So Long and Good Night
"Sebel! Sebel sebel sebel!!!" Aku melemparkan tas ke kursi dan langsung merebahkan diri ke kasur. Menendang-nendang selimut sampai rupanya tak karuan.
"Kenapa sih lo?" Brigitta, teman sekamarku, mengangkat wajah dari text book tebal yang sedang dibacanya. Persiapan tesis katanya.
"Si Anto mau nikah! Aarrgghh," aku kembali menendang barang di depanku.
"Oh yah?" Bri bangkit dari kursinya, menghampiri tempat tidurku. "Sama siapa?"
"Sama cewek lah," jawabku ketus. Berbalik menghadap dinding, membelakangi Bri.
Bisa kurasakan mata Bri berputar menanggapi jawabanku. "Nenek-nenek juga tau. Kalau sama cowo lagi, harus ke luar negeri dulu dia. Maksud gue, lo kenal gak?"
"Nih," tanpa membalikkan badan, aku mengangsurkan ponsel yang menampilkan undangan pernikahan Anto dan Shasha.
"Oh Shasha," gumam Bri. Aku tidak perlu bertanya apakah Bri kenal dia atau tidak. Kami berdua tau dia, mengingat aku dan Bri dulu aktif di kampus sehingga jaringan pergaulan kami cukup luas. "Lo masih cinta emang sama Anto?"
Aku berbalik menghadapi Bri. Mengambil ponsel lalu melemparkannya begitu saja.
"Enggak! Gak sama sekali!"
Sebelah alis Bri terangkat. "Terus kenapa lo harus sewot waktu dapet berita nikahan Anto?"
"Karena gue sebel nikahnya duluan dia! Keseeeelll!" Aku mengacak rambut lalu berjalan menuju kamar mandi. Bri hanya geleng-geleng kepala.
***
Hai, namaku Zevanya Indira. Cantik kan namanya? Sama seperti orangnya. Uhuk! Usiaku 26 tahun. Sekarang aktivitasku pegawai swasta di bidang asuransi. Tadi itu teman sekamarku, Brigitta Dewani. Kami kenal sejak bangku kuliah dan sekarang memutuskan untuk berbagi apartemen agar sewanya lebih murah. Mengingat kampung halamanku di Tasik dan Bri di Medan. Bri sekarang sedang kuliah S2 di UI, Magister Manajemen. Setelah lulus dia ingin jadi dosen katanya.
Nama yang tadi kami sebut-sebut, anggaplah si A, itu mantan pacarku. Huft. Kadang males juga sih nginget dia. Kami sudah putus sekitar 6 bulan lalu. Aku resmi lupain dia 5 bulan lalu. Dalam artian, udah gak hubung-hubungi apapaun ke dia lagi, udah gak mikirin dia, udah gak ngikutin socmed dia, alias completely move on!
Lalu tiba-tiba aja ada temen si A, Teza, yang juga temenku, bocorin soal rencana nikahan A. Sontak duniaku langsung menggelegar!
Bukan, bukan karena aku sedih A mau nikah. No way man! Tapi karena si A nilah duluan dari aku. Dia kan laki-laki! Kan biasanya cewe duluan yang nikah kalau diantara cewe dan cowo yang udah putus?! Duh pokoknya aku bete sebete-betenya!
Aku harus cepet nikah juga!
"Gue tau gimana caranya supaya lo cepet nikah," kata Bri sebelum mematikan lampu saat kami akan tidur.
"Apaan? Pelet?" Tanyaku asal. Terlalu galak untuk usulan positif sekalipun, mengingat berita menyebalkan tadi.
"Jodohin lo ama orang," Bri menyeringai.
"Haaah? Asal!"
***
1 - Cahyo
Syarat pertama yang kuajukan pada Bri adalah cowo yang dikenalkan padaku jangan berinisial A atau B.
"Kok gitu?" Bri mengernyit keheranan.
"Karena A akan ngingetin gue sama yang mau nikah. Kalau B, lebih cocok sama lo,"
Bri tertawa. Padahal kami sama-sama tahu bahwa Bri sudah punya pacar, seorang dokter. Namanya Herlan. Yang sering kusindir, "kalau kalian nikahan, inisialnya jelek banget, BH,"
"Selain itu berarti oke ya?" Bri mengedip iseng. Aku cuma manyun. Masih memikirikan undangan sialan itu.
Dua hari setelah aku ngedumel ke Bri, aku duduk di Anomali Coffee Setiabudhi One. Tampak bodoh dalam pakaian merah menyala dan wajah yang planga plongo. Tidak lupa bros berwarna hijau besar. Membuat aku seperti sedang menyambut Natal.
"Zevanya?" Panggil seseorang. Aku mendongak, melihat seorang laki-laki yang tingginya sepertinya hampir menyentuh langit-langit. Oke, lebay. Mungkin ini karena aku duduk dan mendongak sehingga dia terlihat jauh lebih tinggi.
"Iya. Cahyo?" Aku berdiri, ternyata memang dia sangat tinggi sehingga aku harus mendongak.
"Yeah, gak susah ternyata nyari kamu," Cahyo tersenyum, mengulurkan tangan. Pelan-pelan, aku menyambutnya dan tersenyum. Saat kusentuh, tangannya basah. Sebisa mungkin aku cepat-cepat menarik tangan tanpa terlihat berlebihan.
"Berkat bros hijau nyolot ini kan?" Aku myengir, tertawa. Duduk cepat di sofa dan mengelap tangan dengan tisu.
"Begitulah," Cahyo ikut duduk di hadapanku. "Udah lama?"
"Hmm, lumayan, tapi belum terlalu lama. Ini minumnya aja baru dikit," aku menunjuk gelas di hadapanku.
"Kalau gitu, aku pesen dulu ya," Cahyo menunjuk ke arah konter. Aku mengangguk.
Saat Cahyo sedang memesan, cepat-cepat kusemprotkan hand sanitizer di tanganku. Dia kembali tak lama kemudian sambil membawa minuman dan makanan.
"Lapar," katanya. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan via tatapan 'banyak-amat-bro'.
"Kamu mau?" Cahyo mengulurkan piring berisi Anomali Beef Burger. Akumenggeleng. Takjub melihat Cahyo makan dengan begitu lahap. "Tadi abis latihan basket, langsung kesini karena takut telat. Gak sempet makan dan mandi."
"Oh itu alasannya kenapa tangan si doi masih basah,"
"Lo hobi basket?" tanyaku sok penasaran.
"Hobi banget!" Cahyo menjawab masih dengan makanan di mulutnya. Ewh.
Aku mengangguk hanya sekedar tanda bahwa aku paham.
"Setiap hari Jumat nyempetin main basket dulu sama anak-anak kantor," lanjut Cahyo. Kali ini makanannya sudah ditelan.
"Hobi dari dulu apa gimana?"
"Iya dari SMP. Kamu gimana, Zevanya?"
Aku nyengir sedikit. "Just love to draw. Ngisi waktu luang,"
"Ceritain dong," kata Cahyo. Aku menelan ludah. Lalu aku mulai bercerita soal lomba-lomba menggambar yang kuikuti dan sekarang bisnis sampingan menggambari dekorasi dinding, kartu undangan, kartu ucapan, mengecat kamar tidur, apa saja.
"Nice hobby then," ujar Cahyo. Makanannya sudah tandas dan itu membuatku lega.
"Btw, udah malam nih," aku mengecek jam tangan digital merk Casio yang melingkar di tangan kiriku.
"Ah iya udah jam 9. Pulang ke mana?"
"Kalibata,"
"Aku antar ya, aku bawa motor," kata Cahyo sambil mengeluarkan kunci motor.
"Oh gak usah. Gue pesen Uber aja. Takut merepotkan," aku buru-buru menggoyangkan ponsel tanda aku akan segera memesan Uber.
"Eh gak apa-apa. Deket kan,"
"Gak udah, Cahyo. Lagian lo kan capek abis latihan basket. Butuh cepet istirahat." Aku tersenyum, semoga dia menuruti kata-kataku.
"Baiklah. Aku temani sampai Uber kamu datang ya,"
Mau tidak mau aku menurut. Kami keluar dari Anomali dan berjalan bersisian. Dia sangat tinggi sampai-sampai aku lelah untuk menatapnya karena harus mendongak terlalu jauh.
"My Uber has arrived. Thank you for our chit chat today," aku menggerakkan tangan dan nyengir.
"Looking forward for another chance," kata Cahyo.
Not a chance.
"Bye, Cahyo," aku memgangkat tanganku.
Dia seperti ingin mencium pipiku atau entah apa. Tapi aku buru-buru berlari ke arah mobil. Tidak sabar untuk mengetuk kepala si Mak Comblang newbie.
***
"So, how?" Bri sudah berdiri sambil tersenyum lebar begitu aku membuka pintu.
"What's on your mind, actually?" Aku menggeleng sambil menaruh sepatu di rak.
"What? Cahyo orangnya baik lho. Lagi cari istri juga. Dia rekomendasi Herlan lho. Tetangga deketnya,"
"Satu. Tangan dia basah banget! At least kalau mau kenalan sama cewe ya keringin dulu kali ya tangannya," kataku kali ini sambil menaruh tas di kasur dan mengikat rambut.
Bri tertawa.
"Dua. Dia ngomong sambil makan. Ewh, ga bisa ditelen dulu?" Aku manyun, mulai membuka baju dan melemparkan ke keranjang cucian."
Bri masih tertawa. "Tiga?"
"Makannnya bunyi! Lo tau betapa bencinya gue sama orang yang makannya bunyi. Cplak cplak. Haduh!" Aku memggelengkan kepala frustasi. Segera masuk ke kamar mandi untuk menenangkan badan dan pikiran.
Tawa Bri makin keras. "Guess the first trial wasnt succeed, right?"
"Big failure, sissy!" Aku balas berteriak dari kamar mandi.
***
2 - Devan
Siapa yang mau kencan pertama di tempat makan mewah begini? Cuma si Devan-Devan ini kayaknya. Dia bahkan gak jemput aku atau gimana. Ketemu disana aja katanya. Hadeh.. Kalau gak inget Bri maksa-maksa sampe beliin gaun baru (bayangkan!) kayaknya aku males jiga ketemu Devan.
Pelan-pelan kulangkahkan kaki memasuki Pacific Restaurant & Lounge di Pacific Place ini. Si doi ngajak ketemu katanya karena seharian meeting di SCBD. Membuat aku bela-belain mandi di kantor dan naik Uber di tengah kemacetan Jakarta demi jaga penampilan. Mana sekarang masih tengah bulan, biaya makan disana berapaaa, belum apa-apa aku udah nangis aja mikirin dompet.
"Atas nama Devan?" Aku menghampiri waitress. Dia tersenyum dan menuntunku ke sebuah meja.
Di meja itu sudah duduk seorang laki-laki yang...oh God, ganteng banget ternyata! Wajahnya mirip Adrian Maulana tapi dengan ekspresi lebih dingin. Dia pakai setelan jas lengkap yang aku yakin asli, mungkin Armani. Rambutnya rapi tapi gak terlalu klimis. Cocok deh jadi bintang iklan.
"Halo?" tanyaku ragu-ragu.
Dia mendongak, tersenyum, senyum yang manis.
"Zevanya?" Tanyanya sambil berdiri.
Aku mengangguk.
"Please," ia menarik kursi dan mempersilakan aku duduk. Persis seperti gentleman yang mengundang seorang lady untuk makan bersama.
"Maaf, sudah menunggu lama?" tanyaku.
"Gak, baru sampai juga. Gimana, kamu ada kesulitan sampai kesini?"
Aku tertawa. "Jakarta's traffic jam as usual,"
"You dont look like been trapped in a traffic," kata Devan.
"Masa?"
"Terlalu cantik,"
Kalimatnya langsung membuat pipiku merona merah. Siyal ini orang bisa aja.
"Thanks," bisikku. Gagu.
"Ayo kita makan. Kamu mau pesan apa?"
Aku memilih Caesar Salad untuk Appetizer, King Prawn Linguine Aglio Olio untuk Main Course. Sedangkan Devan memilih Seafood Chef Salad untuk Appetizer, Short Rib Coffee Braised Australian Beef untuk Main Course. Kami berdua memilih Mango Sorbet untuk Dessert.
"So, tell me more about you," kata Devan ketika kami sedang makan dessert.
"What? I'm just a ordinary 26 years old woman," aku tertawa.
Devan menggeleng. "Yang aku dengar tidak seperti itu."
"Apa yang kamu dengar?" Aku mencondongkan tubuh, senyum lebih menggoda.
"Bahwa kamu perempuan super. Sedang dipromosikan, aktif bisnis sampingan dengan kemampuan kamu memggambar, ikut beberapa kegiatan sosial," Devan tersenyum. Lagi-lagi pipiku memerah.
Akhirnya aku menceritakan aktivitasku sehari-hari, termasuk proyek-proyek yang kulaksanakan bersama komunitasku, mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan guru, membantu empowerment ibu-ibu di pedesaan.
"That was amazing!" Devan tampak takjub.
"Gantian,"
Devan menelan ludah. Menaruh sendok, melipat kedua tangannya. "Aku cuma seorang karyawan,"
Aku tersenyum curiga, "gak mungkin."
"Yeah true. Kerja di salah satu perusahaan pertambangan. 5 days a week, kalau weekend aku lebih suka jalan-jalan atau rawat koleksi."
Rasa-rasanya aku ingin memutar bola mata. Devan ini terlalu merendah. Bri sebelumnya cerita bahwa perusahaan peetambangan tempat Devan bekerj ini punya ayahnya. So, ya you know. Dan yang dia maksud dengan koleksi adalah motornya. Motor sport, to be exact.
"Such an ordinary life of a man," kayaku iseng. Dia tertawa. Aku ikut tertawa.
"Its nice talking to you," kata Devan. Aku menatap matanya. Mencoba menyadari apakah dia sungguh-sungguh bicara atau hanya basa-basi.
"Same for you," kataku.
"Kamu tinggal di Kalibata City kan?"
Aku mengangguk.
"Ayo aku antar pulang," Devan mengulurkan tangannya yang kusambut dengan sukacita. Semakin sukacita karena makan malam kami ini dia yang membayar. Dompetku aman!
Kami berjalan ke luar masih sambil berpegangan tangan. Is it too much for the first date? Hmm, I enjoy it by the way.
Petugas valet membawakan mobil Mercedes Benz S Class Devan dan dia membukakan pintu untukku. Aku masuk dengan perasaan deg-degan. Sepanjang perjalanan kami masih banyak mengobrol dan tertawa. Jalanan yang masih cukup padat pun tak membuat kami kesal.
Devan mengantarku sampai depan pintu masuk Tower Lotus. Dia turun dan membukakan pintu.
"See you soon," katanya. Aku balas hanya dengan senyuman.
"Thank you,"
"You're welcome," balas Devan. Dia mencondongkan tubuh dan mencium pipiku. Aku tidak menolak.
Setelah itu Devan kembali ke mobil dan pergi. Aku masih berdiri sampai mobil Devan tak terlihat lagi.
Sampai ke kamarku, aku masih bernyanyi. Membuat Bri yang sedang menonton TV mengernyit.
"Kali ini sukses?"
"Bisa dibilang begitu," aku berbaring di samping Bri. "All woman needs is in him. Kindness, handsomness, and rich!"
Bri menyeringai.
"But no. Wajahnya terlalu ganteng, high maintenance. Bisa-bisa dia yang lebih sering nyalon dari gue. Dan dia terlalu kaya. Gue cuma cewek biasa aja. Gak mampu gue ikutin gaya hidupnya yang sekali makan aja sampe sejuta. Kalaupun mampu, gue gak mau dianggap matre. Jadi untuk lebih, gue gak mau. Tapi kalau jadi temen, gak masalah."
"Zev, seriously?" Bri heran.
Aku cuma mengangkat jempol dan berlalu.
***
4 - Daily Life
"Uuuurgh," aku menarik kedua tanganku ke atas, meregangkan tubuh.
"Bau tuh ketek lo," komentar Abraham, mengetuk kepalaku dengan kertas sambil berlalu entah kemana.
"Ah berisik," aku membalasnya dengan berteriak. "Eh Abs,"
"Apa?" Tidak lama kemudian dia kembali, memegang mug Transformers kesayangannya.
"Beli makan yuk," aku memutar kursi untuk menghadap Abraham yang duduk di sebelahku.
"Apaan?"
"Apa aja. Lo belum makan juga kan?"
"Tadi gue udah ngemil sate sih jam 5," Abraham melirik arlojinya. Sekarang sudah jam 7. Kami dan beberapa orang akan lembur.
"Sate ayam lo bilang ngemil? Ih perut apa balon?"
"Gak pake nasi, Zev," kata Abraham polos. Ia kembali memgaktifkan PC-nya.
"Iya deh," aku memutar bola mata. "Jadi mau gak?"
"Mau turun apa pesen aja?" Abraham balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan.
Turun yang dia maksud adalah menghampiri para pedagang kaki lima yang menjamur kala malam di sekitar gedung perkantoran kami.
"Gue pengen turun sih, tapi banyak yang harus dikerjain,"
"Ya udah pesen aja," Abraham mengangkat telepon.
"Yeay! Pesen..."
"Hokben, Paket A," Abraham melanjutkan.
"Yeay. Abs emang keren!"
"Tanyain gih yang lain mau juga atau gak,"
"Woooi, mau makan gaaak? Dipesenin Hokben sama Mr. Abraham Chakradirga,"
Semua yang lembur langsung menanggapi teriakanku. Langsung kuambil kertas dan kucatat pesanan orang-orang, kuserahkan pada Abraham yang menggeleng.
Setelah pesanan datang, aku yang ambil, Abraham kan tugasnya pesenin doang, kami kembali sibuk ke pekerjaan masing-masing sambil mengunyah makan malam.
"Udah jam 9, Zev. Kerjaan lo masih banyak?"
Abraham menggeser kursinya mendekat ke arahku.
"Dikit lagi. Dikiiiittt. Lo udah selesai?" Bergantian kulirik Abraham dan pekerjaanku.
"Udah tuh," dia menunjuk PC yang layarnya sudah gelap.
"Wah, yang lain gimana?"
Abraham berdiri. Melempar pandangan. "Tinggal gue, lo, sama Gito, plus Security di luar."
"Ih giling. Kok bisa-bisanya yang lain pulang duluan?!"
"Mereka pamitan, lo aja yang gak denger," Abraham duduk lagi. Mengeluarkan Androidnya dan mulai main game.
"Tungguin gue ya. Bentaaar lagi. Ntar turunnya bareng!" Kecepatan bekerjaku jadi meningkat 10x lipat. Menyimpan semua file, close aplikasi yang terbuka, lalu mematikan PC. Tidak lupa mengganti heels yang kukenalan jadi flat shoes. Lebih myaman pakai flat shoes kalau berangkat, karena aku naik Commuter Line.
"Yuk, Abs!"
Tanpa banyak bicara, aku dan Abraham berjalan menuju lift. Gito ternyata sudah pulang duluan. Kami berpamitan ke Pak Security dan turun dengan damai. To-do list ku sudah selesai.
Aku lirik pria yang berdiri dengan wajah datar di sebelahku. Kemeja biru tuanya sudah digulung sampai ke siku. Dasinya sudah hilang entah kemana. Rambutnya yang memang dari sonomya berantakan, makin berantakan. Hidung mancungnya kadang suka aku cubit kalau sedang bete. Singkatnya, aku sedang berdiri di sebelah pria yang sering diberi salam oleh karyawati berbagai divisi.
"Yuk ah, Abs. Bye," aku bergerak menuju pintu keluar. Namun tanganku tiba-tiba ditahan.
"Yuk kemana?"
"Balik kan?" tanyaku heran.
"Lo mau pake ojek sampe stasiun? Terus dari stasiun jalan kaki ke apartemen?"
"Umm, yeah," karena itu kebiasaanku. Kalau belum terlalu malam biasanya aku pakai kopaja menuju stasiun kereta.
"Pake motor gue aja," Abraham menggerakkan kepalanya ke arah basement.
"Wiiihh, Abraham baik bener!" Kuangkat tanganku tinggi-tinggi. Bersorak-sorai.
"Lo berisik, Zevanya. Lagian itu ketek bau," kata Abraham cuek.
Cepat-cepat kuturunkan tanganku lalu kucium ketiak. Masa sih parfum Victoria's Secret dibilang bau?
***
5 - Erico
"Lo sekarang jadi anak gym?" adalah pertanyaan yang pertama ditanyakan Abraham begitu aku turun dari motornya dan menyerahkan helm. Sore ini aku minta nebeng sampai arah Kota Kasablanka karena aku mau ke Celfit disitu.
"Hmm, gak juga sih. Cuma ya..." Aku malas menjelaskan kalau aku kesini cuma untuk bertemu salah satu calon yang disodorkan Bri.
"Ya udah, hati-hati lo pulangnya," kata Abraham. Merapikan helm dan mulai bersiap pergi lagi.
"Sip, Abs. Thank you yaa,"
Abraham mengangguk dan kembali menjalankan motornya. Aku berbalik dan mulai berjalan masuk ke Kokas. Setelah sampai di depan Celfit, aku berdiri bingung. Orang-orang keluar masuk menenteng tas dan tampak bugar. Aku malah dikunjungi salah satu marketing yang menawarkan program.
"Eh gak usah. Saya mau ketemu orang,"
"Boleh dibantu mungkin?" Kata Marketing yang namanya Yono.
"Erico?"
"Oh Mas Erico. Biasanya jam 7 dia keluar. Tunggu di sofa aja, Mbak. Mau sambil liat-liat program kami?"
Aku nyengir sampai akhirnya setuju. Kubuka brosur berisi program di Celfit. Tampak menarik tapi aku tahu aku anaknya angin-anginan. Awalnya semangat lama-lama melempem
"Hai, Zevanya?" Sapa sebuah suara berat dengan nada ceria.
Aku menoleh. Pelan-pelan mengangkat wajah dan takjub. Ini ada Ade Rai?
"Oh hai," aku merintih.
"Belum lama kan?" Ade Rai ala-ala, alias Erico ini duduk di depanku. Tas peralatan fitnessnya ditaruh di lantai. Dia tersenyum, lebar, penuh percaya diri. Persis seperti yang ditawarkan pusat kebugaran untuk para anggotanya. Dia wangi dan segar. Sepertinya memang sudah mandi. Tapi badannya itu lho. Di balik kemejanya sepertinya ototnya berontak ingin keluar.
"Be-belum kok," aku menjawab sambil nyengir.
"Gimana, mau ngobrol dimana kita?"
"Hmm bebas,"
Erico tampak berpikir. "Starbucks aja gimana?"
Aku mengangguk. Dia bangkit berdiri dan aku mengikuti. Kami mengobrol ringan selama berjalan dari Celfit ke Starbucks. Perihal pekerjaan, aktivitas, hobi, film. Erico enak diajak ngobrol juga sebenarnya.
"Jaca Chip Grande tanpa whipped cream ya," ujarku kepada kasir.
"Atas nama?"
"Zevanya. Zebra Echo Victor Alfa Nano Yengki Alfa," aku mengeja namaku karena orang-orang sering salah menulis.
"Saya apple juice aja," kata Erico. Sontak, aku menoleh ke arahnya tapi dia tidak sadar karena sedang mengeluarkan kartu dari dompetnya. "My treat, ya Zevanya,"
Aku nyengir lagi, mengangguk. Waduh, bahkan pesenan dia lebih 'sehat' dari aku.
Kami memilih dua tempat duduk yang kosong dekat jendela. Melanjutkan mengobrol. Ketika Java Chip milikku sudah jadi, rasa bersalah untuk meminumnya jadi lebih besar dari ukuran minuman ini sendiri. Pria di depanku saja minumnya jus!
"Bri apa kabar?" tanya Erico. Jus apelnya sudah hampir habis. Sementara Java Chipku belum diminum seperempatnya.
"Baik. Kadang dia mumet ngerjain tesis. Suka nyanyi-nyanyi sendiri di kamar,"
"Oh kalian satu kamar?"
"Iya kami berbagi apartemen. Supaya hemat," aku tertawa.
"Salam ya buat Bri. Udah lama banget gak ketemu," Erico tersenyum tipis.
"Iya nanti disampaikan. Memang kapan terakhir ketemu?"
"Hmm, 4 tahun lalu kali ya. Waktu kita putus,"
Rasanya aku ingin menyemburkan Java Chip saat itu juga. Untung berhasil kutahan.
"Wah udah lama ya," akhirnya cuma komentar garing itu yang bisa kulontarkan.
Sebisa mungkin kami kembali membahas hal-hal netral. Sampai tidak sadar bahwa pengunjung sudah semakin sedikit.
"Pulang pakai apa, Zev?"
"Eh? Oh. Naik ojek aja palingan,"
"Oh gitu. Hati-hati ya. Mobil gue di basement. Sampai ketemu lagi," Erico berkata dengan santai. Dia mengulurkan tangannya ala salam perpisahan pasca meeting.
"Oh iya. Lo juga hati-hati,"
"Jangan lupa sampaikan salam gue buat Bri,"
"Sip,"
Setelah itu, Erico dengan tas fitnessnya berjalan keluar Starbucks. Sambil ngedumel, aku memesan ojek online.
Begitu sampai di kamar, kali ini aku yang duluan angkat bicara.
"Dia mau ketemu gue supaya bisa deketin lo lagi tau, Bri,"
"Hah, apa?" Bri tampak belum connect. Tangan kirinya memegang mug kopi, tangan kanannya memegang stabilo, rambut awut-awutan, dan kacamata miring.
"Erico. Dia mau ketemu gue kayaknya cuma supaya bisa deketin lo lagi. Lo gak bilang dia dulu mantan pacar lo," aku berkata lebih pelan. Menaruh tas dan mulai mengikat rambut.
"Hhehehehe," cuma itu komentar Bri.
"Dia titip salam buat lo,"
"Hadeh," komentar Bri lalu kembali duduk di meja belajar. "Sorry ya, kali ini emang salah gue. Tapi lo sendiri gak tertarik emang sama dia?"
"Badannya kayak Ade Rai! Gue ngeri. Kalau berotot ala So Ji Sub sih gue mau,"
Bri tertawa.
"Dan pas kita ngopi di Starbucks, dia pesennya jus apel, gue Java Chip. Hello, ini siapa yang lebih diet?!"
Aku mendengus, masuk ke kanar mandi. Meninggalkan Bri yang tertawa sambil membaca text book.
***
6 - Daily Life
"Gue gak pernah suka meeting disini," aku mendengus.
"Kenapa? Kan gaya," kata Abraham cuek. Melirik sekitar kami. Kami ada di lobby Ritz-Carlton setelah meeting dengan salah satu corporate yang lokasinya di daerah SCBD. Setelah meeting di gedung mereka, makan di Hotel ini. Tidak hanya ada aku dan Abraham, ada juga Pak Indra atasan kami dan Mas Hendro dari IT.
"Malah karena terlalu gaya. Gak cocok kali ya sama kepribadian gue,"
Abraham diam sebelum menanggapi kalimatku. Memandangi aku dari atas sampai bawah.
"Tas lo merk apa?"
"Michael Kors,"
"Jam tangan?"
"Casio,"
"Sepatu?"
"Charles and Keith,"
"Parfum?"
"Victoria's Secret. Apaan sih, Abs?" Aku mulai gemes.
"Itu bukannya bermerk semua? Gaya semua?"
Aku bengong lalu tertawa.
"Iya, tapi beda lah Abs. Gue cuma suka barang bagus, itu juga gak semua barang gue branded. Tapi kalau yang auranya mengintimidasi gini kadang gue gak terlalu nyaman. Kayak penampilan gue selalu dinilai apakah masuk standar mereka atau nggak,"
"Cuek aja lah, Zev. Gak semua orang bisa lo penuhi keinginannya. Yang penting lo pake baju," lagi-lagi Abraham berkata dengan cuek. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku, pandangannya mengarah ke depan.
"Iya iya gue tau. Yang penting gue nyaman aja ya?"
"Nah itu tau,"
Aku senyum kepadanya. Dia sendiri wajahnya tetap datar.
"Pak Indra manggil tuh," Abraham menunjuk ke luar.
Aku melihat Pak Indra dan Mas Hendro melambai ke arah kami. Memang mereka yang menghubungi valet untuk mengambilkan mobil kantor sementara aku dan Abraham menunggu di dalam (bawahan macam apa?). Kami bergegas berjalan menghampiri mereka.
Ketika itulah aku melihat orang yang aku kenal sedang merangkul mesra pinggang seorang perempuan cantik dan tinggi semampai. Si perempuan tertawa dan si laki-laki berbisik-bisik.
"What?" Seruku refleks.
"Apa?" Abraham menanggapi. Melihat arah pandangku. "Orang yang lo kenal?"
"Kenal gak kenal sih Abs. Gimana ya..." Aku bergantian melirik antara pasangan itu dan Pak Indra yang makin semangat memanggil.
"Siapa emang?" Abraham masih bertanya.
"Nanti deh gue cerita. Kalau gak ada Pak Indra dan Mas Hendro,"
Abraham mengangkat bahu. Kami berdua segera melompat ke mobil kantor. Bersiap bekerja kembali.
***
"Lo gak bilang sama gue kalau Devan udah punya pacar?!" cerocosku di telepon, langsung menghubungi Bri begitu sampai di kantor. Tentu saja aku menelepon di toilet.
"He's not. He's single," Bri membantah.
"Single dari Hong Kong! Tadi gue liat dia di Ritz gandengan sama cewek. Cantik lagi,"
Bri diam. "Gue konfirmasi dulu sama Herlan. Setau gue dia single makanya mau gw kenalin ke lo."
Aku tetap cemberut. "Ntar kabari gue ya!"
"Iyaa,"
Aku keluar dari toilet lalu duduk di tempatku. Tidak langsung bekerja tapi mengetukkan jari sambil memandangi screen saver. Tiba-tiba kurasakan ada Pocari Sweat bergeser ke area mejaku.
Aku melirik si pemilik tangan yang menggeser botol itu. Pandangannya masih terpaku pada PC. Aku ambil botol dingin itu dan kusentuhkan ke punggung tangannya.
"Wey," Abraham berseru refleks. Aku tertawa.
"Apa nih?" Kugoyangkan botol Pocari di depan wajahnya.
"Buat lo yang kayaknya kekurangan ion abis makan siang tadi," kata Abraham, lagi-lagi tanpa memandangku.
"Makasih ya Abs," tanpa babibu, aku membuka tutup botol dan langsung meminumnya. "Aaahh, seger banget!"
***
"Sooo?"
Aku duduk di atas tempat tidur. Sudah dengan setelan piyama. Kali ini aku pulang lebih dulu dari Bri yang harus bimbingan tesis.
"Sekalo revisi lagi baru gue bisa sidang," jawab Bri. Menaruh tasnya di meja belajar.
"Bukan ituuu,"
"Terus apa? Eh oh Devan,"
Aku mengangguk.
"Yang lo liat cewenya rambut panjang sepundak, kurus tinggi, matanya agak sipit?"
Aku mengangguk lagi.
"Itu Cecilia. Mantannya Devan. Mungkin mereka emang balikan,"
"Ah elah," aku mendengus. Langsung menyelinap ke balik selimut.
"Herlan bilang sama Devan bahwa lo liat dia sama Cecil,"
"Serius lo?" Selimut kembali kubuka.
Bri mengangguk. "Dia bilang nanti bakal nelepon lo,"
"Haish ngapain. Kalau balikan sama pacarnya jelas gue gak punya kesempatan lah,"
"Kali dia mau sama rakyat jelata sekarang," Bri mengangkat bahu, ngeloyor ke kamar mandi.
"Woi sial," aku melempar bantal. Kami berdua tertawa.
***
Devan memang menelepon. Hampir tengah malam ketika aku sudah terlelap. Bri yang membangunkan aku karena dia masih terjaga merevisi tesis.
Devan bercerita bahwa dia bertemu Cecil sebagai teman. Mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Bahkan dia berniat untuk mengenalku lebih jauh. Aku tidak punya intensi apa-apa padanya. Sehingga merasa tidak perlu dijelaskan panjang lebar seperti itu. Jadi aku hanya bilang, "kalau kita mau kenal satu sama lain lebih jauh, kita harus pastikan status masing-masing masih single." Dia menyanggupi.
"Pagi Abs," sapaku pada Abraham yang selalu datang lebih pagi dari aku. Sementara karyawan lain belum banyak yang datang.
"Morning, Zev. Sarapan?" Abraham menyodorkan keresek berisi bubur.
"Definitely," aku tersenyum dan langsung menyambar bubur. Sudah beberapa kali Abraham membelikan aku bubur juga. Sejak aku bilang terburu-buru mengejar kereta sehingga kadang tidak sempat beli sarapan.
"Oh iya, gue belum cerita soal kemarin ya?" kataku setelah menelan satu sendok bubur.
Abraham menoleh kepadaku dari sarapannya sendiri. Menggeleng. Akhirnya aku mulai bercerita dari Anto yang akan segera menikah. Sampai ke Cahyo, Devan, Erico, dan Devan tadi malam.
"Lo ada kecenderungan ke salah satu dari mereka?" tanya Abraham.
Aku berpikir, sambil mengunyah.
"Cahyo, gue gak suka kebiasaan dia makan. Devan, terlalu high maintenance. Erico, badannya gede banget. Tapi..."
Aku menatap Abraham. Dia balas menatapku.
"Kayaknya gue akan maju sama Devan. Kalau memang dia mau mencoba sama gue,"
"Perasaan bukan buat dicoba, Zev," kata Abraham. Ia membuang bekas makannya ke tempat sampah lalu berdiri. Jam 8 dan aku tahu ia pergi mengambil wudhu untuk Shalat Dhuha.
"Bener sih Abs," aku menghela nafas, menggaruk sendiri rambutku.
***
7 - Another Daily Life
"Zevanya, mau makan apa?"
"Ta Wan yuk Ta Wan," aku berseru dengan semangat.
"Ta Wan dimana? Setiabudhi One?" tanya Gito.
Kami sedang berdiskusi mengenai tempat makan malam. Sekali-sekali makan malam di luar bersama teman-teman setim.
"Itu sih yang gue inget,"
"Oke yang lain gimana?" Putri melirik kami satu per satu.
"Gue ayo aja," kata Abraham.
"Ya lo mah emang ngikut aja apa kata Zevanya sih," sindir Putri.
Aku menoleh ke arah Abraham. Dia balas melirikku. Matanya seakan bertanya 'apa?' Aku menggeleng dan nyengir.
"Nanti lo berangkat bareng gue aja," kata Abraham begitu kami keluar dari ruang meeting setelah menentukan akan makan malam di Ta Wan.
"Naik motor?"
"Kali ini sih gue bawanya helikopter," dia berkata santai.
"Woa, cool," kutanggapi candaannya dengan serius. "Gak sabar mau naik helikopter!"
Abraham ganti melirikku dengan heran. Aku tertawa lalu memukul pelan tangannya.
"Hei, Mikha," sapaku saat ada seorang perempuan dari divisi berbeda berpapasan denganku dan Abraham.
"Hei Zev," dia menyapaku tapi pandangannya ke arah Abraham. Aku tahu dia naksir Abraham tapi tidak pernah berani menunjukkan langsung ke orangnya.
"Darimana?"
"Minta tanda tangan Pak Heru," dia menyebutkan salah satu manajer di bagianku. Tapi bukan atasanku.
"Udah dapet?"
Mikha melambaikan map bening berisi memo.
"Nice. Biasanya Pak Heru suka susah dicari,"
"Iya,"
Selama pembicaraan ini, Abraham dengan setia berdiri di sampingku, menunggu aku selesai bicara dengan Mikha. Sedangkan Mikha dengan senang hati berada di dekat Abraham.
"Eh gue harus balik ke meja. Dah Mikh,"
"Yo, Zev. Daah,"
Mikha berjalan melewati kami, pandangannya masih tertuju pada Abraham.
"Hey pamitan ama gue liatnya ke gue dong jangan sebelah gue," iseng aku berseru. Membuat Abraham memandangku lalu memandang Mikha. Bisa kulihat wajah Mikha langsung bersemu merah.
"Nikahan mantan lo itu, kapan?" tanya Abraham begitu kami kembali hanya berdua.
"Heuh kenapa diingetin. Minggu depan, hari Sabtu,"
"Lo mau dateng?"
"Nggak lah,"
"Kan diundang,"
Aku mendengus. Shasha memang mengundangku. Personally. Sebagai seniornya di kampus.
"Akan gue temani kalau lo mau dateng,"
Aku pandangi Abraham lebih lama. "Akan gue pikirkan. Maksud gue, pikirkan apakah datang atau nggak. Bukan ngajak lo apa nggak."
"Iya gue paham," kata Abraham lalu mengacak rambutku.
***
8 - Devan Lagi
"Aku dan dia cuma temen kok, Zev," kata Devan sambil memegang kedua tanganku. Kali ini kami hany duduk-duduk di Coffee Bean. Tempat nongkrong yang setidaknya lebih terjangkau.
"Kalau mau balikan juga gak apa-apa kok," kataku pelan, menarik tanganku dari genggaman Devan.
Dia malah tersenyum. "Sebelum pacaran, aku dan dia memang teman. Setelah pacaran juga akan tetap teman. Banyak temanku yang temannya juga jadi akan aneh kalau hubungan kami merenggang karena putus. Jadi ya kami memang masih akrab."
"Betulkah?"
Devan mengangguk. "Akan kuajak kamu ketemu Cecil dan lain-lainnya ya. Kebetulan nanti kita akan kumpul di Gran Melia."
Aku cuma bisa nyengir. Ya ampun, this jetset life.
"Oke,"
"Nah, gimana kalau kita nonton midnight?"
"Ayo!" Aku menyambut dengan semangat.
***
Pelan-pelan kubuka pintu kamar agar tak membangunkan Bri. Sekarang sudah hampir pukul setengah 2. Bisa kulihat kamar sudah gelap, berarti Bri sudah tidur. Mengingat nanti aku tetap harus masuk kantor, kuputuskan untuk cepat-cepat ganti baju dan tidur.
"Zev," panggil Bri dengan suara serak.
"Eh, hai," aku balas dengan sedikit rasa bersalah. Bri bangun, menyalakan lampu meja.
"Puas ngedate sama Devan?"
Aku nyengir. "Hmm, puas banget,"
"Ngapain aja kalian?"
Aku diam. Bingung apakah akan bercerita atau tidak. Akhirnya, "he kissed me, and we kissed."
"What?" Teriak Bri.
Kaliamtku benar-benar membangunkan Bri rupanya.
"Baru kencan kedua lho, Zevanya!"
"I know I know. Tapi gimana, dia ganteng banget,"
"Sekali lagi gue denger lo cium orang cuma karena ganteng, gue lempar tas-tas lo keluar," ancam Bri.
"Eh kan lo yang jodohin gue ke dia,"
"Iya, tapi kalian kan belum jadian. Lo ga bisa ngijinin dia ngapa-ngapain lo sebelum jelas hubungan kalian apa,"
"Maaf Bri maaf, terbawa suasana,"
"Sana, puas-puasin dulu masa penjajakan. Abis itu baru pacaran. Dan inget, jangan lebih dari ciuman sebelum nikah!"
"Emang lo sama Herlan maksimal ciuman?"
"Iyalah!" Bri berseru, pipinya bersemu merah.
Aku tertawa.
***
"Bisa temenin aku ke kondangan Sabtu ini?" kataku melalui telepon.
"Maaf, Zev. Aku harus berangkat ke Medan dari hari Jumat sampai Selasa," jawab Devan.
"Oh ya udah gak apa-apa. Ati-ati ya kamu,"
"Ya cantik. Maaf aku gak bisa nemenin,"
"Its okay,"
Sambungan telepon ditutup. Aku menghela nafas. Kayaknya bener nih ke kondangan Anto-Shasha harus bareng Abs. Sebenarnya aku malas harus ke pernikahan mereka berdua. Siapa sih yang sukarela datang ke nikahan mantan pacarnya? Tapi aku gak punya alasan untuk ngeles. Toh aku juga bisa berangkat dengan pasangan.
"Sabtu ini jemput gue jam 10 di apartemen," ujarku begitu duduk di kursi, menghadap Abraham.
Dia menoleh ke arahku dulu. "Nikahannya dimana?"
"Balai Sudirman,"
"Oke. Motor atau mobil?"
"Wih kayak Uber aja lo. AbrahamMotor atau AbrahamBlack," kataku lalu terkikik sendiri.
"AbrahamJek," kata dia.
"Garing ih," kucubit hidungnya. Dia menangkap tanganku, menjauhkannya dari hidungnya.
"Mobil, motor, atau truk?"
Aku tertawa lagi. "Mobil ada? Biar ga usah touch up lagi,"
"Ntar dicek dulu di showroom mau pake mobil yang mana," jawab Abraham lalu dia berdiri sambil membawa buku. Sepertinya ajan meeting.
"Yee, sok tajir," aku mencibir tapi tertawa juga.
***
Badanku tiba-tiba bergetar saat memasuki Balai Sudirman. Aku sudah bisa melihat si mantan pacar berada di pelaminan bersama istrinya. Ingin rasanya aku putar balik dan masuk kembali ke Pajero Sport milik Abraham. Bersembunyi di sana.
"You're great, Zevanya," celetuk orang di sampingku. Aku menoleh memandang Abraham. Di mendekat, meraih tanganku. "Kamu hebat, kamu cantik, kamu kuat. Gak ada alasan untuk malu dan mundur."
Kupaksakan tersenyum. Kalimat Abraham jadi seperti mantra. Semakin dekat ke pelaminan, semakin erat genggamanku pada Abraham. Di tangga menuju pelaminan bahkan aku merangkul lengan Abraham. Dia pun hanya menepuk tanganku, menguatkan.
"Selamat ya Anto," ujarku dengan suara serak.
Anto menatapku dan Abraham bergantian. Tanganku sudah tak merangkul lengan Abraham. Gantinya, dia merangkul pinggangku.
"Kamu juga selamat ya," Anto tersenyum. Aku cuma bisa mengangguk.
"Thanks," ucap Abraham, datar.
Buru-buru aku beralih menuju Shasha. Memeluk dan mencium pipi kiri kanan.
"Selamat Sha, langgeng terus dan bahagia,"
"Makasih Kak, makasih udah mau dateng juga. Ini pacar?" Shasha menoleh ke arah Abraham.
"Buk.."
"Iya," Abraham menjawab mantap. Kupelototi dia tapi dia tetap kalem. Disalaminya Shasha dan setelah itu kedua orang tua Anto (yang kaget karena aku datang), lalu kami turun.
Cepat-cepat kucubit hidung mancungnya.
"Apa-apaan kok ngaku pacar gue?"
"Daripada lo bilang cuma temen. Di hadapan mantan pacar, yang udah nikah. Mending lo bilang gue pacar lo supaya nunjukkin ke orang lain bahwa lo tetep kuat, gak semenyedihkan itu untuk ajak orang gak tau siapa demi datengin nikahan mantan."
Kata-kata Abraham ada benarnya. "Iya tapi kan..."
"Gue lapar," kata dia. Tanpa menunggu aku, dia pun berjalan menuju meja buffet. Aku mengikutinya.
***
"Mana ada orang ke bioskop pake dress sekeren ini?" Aku ngedumel. Memandang penampilanku dari atas sampai bawah.
"Ada. Lo," jawab Abraham.
"Haish,"
Aku berjalan di samping Abraham. Tangan kiri memegang minuman, tangan kanan memegang tas. Sementara Abraham memegang popcorn dan tiket. Sepulang dari resepsi Anto dan Shasha, Abraham mengarahkan mobilnya langsung ke Kota Kasablanka. Karena katanya dia sudah sangat ingin nonton film action terbaru.
Terpaksalah aku ikut. Oke, bohong. Aku juga memang pengen nonton. Tapi dengan dress panjang dan make up lengkap, rasanya lebay juga.
"People are staring at me," kataku risi.
"Iya mereka kok heran ada ondel-ondel masuk bioskop," balas Abraham.
"Hei!" Ingin kujitak dia tapi tanganku penuh jadi aku cuma bisa cemberut. Sebaliknya, Abraham tertawa.
"Bisa-bisanya lo ya," kugelengkan kepala. "Karena udah ngatain gue ondel-ondel, ini minum gak akan gue kasih. Biar aja lo makan popcorn sampe batuk."
"Wah jangan dong," Abraham langsung kaget.
"Bodo!" Aku menjulurkan lidah.
"Ya udah gue beli lagi," dia berbalik ke arah counter.
"Hei hei iya iya ini gue kasih,"
"Nah gitu dong," Abraham nyengir dan kami pun masuk ke bioskop.
***
"Laper," kataku, memegang perut.
"Itu popcorn sebaskom lo abisin semua masih laper?" Abraham mengernyit.
"Gak semua ye, lo juga ngabisin. Weeek,"
"Banyakan lo tapi,"
"Lo ah,"
"Ikkudo aja yuk," tanpa aba-aba Abraham menarik tanganku masuk ke Ikkudo Ichi.
"Terus aja bikin kejutan, Abs," aku menggumam.
"Apa?" Dia menoleh.
"Nothing," kupasang senyum lebar semanis mungkin.
Kami duduk dan makan sambil mengobrol. Bersikap biasa saja. Seakan lupa bahwa tadi aku baru menghadiri pernikahan mantan pacarku.
Setelah selesai makan, kami berkeliling sejenak. Abraham ingin mampir ke iBox maka kuikuti dia. Di situlah aku terkaget-kaget lagi.
Kali ini Devan merangkul mesra pinggang seorang perempuan. Mereka tampak khidmat memperhatikan Macbook Air.
"Itu Devan," ujarku.
"Siapa?" Abraham mengikuti arah pandangku.
"Devan!"
"Oh cowok yang dideketin sama lo?"
Aku mengangguk. "Ini kedua kalinya gue mergokin dia sama cewe setelah kencan pertama kami. Cewenya beda pula. Dan hari ini dia bilang harusnya ke Medan."
"Kita pulang aja yuk," Abraham mendadak putar balik. Aku masih memandangi Devan. Sedetik sebelum aku berbalik, Devan mendongak dan melihtku. Ia segera menurunkan tangannya tapi semua sudah terlambat.
***
9 - Abraham
"Gue pulang aja Abs," aku berkata lesu.
"Iya,"
Kami berdua diam sepanjang perjalanan. Hanya ada suara radio di antara kami. Pikiranku masih melayang ke Devan dan perempuan tadi. Apakah aku terlalu bodoh dan terburu-buru? Hanya karena aku kesal sehingga pontang panting cari pacar baru. Bukannya menyembuhkan sakit hati dan memperbaiki diri. Bahkan harusnya aku mungkin menenangkan diri sejenak. Karena harus kuakui bahwa selama beberapa bulan setelah putus dari Anto, hidupku rasanya tidak benar-benar tenang.
"Udah nyampe, Zev,"
"Apa? Oh iya," kubuka safety belt dan turun dari mobil. Rupanya Abraham juga turun.
"Goodnight, Zevanya,"
Ada yang beda dengan tatapan Abraham malam ini.
"Goodnight, Abraham. Terima kasih untuk semuanya hari ini."
Abraham mengangguk. Aku mundur memasuki gedung apartemen. Masih sambil menatao Abraham dan melambaikan tangan.
***
"Gue di bawah," kata Abraham sekitar pukul 9 pagi keesokan harinya.
"Apa? Ngapain?" Aku masih mengucek mata, baru bangun.
"Buruan mandi, kita main. Gue tunggu di lobby,"
Lalu telepon dimatikan. Kupandanfi ponsel. Apa nih maksudnya? Main? Kemana? Tapi aku tetap melangkah ke kamar mandi.
Dalam 15 menit aku sudah siap dengan celana pendek dan kaos. Serta sumblock, topi, kacamata hitam, serta barang-barang penting di tas tanganku.
"Lo mau kemana?"
"Gak tau. Abraham udah di bawah katanya ngajak main,"
"Main apaan?" Bri menyeringai.
"Heh, gak kayak yang lo pikir ya,"
Bri tertawa. Tadi malam aku sudah menceritakan keseharianku bersama Abraham dan bagaimana aku memergoki Devan lagi. Bri menyarankan untuk stop dengan Devan. Toh kami belum punya hubungan apapun. Perasaanku padanya juga belum tumbuh.
"Gue turun ya,"
"Yeah, have fun!"
Aku menuruni lift bersama beberapa orang yang juga ingin menikmati waktu liburnya. Begitu keluar dari lift, ponselku berbunyi. Devan.
"Halo,"
"Halo Zev. Can we meet?"
"Sorry?"
"Aku sudah di parkiran. Kita bisa makan siang bareng mungkin?"
Aku berdiri mematung. Dua meter dari tempatku berdiri Abraham sedang membaca koran sambil menungguku. Sementara di luar, Devan memandang melewati pintu kaca ke arahku.
Saatnya membuat keputusan.
"Tunggu," ujarku pada Devan.
Aku matikan telepon dan bergegaa menghampiri Abraham.
"Ayo," ujarnya begitu kurasakan aku tiba.
"Gue gak bisa. Devan ngajak ketemu. Orangnya udah di luar,"
"Apa? Lo serius? Dia kan..."
Aku menggeleng, menghentikan kalimat Abraham.
"Sorry," dan aku pun berbalik. Belum jauh langkahku, tanganku ditarik.
"Jangan. Lo cuma akan buang waktu," kata Abraham, wajahnya serius.
"Gue tetep harus pergi,"
"Gue bilang jangan. Lo mending berangkat sama gue,"
"Kenapa?"
"Karena gue sayang sama lo,"
Kata-kata Abraham menyalakan radarku seperti saat disengat lebah. Kecil tapi berdampak besar. Aku menatap dia tak percaya. Dia menelan ludah, juga kaget akan kalimatnya sendiri. Aku mengambil kesempatan saat Abraham lengah dan menarik tanganku dari pegangannya. Menggelengkan kepala lalu berlari menuju Devan.
***
I need to make up my mind. Setelah bertemu Devan hari Minggu, aku langsung mengepak barang-barang dan berangkat ke Singapura. A week escape. Aku sudah telepon Pak Indra dan beliau setuju saja. Sengaja aku tak mengabari siapapun selain Pak Indra dan Bri. Nomor pun tak kuaktifkan di luar negeri.
Aku nikmati waktuku sendiri. Berjalan-jalan dari stasiun MRT ke stasiun lainnya, menyusuri Orchard Road dan Bugis Street, membeli barang-barang yang rntah sebenarnya kubutuhkan atau tidak. Ngemil Garrett Popcorn sambil nongkrong di Marina Bay Sands. Jalan-jalan di Garden By the Bay. Foto-foto 3D Trick Museum dan Madame Tussauds. Sampai dua hari ke Universal Studio.
Momen titik balikku adalah saat aku duduk di tingkat dua bis. Mengelilingi Singapura tanpa tujuan yang jelas.
Kemarin aku dan Devan resmi sepakat bahwa kami hanya bisa berteman. Bahkan saat percobaan pun kami gagal. Dia masih ingin bertualang sementara aku sudah ingin settle pada satu pria. Aku juga meminta Bri ubtuk berhenti mencarikan jodoh untukku. Biarlah dia fokus pada tesis dan Herlan.
Mengenai Abraham.. Aku kaget ketika dia menyatakan perasaannya. Sungguh aku tak menyangka. Dia salah satu teman dekatku di kantor. Satu-satunya teman laki-laki yang dekat di kantor. Dia selalh paham kondisiku, mendukung aku, melindungi aku, membuat aku merasa berharga.
Oh Tuhan..
***
Aku mendorong troli keluar dari terminal kedatangan. Mencari Bri yang katanya akan menjemput. Namun bukan Bri yang kutemukan.
"Kok tau gue pulang sekarang?" todongku pada si penjemput.
"Tanya Bri," jawabnya polos.
"Bisa-bisanya," kucubit hidungnya. Hal favorit yang sering kulakukan padanya.
"Gue sengaja jadi orang pertama yang lo temui selepas escape week lo. Karena gue cuma pengen tahu gimana respon lo terhadap kalimat gue terakhir kita ketemu. Kalau ternyata lo mendepak gue, besok pagi-pagi banget gue akan pindah meja,"
Aku tertawa. Bersandar di troli.
"Kalau sebaliknya?"
"Gue akan memberi lo ini," Abraham merogoh sakunya, menyodorkan kotak merah, membuka tutupnya dan menampilkan cincin sederhana. "Mungkin ini terlalu cepat..."
"Iya ini terlalu cepat. Makan yuk, gue lapar. Jangan di bandara, di restoran apa gitu. Abis itu nonton lagi ya,"
"Lo gak capek?" Abraham kaget. Dia memasukkan kembali kotak cincinnya.
"Gak ada capek dalam kamus Zevanya," aku nyengir.
Abraham pun mendorong troliku. Kami berjalan menuju mobil, mengobrol santai tanpa ada pikiran tentang apapun yang terjadi baru-baru ini.
Dia mengajakku makan kepiting di Holy Crab. Yang kuhabiskan tanpa ragu-ragu. Kami makan sama banyaknya. Setelah itu mendatangi bioskop terdekat dan nonton film lagi. Memesan popcorn dan kentang dan nachos dengan minum ukuran jumbo. Kami tertawa dan mengobrol.
Menjelang pukul 9 aku sampai di apartemen.
"I'm soooo happy!" Aku mengangkat kedua tangan.
"Bau!" kata Abraham cuek. Menurunkan barang-barangku dari bagasi.
"Bodo ah. Bau juga lo suka kan?" tanyaku sambil menyeringai.
Abraham tersenyum. "So?"
Dia mengulurkan lagi cincinnya.
"Do it in more proper way dong, Abs,"
Tanpa memedulikan orang-orang di sekitar kami, ia berlutut.
"At first, we might just a two friends, two best friends that know each other in office. But day by day, how you live, how you breathe, how you smile, move, talk, everything, has became my significant things. That you mean so much to me I dont know since when. I dont know whether you feel the same as I do but now I'm on my knee, asking for you to be my wife. Will you?"
"Definitely yes," seruku girang. Kuulurkan tangan kiriku ke arahnya. Ia memasangkan cincin dengan senyum lebar terpasang di wajah.
"Nah, sekarang ayo angkat koper ke atas," kataku begitu cincin sudah terpasang.
"Serius?"
"Kamu tega aku angkat semua barang ini sendiri? Ayo dong, Sayaaaaang," sengaja aku merayu dengan mesra. Abraham tersipu dan mengiyakan.
Abraham mengangkat koperku sementara aku membawa tas tangan dan kantong oleh-oleh. Sampai di kamar, masih gelap. Sepertinya Bri belum pulang.
"Di sini aja kopernya," aku menunjuk tempat depan TV. Abraham menurut, sementara aku menaruh barang di kasur.
"Thank youuu, Sayang," kataku lagi, mencubit hidungnya.
Abraham tersenyum lebar. "You're welcome, cantik,"
Baru kali ini aku melihat Abraham begitu berseri-seri. Aku jadi ikut senang melihatnya.
"Aku pulang ya," kata dia, bergerak menuju pintu.
"Wait," gantian, aku yang memegang tangannya. Ia kaget, berbalik. Secepat kilat kudekati dia, kurangkulkan tangan di sekeliling leher dan kucium bibirnya.
"Hati-hati, fiance,"
"Goodnight, Zevanya,"
"Goodnight, Abraham,"
Abraham mengangguk dan tersenyum lalu keluar.
Memang saat pintu yang satu tertutup, pintu lain terbuka. Bisa jadi, pintu yang terbuka tidak terlalu jauh ternyata.
-THE END-
Komentar