobilnya dan pergi. Ama kembali ke dalam rumah dan menghadapi Fero.

“Esa bilang, kalau aku ingin kembali padanya, temui dia di Mesjid Sunda Kelapa besok malam,” kata Ama sambil menunduk.

“Besok kita seharusnya berangkat ke Padang, Ama,”

Ama mendongak. Dia baru ingat!

“Ini e-ticketnya. Kalau ternyata kamu lebih memilih aku dan tidak kembali ke Esa, aku tunggu di bandara.” Fero menyimpan print out e-ticket tersebut di meja. Setelah itu ia membungkuk dan mencium pipi Ama.

Fero pergi dari rumah Ama. Meninggalkan kebingungan dalam diri Ama. Kemana Ama harus menuju besok?

***

Fero berdiri di gerbang terminal 2. Pandangannya menyapu ke seluruh pintu masuk untuk kelima kalinya. Tidak ada satupun sosok yang Fero kenal saat ini. Apalagi sosok yang Fero nantikan untuk datang dan tersenyum padanya. Fero melirik jam tangannya. Sudah 15 menit menuju waktu boarding seharusnya. Fero menghela nafas. Mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Fero memutuskan untuk mengantri. Menunjukkan e-ticketnya ke petugas. Menyimpan barang-barangnya untuk diperiksa. Berjalan perlahan menuju konter check in. Untuk kesekian kalinya ia akan pulang ke rumah dengan status ‘sendirian’. Hup! “Kalau check in-nya misah, nanti duduknya jauhan dong?” Fero berbalik perlahan. Melihat tangan siapa yang mencengkram kemejanya seperti berniat merobek. Kemudian dilihatnya Ama, dengan sedikit terengah-engah. Tas ransel tersampir di punggung, e-ticket di tangan kiri, handbag tergantung di tangan kiri, dan tangan kanannya memegang erat kemeja Fero. “Ama…” Ama melepaskan pegangannya. Menelan ludah dan mengatur nafas. “Kenapa, langkah kamu, panjang banget sih?” Fero tak menjawab pertanyaan Ama. Ditariknya Ama cepat dan Fero memeluk Ama sangat erat. “Terima kasih,” bisik Fero. Pelan-pelan Ama balas memeluk Fero. Tersenyum. “Karena kata Titha pilihlah orang yang aku paling tidak bisa jauh darinya. Yaitu kamu,” Fero melepaskan pelukannya. Tak peduli ratusan orang berada di sekitar mereka, Fero mencium kening Ama, lama. “Hei ini udah jam berapa?” Ama yang pertama sadar. “Ya ampun. Ayo,” Fero menarik tangan Ama, mereka bergegas menuju konter check in. Setelah check in, mereka berlari menuju pesawat. Meski terburu-buru tapi Ama dan Fero bahagia. Karena mereka menjalaninya bersama-sama. Bagi Ama dan Fero, mulai saat ini mereka siap menghadapi berbagai hal apapun karena mereka memiliki satu sama lain. Mereka tidak saling bilang, namun mereka yakin akan itu. -THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?