Edelweiss Love

Kadang masuk kerja bisa membuat Alia merasakan dua hal. Kadang senang kadang sedih. Senang ketika dia bisa menyibukkan diri mengerjakan ini itu sampai lupa waktu. Apalagi kalau mendekati hari gajian. Sedih ketika Alia harus berinteraksi lebih intens dengan seseorang. Sayangnya, komunikasi intens dengan seseorang itu yang lebih sering terjadi. 

"Pagi, guys," sapa Alia pada rekan-rekannya yang sudah sampai lebih dulu. Ada yang sedang sarapan, ada yang browsing. 

"Hei, Alia," sapa Mbak Ira. "Dicari Pak Fauzan tadi begitu dia datang." 

"Oh oke. Makasih Mbak," Alia tersenyum pada Mbak Ira lalu buru-buru menyimpan tas di mejanya dan mengetuk ruang kerja milik Pak Fauzan. 

"Hai Jan, nyari?" sapa Alia kasual. Tentu saja ia berani memanggil Ojan ketika pintu ruangan sudah ditutup. Kenapa Alia bisa memanggil Fauzan sebegitu santainya? Karena Fauzan adalah teman seangkatannya di SMA. Dia anak pemilik konsultan di sini. Sementara Alia mengambil kuliah profesi psikologi, Fauzan melanjutkan bisnis ayahnya. Dia lebih mengelola pada teknis konsultan. Alia sendiri tidak sadar bahwa konsultan tempat ia melamar bekerja adalah milik ayah temannya. Sampai pada hari pertama ia bekerja disini. 

"Pak Fauzan, Ya," balas Fauzan sambil senyum. 

"Masih belum jam 8, belum mulai jam kerja," Alia nyengir. Duduk di depan Fauzan. 

"Ada tawaran kerja dari United Finance buat training anak-anak MT-nya. Bisa ikut gue meeting nanti siang? Kalau oke sekalian lanjut nanganin sepanjang kerja samanya," 

"Boleh. Dimana? Kita berangkat dari jam berapa? File penawarannya udah diforward ke email gue?" 

"Satu-satu, Yaya," kata Fauzan. Aku nyengir setiap dia panggil aku dengan sebutan Yaya. "Nih barusan gue forward proposalnya. Meeting jam 2 di Mega Kuningan, kantor pusat mereka. Jam 11 aja kita dari sini. Makan siang di sana biar gak telat," 

"Makan siang di kantor United Finance?" tanyaku iseng. 

"Iya di kantinnya," jawab Fauzan tidak kalah iseng. Kami berdua lalu tertawa. 

"Ya udah gue kerjain yang lain dulu ya," Alia bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan Fauzan. 

*** 

Meski tertawa lepas dengan dirinya, menghabiskan waktu sedikit banyak dengan Fauzan selalu memberi dampak yang sama bagi Alia. Sakit. 

Alia menyukai Fauzan. Masih. Selalu. Meski sudah berhubungan dengan pria lain, putus, pacaran lagi, putus. Fauzan pun sekarang sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Karena itulah rasa sakit selalu ada di hati Alia. Alia selalu berusaha untuk bersikap biasa pada Fauzan. Bersikap layaknya teman biasa. Tapi kau tahulah... 

Alia menyukai Fauzan sejak SMA. Sejak Fauzan menjadi imam shalat Dzuhur di mesjid sekolahnya. Ia bukan anak Rohis. Tapi sukarela jadi imam shalat berjamaah para siswa. Bacaannya pun tidak hanya surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, atau An-Nas. Suaranya menenangkan. 

Alia tidak berani mendekati Fauzan. Saat itu Fauzan terkenal seantero sekolah sebagai wakil ketua ekstra kurikuler futsal. Di sini futsal lah ekskul paling bergengsi. Ia lebih terjenal dari Tejo sang ketua karena punya wajah lebih tampan dan hati yang lebih baik. 

Sayang--menurut Alia--Fauzan saat itu dikeliling orang-orang yang kirang tepat. Geng Fauzan rata-rata anak yang sering bolos, mem-bully, dan merokok. Alia termasuk orang yang mereka bully. 

Entah bagaimana ceritanya, Fauzan dan teman-temannya tahu bahwa Alia menyimpan rasa pada Fauzan. Mungkin saat Alia memandang Fauzan dengan penuh harap saat ia bermain futsal dan mencetak gol. Mungkin perasaannya terlalu kentara. Sejak saat itu, setiap Alia lewat tempat nongkrong mereka, ia selalu diteriaki. Cupu lah, mata empat lah, gendut lah, dan segala macamnya. Kalau mereka tidak bergerombol alias sendirian dan bertemu Alia, pundak atau punggung Alia jadi sasaran pukulan tangan mereka. Saat itu Fauzan diam saja. Selalu diam. Begitu pula Alia. 

Dengan rok melewati lutut, kacamata lebar, dan berat badan melebihi standar, Alia memang tidak patut diperhitungkan. Siapalah ia. Wajar jadi obyek bully geng anak-anak populer. Alia merasa kesal, sedih. Namun ia tetap bersyukur karena teman-teman sekelasnya, teman-teman dekatnya, selalu bersikap baik padanya. 

Alia lulus SMA dengan wajar. Nilainya baik. Ia bisa masuk Universitas Indonesia. Sementara Fauzan masuk Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Mereka terpisah untuk beberapa waktu. 

Ada satu waktu saat acara perpisahan di sekolah. Alia selesai menerima piagam dan medali, bersiap pulang bersama orang tuanya. Ketika itu ia berpapasan dengan Fauzan yang mengenakan jas rapi. Mereka berdua menghentikan langkah, Fauzan tersenyum. 

"Alia, selamat ya diterima di UI," 

Susah payah Alia menelan ludah lalu mengangguk. 

"Maaf untuk semuanya. Sampai ketemu lagi," 

Lagi-lagi Alia hanya bisa mengangguk. Bingung mau berkata apa, Fauzan pun berjalan kembali. Alia memandangi sosok itu terus sampai tak terlihat lagi. 

Itu terakhir Alia melihat Fauzan sebelum masuk kuliah. Saat kuliah ini Alia berusaha keras menurunkan berat badannya. Mengganti kacamata dengan contact lens. Membaca lebih banyak artikel mode. Jadi lebih gaya. 

Alia berharap bisa melupakan Fauzan dan masalah bully dulu. Dengan dirinya yang baru, akan ada rasa baru yang mengisi hatinya. 

Siapa sangka saat ia bekerja, ia menemukan lagi Fauzan di hidupnya. 

"Alia?" tanya Fauzan saat itu. Tak percaya melihat bagaimana penampilan Alia sekarang. 

*** 

Tapi Fauzan tetaplah Fauzan. Yang baik hati dan ramah, tampan dan bugar. 

"Anak-anak MT mereka rata-rata usia berapa ya?" tanya Alia saat Alia dan Fauzan sudah dalam perjalanan pulang, setelah meeting dengan United Finance tadi. 

"Paling kecil 21, paling tua 28," jawab Fauzan sambil menyetir. 

"Hmm, oke," Alia membuat beberapa catatan di bukunya. "Komposisinya?" 

"13 cowo, 12 cewe. Emang kamu gak nyatet tadi?" 

"Lupa. Cuma denger tapi gak nyatet. Tadi diajak ngobrol managernya," 

"Naksir tuh," kata Fauzan. 

"Dari Hong Kong. Ada cincin di tangan kanannya," 

Fauzan tertawa. "Gak boleh emang naksir doang?" 

"Gak boleh laah," Alia berseru refleks. "Eh ini udah dimana?" 

"Masih di Kuningan, macet," 

"Tebet ya Jan. Please," 

"Masih gak mau pindah dari Depok?" 

"Nope. Udah nyaman," 

"Keluar dong dari zona nyaman," 

"Iya ntar aku pindah kalau udah nikah," 

"Kapan tuh?" Fauzan melirik Alia. 

'Kalau kamu lamar aku, kapanpun aku siap,' pikir Alia. 

"Ga tau lah. Belum mikirin juga. Lah kamu kapan?" Alia bertanya seakan ia tidak mau kalah. Padahal ia hanya akan bersiap seandainya Fauzan bilang sebentar lagi akan menikah. Dalam hati Alia berharap Fauzan belum berencana menikah. 

"Belum mikirin juga," jawab Fauzan. 

Refleks, Alia menghela nafas lega. 

*** 

"Teh Alia," sapa sebuah suara ceria. 

Alia mendongak, terpaksa tersenyum tipis. "Poppy, cari Pak Fauzan ya?" 

Poppy mengangguk penuh semangat. Poppy ini pacar Fauzan. Kenal semua staf di konsultan kami. Ia punya usaha bakery di rumah jadi lebih fleksibel untuk bepergian. 

"Ada meeting dulu, baru mulai. Kamu mau tunggu dalam ruangan atau di luar?" tanya Alia dengan ramah. 

"Di depan kolam seperti biasa ya," Poppy menunjuk halaman belakang kantor konsultan kami. Di mana ada air mancur yang ditempel di dinding dan terdapat bangku-bangku. Biasanya digunakan saat para karyawan ingin mencari suasana baru. 

"Oke, nanti aku kabari kalau Pak Fauzan udah selesai meeting ya," Alia tersenyum. 

"Oh iya. Ini ada roti buat Teh Alia dan temen-temen yang lain," Poppy mengulurkan kantung berlabel bakery-nya. 

"Nuhun, Poppy," Alia mengambil kantung tersebut, siap membagikan kepada teman-temannya. Sebagai ganjal sebelum makan siang. 

***

"Such a stupid person," kata Alia. Memulai topik pembicaraan dengan Eda, sahabatnya sejak SMA. Alia dan Eda sering bertemu paling tidak satu minggu sekali. Sekarang mereka sedang makan siang bersama di Coco Ichibanya Curry, Grand Indonesia. 

"Siapa yang bego?" tanya Eda. 

"Aku. Aku bego banget, Da," Alia mengaduk makanannya tak tentu arah. 

"Karena?" pancing Eda. 

"Karena masih suka aja sama Fauzan. Padahal dia udah punya pacar," 

Eda menepuk tanganku dua kali lalu melanjutkan makan. 

"Saran praktis ada dua. Satu, cari cowo lain, langsung nikah. Dua, pindah kerja," 

"Ih kayak gampang," seru Alia. 

"Emang gampang. Gak usah dibikin susah," kata Eda cuek. 

"Aku kan gak kayak kamu, banyak yang naksir," Alia kembali manyun. Mengingat Eda yang sedang berpacaran dengan Dicky. 

"Di kantor, di kuliah, di deket kosan. Emang gak ada yang ganteng?" 

Alia diam saja. 

"Ya karena semua yang ganteng versi kamu mah cuma Fauzan sih," Eda menggelengkan kepala. 

"Yah tapi kalau memang Fauzan nikah sama Poppy, aku bisa apa. Kayak judul lagu BCL," 

"Yee naon sih,"

*** 

Meeting di United Finance ini rupanya makan waktu lebih banyak dari yang kuperkirakan. Pukul 7 dan aku bersama Fauzan masih berkutat membahas kurikulum bersama tim United Finance. 

"Mau makan dulu?" tanya Radit, perwakilan UF. 

"Boleh. Saya juga udah lapar," jawab Fauzan. 

"Boleh," Alia juga menanggapi.

"Mau dipesenin apa?" Radit bertanya lagi. 

"Apa aja," kata Alia. 

"Capcay gak pake nasi," kata Fauzan. Membuat Alia melongo. "Itu buat Alia. Buat saya nasi goreng gak masalah," 

"Oke. Sebentar ya," Radit pamit lalu keluar ruangan. 

"Kok Pak Fauzan tau?" Alia masih memanggil dengan embel-embel 'pak' karena di ruangan itu masih ada Dhina dan Billy. 

"Kenapa ya? Baca pikiran kamu," kata Fauzan. Ia berhasil membuat Alia bengong tapi ia sendiri tidak sadar. Melainkan langsung melanjutkan bekerja. 

***

"Di Depok sebelah mananya, Yaya?" tanya Fauzan begitu mereka berdua berada di mobil Honda City Fauzan. 

"Kober, Jan. Kenapa?" 

"Aku anter sampai ke kosan aja ya. Udah jam 11 ini," 

"Eh gak usah. Kereta masih ada kok sampai jam 12. Lagian nanti kamu muter-muter. Dari Kuningan ke Depok terus ke Kemang," 

"Gak apa-apa. Daripada kamu udah capek masih naik kereta. Mending kalau dapet duduk. Turun kereta belum sampai kosan kan? Kalau mau tidur juga tidur aja di sini," 

Duh gile ini orang baiknya gak ketulungan. Gimana bisa gak naksir?! 

"Ya udah kalau Pak Fauzan maksa," Alia mengangkat bahu. 

"Iya ini maksa banget," sahut Fauzan. Membuat Alia tersenyum. 

Mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Sebisa mungkin Alia tidak tertidur meski sudah sangat mengantuk. Tidak tega ia membiarkan atasannya menyetir sendirian. 

"Di sini Ya?" Mobil Fauzan sampai di depan kost berpagar biru. 

"Tepat! Makasih ya Jan. Hati-hati baliknya. Kabari aku kalau udah sampai rumah," 

"Siap. Jaga kesehatan ya Ya. Minggu depan kita mulai ngisi materi." 

"Iya, Pak Bos," Alia memberi hormat ala upacara. 

"Apaan," Fauzan merengut. Paling tidak suka dipanggil Pak Bos. 

"Heheh. Met malem Jan!" 

"Malam, Ya. Eh! Besok temenin cari kado buat Poppy ya. Lusa dia ulang tahun," 

Alia terdiam. Hatinya mencelos. Ia tak mau menemani Fauzan mencari kado untuk saingan cintanya. 

"Oke, Jan, aku masuk ya. Bye," 

Alia pun berlari meninggalkan Fauzan. 

*** 

"Emang dia sukanya apa, Jan?" Alia mengambil pigura berhiaskan boneka beruang. 

"Hmm apa ya," balas Fauzan. Alia melirik Fauzan, tak percaya apa yang didengarnya. 

"Kok bingung gitu?" 

"Aku gak tau dia suka apaan. Palingan dia suka masak," 

"Ya iya, kan dia punya bisnis bakery dan catering," Alia memutar bola mata. "Beliin alat masak aja. Kompor listrik kek, panci, apa gitu." 

"Di sini ada?" 

"Ada dong Jan. Yuk," Alia menjentikkan jarinya dan mengajak Fauzan ke konter Atria. "Pilih deh tuh alat-alat rumah tangga." 

"Kayak pengantin baru," ujar Fauzan begitu melihat barang-barang yang dijual. 

"Yaaa persiapan kan," 

Fauzan tak berkata apa-apa. Dia masih tetap kebingungan. 

"Ini aja nih," Alia menyodorkan panci berbahan keramik. Fauzan memandangi sebentar. Tanpa kata-kata ia langsung membawanya ke kasir. Alia tertawa sendiri. Dalam hati trtap merasa sedih.

*** 

"Thank you, Yaya," ujar Fauzan saat mereka sudah kembali dalam mobil. 

"Sama-sama," Alia masih terkikik. Mengingat setelah membeli panci tadi, Fauzan membeli pita untuk ditempel di gagang. Tidak repot-repot membungkusnya. 

"Ngomong-ngomong karcis parkir dimana ya?" Fauzan celingak celinguk mencari. Ia meraba saku jas dan celananya. 

"Bukannya kamu taro di dashboard?" Alia menunjuk. 

"Gak ada," Fauzan meraba dashboard untuk membuktikan. 

"Di mana ya?" Alia ikut mencari. Seingatnya tadi Fauzan menyimpan karcis parkir di dashboard, entah setelah itu dipindahkan ke mana. 

Alia mencondongkan tubuh ke arah Fauzan, ikut mencari karcis parkir. Khawatir jatuh di dekat pedal. Sampai-sampai ia tidak sadar bahwa posisinya sudah begitu dekat dengan Fauzan. Saat Alia mendongak, hidung mereka bersentuhan. 

Selama sedetik Alia dan Fauzan saling memandang. Sedetik kemudian bibir Fauzan sudah mendarat di bibir warna merah ati milik Alia. 

Alia diam. Fauzan juga. Mereka lupa aktivitasnya mencari karcis parkir. Sampai ketika bunyi klakson di kejauhan terdengar nyaring, mereka baru membuka mata dan saling menjauhkan diri. 

"Gak ada apa-apa, barusan gak ada apa-apa," Refleks Alia berseru, mendekatkan diri ke jendela, memandang ke luar. 

"Iya aku lagi cari karcis," kata Fauzan salah tingkah. "Eh ada ternyata di dompet STNK." 

"Syukurlah. Yuk pulang," 

*** 

Selama dua minggu ke depan Alia dan Fauzan bergantian mengisi materi di United Finance. Di sela-sela itu Alia juga membantu perusahaan-perusahaan yang membutuhkan rekruter dan mengajak kerjasama konsultan mereka. 

Alia seakan-akan lupa mengenai kejadian di mobil Fauzan beberapa waktu lalu. Begitu pula Fauzan. Mereka saling meminimalisasi interaksi dan menyibukkan diri. Kadang ini membuat perasaan Alia makin gak karuan. 

"Alia mana?" tanya Fauzan pada Mbak Ira. Senin pagi saat masa training pertama MT UF sudah berakhir. Pukul 10 dan Alia belum datang. 

"Sakit Pak," kata Mbak Ira polos. 

"Sakit apa? Dia gak bilang ke saya," 

"Demam katanya Pak. Kata Alia dia sudah kabari Bapak," 

Fauzan mengambil ponsel dari saku. Baru ia sadari bahwa ponselnya dalam mode silent. Ternyata benar ada pesan dari Alia. 

Fauzan menutup pintu ruangan di belakangnya dan mendial nomor Alia. 

"Halo," sapa Alia dalam suara serak. 

"Alia, sakit apa?" 

"Demam, Jan. Maaf ya gak bisa masuk," 

"Its okay. Kamu di mana? Kost?" 

"Rumah," 

"Oh. Di?" 

"Cikini," 

"Aku gak tahu kamu tinggal di situ,"

"Kita satu sekolah kan Jan. Gak mungkin aku gak punya rumah di Jakarta. Technically, rumah ortu sih," 

"Nanti aku mampir," 

"Gak usah. Gak parah kok. Cuma butuh istirahat. Besok juga udah masuk lagi," 

"Kamu mau dibawain apa?" Fauzan kembali bertanya mengabaikan kalimat Alia tadi. 

Bawain cincin kawin aja, batin Alia. 

"Coklat," 

"Ok," 

***

Fauzan duduk di samping tempat tidur Alia. Sementara sang pasien bersandar di tempat tidur sambil ngemil Cadbury. 

"Gendut lho," kata Fauzan. 

"Biar. Cheating day," kata Alia, Fauzan hanya tersenyum. 

"Gimana ulang tahun Poppy?" 

Sudah dua minggu lalu tapi Alia baru bertanya sekarang. 

"Ya gitu aja," 

Ali menanggapi dengan menaikkan sebelah alis. 

"Dia kaget pas dikasih panci. Tapi dia seneng. Tiup lilin sama temen-temennya, malamnya kami makan malam bareng," 

Alia mengangguk. Entah harus merespon apa. 

"Aku tadinya mau lamar dia, Ya," 

Hati Alia benar-benar remuk saat mendengar itu. Ia juga sangat terkejut. 

"Tadinya?" 

"Lalu aku dengar jawaban Poppy saat temannya bertanya kapan menikah. Poppy bilang 'masih lama kali'. Aku jadi bingung Ya," 

Alia terbagi antara senang karena Poppy belum mau menikah dan sedih karena Fauzan benar-benar menyayangi Poppy ternyata. 

"Ajak ngobrol dulu aja Jan. Baru dilamar," 

"Yeah. Ya udah, aku balik dulu. Istirahat ya, Ya," 

"Thanks Jan," 

"Gak masalah," 

*** 

"Keluar yuk, beli dekorasi," Fauzan tiba-tiba muncul di depan meja Alia. 

"Dekorasi apaan?" tanya Alia, mendongak dari file rekrutmen sebuah perusahaan. 

"17an Ya, sekarang udah awal Agustus," 

"Masih banyak kerjaan. Sama Mbak Ira aja gimana?" Alia mengalihkan pandangannya ke Mbak Ira. Merasa namanya disebut, Mbak Ira menoleh. 

"Dalem?" 

Fauzan ikut memandang Mbak Ira. Wajahnya berubah. 

"Mbak Ira bisa temenin Pak Fauzan beli dekorasi? Aku lagi banyak kerjaan. Coba cari di Asemka aja, banyak variasi dan murah-murah. Mungkin Mbak Ira bisa tawar lagi. Kan jago," Alia mengedip untuk membujuk Mbak Ira. 

"Oh boleh aja, lagi gak terlalu sibuk," Mbak Ira menyanggupi. Alia tersenyum, kembali memandang Fauzan. Wajahnya jadi merengut. 

"Ah ya udah. Kita berangkat sekarang?" 

"Oke Pak," 

Berangkatlah Fauzan dan Mbak Ira. Alia menghela nafas dan bersandar. Ia harus bisa meminimalisasi waktunya bersama Fauzan. Daripada ia terus terjebak punya perasaan pada pria berpacar. 

*** 

"Mbak Alia, Pak Fauzan mana ya?" Siti, resepsionis kantor menghampiri meja Alia. Mengingat Alia yang tempat duduknya paling dekat dengan ruangan Fauzan, semua orang yang mencari Fauzan bisa dipastikan bertanya pada dirinya. 

"Ada kok di dalem. Masuk aja, Sit," Alia menunjuk ruangan Fauzan. 

"Titip pesen aja ya Mbak. Ada tamu di depan. Udah janjian sama Pak Fauzan katanya. Aku mau siapin minum dulu," Siti mengedip lalu kabur ke dapur. 

"Lho Siti!" Alia memanggil namun Siti mengabaikan panggilannya. Mau tidak mau Alia yang harus menghubungi Fauzan. Karena malas bertemu langsung, Alia mendial nomor extension Fauzan. 

"Ya," sahut suara di sana, lembut sekali. 

"Ada tamu di depan," 

"Alia nih? Kok pake telepon?" 

Alia diam saja. 

"Di ruang tamu ya," lanjut Alia lalu dia tutup teleponnya. Sedetik kemudian Fauzan keluar ruangan. 

"Ikut yuk, kamu kenal kok tamunya," ajak Fauzan. Alia gelagapan ingin menolak tapi akhirnya mengiyakan juga. 

Fauzan berjalan lebih dulu di depan. Kali ini ia hanya mengenakan kemeja dan jeans. Mengingat ini hari Jumat dan tidak ada jadwal bertemu klien. Alia mengekor di belakang. Tumit sepatu hak tingginya berbunyi seiring langkah kaki Alia. 

Pintu ruang tamu dibuka, perlahan Alia mengikuti Fauzan masuk dan tertegun seketika. 

"Hai bro," sapa sang tamu. Berdiri dan langsung memeluk Fauzan. 

"Bro. Lama gak ketemu," balas Fauzan. Menepuk pundak teman lamanya ini. 

Alia, sementara itu, ingin berbalik dan pergi saja. 

"Ya, ini Ucup lho," Fauzan berbalik menghadap Alia. Begitu pula Ucup. 

Bagaimana Alia bisa lupa akan Ucup? Orang yang berteriak paling kencang mengatainya Cupu, tertawa paling keras saat orang menyebut dirinya Gendut, dan tenaga palong besar saat memukul pundak Alia. 

"Ya?" Ucup kebingungan. 

"Alia, temen SMA kita," kata Fauzan ceria. 

Teman SMA gigimu! Tidak pernah mereka akan masuk dalam kosakata teman di kamus Alia. 

"Alia? Yang gendut itu?" Ucup berseru refleks. Fauzan menyenggol Ucup, menggeleng. Alia masih diam saja. 

"Sorry, tapi dulu lo memang besar, Alia. Sekarang berubah banget. Apa kabar?" Ucup menghampiri Alia, mengulurkan tangan. 

Alia cuma menatap tangan yang terulur itu lalu berjalan melewati Ucup, menuju sofa. Fauzan dan Ucup keduanya kaget melihat tingkah laku Alia. 

"Eh langsung aja. Jadi gimana Cup?" Fauzan mengisi dead air dengan langsung bicara ke topik masalah. Ia duduk di sofa samping Alia sementara Ucup duduk di depan Fauzan. 

*** 

"Alia, ke ruangan saya," kata Fauzan begitu mereka selesai menemui Ucup. 

Alia memutar bola matanya, tak jadi langsung duduk di tempatnya. 

"Kenapa sikap kamu seperti itu?" todong Fauzan begitu Alia dan Fauzan terlindungi dari orang lain. 

"Seperti apa tepatnya?" Tantang Alia. 

"Seperti tadi. Menolak jabat tangan Ucup. Diam saat ditanya. Sama sekali tidak ramah. Dia klien kita," 

"Aku tidak melakukan hal yang salah," bantah Alia. 

"Alia, kamu tahu..." 

"Kalau pembicaraan ini hanya untuk menunjukkan kesalahanku, aku keluar," tanpa menunggu tanggapan Fauzan, Alia langsung keluar. Menutup pintu ruangan lebih keras dari seharusnya. 

*** 

Beberapa hari setelah pertengkarannya dengan Fauzan, Alia berdiri di rooftop kantor konsultannya. Rumah 2 lantai yang bagian atapnya dijadikan rooftop. Terdapat satu ayunan dan berbagai tanaman di sini. Sudah malam tapi Alia masih ingin duduk-duduk di sini. Ia memang pulang terlambat tadi karena mengerjakan banyak hal. Jadi sekalian saja pulang malam. Lagipula di bawah ada Security yang berjaga jadi Alia tidak sendirian. 

"Kenapa belum pulang?" 

Alia menoleh. Fauzan menghampiri dan duduk di samping Alia di ayunan. 

"Abis lembur tadi," jawab Alia singkat. 

Angin malam berseru menjadi pengisi keheningan diantara mereka. 

"Aku hanya...ingin tahu kenapa kamu bersikap seperti itu pada Ucup. Alia yang kukenal tidak seperti itu," 

"Berarti kamu belum benar-benar kenal aku," 

"Alright," Fauzan bersandar ke ayunan. Keduanya diam lagi. 

"I hate him. And the rest of his gang," akhirnya Alia berkata jujur. 

Fauzan terkejut. 

"Why?" 

"For ruined my high school times," 

"What?" 

"Kamu tahu kan dulu mereka sering meneriaku aku cupu, gendut, jelek? Tanpa aku salah pun mereka ngejekin aku, mukul aku. Aku salah apa? Cuma karena aku suka kamu jadi mereka punya hak untuk bersikap kayak gitu? Tadi pun kamu dengar sendiri kan? Dia masih bilang aku gendut! They have problem with their attitude. I hate them for that!" Akhirnya Alia menceritakan semuanya. Ia terengah karena amarah. Alia kemudian bangkit dan menghentakkan kaki. Fauzan ikut berdiri. Menahan tangannya. 

"Wait. Aku gak tau perilaku mereka masih berdampak sampai sekarang," 

"Kamu gak tau betapa besar dampak pembullyan di sekolah terhadap masa depan seseorang. Itulah kenapa bully dilarang," Alia menarik tangannya dari pegangan Fauzan tapi cengkraman si pemain futsal ini terlalu kuat. 

"Aku minta maaf," 

Alia diam lagi. 

"Dan kamu bilang kamu suka..." 

"Ya. Dari dulu. Sampai sekarang," 

"Tapi aku gak bisa..." 

"Aku tahu. Dan aku tahu aku bodoh. Sudahlah," 

Alia menyentakkan tangannya. Meninggalkan rooftop dan Fauzan. 

***

"Kenapa kamu diam aja, A?" tanya Poppy. Menyibakkan rambut yang turun menutupi mata Fauzan. 

"Hah? Apa Dek? Ini lagi nonton TV," Fauzan menunjuk TV yang menyiarkan acara musik di salah satu stasiun TV. 

"Aa diam aja dari tadi. Cuma nyapa Poppy, duduk, terus bengong. Poppy ajak ngobrol juga gak nyahut," 

"Oh maaf. Di kantor lagi banyak kerjaan," 

"Lupain dulu kerjanya. Kan lagi hari Minggu. Aa mau makan kue? Ada kue baru buatan Poppy," 

"Boleh Dek," 

"Poppy ambilkan dulu ya," 

Poppy berdiri, menuju dapur. Fauzan menuandarkan diri ke sofa, menghela nafas. Ia kira perasaan Alia sudah menghilang padanya. Hanya sekedar high school fling. Rupanya Alia masih punya perasaan. Ini mengganggu pikiran Fauzan. Bukan karena akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Melainkan hal lain. Entah apa. 

"Ini A, dimakan ya," Poppy menyodorkan kue berwarna ungu dan putih. 

"Apa ini?" 

"Blueberry Velvet Cheesecake," kata Poppy, tersenyum. Tidak sabar menunggu Fauzan memberi komentar. 

"Enak Dek," momentar Fauzan setelah mencoba satu suap. 

"Senangnyaa. Abisin ya A," 

Fauzan mengangguk. Melahap kue dengan bersemangat. Lalu satu hal terlintas di benak Fauzan. 

"Dek, kamu mau nikah kapan?" 

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" 

"Nanya aja," Fauzan berusaha bicara sesantai mungkin. Ia kembali menyuap kue. 

"Gak sekarang dan gak dalam 2 tahun ke depan. Poppy belum siap. Masih mau fokus sama usaha. Masih mau buka 2 cabang lagi," 

Fauzan mengangguk, paham. 

"Ya udah," 

"Aa mau nikah sekarang? Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Kalau aku gak mau nikah sekarang, Aa berpaling ke Teh Alia ya?" 

"Hah?" Fauzan terkejut. 

"Sudah sudah. Anggap aja Poppy gak pernah ngomong gitu," 

*** 

"Alia, kamu belum mau pulang?" tanya Mbak Ira, ia sedang bersiap pulang. 

"Belum Mbaak," Alia menghela nafas, melihat dokumen berserakan. "Ini masih banyak berkas rekrutmen yang harus diberesin." 

"Cuma tinggal sendiri lho," 

"Iya ya? Masih ada Pak Dede kan di depan?" 

"Ya ada, dia kan nginep," 

"Ya udah gak apa-apa. Aku ada temennya berarti," 

"Hati-hati ya. Pulangnya pakai taksi aja kalau perlu," 

Alia mengangguk. "Hati-hati Mbak,"

Mbak Ira mengangkat jempol lalu keluar. Tinggallah Alia ngebut menyelesaikan pekerjaannya. 

Ponselnya berdering. Telepon dari Fauzan. Ragu-ragu, Alia mengangkat telepon itu. 

"Kamu dimana?" 

"Kantor," 

"Bagus," 

Cuma itu dan telepon diputus. Alia memandangi ponselnya, bingung. Tapi Alia tak ambil pusing. Ia kembali bekerja. 

5 menit kemudian terdengar suara orang melangkah. Fauzan, jasnya disampirkan di tangan. Dasinya bergantung begitu saja. Kancing teratasnya dibuka dan lengan kemejanya digulung hingga siku. Alia diam melihat atasannya berpenampilan berantakan begitu. Begitu sampai dekat Alia, Fauzan menarik kursi dan meletakkannya di samping Alia. Ia duduk dan menyandarkan kepala di bahu Alia. Badan Alia membeku seketika. 

"Biar begini dulu. Aku capek," 

Alia memang tak mampu bergerak. Mengerjakan berkas pun ia tak mampu. Jadilah mereka berdua diam saja. 

"Udah jam 8, Jan," bisik Alia. 

"Kamu udah mau pulang ya?" tanya Fauzan tanpa melepaskan senderannya. 

"Mau tapi pekerjaanku belum selesai. Aku gak bisa gerak," 

"Besok aja lanjutinnya," 

Alia mau protes tapi Fauzan dengan cepat memutar kursi Alia, menjadikan pangkuannya alas tidur Fauzan. Badannya ditopang kursi yang tadi dia pakai. 

"Kamu tuh..." Alia ingin protes tapi lagi-lagi tidak jadi. Fauzan terlihat begitu lelah. 

"Please," gumam Fauzan. 

Alia memandangi wajah Fauzan. Matanya yang tertutup, hidungnya yang mancung. Pipinya yang tirus. Rambut yang menjuntai menutupi dahi. Perlahan Alia mengelus rambut Fauzan, merapikannya, membelainya. 

Fauzan terlihat benar-benar menikmatinya. 

"Aku tahu sejak dulu kamu suka aku," kata Fauzan. Matanya masih terpejam dan tangan Alia masih membelai rambut Fauzan. 

"Gak mungkin kamu gak tahu," 

"Aku anggap kamu sebagai teman," 

"Aku tahu," 

"Aku kira perasaan kamu sudah hilang seiring jalannya waktu," 

"I'm trying to but it cant," 

"Aku senang mengenalmu lebih dalam sejak kita bekerja di tempat yang sama," 

"Aku pun," 

"Aku masih punya pacar," 

"Aku kenal pacar kamu, Poppy," 

"In sort.." 

"Forget about my feeling. Yes right. Jangan khawatir," Alia menarik tangannya. Berhenti membelai Fauzan. 

"Tapi aku ragu..." lanjut Fauzan. 

Alia menantikan kelanjutannya. 

"Apakah hubungan dengan Poppy harus kulanjutkan." 

Alia memilih tidak berkomentar apa-apa. Kalaupun Fauzan putus dengan Poppy, bukan berarti Fauzan akan jadi miliknya. 

Menyadari bahwa Alia diam saja, Fauzan membuka matanya. Dilihatnya Alia sedang menerawang. Pelan-pelan Fauzan bangun. Ketika beban di pangkuannya berkurang, Alia menoleh kembali kepada Fauzan. 

"If there's a reason for me to finally love you, it must be because of your personality," bisik Fauzan. 

Disentuhnya pipi Alia dengan kedua tangan. Tetes demi tetes air mata Alia menitik. Fauzan mengecup bibir Alia, sedikit demi sedikit menekannya, hingga lama kelamaan keduanya menyertakan perasaan dalam ciuman tersebut. 

Alia yang pertama melepaskan lidahnya, menutup mulutnya, dan menarik dirinya. 

"Stop it," 

Alia mengusap air matanya, membereskan berkas-berkas, memasukkan semua barang ke dalam tas. 

"Aku antar," 

Fauzan ikut berdiri. Mereka berjalan beriringan tanpa bicara. Berpamitan seperlunya pada Pak Dede. Sampai di mobil City Fauzan, ia membukakan pintu penumpang bagi Alia lalu berputar agar dirinya sendiri bisa masuk. 

Tanpa Alia dan Fauzan sadari, Poppy memandangi mereka berdua. Tersenyum miris. 

*** 

Alia dan Fauzan duduk bersebelahan di ruang kelas. Sudah dua bulan sejak training pertama MT UF, sekarang mereka akan melaksanakan training kedua. Alia dan Fauzan mempersiapkan materinya. 

"I broke up with Poppy," ujar Fauzan acuh tak acuh. 

Alia tertegun. 

"Oh yah," sahut Alia. 

"Yeah. We couldnt agree on when we will tie the knot. And she just dont feel comfort with me working with you." 

"Oh yeah? Then it should be me who step back," kata Alia kalem. 

"Gak akan ada gunanya," balas Fauzan tidak kalah santai. "Sudah sejak lama ia curiga ada apa-apa diantara kita," 

"Memang diantara kita ada apa?" Alia menoleh pada Fauzan. Menantang jawaban. 

Fauzan menatap Alia. "She knows that we kissed. She saw it," 

Alia tercengang. Tak sanggup berkata apa-apa. 

"Sejak dulu dia memang cemburu padamu dan setelah kejadian itu..." 

"Stop, Jan. Aku paham. Aku ngerti. Aku berdoa buat kebahagiaan kalian berdua,"

"Alia.."

"Bisakah kita gak ngobrolin ini lagi?" Alia menyentakkan materi training ke meja. 

"I'm sorry,"

"Apa arti kamu putus dengan Poppy? Gak ada hubungannya dengan aku kan?" 

"Yaya..," 

Alia memutuskan berdiri. Meninggalkan Fauzan untuk menenangkan hatinya. 

***

"Da,"

"Yes babe," 

"Can we meet?" 

"Are you crying?" Eda terkejut mendengar suara Alia yang menahan isak tangis. 

"Eda," 

"Ya ya, kamu di mana Alia? Aku jemput ya?" 

"Aku di Setiabudhi One," 

"Tunggu. Tunggu situ. Aku naik motor di kantorku," 

Saat ini menjelabg maghrib. Sepulang dari training di UF, Alia langsung kabur menghindari Fauzan. Mencoba menenangkan diri di Setiabudhi One. Namun ternyata ia butuh bercerita. Maka diteleponnya Eda, sang sahabat. Eda berkantor di Sudirman. Seharusnya tak lama ia sudah sampai di sini. 

"Alia," 

Alia mendongak. Eda sudah berdiri di depannya, wajahnya panik. 

"Edaaaa," seru Alia. Berdiri memeluk sahabatnya. Suaranya yang melengking membuat beberapa orang menoleh. 

"Sssshh. Yuk balik yuk. Ke tempat gue," 

Alia mengangguk. Ia mengikuti Eda ke motornya, bersiap curhat di rumah Eda. 

***

"Ini minum dulu," Eda menyerahkan mig berisi susu hangat kepada Alia. Minum susu setelah mandi membuat badan Alia terasa lebih enak. 

"Makasih ya Da," Alia menyeruput susu hangat. Membuat badannya ikut terasa lebih hangat. 

"Jadi gimana?" Eda duduk di atas kasur, menghadap Alia. Alia meletakkan mugnya di nakas, menarik nafas, memindahkan helaian rambutnya ke belakang telinga. 

"Aku dan Fauzan sudah..." Alia tak berani menyebut. Ia mengerucutkan kedua tangannya lalu menfgerakan keduanya seperti saling mematuk. 

"Ya ampun," Eda berseru, kaget. 

"Dan dia sudah putus dari Poppy. Dia akhirnya tahu betapa bencinya aku sama teman-temannya. Ketika ada Ucup, kamu tahu Ucup kan? Dia datang ke kantor kami untuk ajak kerjasama. Setelah itu aku cerita perasaanku sejak dulu, bencinya aku atas perbuatan mereka dan perasaan aku pada Fauzan." 

"Jadi semuanya sudah jelas ya Ya," 

Alia mengangguk. "Makin jelas."

"And you both kissed. Twice. Dan dia putus dengan Poppy. Apa ada kemungkinan nanti kalian jadian?" 

"Kemungkinan selalu ada, Eda. Tapi ini yang mengganggu aku. Aku tidak tahu apa yang mendorong dia mencium aku sampai dua kali. Aku juga tidak tahu apa alasan dia putus dengan Poppy. Terlebih, aku tidak tahu perasaan Fauzan ke aku. Aku gak mau cuma jadi pelarian setelah dia putus hanya karenq dia tahu aku masih suka dia. Di sisi lain, aku masih tidak lupa bagaimana sikap teman-teman mereka ke aku." 

"Perasaan kamu sendiri gimana?" 

"Aku..." Mata Alia berkaca-kaca. Eda tahu sendiri jawabannya. 

"Gue cuma punya satu pesan, Alia. Jangan terlalu terbawa perasaan, bergeraklah kalau dia sudah benar-benar menunjukkan dan menyebutkan bahwa dia sayang kamu. Kalau gak, bersikaplah biasa. Selama sekian tahun kamu bisa, harusnya sekarang juga bisa." 

"Aku coba ya, Eda. Dukung aku ya," 

"Kayak kontestan lomba nyanyi aja," Eda tertawa, memeluk Alia yang masih menangis. 

***

"Teh Alia," sapa suara di ujung sana. 

"Ini si... Poppy?" 

Alia tidak pernah punya nomor telepon Poppy. Maka ia tidak tahu siapa yang meneleponnya. Namun ia tahu suara Poppy. 

"Bisa ketemu?" 

Alia melirik jam tangannya. Pukul 4 sore. 

"Ada perlu apakah?" 

"Ada yang harus aku bicarakan dan ini gak bisa di telepon," 

Alia menelan ludah. Sepertinya paham kemana arah pembicaraan ini. Namun ia sebenarnya tidak mau bertemu Poppy. 

"Aku... Maaf..." 

"Aku tahu Teh Alia pasti menolak. Tapi aku mohon. Aku tidak akan macam-macam. Cuma sekali ini dan setelah itu aku gak akan ganggu lagi." 

"Baiklah," 

"Terima kasih Teh. Starbucks Pejaten Village jam 7 ya," 

*** 

"Maaf aku terlambat, Poppy. Macet dari kantor," 

"Iya gak apa-apa teh. Pake apa ke sini?" 

Poppy berdiri, menyalami aku, mencium pipi kiri kanan. 

"Gojek, Pop," 

"Duduk teh. Mau pesen dulu gak?" 

Alia menoleh. Memang tenggorokannya terasa kering. 

"Sebentar ya," 

Alia bangkit, dengan cepat memesan jus jeruk dan kembali ke hadapan Poppy. 

"Gimana Pop?"

"Teteh udah tau kan aku dan Aa Fauzan putus?" 

Alia menelan ludah dan mengangguk. 

"Aa Fauzan mau nikah dalam waktu dekat. Dia merasa gak perlu nunda lagi. Tapi aku belum mau. Aku masih ingin mengembangkan bisnis. Kupikir ketika aku bicara begitu, ia akan menunggu sampai aku siap. Nyatanya, dia menyerah. Bilang bahwa kami mungkin bukan jodoh," 

Alia masih diam. 

"Lalu aku ingat teteh. Apa mungkin penyebab putusnya kami adalah adanya orang ketiga, yaitu Teh Alia. Malam itu, aku sengaja mampir ke kantor, ingin bertemu Aa Fauzan karena ia menolak menjawab pertanyaan aku. Ternyata aku melihat dia dan Teh Alia sedang berciuman. Aku jadi semakin yakin dugaanku benar. Maka sekarang aku bertanya, kalian berdua benar-benar punya hubungan?" 

Poppy menanyakan tanpa nada menuduh. Bukan seperti perempuan yang marah-marah pada tersangka perebut kekasihnya. Ia penasaran. 

"Kita cuma teman di luar kantor. Di kantor kami atasan dan bawahan. Dia pemilik, aku pegawai. Selebihnya tak ada apa-apa lagi. Kejadian yang kamu lihat, itu kecelakaan." 

"Benarkah?" 

"Percayalah hubungan kami memburuk pasca kejadian itu," 

Poppy malah terlihat tidak mengerti.

"Tapi A Fauzan sering menyebut Teh Alia," 

"Gak berarti dia mencintai aku, Poppy. Pun seandainya iya, banyak pertimbangan apakah aku akan menerima dia atau tidak. Luka masa lalu yang tercipta karena dia akan selalu aku ingat," 

"Luka apa?"

"Biarlah cuma aku yang tahu Pop. Yang jelas, kalau pertanyaanmu apakah Fauzan memutuskanmu karena aku, jawabannya adalah tidak." 

"Aku pegang kata-katanya," 

"Tapi," aku menekankan. "Kalau, dan hanya kalau, di masa depan ada sesuatu antara aku dan Fauzan, percayalah bahwa itu terjadi setelah hubungan kalian selesai." 

"Baiklah," 

"Aku punya pertanyaan Pop," gantian Alia yang penasaran. 

"Yaitu?" 

"Kalau seandainya besok kamu tiba-tiba siap menikah, apakah kamu akan kembali ke Fauzan?" 

"Gak ada yang gak mungkin toh?" 

Alia mengangguk. Paham. 

"Satu lagi. Kamu gak marah sama aku?" 

"Poppy kesal sama Teh Alia, sebenernya. Rasanya pengen nyiram pakai kopi ini. Tapi... Poppy mencoba untuk dewasa. Sebelum menyalahkan orang lain, Poppy harus introspeksi diri. Poppy tahu ini tak sepenuhnya salah Teh Alia. Bahkan mungkin gak ada kesalahan Teh Alia sama sekali. Hanya saja yang namanya perempuan, mungkin hubungan kita tidak bisa sebaik dulu," 

Alia takjub. Poppy begitu dewasa. 

"Iya Poppy. Terima kasih," 

Poppy mengangguk. 

"Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, aku pulang ya Pop," 

"Iya. Makasih Teh," 

"Sama-sama Pop," 

Alia dan Poppy saling berjabat tangan, mencium pipi kiri kanan lalu berpisah. 

*** 

Mbak Ira yang menangani kerjasama dengan Ucup. Karena Fauzan paham bahwa Alia punya 'dendam pribadi' pada orang itu. Siang hari setelah Alia pulang dari lunch meeting dengan klien, ia melihat Ucup baru turun dari mobil dan melihat dirinya juga. 

Alia langsung melengos dan masuk ke kantor. 

"Alia," panggil Ucup. Alia mengabaikan. 

"Alia, tunggu," 

"Mbak, itu ada yang ngejar," Pak Dede mengingakan Alia. 

"Dia cari Pak Fauzan, gak ada urusan sama saya," kata Alia ketus. Cepat-cepat Alia masuk dan duduk di mejanya. Hampir bertabrakan dengan Fauzan yang berjalan ke arah ruang meeting eksternal. 

"Ouch," 

"Hati-hati Alia. Kamu lari dari siapa?" Fauzan memegang pundak Alia. Menghentikan langkahnya. 

"Ucup," jawab Alia singkat. Mendorong tangan Fauzan dari pundaknya. 

Fauzan ingin menfhampiri Alia tapi sudah saatnya meeting dengan Ucup. 

*** 

"Oke kita udah dapat brief dan timeline-nya. Mulai jalan bulan depan ya Cup," ujar Fauzan. Meresume pertemuan mereka. 

"Siap, Jan. Thank you berat. I really count on you," 

"Makasih juga udah percaya konsultan gue," 

"Karena gue percaya sama lo bro," 

Fauzan tersenyum. Ia lalu berbalik pada Ira. "Mbak, bisa tinggalin dulu kita berdua?" 

"Oh iya Pak. Siap," Mbak Ira membereskan notebook lalu keluar. 

"Ada yang mau gue tanyakan dan mungkin minta tolong. Ini di luar urusan pekerjaan. Sebagai teman aja," 

"Apa Jan?" 

"Maukah lo minta maaf sama Alia?" 

Ucup mengernyit. "Untuk?" 

Fauzan mendeham. Ia mencerutakan ulang kalimat Alia saat di rooftop. Kecuali bagian Alia bilang menyukai Fauzan. 

"Ah, gue tau. Iya itu kan jaman SMA. Udah berapa ya, 8 tahun lalu?" 

Fauzan mengangguk. 

"Gue cuma maksud ngejek-ngejek biasa aja. Ternyata dalem banget sakit hatinya ya?" 

Fauzan lagi-lagi mengangguk. 

"Iya gue sadar gue salah. Lagipula Alia udah gak pantas sama sekali menerima perlakuan buruk gue," 

Fauzan mengangguk ketiga kalinya. 

"Oke gue akan minta maaf sama dia," 

Fauzan berdiri, membuka pintu ruang meeting. "Siti, bisa panggilkan Alia? Suruh ke ruang meeting ya," 

"Sebentar ya Pak," sahut Siti. 

Fauzan masuk lagi dan menunggu di dalam. 

"Lo sama dia gak ada hubungan apa-apa kan Jan?" 

Mendengar pertanyaan itu Fauzan langsung salah tingkah. "Hah? Nggak, nggak. Gue cuma prihatin aja. Lagian dia tim gue," 

Ucup tertawa. Menepuk pundak Fauzan. 

Tok tok! 

"Iya masuk," seru Fauzan. 

Alia masuk. Ekspresi wajahnya datar bahkan cenderung benci. 

"Yaya," sahut Fauzan refleks. Ia langsung dihujani tatapan dari Alia dan Ucup. Alia tatapan memperingati, Ucup tatapan bertanya. "Ehm. Alia. Ada yang mau Ucup sampaikan." 

Mata Alia berpaling pada Ucup. 

"Hai, Ya," sapa Ucup. Alia tak merespon. "Gue mau minta maaf atas kelakuan gue dan teman-teman gue dulu. Kita bodoh, ngatain orang tanpa tau akibatnya. Cuma mau kelihatan keren ternyata itu nyakitin. Gue tau itu salah. Jadi gue minta maaf. Maafin gue," 

Kena angin apa anak ini minta maaf sama gue? Batin Alia. 

"Lo tulus minta maaf atau cuma basa basi?" nada bicara Alia terdengar dingin. 

Ucup dan Fauzan sama-sama terkejut. "Gue.. Ada yang minta," Ucup menoleh ke Fauzan. "Tapi gue juga sadar yang gue lakukan dulu itu salah. Jadi gue tulus minta maaf," 

"Oke," jawab Alia cepat. 

"Oke apa?" Ucup bengong. 

"Oke gue maafin. Masih ada yang diomongin? Kalau gak, gue mau kerja. Maaf," 

Alia berbalik lalu keluar. 

"Dia maafin gue gak sih?" Ucup berpaling pada Fauzan. 

Fauzan meringis, mengangguk. 

"Cewe Cup. Forgive but not forgot," 

"Duh ada-ada aja," 

"Makasih ya. Nanti gue ngomong lagi sama Alia," 

"Ya udah. Gue juga pamit ya Jan. Masih harus balik ke kantor," 

"Iya. Thanks for trusting us," 

*** 

Setahu Alia, Fauzan ada meeting di luar sejak pukul 4. Jadi seharusnya ia tidak akan kembali ke kantor. Alia pun merasa tenang untuk duduk di depan air mancur. Memandangi gemericik air. Di dalam masih ada beberapa orang yang lembur mengejar deadline. 

Mulut Alia refleks mendendangkan lagu Pupus. 

'Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk
Seluruh hatiku'

"Siapa sih yang bertepuk sebelah tangan?" 

Alia berseru kaget. Ia menoleh. Melihat Fauzan sedang bersandar di pintu kaca sambil memandangi air mancur juga. 

Alia memilih tak mengacuhkan pertanyaan bosnya. 

"Ucup udah minta maaf," lanjut Fauzan. 

"Aku dengar dan aku maafkan," 

"Sikapmu masih ketus," 

"Aku bukan orang yang mudah bersikap baik pada orang yang pernah jahat sama aku," 

"Berarti kamu juga gak akan bersikap baik sama aku dong?" 

Alia memandang Fauzan, tak mengerti. Fauzan berjalan, duduk di samping Alia. 

"Aku kan juga jahat. Gak berusaha mendiamkan teman-teman aku waktu ngejekin kamu," 

"Iya kamu juga jahat. Teman SMA yang jahat, bos yang jahat," Alia manyun, rasanya ia mau menangis lagi. 

"Masa lalu adalah masa lalu, Alia. Yang penting saat ini dan masa depan. Ya?" 

Alia menggeleng. Ia benar-benar menangis. Alia jadi berpikir bahwa lebih baik ia tak pernah suka pada Fauzan. Fauzan, sementara itu, menarik Alia ke pelukannya. Membuat Alia menangis di dadanya. 

"I shouldnt have fallen for you," isak Alia. 

"If its not, I'll never realize that there's such pure love as you have," sahut Fauzan, membelai rambut Alia. 

"I dont have pure love. Cinta semacam itu hanya mencintai tanpa perlu memiliki. Tapi aku mau kamu. Setiap kali aku berharap kamu putus sama Poppy," 

"Aku putus sama Poppy," 

"Iya dan aku tahu aku egois," 

"Kenapa perempuan sulit sekali diajak bicara?" Fauzan menghela nafas. Ia menempelkan pipinya pada puncak kepala Alia yang masih bersender di dadanya. Kalimat Fauzan tadi membuat dia mendapatkan cubitan di perut. 

"Ya, percaya diri. Hadapi semua dengan berani. Lupakan masa lalu. Kamu berhak dapat apapun yang lebih baik," 

"Termasuk pria yang lebih baik dari kamu?" Alia menarik dirinya dari Fauzan, memandang langsung ke matanya. 

"Eh itu jangan," seru Fauzan. Alia mengernyit. "Pokoknya itu jangan." 

Fauzan kembali menarik Alia ke pelukannya. Kali ini Alia bersandar di pundak Fauzan. 

"Kemarin aku ketemu Poppy," 

"Kok bisa?" 

Alia menceritakan pertemuannya. Sejak awal Poppy menelepon sampai mereka berpisah. 

"Kalian baik kan?" 

"Yeah we're good," jawab Alia. 

"Nice," 

Entah berapa lama Alia dan Fauzan mengobrol sambil berpelukan. Ditemani gemericik suara air. 

*** 

Karena bermesraan di kantor, meski sudah lewat jam kerja, dan masih ada karyawan yang bekerja, ditambah karyawan hanya sedikit, seluruh karyawan tahu apa yang terjadi antara Fauzan dan Alia. Mereka menggoda Alia begitu ia tiba di kantor. Tentu saja karena tak berani menggoda Fauzan. 

"Gak ada apa-apa. Udah deehhh," Alia berseru gemas. Ia tak bisa konsentrasi bekerja. 

"Kalau di perusahaan gede, udah kena SP kalian," goda Siti. Ia sampai meninggalkan meja resepsionis untuk menggoda Alia saat jam makan siang. 

"Gak ada yang bakal SP pemiliknya, Siti," komentar Mbak Ira. 

"Oh iya juga," 

"Udah ah. Jangan dibahas lagi," wajah Alia sudah memerah sejak tadi. 

"Terus orangnya mana?" Mbak Ira bertanya pada gerombolan ciwi ini. 

"Coba aja tanya ama ceweknya," kata Mbak Hana. Terkikik. 

Alia pura-pura tidak tahu. 

"Aliaaaa," panggil Mbak Ira. Alia mendongak. 

"Pak Fauzan mana?" 

Alia megap-megap. Ia mau menjawab tapi takut digoda lagi. Kalau tidak menjawab, sebenarnya ia tahu. 

"Pasti tahu kan? Jawab aja sih," goda Siti. 

"Ke Bandung. PP. Besok udah masuk lagi," jawab Alia cepat. 

"Ciyeeeee," 

Sial!

Tepat saat itu ponsel Alia berdering. Ponsel yang ditaruh di atas meja itu jelas menampilkan siapa peneleponnya. 

"Baru diomongin, orangnya nelepon," kata Mbak Hana, mengintip. Semua orang langsung heboh lagi. 

"Haduh, udah deh," Alia berseru malu. Ia mengambil ponsel lalu menjauh dari para wanita. 

"Halo," 

"Assalamu'alaikum, Alia," sapa Fauzan dengan ceria. 

"Waalaikumsalam. Tumben," 

Fauzan tergelak. "Lagi apa?" 

"Cheesy banget pertanyaannya. Lagi ngomongin kamu sama ibu-ibu di kantor. Trus kamu telepon. Makin puas mereka ngecengin aku." 

"Biarin aja," kata Fauzan sambil tertawa. "Aku juga lagi istirahat makan siang. Kamu mau dibawain oleh-oleh apa?" 

"Eh?" 

"Mau apa?" 

"Gak usah. Beli aja buat rame-rame di kantor," 

"Hmm. Apa ya?" 

"Brownies Amanda, molen Kartika Sari, keripik Maicih, batagor Riri, seblak, peuyeum Bandung," Alia menyebutkan oleh-oleh khas Bandung yang dia ingat. 

"Oke. Ini aku mau titip orang buat beliin. Jadi begitu selesai acara, aku langsung balik ke Jakarta,"

"Oke," 

"Yang spesifik buat kamu, gak ada?" 

Alia diam. "Kamu," akhirnya dia menjawab. 

"Apa? Aku gak dengar," 

Syukurlah, batin Alia. 

"Yang tadi aku sebutin aja udah banyak," 

"Ya udah. Sampai ketemu ya,"

"Iya," 

*** 

Alia menekan pinggangnya. Seharian duduk di meja membuat badannya sedikit pegal. Apalagi tadi ia tidak dapat duduk di Kopaja. Jadilah badannya semakin pegal. Alia sudah membayangkan akan langsung tidur begitu sampai kosan. Namun rencananya gagal begitu melihat mobil Honda City terparkir di depan kosannya. 

Fauzan mendongak ketika dirasanya Alia mendekat. Ia langsung tersenyum. 

"Hei," sapanya. 

"Ngapain?" Alia kaget. 

"Tadi ada yang bilang mau aku sebagai oleh-oleh. Jadi supaya permintaannya cepet terpenuhi, cepet-cepet kesini," Fauzan berkata sambil nyengir. 

Sial ternyata tadi dia denger. Alia merutuk dalam hati. 

"Ha ha. Nah udah terpenuhi. Sekarang cepet pulang. Udah jam 9. Istirahat sana," Alia mendorong Fauzan kembali ke mobilnya. 

"Lho cuma gitu doang? Gak ada apa gitu?" 

"Apa sih emang maunya," 

"Ya kirain apa gitu yang lebih.." Fauzan sudah berhadapan dengan Alia. Jarak mereka sudah begitu dekat. Debar jantung Alia yang jadi lebih cepat menyadarkan Alia sesuatu bisa saja terjadi. 

"Gak, kamu pulang. Udah malem. Besok ngantor. Badan capek nanti gak fokus nyetir," Alia mengambil kunci dari tangan Fauzan. Menonaktifkan pengunci mobil, membuka pintu pengemudi, dan mendorong Fauzan masuk. 

"Tunggu!" seru Fauzan. Alia menghentikan gerakannya. Secepat kilat Fauzan mengecup pipi Alia. "Lunas ya," 

Ia langsung masuk ke mobil dan membuka kaca jendela, meminta kunci. 

"Sampai ketemu besok ya," kata Fauzan pada Alia yang masih bengong. "Hei." 

"Iya iya. Sana pulang," Alia kemudian tersadar. 

"Bye," 

*** 

"Nih oleh-oleh dari Bandung buat semua. Dimakan ya," Fauzan berseru sehingga didengar seluruh karyawan. Ia meletakkan tas besar di meja yang kosong. Tanpa menunggu, semua karyawan mengerubuti oleh-oleh seperti semut bertemu gula. 

"Alia, sini! Nanti keabisan lho," seru Mbak Ira, tangannya sedang sibuk mencomot brownies Amanda. 

"Iya Mbak, duluan aja," sahut Alia, tersenyum. Di samping para karyawannya yang beringas, Fauzan memandang Alia, senyum. Namun Alia memalingkan wajah. 

"Kirain ada oleh-oleh khusus buat Mbak Alia," celetuk Ovi. Anak baru yang langsung update gosip kantor. 

Mereka langsung kompak bilang, "ciyeee!" Ditanggapi dengan tawa oleh Fauzan dan pelototan oleh Alia. 

Fauzan menjauh dari kerumunan, berjalan menuju ruangannya. Sebelumnya, ia mampir ke meja Alia dan menaruh sebuah undangan. Tanpa bicara, ia pun masuk dan menutup pintu. Alia tertegun memandangi undangan pernikahan itu. 

*** 

"Mana ada sih yang ngajak orang ke resepsi pernikahan dengan cara naro undangan gitu aja?" Alia menggumam, merapikan rambutnya. 

"Ya ada. Aku," balas Fauzan santai. 

Undangan yang waktu itu diletakkan di meja Alia adalah undangan pernikahan sepupu Fauzan. Ia mengajak Alia untuk menemaninya. Sekarang mereka sedang menuju Ritz-Carlton. 

"One of a kind," Alia menggeleng. 

"Glad you came," 

"Namanya juga jomblo, malem Minggu gak ada aktivitas," kata Alia cuek. Ia menganggap bahwa dirinya dan Fauzan tetap hanya teman di luar kantor. Seperti saran Eda. Menanggapi kata-kata Alia, Fauzan hanya tersenyum. 

"Gak berlebihan kan dandanan aku?" Alia menunjuk busananya malam ini. Kebaya hitam dipadu kain samping. Mengingat Fauzan juga mengenakan baju adat. 

"Cantik," 

"As always," Alia mendengus. 

Fauzan menyerahkan mobil pada petugas valet. Ia mengulurkan tangan untuk menggandeng Alia. Alia menerima uluran tangan Fauzan. Mereka berjalan bergandengan menuju lokasi resepsi. 

Ini salah satu pernikahan mewah yang pernah didatangi Alia. Orang-orang yang datang semuanya mengenakan pakaian glamor. Makanan melimpah. Pelaminan mewah. Kue bertingkat. 

"How rich are you actually?" bisik Alia di telinga Fauzan. 

"Om Pradipta ini memang anak paling kaya diantara turunan kakek nenek aku. Jadi wajar kalau nikahan anaknya ya begini," 

"Ya ampun. Tunggu, itu Raffi Ahmad? Itu bukannya Anggun?" 

Fauzan tersenyum. 

"Aku jadi katro," Alia manyun. 

"Bibirnya jelek kalau manyun gitu. Mending bibirnya buat yang lain aja," 

"Such as?" Alia sungguh-sungguh bertanya. Yang dipikirkannya adalah makanan melimpah ini. 

"Buat ci..." 

"Pempek yuk," Alia menunjuk salah satu food stall. 

"Hah?" 

"Icippp, baru nanti salaman sama pengantin. Oke?" 

Fauzan mengangguk. Menemani Alia mencoba berbagai makanan, tertawa saat wajah masing-masing terkena makanan. 

"Salaman dulu yuk. Nanti keburu waktunya foto keluarga," 

"Oke," 

Alia dan Fauzan kemudian mengantri untuk menemui pengantin. Beberapa kali Fauzan seperti celingukan. 

"Kenapa?" 

"Nggak. Gak apa-apa," Sedetik Fauzan tersenyum kemudian diam lagi. 

"Pacar baru, bro?" tanya Ikhwan, sang pengantin pria, saat Fauzan dan Alia menyalami mereka. 

Fauzan cuma nyengir. "Selamat ya Wan. Baik-baik jaga istri lo," 

"Selamat ya," ujar Alia pada kedua mempelai. Ikhwan dan istrinya cengar cengir melihat Fauzan dan Alia. 

Selepas dari pelaminan, Alia kembali menggandeng lengan Fauzan. 

"Ada satu lagi yang aku mau kamu temui..." kata Fauzan. 

"Siapa?" 

"Orang tu...a...ku..." Fauzan bicara terbata-bata. Dikarenakan orang tuanya sudah berdiri di depannya. Memperhatikan Fauzan dan Alia sejak di atas pelaminan. 

Ayah Fauzan, pemilik konsultan Procale, melipat kedua tangan di depan dada. Di sampingnya, ibu Fauzan memandang putranya penuh tanya. 

"This is my parents," bisik Fauzan. Alia mengangguk mengerti. 

"Mam, Pap," panggil Fauzan. 

"Berbulan-bulan gak mampir ke rumah," kata ayah Fauzan, suaranya menggelegar. 

"Diajak barengan ke sini gak mau. Ternyata udah bawa pasangan," kata ibunya, tersenyum pada Alia. Alia mengangguk kaku. 

"Ini Alia. Salah satu tim di konsultan Procale. And she is my fiance," 

Alia langsung ingin menginjak kaki Fauzan saat itu juga. 

"Kamu pacari tim kamu sendiri?" mata sang ayah menyipit curiga. 

"Sebelumnya dia teman SMA aku, Pap," 

"Tapi saat ini kalian bekerja di tempat yang sama kan?" 

Fauzan mengangguk. Alia tak berani bergerak. Ia mengkeret di tempat. Pegangannya ke lengan Fauzan pelan-pelan mengendur. 

"Gimana kamu ini, Jan. Mana bisa pacarin karyawan sendiri," ayah Fauzan berbalik. Mengacuhkan putranya. 

"Jan.. Berhenti mengejutkan Mami dan Papi," ujar sang ibu. Ia ganti menoleh pada Alia. "Senang berkenalan denganmu, Alia." 

Alia mengangguk kaku. Terus menunduk sampai ibu Fauzan meninggalkan mereka berdua. 

"Yaya," panggil Fauzan. 

Alia mendongak, dipandangnya Fauzan sejenak lalu Alia berbalik. Meninggalkan Fauzan dengan langkah menghentak. 

"Alia! Mau kemana?" Fauzan mensejajari langkah Alia. 

"Pulang!" kata Alia ketus. 

"Kenapa? Kita belum bisa pulang. Aku masih harus..." 

"Aku gak peduli kamu masih harus foto atau bersih-bersih gedung ini sekalian," Alia berteriak. Untungnya mereka sudah di luar ballroom, dimana orang-orang tidak terlalu ramai. "Stop messing with my life." 

Alia berbalik, berlari. Gak peduli dengan tali heelsnya yang seakan mengiris. 

"Alia, please," Fauzan ikut mengejar. Ditariknya tangan Alia sampai Alia hampir terjerambab jatuh. Cepat-cepat Fauzan menarik Alia sebelum menyentuh tanah. 

"Lepas!" Alia mendorong Fauzan dengan keras. 

"Alia kamu kenapa?" 

"Kamu tanya kenapa? Bisa-bisanya kamu kenalin aku sebagai tunangan kamu! Tunangan! Aku gak inget kita pernah komitmen untuk pacaran. Apalagi tunangan! Belum lagi kata-kata ayah kamu. Bisa-bisanya kan kamu pacarin karyawan sendiri?! Like, really?! Belum bener-bener pacaran pun ayah kamu sudah menentang aku. Hidup aku gak pernah bener kalau menyangkut kamu. Dulu aku dibully. Sekarang aku cuma jadi mainan kamu. Belum apa-apa udah dibenci ayah kamu! Pemilik tempat aku bekerja. Enough is enough, Jan! Enough!" Alia meneriakkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Tenggorokannya sampai terasa sakit dan pita suaranya seperti mau putus. Tapi Alia tidak mau berhenti. Bahkan ketika air mata memenuhi pipinya. 

"Alia, please calm," Fauzan mendekati Alia. Bermaksud memeluknya. 

"I dont want to be calm!" Lagi-lagi Alia berteriak. "You have had enough messing with my life. I'll go! Mulai minggu depan aku gak akan kerja di tempat kamu lagi." 

Alia berbalik, berlari lagi. Fauzan masih tetap berusaha mengejar Alia. 

"Alia, jangan bercanda," seru Fauzan. 

"Stop! Stop right there or I will never see your face again!" Alia menunjuk. Wajahnya merah padam. Fauzan berhenti, mengangkat kedua tangannya. 

Masih dengan amarah membara, Alia keluar dari Ritz-Carlton dan menyetop taksi. 

*** 

Fauzan sampai menunggu di depan kost Alia di hari Minggu. Tapi Alia tak menunjukkan diri sama sekali. Ponsel Alia tidak aktif. Sampai larut malam akhirnya Fauzan menyerah. 

*** 

Fauzan datang pagi-pagi sekali. Pukul 7 pagi ia sudah tiba. Mengagetkan Pak Dede yang baru selesai mandi. 

"Pak," Pak Dede tersenyum malu. 

"Pagi, ada Alia kesini pagi ini?" 

"Gak ada Pak. Baru Bapak yang kesini hari ini," 

"Sip," 

Buru-buru Fauzan berlari menuju meja Alia. Ia akan menunggu Alia disitu. Alia akan tetap bekerja hari ini. Disini. Kalaupun ia resign, Alia perlu membereskan barang-barangnya. 

Namun begitu sampai di meja Alia, Fauzan termenung. Meja itu sudah bersih sama sekali. 

"De! Dede!" teriak Fauzan. 

"I iya Pak," Dede tergopoh-gopoh menghampiri Fauzan. Baju Security-nya belum terpakai sempurna. 

"Kenapa meja Alia sudah bersih? Kapan, dia, ke sini?" Fauzan berkata seperti orang marah. Nafasnya naik turun. 

"Neng Alia kesini hari Sabtu, Pak. Malam-malam. Pake kebaya sambil nangis. Langsung beberes," jawab Pak Dede polos. 

"Sial!" Fauzan menggebrak meja. Membuat Pak Dede melonjak ketakutan. 

Tanpa menunggu, Fauzan kembali ke mobilnya. Berkendara menuju Depok. 

*** 

"Permisi!" seru Fauzan. Mengetuk pagar besi berwarna biru. 

"Iyaaa," ibu-ibu berkain daster melongok. 

"Maaf, permisi. Saya cari Alia. Alianya ada?" 

"Alianya udah pindah. Mendadak," 

Perasaan Fauzan langsung terasa berlubang. 

"Ka-kapan?" 

"Sabtu malam. Ada yang bisa dibantu?" 

"Ibu tahu kemana Alia pindah?" 

Ibu itu menggeleng. 

"Oke. Makasih Bu," 

*** 

Ada satu tempat yang masih memungkinkan untuk menemui Alia. Rumahnya. Fauzan mengemudikan mobilnya ke arah Cikini. Secepat yang diijinkan jalanan Jakarta di Senin pagi. 

Pukul 10 Fauzan baru sampai di rumah bercat hijau itu. 

"Assalamu'alaikum?" sapa Fauzan. 

"Waalaikumsam," jawab ibu-ibu yang sedang menyapuhalaman. 

"Pagi Bu. Ini Fauzan, temen kantornya Alia,"

"Eh iya, yang pernah kesini kan ya," ibunya Alia tersenyum. 

Fauzan mengangguk. "Alianya ada?" 

"Lho kan harusnya kerja?" Ibunya malah balik bertanya. 

Fauzan makin bingung. Alia sudah pergi dari kantor dan kosan sejak hari Sabtu. Sekarang hari Senin. Alia kemana? 

"Alia....tidak bekerja hari ini. Saya berusaha menghubungi ponselnya tapi tidak aktif. Ke kosannya pun tidak ada. Saya pikir..." 

"Alia tidak kesini," ibunya mulai kelihatan cemas. 

"Ibu... Ibu bisa coba hubungi Alia? Mungkin bisa nyambung. Sementara itu saya coba cari di tempat lain. Ibu tenang ya," 

Ibu Alia mengangguk. Fauzan buru-buru kembali ke mobil. Menelepon siapapun yang sekiranya tahu keberadaan Alia. 

*** 

"Bu..." 

"Bener kata kamu, dia kesini," kata Ibu Alia di telepon. Alia memijat keningnya. 

"Maaf ya ibu jadi harus bohong," ujar Alia. 

"Masalah kalian apa? Ibu gak ngerti kamu sampai harus ngumpet gitu," 

"Nanti Alia ceritakan kalau sudah bisa pulang ya Bu," 

"Iya. Jangan lama-lama. Gak enak Ibu sama Eda. Meski orang tua Eda lagi umroh," 

"Eda gak apa-apa kok bu. Nemenin dia," 

"Iyaaa tapi mending kamu disini. Sama Ibu, Bapak dan Tera," 

"Nanti ya Bu. Alia kabari lagi. Makasih Ibu. Maaf merepotkan," 

"Iya neng. Kamu hati-hati ya. Jaga kesehatan," 

Alia mengangguk dan menutup telepon setelah bilang 'sayang ibu'. Alia berbaring kembali di kasur Eda.  Malam itu, setelah meninggalkan Fauzan di Ritz, Alia langsung memacu taksinya menuju kantor untuk mengambil barang-barang. Di jalan, ia menelepon Eda. 

Eda menemuinya di kosan dengan membawa mobil. Tanpa banyak bicara, Alia menaruh semua barangnya ke mobil Eda. Sementara itu Alia meminta Eda membuat surat pengunduran diri. Alia pamit ke pemilik kost. Bersama Eda, ia mampir ke rumah. Sampai di rumah hampir pukul 1. Ibu sampai kaget. Dikiranya Alia diusir. Saat itu Alia hanya menjelaskan bahwa ia punya masalah dengan seseorang dan ia meminta ibu bekerja sama. Ibu setuju. 

Bertiga, mereka menurunkan sebagian barang Alia di rumah. Sisanya ia bawa untuk menginap di rumah Eda. Hari Minggu pagi-pagi sekali Alia dan Eda berangkat ke rumah Eda. Khawatir jika pagi-paginya Fauzan akan mencari ke rumah. 

Dugaan Alia meleset sedikit. Fauzan datang ke rumahnya hari Senin. 

Alia tidak mau bertemu Fauzan sama sekali. Cukuplah. Saatnya Alia mencari pekerjaan lain. Cinta yang lain.

Maka dari itu Alia juga tidak berani menyalakan ponselnya. Ia menelepon ibu dari telepon rumah Eda. Alia yakin Fauzan tidak akan sampai menemukannya di rumah Eda. Fauzan entah kenal Eda atau tidak. Kalaupun kenal, belum tentu tahu rumahnya kan? 

Hari pertama di rumah Eda yang sepi. Hanya ada Si Mbok. Alia menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan memasak.

*** 

"Fauzan nelepon aku," ujar Eda begitu sampai di rumah. 

"Serius?" 

"Dua rius," Eda mengambil kotak jus dari kulkas. 

"Kamu bilang apa?" 

"Bahwa aku kira kamu baik-baik aja kerja," 

"Dia gak curiga?" 

"Pasti curiga. Tapi jawaban aku meyakinkan sih. Bilang bahwa wajar beberapa hari gak digubungi Alia npaling dia lagi short escape," 

"Terima kasih, Eda," 

"You're welcome. Kayaknya sih tapi ya, dia gigih banget cari kamu. Dia bilang abis neleponin orang seangkatan di SMA. Demi kamu seorang, Alia!" 

"Aku gak peduli," 

"Oiya. Oke. Kerjaan gimana?" 

"Aku lamar jadi dosen di kampus aja. Via dosen bimbingan waktu skripsi. Dia bilang bakal hubungi dalam waktu dekat," 

"Semoga hasil yang terbaik ya, Ya," 

"Aamiin. Jadi aku bisa pindah dari rumah Eda," 

"Eh lama disini juga gak apa-apa. Aku senang punya teman. Ngomong-ngomong, makan malamnya apa?" 

*** 

Alia sedikit terlambat untuk mengajar karena semester baru sudah berjalan tapi ia tetap diterima sebagai tenaga pengajar di kampus. Alia bersyukur. Ia bekerja sejak Senin. Pindah kembali ke rumahnya di Cikini sejak hari Sabtu pagi. 

"Have a new life!" seru Eda. Mengangkat gelas orange juice tinggi-tinggi. "Ayo kita bersulang, Om, Tante, Tera," 

Alia menggeleng. Ia cuma pindah kerja padahal. Ayah mengangkat gelas kopi. Ibu orange juice. Tera teh manis. Alia susu hangat. 

"Makasih makasih," ujar Alia. 

"Cari jodoh disitu Ya," bisik Eda, menyenggol Alia. 

"Apa sih," Alia bersungut. 

*** 

"Beneran gak ada yang tahu Alia dimana?" Untuk keseratus kalinya Fauzan bertanya pada timnya dalam seminggu terakhir. 

"Nggak Pak, surat pengunduran diri dia juga diprint, ditandatangan, terus diemail lagi," sahut Mbak Hana. "Surat aslinya sampai di kantor hari Kamis," 

"Alia hilang. I hope she's okay," gumam Fauzan. Masuk ke ruangan dan menguncinya. Biasanya ia tak pernah mengunci. 

"Gue rasa Alia baik-baik aja. Kalau ada apa-apa kan pasti udah ada di media," celetuk Mbak Hana. 

"Iya doain aja Alia beneran baik-baik. Gue kaget sih dia tiba-tiba resign. Nomor teleponnya juga gak aktif. Gue khawatir aja bos kita jadi rada..." Mbak Ira menaruh telunjuknya di kening dengan agak miring. 

Mereka berdua tertawa. 

***. 

Fauzan selalu mencoba menghubungi Alia. Seperti hari ini. Ia sedang termenung di kantor, masih kehilangan Alia. Dicarinya nama Alia di nomor kontak. Fauzan menekan tombol Call. 

*** 

"Mbak Puji, aku ke toilet dulu ya. Kalau ada telepon angkat aja," Alia menunjuk toilet yang ada di sebelah kanan. Mbak Puji adalah staf akademik fakultas. Ia yang membimbing Alia selama belum benar-benar mengajar. Mereka sedang membahas pembuatan silabus. 

"Iya Dek," Mbak Puji mengangkat jempol. 

Tidak lama setelah Alia ke toilet, telepon berbunyi. Nama Fauzan Al Rasyid muncul. Mbak Puji mengangkat telepon, seperti yang dibilang Alia. 

"Halo?" 

"Alia?" seru si penelepon. Terdengar begitu bersemangat. 

"Bukan ini Puji. Alia lagi di toilet. Mau titip pesan?" 

"Alia, Alia dimana sekarang?" 

"Alia di kampus," jawab Mba Puji. 

"Kampus?" 

"Iya. Dia jadi staf pengajar Fakultas Psikologi. Kalau mau cari Alia, dia lagi di kantor Akademik. Kita pulang jam 4," 

Fauzan menghela nafas. Sangat lega. Pencariannya berbuah hasil hari ini. Ini jawaban atas doa-doanya siang dan malam. 

"Terima kasih, Mbak. Tolong jangan bilang Alia saya menelepon," 

"Oh begitu. Baiklah," 

Telepon ditutup. Semenit kemudian Alia kembali. "Ada yang nelepon?" 

"Nggak. Yuk lanjut lagi," 

*** 

Fauzan menarik nafas, menghela, menarik, menghela, begitu terus. Ia sudah berdiri di parkiran fakultas. Siap menunggu Alia keluar. 

Fauzan melirik jam tangannya. Sudah pukul 4 tapi belum ada tanda-tanda. Akhirnya Fauzan mendekati Security. 

"Alia, ada?" 

"Neng Alia Puspitasari? Ada. Biasanya dia pulang agak sore," 

"Saya mau ketemu dia. Saya tunggu dimana?" 

"Di sini aja Pak," Security menunjuk sofa di luar ruang akademik. Fauzan mengangguk. 

Pandangan Fauzan tak lepas dari pintu ruang akademik. Siap menyergap begitu Alia keluar. 

Pukul 5 barulah pintu itu terbuka. Suara Alia terdengar. 

"Makasih ya semuanya. Sampai besok! Daahh," 

Fauzan berdiri, jantungnya berdebar menunggu Alia. Alia menutup pintu di belakangnya, berbalik. Ikut tertegun saat dilihatnya Fauzan berdiri di depannya. 

"Alia," 

Alia mematung. 

"Alia," Fauzan melangkah mendekati Alia. Sebaliknya Alia malah mundur. Mengkeret menempel ke pintu. 

"Jangan mendekat! Aku gak mau ketemu kamu. Tolong, kamu lebih baik pergi," 

"Alia, aku minta maaf. Kita ngobrol yuk. Tolong," 

"Jangan paksa aku untuk teriak dan bikin keributan disini," 

"Gak akan ada keributan kalau kamu mau ikut sama aku," 

"Aku gak mau! Aku sudah minta kamu jauhin aku. Kenapa kamu datang lagi? Pergi kamu Jan pergi!" Alia menghentak, secepat kilar ia berlari. 

"Alia!" Fauzan berlari tidak kalah cepat. Mantan pemain futsal, tentu saja. Disergapnya tangan Alia, dibalikan tubuhnya. "Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja meninggalkan aku." 

Suara Fauzan bergetar.

"Jangan tinggalkan aku. Aku mencintai kamu," 

Fauzan is begging. Something that really rarely happen. Alia tidak pecaya penglihatan dan pendengarannya. Tapi mata itu sungguh-sungguh. 

Alia menepis tangan Fauzan. "Forget it," 

Dan kali ini Alia berlari. Sangat cepat. Membuat Fauzan tak bisa mengejarnya. 

*** 

Secepat kilat Fauzan mengendarai mobilnya dari kantor Procale di Kemang ke kampus tempat Alia bekerja di Depok. Perjalanan hanya memakan waktu 1 jam sehingga Fauzan tepat sampai di depan ruang akademik begitu Alia keluar. Joka dia beruntung, Alia masih di kampus. Jika tidak, Alia sudah pulang lebih dulu. 

Saat pertama ia tiba, Alia hanya meliriknya dengan pandangan tajam. Lalu ia pergi tanpa bicara apapun. Fauzan juga tak mengucapkan apa-apa. Berikut-berikutnya Fauzan masih sempat senyum dan menyapa sebelum Alia meninggalkannya. 

Sebulan berlalu seperti itu. Sampai masa UTS dimana Alia stand by di kampus lebih lama dari biasanya. 

"Baru pulang?" sapa Fauzan begitu Alia keluar ruang akademik, membawa kertas ujian mahasiswa. 

Alia tersentak. 

"Belum," cuma itu jawabanbya. Ia berjalan menuju ruang dosen, meletakkan kertas ujian untuk dinilai. Fauzan mengikuti. 

"Memangnya kamu gak ada kerjaan sampai malam ya?" Suatu hari akhirnya Alia yang menyapa lebih dulu. Duduk di samping Fauzan tanpa memandang sama sekali. 

"Aku nolak kerjaan kalau lewat dari jam 4," 

"Gak seharusnya kamu nolak rejeki hanya karena mau ketemu aku," 

"Kata siapa aku mau ketemu kamu?" Fauzan pura-pura komplain. Alia mendengus tertawa. 

"Toh ada hasilnya. Akhirnya kamu mau ngobrol sama aku," 

Alia tersenyum. "Aku harus masih beres-beres. Mau nunggu?" 

"Pasti," 

Malam itu dengan sukarela Alia pulang dengan Fauzan. Tak banyak yang mereka bicarakan. Ini jadi awal masa-masa mereka pulang bersama lagi. 

"Aku ulang tahun lho sebentar lagi," Fauzan mendeham. 

Mana Alia bisa lupa. 

"Lalu?" 

"Usiaku 27 nanti," 

"Tua," 

"Heiii," Fauzan merajuk. "Ini tandanya aku harus mulai melangkah ke jenjang yang lebih serius." 

"Ya bagus. Pastikan orang tua kamu setuju dengan perempuan itu," kata Alia dingin. 

Fauzan bingung. Apa Alia tidak paham kode ya? Atau malah paham? 

"Papi, ehm, setuju kalau gak sekantor," kata Fauzan pelan. 

Alia tahu yang dimaksud Fauzan berarti ayahnya sudah setuju dengan Alia. 

"Ya udah cari yang gak sekantor," ujar Alia. 

"Susah ya ngobrol sama kamu, Yaya," Fauzan menggaruk kepalanya. 

Yaya, sudah lama sekali rasanya Alia tidak mendengar Fauzan memanggilnya Yaya. 

"Gak susah sih kalau to the point," 

Jalanan macet memberikan kesempatan Fauzan untuk berhenti menyetir sejenak. 

"Alia, Papi sudah setuju sejak kamu pindah kerja," Fauzan mengulurkan tangannya. Menautkan jemarinya di jemari Alia. 

"Kamu tahu bukan itu saja yang jadi ganjalan di pikiran aku," Alia mengeratkan pegangannya. 

"Aku? Aku sudah bilang perasaan aku ke kamu," 

Alia diam. 

"Kamu takut aku ninggalin kamu kalau kamu menggendut lagi? Atau di rumah kamu gak pake contact lens? Alia, kan aku sudah bilang. Kalau aku jatuh cinta sama kamu, itu karena kepribadian kamu. Lagipula aku sudah lihat penampilan kamu dulu. I'm okay with that. Apalagi kalau kamu menggendut karena hamil anakku." 

Alia mencubit perut Fauzan. Dia tertawa. 

"Masih ada lagi?"

Saat Alia diam berarti masih ada yabf mengganjal. 

"Ucup sudah minta maaf. Itu representasi teman-teman kami. Kalau perlu, nanti kamu aku ajak ketemu mereka dan mereka minta maaf langsung sama kamu. Tapi, kamu juga harus percaya diri. Bahwa kamu cantik, kamu hebat, kamu kesayangan aku," 

Jalanan bergerak lagi. Fauzan melepaskan tangannya untuk menyetir. 

"Jadi?" 

"Aku, ehm, belum yakin. Aku harus, er, berdoa dan minta petunjuk," 

"Baiklah," Fauzan mengulurkan tangannya, mengelus rambut Alia. Alia merasa aman. 

"Aku antar sampai sini aja ya," ujar Fauzan begitu mobil sudah sampai di depan rumah Alia. 

"Gak mau masuk?" 

"Nanti kalau anaknya ibu kamu sudah resmi milih aku," 

"Tera?" Alia menyebutkan nama adik laki-lakinya. 

"Kalau gak salah namanya Alia. Alia Al Rasyid," Fauzan nyengir. 

Alia senyum sedikit. "Aku masuk ya. Terima kasih," 

"Sebut aku, di doa dan shalatmu," ujar Fauzan. 

Alia menatap Fauzan. Her eternal love. 

Alia mengangguk.

*** 

Alia melarang Fauzan untuk terus menemuinya sepulang kerja. Alia khawatir ini mempengaruhi kinerja Fauzan. Tapi ketika Fauzan tidak sibuk, ia sukarela menjemput Alia. 

Beberapa saat Alia dan Fauzan tak lagi membahas hubungan ke jenjang yang lebih serius. Mereka hanya mengobrol, merajut kembali hubungan yang sempat terurai di masa lalu. 

"Kita jadi mau keluar jam berapa?" tanya Alia pada Fauzan di telepon. 

"Jam 10," 

"Sekarang udah jam 10 kurang 10, Ojan. Kamu sampai dimana?" 

"Stasiun Cikini. Dikit lagi nih. Kamu udah siap?" 

"Udah daritadi," 

"Iya iya sebentar," 

Alia menutup teleponnya. 

Minggu, 30 Oktober. Hari ulang tahun Fauzan. Sudah berkali-kali Fauzan mewanti-wanti agar Alia tak memiliki rencana apapun. Alia setuju. Ia bahkan sudah bersiap sejak pagi. Mengenakan rok panjang dan blus senada. Rambut diikat ekor kuda. Cantik dan fresh. 

Aku sudah di depan. Begitu bunyi pesan dari Fauzan. 

"Ibu, Ayah, Alia berangkat ya," Alia berpamitan pada orang tuanya. 

"Ajak dong dia masuk. Di luar terus," goda Ayah. 

"Nanti malem ya Yah," Alia mengedip. 

Keluar dari rumah, Alia setengah berlari menuju mobil Fauzan. 

"Cantik banget. Mau ketemu siapa?" 

Alia memutar bola mata. Siapa lagi yang mau Alia temui selain Fauzan? 

"Yuk berangkat Pak Pir!" 

"Siap, Princess!" 

*** 

Memanfaatkan keuntungan yang dia miliki, Fauzan mendapatkan Chatime secara gratis. Ia hanya membayar 1 untuk Alia. Setelah itu dia mengajak Alia bermain di Timezone. Sebenarnya bahkan dia yang sibuk main. Alia hanya main beberapa kali. 

Setelah dia puas, Fauzan mengajak Alia ke Mushola lalu mereka lanjut menonton Inferno. Menikmati popcorn dan film dari novel Dan Brown ini. Begitu selesai menonton film, Fauzan mengajak Alia ke Starbucks dan lagi-lagi menikmat gratisan. 

"Kayak bocah ih. Ulang taunnya main game, cari gratisan," 

"Aku selalu pengen kayak gini. Cuma belum sempet aja," kata Fauzan bersemangat. 

"Terus kemana kita sekarang?" 

"Makan yuk. Siang kan belum makan," 

Mereka makan di Tokyo Belly. Tidak romantis tapi yang penting mereka berdua kenyang. 

"Aku mau denger sesuatu lagi dong dari kamu," kata Alia setelah mereka selesai makan. 

"Apa?" 

"Yang kamu bilang pertama kali kamu nemuin aku di kampus," 

Fauzan berdeham. "Oh yang 'bisa-bisanya kamu tinggalin aku' itu?" 

"Setelahnya," 

"Aku bilang apa? Kan kamu langsung kabur," wajah Fauzan benar-benar terluhat jahil. 

"Ih ya udah. Bayar yuk, pulang," Alia manyun lagi. Ia memanggil waitress untuk meminta bill. Fauzan masih cengar cengir kayak kuda. 

Mereka berjalan bersisian kembali ke mobil. Pelab-pelan jari Fauzan bertaut dengan jari Alia. Mereka berjalan sambil bertautan jari. 

"Terima kasih ya mau nemenin seharian," Fauzan menarik tangan Alia, mengecupnya. 

"Iya. Seru juga liat bapak-bapak 27 tahun ulang tahun kayak anak SD," 

"Heh masa Bapak-bapak. Masih muda dan bersahaja gini," 

"Hidih males vanget bahasanya. Muda dan bersahaja," 

Alia dan Fauzan tertawa. 

"Yaya," panggil Fauzan saat mereka sudah di mobil. 

"apa Ojan?"

"Aku gak mungkin dong bilang itu di tempat umum. Tempatnya gak romantis pula," 

Alia awalnya bingung. Tapi kemudian ia mengerti. 

"Oh. Terus tempat apa yang romantis?" 

Fauzan melirik sekelilingnya. "Setidaknya disini ga ada orang lah," 

Alia tertawa. 

"Aku cinta kamu, Alia Puspitasari. Soon to be Alia Al Rasyid," 

"Aku juga cinta kamu, Fauzan Al Rasyid. Pertanyaan-pertanyaanku dijawab dengan wajah kamu di mimpi dan keseharian aku," Alia tersenyum. Fauzan lebih-lebih terlihat terkejut sekaligus bahagia. 

"Alhamdulillah. Senang tahu bahwa kamu jadi lebih yakin ke aku," 

"Jadi dong kamu ketemu Bapak sama Ibu?" 

Wajahnya langsung grogi. "Ah iya," 

"Nanti setelah nganter, ikut masuk ya," 

Fauzan mengangguk. Sejak itu wajahnya terus tegang. Di perjalanan pun dia diam saja. Alia senyum-senyum. Diusapnya lengan Fauzan supaya lebih rileks.

"Yuk," ajak Alia. Honda City sudah berhenti di depan rumah Alia. 

"Sebentar," Fauzan mengangkat tangan. Benar-benar grogi. Alia tertawa. 

"Kamu grogi beneran ya mau ketemu Bapak?" 

"Iyalah Sayang. Kan mau sekalian minta anaknya jadi istri aku. Udah 27 tahun udah wajar buat nikah," 

Alia tertawa lagi. Pertama kali melihat Fauzan segrogi ini. Pertama kali juga Fauzan memanggilnya Sayang. 

"Aku kasih tau cara supaya gak grogi," 

"Apa?" Fauzan menoleh. 

Alia mencondongkan tubuhnya, menarik wajah Fauzan, membenamkan ciumannya di bibir sang kekasih. Fauzan melotot, tak mengira ini cara supaya tidak grogi. Lama kelamaan uratnya jadi lebih santai. Ia menutup matanya dan menikmati ciuman Alia. 

"Gimana?" 

"I'm ready!" teriak Fauzan. Mengepalkan tangan. 

"Ayo turun kalau begitu," 

Mereka berdua turun dari mobil. Alia menggandeng tangan Fauzan agar dia tidak grogi lagi. 

"Assalamu'alaikum. Bapak, Ibu, Alia pulang," 

Bapak dan Ibu Alia keduanya keluar. Fauzan menelan ludah. 

"Bapak, Ibu. Kenalkan, ini Fauzan, pacar Alia," 

Fauzan menelan ludah lagi. Dipaksakannya tersenyum, meski ia jadi terlihat seperti sakit gigi. 

"Pak, Bu, saya Fauzan Al Rasyid. Dulu kenal di SMA dengan Alia. Sekarang saya pacar Alia. Er, saya ke sini mau lamar Alia," 

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?