Choros Parko

Untuk pertama kali dalam hidupnya Beth bepergian sendirian. Ia diijinkan berjalan-jalan tanpa ditemani para pengawal. Beth memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelajah tempat baru. 

Sampailah Beth pada sebuah taman yang indah namun sepi. Rumput hijau membentang sejauh mata memandang. Pepohonan mengelilingi taman di dataran tinggi tersebut. Memang Beth harus menempuh perjalanan mendaki yang cukup jauh namun bayarannya sepadan. Langit-langit yang biru terlihat begitu cerah memayungi taman tak bertuan ini. 

Beth menemukan bahwa di tanah yang agak landai, terdapat kolam dengan air yang jernih. Cuaca tengah hari membuat Beth tergoda untuk masuk ke dalam air. 

Mata Beth menyapu ke sekeliling taman mungil namun indah ini. Ketika dirasakannya tidak ada siapapun, Beth membuka gaun dan pakaian dalamnya. Pelan-pelan Beth mencelupkan kaki, melangkah sedikit demi sedikit hingga seluruh tubuhnya terendam air. 

Ah, sungguh segar! 

*** 

Aldera mendengar bunyi gemerisik. Ia anggap itu bunyi angin menyentuh dedaunan. Ketika bunyi kecipak air terdengar nyaring, Aldera penasaran. Disingkirkannya kertas yang menutupi wajah saat ia tidur di balik semak-semak. Aldera duduk, mendengarkan dengan saksama. 

Betul, itu suara air bergemericik. Selama Aldera mengenal tempat ini, tak pernah ada bunyi seperti itu. Dengan sigap Aldera bangkit berdiri, melipat kertas dan menyimpan ke saku, menyibakkan semak-semak menuju kolam. 

Ternyata betul, ada yang berenang!

*** 

Aldera berjalan pelan menuju kolam. Semakin dekat Aldera terpana, pipinya memerah. Yang berenang ternyata seorang gadis. 

"Ehem!" Aldera berdeham. Gadis itu kaget. Dia berhenti berenang dan berbalik menuju sumber suara. 

"Kyaaaa!" Beth berteriak sekencang-kencangnya. Menenggelamkan tubuh sehingga hanya kepalanya yang menyembul di permukaan air. 

Di tepi kolam, Aldera mendengus, memalingkan wajah dambil tertawa. Kolam yang jernih ini sebenarnya tidak mampu menyembunyikan seluruh tubuh si dia yang sedang berenang. 

"Siapa kamu?" teriak Beth. 

"Aku? Aku cuma warga yang sedang beristirahat," jawab Aldera tanpa memandang gadis itu. Walaupun ia ingin sekali. "Lebih baik kamu keluar dari kolam dan pakai pakaianmu." 

Aldera berdiri memunggungi Beth. Cepat-cepat Beth keluar kolam dan mengenakan pakaian meski masih basah. Matanya awas mengawasi Aldera. Khawatir dia tiba-tiba berbalik saat Beth belum selesai berpakaian. 

"Oke," ujar Beth. Pelan-pelan Aldera berbalik. Ketika melihat Beth sudah berpakaian, Aldera menyadari sesuatu. Pakaian ini milik keluarga kerajaan. Kerajaan Laexititia. Refleks, Aldera memegang kalung yang tersembunyi di balik kausnya. 

Beth memandangi pria muda di hadapannya. Sepertinya mereka seumur. Pria ini lebih tinggi sedikit dari Beth. Kulitnya sawo matang. Perawakannya tegap tapi tidak terlalu besar. Matanya belo, bibirnya tipis, hidungnya mancung dan sedikit menekuk di ujung. Rambutnya lurus dan dipotong pendek. Meski potongan wajahnya tegas, tapi ekspresinya lebih ceria. Saat dia tertawa tadi Beth melihat ia jadi lebih...tampan.

Sebaliknya, Aldera memandangi Beth. Rambut Beth yang basah memvuat Aldera tidak tahu apalah rambutnya lurus atau ikal. Tinggi Beth lebih pendek sedikit dari dirinya. Kulit putih, badan langsing, hidung mancung, dan bibir tebal. Aldera langsung jatuh cinta. 

"Siapa kamu?" tanya Beth. 

"Alderamin, panggil saja Aldera," Aldera mengulurkan tangan. Perlahan Beth menyambut uluran tangan tersebut, yang langsung dikecup oleh Aldera. 

"Bethelgeuse, Beth," ganti Beth yang memperkenalkan diri. "Tempat apa ini?" 

"Ini? Ini taman tersembunyi. Aku sendiri tidak tahu apa nama tempatnya. Yang jelas, selama aku di sini belum pernah ada yang kemari. Sebelum kamu," jelas Aldera.

"Kamu sering kemari?" Beth mengernyit. 

"Ya," Aldera menggaruk rambutnya. 

"Apa saja yang kamu lakukan?" 

"Menggambar?" jawaban Aldera muncul dalam nada bertanya.

"Bolehkah kulihat hasil gambarmu?" Mata Beth berkilat-kilat. 

Aldera meraba kantong belakang celananya. Perlahan mengeluarkan kertas yang tadi dipakai menutupi wajah saat tidur. Diserahkannya kertas itu ke hadapan Beth. 

Sketsa pepohonan dan langit taman ini. 

"Indah sekali!" Beth berseru. Tanpa sadar dia duduk di rerumputan, meraba gambar Aldera. Aldera duduk di sebelah Beth. Belum pernah ada yang begitu antusias melihat gambarnya. Orang tuanya sekalipun. 

"Betul?" 

Beth mengangguk.  Ia menoleh pada Aldera. "Bahkan lukisan di rumahku tidak ada yang seindah ini. Padahal mereka melukis dengan berbagai warna. Kamu, kamu hanya dengan satu warna," 

"Terima kasih," ucap Aldera sungguh-sungguh. 

"Boleh kusimpan?" 

Aldera mengangguk. "Aku bisa menggambarkan apapun yang kau mau." 

Beth tersenyum lebar. "Kamu yakin?" 

Aldera mengangguk. "Tapi saat ini kertasku sudah habis. Jadi..." 

"Kita bertemu lagi besok?" tawar Beth. Ia sama sekali tidak takut akan orang asing yang baru pertama ditemuinya ini. Beth merasa aman-aman saja. 

"Boleh," 

"Apa saja yang ada di tempat ini?" Beth mulai bertanya. 

"Macam-macam. Ada..." 

***

Aldera sudah datang lebih dulu dari waktu biasanya. Ia membawa setumpuk kertas untuk bisa digambari sesuai permintaan Beth. Dia duduk di pinggir kolam, memainkan harmonika sambil menunggu Beth. Kemarin mereka mengobrol sampai matahari hampir tenggelam. Mungkin hari ini Beth agak kesulitan keluar kerajaan. 

Ya, Aldera tahu bahwa Beth adalah keluarga kerajaan. Terlihat dari gaun khusus yang dipakainya dan jubah yang ia kenalan saat akan pulang. Sedangkan yang Beth tahu, Aldera adalah salah satu warga kerajaannya. 

"Maaf," seru suara lembut seorang gadis. Aldera menoleh. 

"Tak masalah," 

Beth membuka jubah, melipatnya dengan cepat, lalu duduk di samping Aldera. Rambut hitam panjang Beth terurai. Ia mengenakan jepit hijau yang senada dengan gaunnya. 

Sedangkan Aldera memakai warna hitam. Selalu hitam. 

"Aku agak kesulitan keluar rumah karena..ya ada suatu hal. Jadi aku membawa kuda. Dia kuikat di..." 

"Tenanglah Beth. Kita tidak diburu apapun di sini," ujar Aldera menenangkan. 

"Ah ya," Beth tersenyum. 

"Kau ingin aku menggambar apa?" 

"Hmm, bagaimana kalau kolam ini dan kuda?" 

"Kuda... Baiklah," 

Aldera mulai menggambar. Beth memperhatikan di sebelahnya. Sedikit banyak mengajak Aldera mengobrol. Bertanya lingkungan ini, bertanya aktivitas Aldera, bertanya bakat menggambarnya. 

"Gambar yang cantik!" seru Beth pada gambar kuda. "Marie pasti suka," 

"Marie?" 

"Itu nama kudaku," 

Aldera tertawa. Nama yang bagus untuk seekor kuda. Selanjutnya Aldera menggambar kolam. Kali ini Beth memperhatikan sambil tiduran. Menikmati angin sepoi-sepoi. 

"Bagaimana?" Aldera menunjukkan gambarnya dengan menjadikannya penghalang wajah Beth dari terpaan sinar matahari. Membuat. Aldera sedikit berbaring di samping Beth. 

"Cantik. Kolam ini terkesan memiliki dampak yang mistis," Beth meraba gambar tersebut. 

"Tenang saja. Sebenarnya kolam ini aman," sahut Aldera, ikut berbaring di sebelah Beth. 

"Kusimpan kedua gambarnya ya. Terima kasih, Aldera," masih sambil berbaring, Beth melipat gambar-gambar tersebut dan menyimpan di saku jubahnya. 

"Kau sudah akan kembali?" tanya Aldera. 

"Belum, aku masih ingin di sini. Suasana di rumah terlalu serius," Beth memejamkan mata. Kesempatan ini diambil oleh Aldera untuk membuat sketsa wajah Beth. 

"Apa yang biasa terjadi di rumahmu, Beth?" 

"Ibu merajut, menjahit, membaca, kadang berkumpul bersama para teman. Ayah bekerja. Adikku sekolah. Kakakku berlatih bela diri," 

"Sedangkan kau?" 

"Belajar, belajar, dan belajar," jawab Beth masih sambil memjamkan mata. 

Aldera mulai menikmati waktunya bersama Beth. 

*** 

Aldera dan Beth jadi sering bertemu. Meskipun ada waktu-waktu dimana Beth atau Aldera tidak bisa hadir. Jika Aldera tidak hadir, Beth berjalan-jalan sendirian, bernyanyi, bermain bersama burung-burung, kadang berenang lagi. Jika Beth tidak hadir, Aldera sibuk menggambar, tidur, atau berenang. 

Ketika mereka bersama, Aldera dan Beth berjalan-jalan, mengobrol tentang diri dan keluarga, cita-cita di masa depan, apa yang ada di taman ini, kadang menunggang kuda masing-masing. 

Hanya satu yang tak pernah mereka bahas. Latar belakang. 

"Aku tidak bisa datang besok," kata Beth sambil memainkan hiasan rambut dari bunga yang dibuatkan Aldera. 

"Kenapa?" tanya Aldera, mencium puncak kepala Beth yang bersandar di dadanya. 

"Hmm, ayah ingin aku ada di rumah. Dia punya suatu hal yang ingin dikatakan. Tidak apa-apa kan?" Beth mendongak. 

"Sebenarnya aku ingin bertemu terus denganmu. Tapi kalau ayahmu yang membutuhkanmu, aku bisa apa?" jelas Aldera, tersenyum. Beth ikut tersenyum, perlahan mengecup bibir Aldera. 

"Sudah sore. Ayo kita pulang" ajak Aldera. 

"Sampai bertemu. Segera," bisik Beth. 

*** 

Aldera memilih untuk berenang saja hari ini. Cuaca terang tapi tidak twrlalu panas. Cocok untuk berenang. Tanpa ragu-ragu Aldera membuka seluruh pakaiannya dan menceburkan diri ke kolam. Berenang bolak-balik. 

"Ahhh," seru Aldera. Segar sekali berenang di sini. Aldera mengangkat tubuhnya, mengusap wajahnya. 

"Aldera," panggil sebuah suara. 

Aldera membuka mata dan melihat Beth berdiri di depannya. Refleks, Aldera menyentuh kalung yang ia kenakan dan menenggelamkan diri sehingga hanya kepalanya yang terlihat. 

"Beth? Hai," kata Aldera agak salah tingkah. "Katamu kau tidak datang hari ini."

Beth masih memandangi wajah Aldera, mengingat benda yang tadi dia lihat di leher Aldera. Ia berjalan ke tepi kolam. 

"Ya, ayahku memiliki keperluan mendadak sehingga ia membatalkan acara hari ini," ujar Beth. "Kemarilah." 

"Aku mau tapi, bagaimana kalau kau memalingkan wajah dulu?" Aldera nyengir, merayu Beth agar ia tetap bisa menyembunyikan kalungnya. 

Beth memutar duduknya sehingga membelakangi Aldera. Padahal Beth sangat penasaran melihat benda di leher Aldera itu. 

"Aku siap," ujar Aldera. Beth berbalik dan melihat Aldera sudah duduk di hadapannya. Ditatapnya Aldera dengan campuran pertanyaan dan perasaan. 

"Kangen aku?" goda Aldera, tangannya terulur menyentuh pipi Beth. 

"Ih, tanganmu basah!" seru Beth kaget. Aldera tertawa. 

*** 

"Ayah perhatikan, sudah berbulan-bulan kamu lebih sering menghabiskan waktu di luar. Kemana kamu pergi?" tanya Ayah Beth, Raja Regulus dari Laexititia bertanya saat ia, Beth, Ratu Capella, Pangeran Arcturus, dan Putri Vega makan malam bersama. 

"Mengunjungi berbagai tempat di kerajaan kita," jawab Beth santai. Ini jawaban yang sudah dia persiapkan jika suatu saat Sang Raja bertanya. Secara teknis, Beth memang melewati lokasi-lokasi di wilayah kerajaannya untuk menuju taman rahasia miliknya dan Aldera. 

"Apa yang kamu dapat?" Mata Ayahnya menyipit. 

Beth mendeham, menyimoan alat makan agar lebih fokus saat bicara. "Beberapa daerah yang mayoritas penduduknya beraktivitas di vidang pertanian dan peternakan cenderung memiliki taraf hidup yang lebih baik. Sedangkan bagi daerah tambang malah sebaliknya. Lingkungan tempat tinggal kadang tidak layak dan beberapa orang terpaksa berhutang," 

"Pendapat yang menarik," Raja kembali bersandar. Beth menghela nafas lega. 

"Lanjutkan pelajaranmu di lapangan. Hanya saja, hati-hati melewati batas aman negara kita dan menyebrang ke Stargade," 

Stargade adalah negara tetangga Laexititia yang dikenal sering bersengketa. Raja Regulus berusaha sekuat tenaga agar tidak ada peperangan antara dua negara ini. Dibangunnya perbatasan dan memperkuat tenaga militer. 

Selesai makan malam, Beth menuju perpustakaan bersama Vega. Biasanya mereka akan bersiap untuk tidur, mungkin mengobrol dan bermain musik dulu. Namun kali ini karena Vega memiliki tugas sekolah dan Beth ingin mencari tahu tentang sesuatu, mereka menuju perpustakaan istana. 

Beth menyusuri rak berisi buku-buku sejarah. Buku berjudul "Laexititia dan Negara Tetangga" menarik perhatian Beth. Ditariknya buku besar dan tebal itu, Beth bawa ke meja dimana Vega sudah duduk lebih dulu. 

Tanpa basa-basi, Beth langsung menuju halaman Stargade. Beth membaca asal mula pertengkaran kedua negara ini. Yaitu karena pertengkaran kakak beradik keturunan Raja Eros. Kakak merasa berhak atas kerajaan karena dia anak pertama sementara adik merasa beehak karena Raja Eros lebih menyayangi dirinya. Untuk menjaga perdamaian, Raja Eros membagi dua kerajaan menjadi Laexititia dan Stargade. Namun bukannya aman, kedua negara ini malah terus terlibat pertengkaran. Di masa modern, peperangan terjadi karena perebutan sumber daya. Laexititia terkenal dengan pertanian, peternakan, dan keindahan alamnya. Berbeda dengan Stargade yang 90% tanahnya terbilang gersang dan mata pencaharian mereka di bidang pertambangan. Tentu saja Laexititia tak mau dijajah atau direbut oleh Stargade. 

Beth tahu akan sejarah peperangan kedua negara ini. Yang perlu dia yakinkan adalah... 

Beth membaca tentang lambang kerajaan Stargade dan tertegun. 

Ini lambang kerajaan yang ada pada kalung Aldera. 

*** 

"Aldera," panggil Raja Gunther. 

"Ya Ayah," Aldera berbalik. Ia sedang berjalan menuju ruang beladiri ketika ayahnya memanggil. 

"Apa yang sudah kau dapat selama belajar di luar kerajaan?" Raja Gunther memeluk pundak putra satu-satunya. Bersama mereka menuju ruang beladiri. 

'Seorang kekasih yang cantik, Ayah,' jawab Aldera dalam hati.

"Kita harus mampu menciptakan alat-alat baru yang dapat memaksimalkan potensi dari negara kita. Agar berhentik mengimpor barang ataupun memaksa perluasan wilayah ke negara lain," 

"Sudah ada ide alat apa yang kau maksud?" 

"Aku sudah berdiskusi dengan Perida, dia sudah membuat beberapa rancangan alat. Akan kami tunjukkan pada ayah kalau segalanya sudah siap," Perida adalah teman masa kecil Aldera yang sekarang bertugas sebagai wakil Perdana Menteri. 

"Bagus," Raja Gunther menepuk pundak putranya. "Lanjutkan!" 

Aldera mengangguk. Jubahnya berkibar. Saat di istana Stargade, Aldera memang selalu mengenakan pakaian kebesarannya. 

"Tapi... Laexititia tetap negara yang menggiurkan untuk dimiliki," ujar Raja Gunther. Aldera memilih diam saja. 

*** 

Beth berbaring sambil memejamkan matanya. Ia bisa merasakan matahari menyinari seluruh tubuhnya. Nyaman sekali. 

"Hai, cantik," 

Cahaya matahari mendadak tak mwnyoroti wajah Beth. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Aldera membungkuk di atas wajah Beth. Tersenyum lebar. 

"Hai tampan," sapa Beth. Tangannya terulur dan menyentuh pipi Aldera. 

"Sudah lama kah?" tanya Aldera, kali ini dia sudah duduk di samping Beth. 

"Lumayan," jawab Beth. "Rasanya aku sudah tidur begitu lama." 

"Kamu selalu nyenyak saat tidur," ujar Aldera. Beth mengangfuk. 

"Aldera, kamu siapa sebenarnya?" celetuk Beth. 

"Aku? Aku Alderamin, kekasihmu," jawab Aldera. Diciumnya bibir Beth agar Beth tak banyak bertanya. Aldera tahu bahwa Beth curiga, terutama setelah Beth melihat kaling Aldera. Kalung ini memang memiliki lambang kerajaan Stargade. Sebagai putra mahkota tentu saja Aldera memilikinya. Hanya ketika keluar istana dia menyembunyikan kalunf itu.

Beth lebih ingin bicara daripada berciuman. Tapi Aldera memeluknya begitu erat. Beth sampai hampir kehabisan nafas. 

"Aldera," panggil Beth. 

"Apa?" Aldera balik bertanya 

"Aku mau bicara," gumam Beth. Sesungguhnya ia sulit berkonsentrasi saat Aldera menciumi pipi dan in telinganya. 

"Bicara saja," tantang Aldera. Sekarang tangannya meraba gaun Beth. 

"Dari mana kam.." Bukannya bertanya, Beth malah makin tidak fokus.

"Fokuslah, Beth," ujar Aldera. Kali ini menciumi bibir Beth lagi

"Aku.. Fokus. Tapi.." Beth akhirnya lebih fokus pada sentuhan Aldera daripada apa yang ingin ia tanyakan. Sudahlah. 

"Kekasihku Beth," bisik Aldera. 

"Ya, Aldera," Beth ikut berbisik. 

Sedetik kemudian mereka menyatu, bergerak seirama, diiringi tiupan angin sepoi-sepoi. 

"Aku mencintaimu, Beth," Aldera mengecup bibir Beth. Ia lalu berbaring di rerumputan. Beth mengarur nafasnya, bergerak sedikit demi sedikit, menaruh kepalanya di dada Aldera. Memainkan kalung lambang kerajaan Stargade. Aldera tahu bahwa Beth tahu tapi mereka berdua memilih diam. 

"Aku juga mencintaimu, Aldera," 

***

Beth dan Aldera tidak tahu permainan apa yang sebenarnya sedang mereka mainkan. Beth tahu bahwa Aldera, pria yang dicintainya ini, merupakan pangeran dari negeri yang menjadi musuh negerinya sendiri. Aldera juga tahu, seberapa besar pun ia mencintai Beth, sperjalanan mereka akan sangat sulit.

Konflik yang terjadi lebih dalam dari sekedar diselesaikan dengan pangeran dan putri menikah. Lagipula, Beth dan Aldera sama-sama yakin mereka akan terlanjur dikurung atau bahkan dijodohkan dengan orang lain, sebelum bisa menikah. 

"Beth?" panggil Arcturus, memasuki kamar Beth. 

"Hei," sapa Beth, berusaha tersenyum lebih lebar. Ia mengalihkan pandangan dari jendela dan menghadap kakaknya. 

"Sedang apa?" Arc ikut memandangi jendela yang menampilkan tiada apapun kecuali langit malam. 

"Tidak apa. Kau, ada apa mencariku?" 

"Aku akan menikah," kata Arc, wajahnya berseri-seri. 

"Betulkah? Selamat!" Beth memeluk kakaknya, ikut berbahagia. "Siapa perempuan yang beruntung itu?" 

"Athena," jawab Arc. 

Athena adalah putri dari sang Perdana Menteri. Teman Arc sejak kecil. 

"Wow, tidak aneh. Tapi aku tidak menuadari bahwa ada cint tumbuh diantara kalian," 

"Aku pun tidak," Arc duduk bersandar ke jendela. Memandang adiknya. "Kami hanya berteman baik. Sampai suatu ketika dia sempat berkata bahwa ia mungkin akan menikah dengan seseorang. Sejak itu pikiran dan hatiku terganggu. Aku tidak mau dia menikah dengan orang lain. Kuutarakan perasaanku padanya, Athena hanya tersenyum. Dia bilang, pikirkan kembali apakah perasaanku itu benar-benar cinta ataukah hanya tidak ingin kehilangan seorang teman." 

Beth duduk di samping Arc, mendengarkan cerita dengan khidmat. 

"Tapi seorang teman akan bahagia melihat temannya akan menikah. Apalagi dengan pria baik-baik," 

Beth mengangguk setuju. 

"Kenyataannya aku sama sekali tidak bahagia. Aku berusaha menjaga jarak dengan Athena. Nyatanya aku semakin tersiksa jauh darinya. Oleh karena itu... Aku yakin..." 

"Dan dia adalah wanita beruntung mendapatkanmu," 

Arc tersenyum. "Ya. Aku akan sangat berusaha membahagiakan dia." 

"Lalu bagaimana rencana Athena menikah sebelumnya?" 

Arc tertawa, menggaruk kepalanya. "Itu rupanya hanya akal-akalan Athena dan ayahnya. Ia ingin melihat bagaimana reaksiku. Dengan begini mereka bisa tahu bagaimana perasaanku pada Athena," 

Beth ikut tertawa, takjub pada Perfana Menteri dan putrinya yang cerdas. 

"Selamat sekali lagi," Beth merangkul kakaknya. 

"Bagaimana denganmu Beth?" Arc mengelus kepala adiknya. 

"Denganku apanya?" 

"Adakah pria yang menarik hatimu?" 

Beth tertegun. Dia diam. Arc menunggu dengan sabar. 

"Ada..." Gumam Beth.

"Siapa dia?" 

"Aldera," bisik Beth. Ia menyebutkan nama Aldera toh belum tentu Arc kenal. 

"Stargade?" Arc terkejut, ia menjauhkan diri dari Beth. Memandang Beth dengan tak percaya. 

"Bagaimana kamu tahu?" Beth benar-benar tak mengira Arc tahu Aldera. 

"Aldera, putra mahkota Stargade kan? Bagaimana kamu mengenalnya? Dimana?" Arc jadi begitu takut, mungkin marah, juga cemas. Ia tidak setenang tadi. 

"Kami... Sering bertemu..." Beth bingung mau menjawab apa. Ia jadi ikut takut melihat Arc. 

"Dimana?" 

"Suatu tempat.." 

"Tolong jangan bertemu dengannya lagi. Kita tidak tahu rencana apa yang dia buat di belakang ini. Aku khawatir dia hanya memanfaatkanmu. Sudah tidak aneh ketika Stargade dan Laexititia sering berkonflik. Hentikan Beth," 

"Aku mencintainya, Arc," 

"Kamu akan mencintai laki-laki lain. Tolong, jangan temui dia lagi," 

"Tapi aku..."

"Jika kamu berani bertemu dengannya lagi, aku tidak akan segan menemui Ayah dan mengatakan kenyataan ini. Kamu akan dikirung di istana selamanya, Beth," 

"Arc!" seru Beth kaget. 

"Aku hanya tidak mau adikku terluka ketika mengetahui bahwa laki-laki yang dia cintai ternyata memanfaatkannya. Aku juga tidak mau negaraku terancam. Mengertilah, Beth," 

Beth tidak mau mengerti. Beth mulai menangis. 

"Aldera tidak seperti itu," 

"Lalu seperti apa? Berapa lama kamu mengenalnya? Sudah tahulah sifat dia yang asli seperti apa?" 

Beth tidak tahu dan sejujurnya ada keraguan di hati Beth sejak ia tahu bahwa Aldera adalah bagian dari kerajaan Stargade. 

"Ijinkan aku mengucap perpisahan kepadanya," ucap Beth di sela isak tangisnya. 

"Aku ikut," 

*** 

Aldera duduk di halaman belakang istana. Memandangi langit berwarna biru gelap sembari tersenyum. Memikirkan siapa lagi kalau bukan Bethelgeuse, sang kekasih. 

Aldera tahu bahwa kisah mereka akan ditentang banyak orang. Tidak hanya kerajaan tapi juga seluruh negeri. Tapi Aldera tidak peduli. Setidaknya untuk saat ini Aldera tidak peduli. Ia begitu mabuk akan cintanya pada Beth. Ia tidak sabar menunggu pagi dan bertemu lagi dengan Beth. 

Aldera tidak tahu sampai kapan ia akan menyembunyikan hubungannya dengan Beth. Bertemu diam-diam seperti ini. Suatu hari Aldera akan mengajak Beth untuk terbuka, menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka saling mencintai. Tak peduli seluruh dunia menentangnya. Aldera bisa mengajak Beth kabur, mungkin ke negara lain, dan mereka akan menjadi orang lain. 

Entahlah, Aldera akan memikirkan itu nanti. Yang jelas saat ini ia sedang sangat mabuk kepayang oleh Beth. Ia masih ingin bersenang-senang. Tak sabar ia ingin bertemu Beth. 

"Putraku," 

Aldera menoleh, Sang Ratu Grisella berdiri di belakang Aldera. 

"Bunda," panggil Aldera. 

"Kalian tinggalkan kami," ucap Grisella pada para pengawalnya. Mereka mengangguk, mundur hingga batas terjauh namun tetap bisa memperhatikan Sang Ratu. 

"Sedang apa?" Grisella tak ragu-ragu duduk di rerumputan di samping putranya. 

"Tidak, hanya memandangi bintang," ucap Aldera sambil tersenyum. 

"Wajah siapa yang kamu bayangkan ada di sama, Nak?" 

Aldera memamdang ibunya. "Kau, Bunda. Dan Ayah." 

Sang Ratu tersenyum. 

"Kau putraku satu-satunya, Aldera. Kau juga penerus tahta ayahmu. Kami sangat menyayangimu dan selalu berharap yang terbaik untukmu," ucap Grisella. Aldera tersenyum, memeluk ibunya. 

"Terima kasih, Bunda," 

"Oleh karena itu, Ayah dan Bunda sudah berencana akan menjodohkanmu dengan Fratilly," 

"Apa?" Aldera terkejut, menjauhkan dirinya. 

"Ya, Fratilly, putri dari kerajaan Trinity. Dia sangat cantik dan baik hati. Kerajaannya selama ini bekerja sama dengan kerajaan kita," 

"Bunda jangan bercanda," Aldera masih tak percaya. 

"Tentu saja tidak," Grisella menggeleng. "Kami sudah bertemu dengan Fratilly. Raja Drenidas juga sudah setuju. Kamu setuju kan?" 

Aldera menggeleng. Ia bangkit berdiri, diikuti Grisella. 

"Aku tidak setuju, Bunda. Sama sekali," 

"Kenapa?" Satu kata, tapi Grisella mengucapkannya dengan begitu menuntut. 

Aldera memutuskan ia akan mencoba. 

"Aku sudah punya kekasih. Aku mencintai wanita lain..." 

"Siapa?" Nada itu lagi. 

"Bethelgeuse," 

"Dari Laexititia?" Grisella berseru, sangat sangat terkejut. 

Aldera tak menyangka ibunya tahu tentang Beth tapi ia mengangguk juga. 

"Bagaimana bisa? Bagaimana kalian bisa bertemu? Sejak Kapan?!" 

"Sudah 3 bulan, Bunda," jawab Aldera salah tingkah. 

"Aldera! Ya ampun, Bunda tak habis pikir. Bagaimana ini..."

Grisella jadi panik sendiri. 

"Aku akan berusaha agar Ayah menekma Beth," 

"Kamu gila!" Teriak Grisella. "Jangan! Jangan lakukan itu. Ayahmu hanya akan marah. Itu paling sederhana. Lebih dari itu, ayahmu bisa menyerang Laexititia sekarang juga. Tolong, jauhi Bethelgeuse." 

"Aku mencintainya Bunda," kata Aldera mantap. 

"Lupakan cinta!" seru Grisella. "Belajarlah untuk memandang segala sesuatu dengan lebih luas dan bijak, Aldera." 

Aldera diam. Dia tahu tidak akan bisa menentang Bundanya sekarang. Ia akan mencari cara lain. 

"Jangn temui Beth lagi," ujar Grisella lalu ia berbalik, meninggalkan putranya. 

*** 

Aldera selalu nakal. Setiap dilarang, ia akan melakukan hal yang sebaliknya. Seperti saat Grisella melarang Aldera untuk tidak mencubit pipi adik satu-satunya, Helena, Aldera malah melakukannya tanpa henti. Membuat Helena menangis terus menerus dan Aldera mendapat pukulan di bokong. 

Seperti hari ini. Meski ibunya sudah melarang, dengan semangat Aldera tetap mendatangi taman. Taman rahasia tempat ia dan Beth memadu kasih. Ia berhasil lari dari kerajaan karena mengetahui orang tuanya sedang sibuk dengan urusan masing-masing. 

Aldera sampai ketika taman itu masih kosong. Ia berjalan mondar-mandiri dengan bersemangat. Di tangannya terdapat gulungan gambar berisi sketsa wajah Aldera dan Beth. Ia bermaksud memberikan itu kepada Beth. 

Bunyi gemerisik menandakan kehadiran seseorang. Aldera berbalik ke arah dimana Beth biasa muncul. 

"Beth!" seru Aldera. 

Namun ketika ia melihat, Beth tidak datang sendirian. Wajah Aldera langsung merengut. 

"Arcturus," gumamnya. 

"Ya ini aku, Alderamin. Ada masalah?" tanya Arc, menghampiri Aldera. Beth, sementara itu, berjalan di belakang kakaknya dengan tatapan takut. 

"Apa yang kau lakukan disini?" kata Aldera dengan ketus. 

"Menemani adikku. Kau kenal Beth jadi kuasumsikan kau tahu dia adalah putri dari Laexititia?" 

Aldera menatap Beth. "Ya, aku tahu." 

"Dan adikku, kurasa kau juga tahu bahwa pria di hadapan kita ini adalah putra mahkota kerajaan Stargade?" 

"Ya aku tahu," gumam Beth. Tak berani menatap Aldera. 

"Apa maksudmu, Arc?" Aldera mendesis, mendekati Arc dengan tatapan siap menghajar. 

"Tenang. Aku datang dengan damai," Arc menyeringai. "Sebagai sesama putra mahkota, sudah kewajiban kita untuk menjaga kemakmuran negeri masing-masing. Betul?" 

Aldera tidak menanggapi. 

"Aku tidak mau mempertaruhkan kerajaanku. Aku juga tidak mau kau menyakiti adikku," 

"Aku tidak menyakiti Beth," sela Aldera. Arc mengangkat tangannya. 

"Aku dan adikku tidak tahu kau punya rencana apa," 

"Aku tidak punya rencana apa-apa. Aku hanya mencintai Beth!" Aldera berseru. Lagi-lagi Arc mengangat tangannya. Beth ingin langsung berlari dan memeluk Aldera. 

"Itu yang kau bilang. Tapi kami tidak tahu rencana apa yang kau buat," 

"Sialan kau Arc,"

"Berhentilah menemui adikku," ujar Arc tegas. Sorot matanya menggelap. "Beth tidak akan menemuimu lagi. Disini, dimana pun." 

"Kau tidak bisa seenaknya begitu, Arc," 

"Pikirkan, Aldera. Pikirkan kerajaanmu juga. Aku tahu ayahmu masih begitu berambisi memiliki Laexititia. Bukan tidak mungkin setelah mengetahui hubungan kalian, ayahmu akan menyerang negara kami. Kami hanya tidak mau hal itu terjadi. Berapa banyak korban yang akan jatuh di kedua belah pihak." 

Aldera tahu bahwa yang dikatakan Arc benar. Ayahnya masih menginginkan Laexititia. 

"Apakah kau juga ingin meninggalkanku, Beth?" Aldera berpaling kepada Beth. 

Beth memandang Aldera. Perlahan air mata muncul di pelupuk mata Beth, ia menangis. Cepat Aldera menghampiri Beth. Ia mengira Arc menghalanginya tapi Arc menyingkir. Membiarkan Aldera memeluk Beth. 

"Aku hanya takut. Aku takut kita hanya jadi pemicu bagi kerugian banyak orang," ujar Beth. 

"Jadi kamu mau kita berpisah?" Aldera menghela nafas. 

"Maafkan aku," Beth tersedu. 

Aldera memeluk Beth tanpa bicara apapun. Beth balas memeluk Aldera. 

"Sudah. Jangan menangis lagi," ujar Aldera. Beth mengangguk, mengusap air matanya. 

"Aku mencintaimu, Aldera," ujar Beth, mengelus pipi Aldera. 

Aldera memejamkan mata, merasakan sentuhan Beth untuk terakhir kalinya. 

"Aku, sangat, mencintaimu, Beth," 

Aldera membuka matanya, menyentuhkan keningnya ke kening Beth. Lalu Aldera mencium Beth, mengabaikan fakta bahwa ada Arc meperhatikan mereka. 

"Aku ingin memberikan ini," Aldera mengulurkan gulungan gambarnya. 

"Apa ini?" Beth menerima dengan bingung. 

"Hadiah dariku untuk terakhir kalinya. Bukalah saat sudah kembali ke tempatmu," Aldera tersenyum. Ia tidak bermaksud menjadikan gambar itu sebagai hadiah terakhir. Aldera ingin ini jadi pengobat rindu Beth ketika mereka jauh. Namun ketika Beth memutuskan untuk menyerah dan Aldera tahu itu keputusan yang benar, Aldera menjadikan sketsa itu kenangan terakhir mereka. 

"Pulanglah," ujar Aldera. Mengecup kening Beth dan melepaskan pelukannya. Saat ini Arc kembali menghampiri adiknya. 

"Ayo Beth," 

Beth bergeming. Memegang gulungan itu dan memandangi Aldera. 

"Ini tidak adil," kata Beth. 

"Ya, ini tidak adil," Aldera tersenyum miris. 

Arc kembali menarik tangan Beth. Beth mundur perlahan. Ia tak lepas memandang Aldera. Terus memandang Aldera sampai ia menaiki kudanya dan kudanya meninggalkan taman. 

*** 

Selama sebulan berikutnya Aldera masih mengunjungi taman ini. Berharap Beth tiba-tiba muncul dan berkata bahwa ia setuju untuk kabur. Nyatanya, ini seperti dulu saat Aldera pertama datang. Sepi. Hanya ada dirinya dan taman ini. 

Aldera berhenti mengunjungi taman ketika ia disergap oleh Helena. Adiknya itu rupanya mengikuti atas perintah Grisella. Helena menangis meminta agar Aldera tidak kabur lagi karena Sang Raja mulai mencium ada yang tidak beres. 

Aldera memandangi taman ini untuk terakhir kalinya. Satu-satunya tempat dimana Stargade dan Laexititia bertemu dengan damai dan penuh cinta. 

*** 

Beth merasa badannya sangat lemas. Berbaring, salah. Berjalan-jalan, lelah.

"Kamu belum makan, Beth," ujar Vega. 

"Aku tidak lapar, Vega," kata Beth, mengibaskan tangannya. 

"Wajahmu pucat sekali, makanlah meski sesuap. Setelah itu kamu beristirahat,"

"Baiklah," Beth akhirnya menyerah. Ia duduk di sofa kamarnya. Di hadapan Vega yang sedang merajut. 

Vega memberi isyarat kepada asistennya agar membawakan makanan untuk Beth.

10 menit kemudian kamar Beth didatangi makanan. 

"Kamu mau makan apa?" Vega membuka tutup makanan, menunjukkan berbagai pilihan. 

"Apa saja," jawab Beth tak acuh. 

"Ini saja ya," Vega mengambil piring berisi ikan dori fillet dengan saus keju dan kentang tumbuk. Vega meletakkan piring di depan kakaknya. Beth menarik garpu dan pisau, memotong ikan dengan acuh tak acuh. Memasukkan potongan pertama ke mulutnya. 

Sedetik kemudian Beth menutup mulutnya. 

"Huek," Beth berlari ke kamar mandi. Membuang makanan yang berada di mulutnya. Rasanya ia benar-benar mual. 

"Beth!" Seru Vega. "Ada apa dengan makanannya?" 

Salah satu asisten Beth menghampiri dan mencicipi makanan tersebut. "Tidak ada yang salah dengan makanannya, Tuan Putri," 

Terlihat dari ekspresinya yang tetap datar dan ia tidak menggelepar sepeti orang keracunan. 

Vega bergegas menghampiri kakaknya. 

"Kenapa?" 

"Rasanya aneh. Tidak cocok di mulutku," ujar Beth. 

"Itu menu yang biasa kita makan, Beth," 

"Entahlah," Beth menggeleng. Mencuci wajanya. 

"Akan kupanggilkan dokter. Ada yang dalah dengan dirimu," 

Beth dan Vega kluar kamar mandi. Makanan sudah ditarik kembali. Di kamar hanya ada Beth, Vega, dan asisten masing-masing. 

"Bisa kalian panggilkan dokter?" ujar Vega sambil membantu kakaknya berbaring. 

"Baik,Putri," ujar asisten Vega. Ia bergegas keluar. 

Beth memejamkan mata. Berusaha mengusir rasa pusing dan mual yang melandanya. Vega mengusap lengan Beth. 

"Kau sakit, Beth?" Arc yang kemudian muncul. Diikuti dokter istana dan asisten Vega. 

"Aku tidak apa-apa," gumam Beth. 

Dokter istana mulai memerikaa Beth. Bertanya berbagai hal dan melakukan serangkaian tes.

Setelah selesai, ia terpana. Ia berbisik pada Arc lalu Arc menyuruh para asisten keluar. Sehingga hanya Arc, Beth, dan Vega beserta sang dokter di dalam kamar Beth. 

"Apa yang terjadi pada adikku sehingga kau menyuruh semua orang keluar?" tuntut Arc. 

Dokter memandang kakak beradik kerajaan Laexititia dengan takut. Diusapnya peluh di kening berkali-kali. 

"Putri Beth..." Dia diam. Ketiga orang memandanginya, tidak sabar. "Putri Beth sedang hamil." 

"Apa?" Teriak Vega dan Arc. 

Dokter mengangguk. Itulah hasil pemeriksaannya dan mengapa ia tidak mau orang lain mendengar ini. 

Beth, sementara itu, memejamkan mata, mengurut keningnya yang terasa semakin pening.

"Bagaimana bisa? Dia kan belum menikah dan..." Vega memandang kakaknya dan dokter bergantian. 

"Aldera. Ya kan?" tanya Arc dengan dingin. 

"Ya," ujar Beth. 

Vega menatap kedua kakaknya. Tak mengerti. 

"Keluarlah. Jangan beritahu siapapun," kata Arc dengan dingin. Dokter buru-buru membereskan peralatannya lalu keluar dari kamar. 

"Siapa Aldera? Dan bagaimana Beth bisa..." Vega masih tak percaya. 

"Gugurkan, Beth," hanya itu yang diucapkan Arc. 

***

Aldera menolak keras ketika ayahnya, Gunther, mengucapkan rencana perjodohan dengan Fratilly. 

"Tidak. Tidak akan pernah," kata Aldera. 

"Seorang Raja butuh pendamping, Aldera. Fratilly adalah calon yang tepat," 

"Tidak. Aku akan menjadi raja tanpa perlu pendamping," ujar Aldera keras kepala. 

"Lalu darimana kamu akan mendapatkan penerusmu?" 

"Darimana saja," 

"Jangan bodoh. Kau akan menikah dengan Fratilly. Minggu depan dia akan datang dan..." 

"Aku mencintai orang lain," 

"Apa?! Katakan siapa?! Dia bangsawan kah? Jika ternyata dia bangsawan, kau bisa..." 

"Sudahlah Ayah. Aku sedang tidak ingin membicarakan ini," Aldera menutup buku yang tadi ia baca sebelum ayahnya tiba. Bergegas keluar perpustakaan. 

***

Kondisi Stargade sedang melemah. Pasokan dari Trinity yang biasanya mendukung sayuran dan kebutuhan pangan mereka sedang turun. 

"Satu hal. Kita akan menjalankan rencana kita. Rencana yang akan kita lakukan ketika kondisinya mendesak. Dan inilah saatnya," ujar Raja Gunther di hadapan para menteri. Termasuk Aldera.

"Masih ada cara lain, Ayah. Alat yang aku dan Perida buat akan menjadi solusi," ujar Aldera. Ia tidak bisa membiarkan rencana mendesak itu yang jadi solusi. 

"Alatmu belum bisa banyak diduplikasi, Aldera. Sementara kondisi negara kita sedang di ujung tanduk. Seluruh negeri dilanda kekeringan. Apalagi Trinity sedang tak bisa diandalkan." 

"Kita bisa melakukan diplomasi dengan mereka, dengan Laexititia. Menjadikan mereka negara yang mengimpor kebutuhan kira. Bukan menyerang mereka." 

"Tidak. Kita akan menjadikan Laexititia milik kita," 

"Perang hanya akan merugikan banyak pihak, Ayah!" seru Aldera. 

"Kita akan membuat strategi perang tanpa perlu membutuhkan banyak waktu dan tenaga," 

"Jangan. Aku mohon. Masih banyak cara lain," Aldera terus meminta agar ayahnya tak menyerang Laexititia. Ia tidak mau menyerang Beth. Ia juga tidak mau membuat negerinya menderita. 

"Kau tidak mau menyerang Laexitita karena tidak mau menyakiti kekasihmu kan? Aku tahu Aldera, aku tahu," 

Aldera terperanjat. Bagaimana ayahnya bisa tahu tentang Beth? Dan dia mengatakannya di depan seluruh petinggi istana. 

"Apa maksud Ayah?" 

"Aku tahu kamu menjalin hubungan dengan putri kerajaan Laexititia. Itulah mengapa kamu menolak dijodohkan. Itu pula alasan yang menjadikan aku semakin ingin menguasai negeri itu." 

*** 

Beth mengelus perutnya, tersenyum. Kebalikan dengannya, Vega malah cemberut memandang kakaknya. 

"Apa kau yakin?" ujar Vega pelan agar tak didengar para asisten mereka. Mereka sedang duduk di taman, disirami cahaya matahari pagi.

"Apanya?" tanya Beth. 

"Untuk tetap mengandung? Seluruh dunia akan bertanya itu putra siapa. Bagaimana seorang Putri bisa punya anak tanpa ayah? Hentikan Beth. Kamu bisa membuat ayah dan ibu malu," 

"Sekarang usianya sudah 12 pekan, Vega," ujar Beth, kembali mengelus perutnya. "Dia sudah punya nyawa. Dan dia sedang bertumbuh di dalam diriku. Sekarang memang belum terlihat. Tapi ketika nanti perutku membesar, aku akan bersembunyi dan kembali setelah melahirkan. Aman kan?" 

"Beth..." Vega merengek. 

"Vega, tolong pahamlah. Aku berpisah dengan Aldera. Kami mungkin tidak bisa bertemu lagi. Hanya sketsa wajah kami yang jadi kenangan. Dan bayi ini. Keturunan kami." 

"Aku tidak paham Beth.." Bibir Vega mengerucut. 

"Bantu saja aku," Beth merangkul adiknya.

"Putri," panggil sang asisten dengan panik. 

Vega dan Beth menoleh bersamaan. 

"Ada serangan mendadak dari Timur. Kerajaan Stargade menyerang Laexititia dan mereka bergerak ke arah istana. Tolong, Anda berdua ikut kami untuk bersembunyi." 

"Stargade menyerang kita?" Ulang Beth. 

Asisten mengangguk. 

"Ayo Beth," Vega menarik tangan kakaknnya. Berdua, mereka masuk kembali ke istana. Bersiap untuk kabur, bersembunyi. Di jalan, mereka bertemu Arc. 

"Arc, betulkah?" tanya Beth. 

"Ya, pergilah, hati-hati," Arc mengecup kening adik-adiknya lalu bergegas bergabung dengan pasukan. 

Beth dan Vega kembali berlari menuju lorong. Beth berpikie, dan terus berpikir. 

"Maaf, Vega," Beth melepaskan tangan Vega dan berbalik. 

"Beth! Beth!" Vega mengejar Beth tapi Beth berlari begitu cepat. Ia butuh bertemu. Ia butuh meyakinkan. 

Beth bersembunyi dari Vega yang mengejar. Setelah dirasa aman, Beth menuju gudang senjata. Tempat ia bisa menyamar menjadi salah satu prajurit. Beth hanya berharap bayinya kuat. 

Beth menuju istal, mencari kudanya. Mengendarainya hingga bergabung dengan pasukan yang akan keluar istana. Arc memimpin di depan semebtara istana akan dijaga oleh Raja Regulus sebagai pertahanan terakhir. 

Jantung Beth berdebar. Ia belum pernah berperang sebelumnya. Ia tahu perang begitu menakutkan. Banyak senjata, kemarahan, dan darah. Beth bergidik. Tapi ia harus berangkat. 

Pasukan Arc dan militer lainnya memacu kuda mereka ke arah timur. Beth bisa melihat bahwa kota yang mereka lewati kosong melompong. Sepertinya para petugas keamanan sudah mengamankan warga. Beth terharu akan kesigapan rakyatnya. 

Jika prediksinya benar, pasukan Stargade masih tertahan oleh para prajurit perbatasan. Mereka adalah para peajurit tangguh yang ditempatkan sebagai strategi pertahanan dari Raja Regulus. 

Hampir satu jam mengendarai kuda, mereka akhirnya sampai di medan perang. Pasukan Stargade ternyata banyak dan para prajurit masih bertahan meski mereka tetap kewalahan. 

Beth bisa melihat tiga prajurit kebanggaan Laexititia, Uranus, Saturnus, dan Neptunus, berada paling depan dan menghajar paling banyak. 

Arc langsung memerintahkan mereka untuk menyebar. Membantu titik-titik vital yang ditandai adanya Uranus, Saturnus, dan Uranus. Beth, sementara itu, mencari sosok yang dia kenal diantara para pasukan berbaju hitam.

Beth mengikuti Arc. Ia menduga kakaknya pasti akan mencari langsung pimpinan penyerangan ini alias Raja Gunther atau Pangeran Aldera. 

Benar saja, Arc menemukan Aldera sedang merangsek maju dengan pasukannya, melawan Saturnus. 

"Lawanmu adalah aku, Aldera!" seru Arc dengan suara menggelegar. 

Saturnus melihat adanya bantuan. Ia menyerang Aldera, ketika Aldera sedikit lengah, Arc masuk memggantikan Saturunus. Sementara itu Saturnus mencari sasaran lain. Beth, memandangi kakak dan kekasihnya bertarung. 

Beth memacu kudanya mendekat. Ia gegabah, ia tahu. Sedikit banyak Beth bisa beladiri. Ia juga mengalahkan beberapa musuh. 

"Ini hanya pengalihan, Arc," ujar Aldera setiap jaraknya dengan Arc cukup dekat. 

"Apa maksudmu?" Arc terus menyerang Aldera. 

"Ayahku dan pasukannya menuju istana, ini hanya agar para prajurit terbaikmu tertahan disini sehingga pertahanan istana melemah," 

"Jangan membohongiku," seru Arc. 

"Percayalah padaku," 

Arc memperhatikan, sedari tadi Aldera hanya bertahan dan tidak menyerang sama sekali. 

"Aldera!" teriak sebuah suara. 

Aldera dan Arc sama-sama kaget. 

"Beth!" seru Aldera dan Arc bersamaan. 

"Arc, pergilah. Aku merasa tidak aman ketika tidak melihat pasukan Raja dimanapun. Ia tidak mungkin tidak ikut dalam penyerangan seperti ini," ujar Beth setelah memperhatikan tidak ada Raja Gunther.

Arc memandangi Beth dan Aldera. "Kalau ternyata ini taktikmu, Aldera, kupastikan hidupmu tidak akan tenang," 

Setelah berkata begitu, Arc menarik pasukannya dan memutar arah menuju istana. Aldera berseru meminta pasukannya mundur. Saturnus Uranus dan Neptunus melihat musuh sudah semakin melemah sehingga ikut menghentikan pertahanan. 

Momen ini digunakan untuk Beth melepas pelindung kepalanya. Rambut hitamnya terurai, ia turun dan menghampiri Aldera.

"Apa yang kau lakukan disini?" Aldera membentak. "Ini daerah yang tidak aman!" 

Aldera memandangi sekeliling mereka. Banyak korban di sekitar dan meski Aldera sudah berseru untuk menunda perang, beberapa orang masih bertarung. 

"Aku ingin bertemu," ujar Beth. 

"Kau gila? Tidak di tempat seperti ini!" 

"Aku mengandung," ujar Beth, menarik tangan Aldera ke perutnya. Aldera tertegun. 

"Betulkah?" 

Beth mengangguk. 

"Ayo kita pergi. Menjauh dari sini dan membangun keluarga sendiri," ajak Beth, mengelus pipi Aldera. 

"Aku...mau," jawab Aldera. Beth sudah berseri-seri. "Tapi aku tidak bisa," 

Beth kembali tertekuk. "Kenapa?" 

"Aku mencintaimu Beth, sangat dan aku senang kita akan segera memiliki anak. Tapi Beth... Aku harus tetap melindungi negaraku." 

Setelah berkata begitu, Beth mendengar teriakan dan merasakan Aldera memutar badan Beth dengan cepat. Sedetik kemudian tubuh Aldera ambruk ke arah Beth. 

"Aldera!" pekik Beth. 

Kemudian Beth melihat, sebuah pisau panjang tertusuk di punggung Aldera. Darah merembes di pakaian Aldera. 

"Bertahanlah, tolong, Aldera. Tolong," Beth menangis. 

Uranus langsung turun untuk melindungi sang putri ketika peperangan kembali dimulai. Beth melihat bahwa yang melempar pisau memakai baju hitam. Yang artinya adalah pasukan Aldera juga. Beth tidak tahu dia siapa. Yang Beth tahu, Aldera sekarang bernapas dengan cepat dan tubuhnya melemas. 

"Tolong, bertahanlah Aldera," Beth tak kuat menahan tubuh Aldera. Mereka jatuh ke tanah, Aldera terduduk. Ia masih memeluk Beth. 

"Aku mencintaimu, Beth," 

"Aku juga," Beth menangis. Mengelus pipi Aldera, menempelkan kening mereka.

"Kamu istriku," 

"Kamu suamiku," ujar Beth, hatinya semakin sakit. Ia tidak bisa menyeret Aldera untuk mencari pertolongan. 

"Jaga anak kita ya," gumam Aldera. 

"Aldera, tolong, bertahanlah," 

Aldera tersenyum. Dengan sisa tenaganya Aldera mengecup pipi Beth. Itulah hal terakhir yang bisa Aldera lakukan. 

*** 

*flashback* 

Setelah Beth mengetahui bahwa Aldera adalah pangeran kerajaan Stargade, Aldera mengajaknya keluar dari taman. Untuk pertama kalinya. 

Aldera memberikan jubah kepada Beth untuk menutupi gaunnya. Membuat Beth terlihat seperti rakyat biasa. 

"Kita mau kemana?" 

"Tunggu saja," ujar Aldera sambil tersenyum. Mereka kembali berkuda dalam diam. Sampailah Beth dan Aldera di sebuah kapel mungil. 

"Menikah denganku, Beth," 

Beth terharu, ia mengangguk. Tak peduli apapun. Ia hanya tahu bahwa ia mencintai Alsera. Begitu juga Aldera. 

*** 

Perang usai. Perang tidak pernah membawa kebahagiaan. Tidak peenah membawa keuntungan. 

Laexititia tetap bertahan karena Raja Gunther berhasil dihentikan oleh duet Raja Regulus dan Pangeran Arcturus. Sebaliknya, Stargade jatuh ke tangan Laexititia. Karena Raja Gunther memilih bunuh diri dan....

Beth menunduk. Menangis untuk entah keberapa kalinya. Ratu Capella mengelus rambut putrinya. Putri Vega mengusap lengan kakaknya.

Aldera dimakamkan di Istana Laexititia atas permintaan Beth. Raja Regulus dan Ratu Capella akhirnya tahu bahwa putrinya menikah diam-diam dengan Pangeran dari Stargade dan sekarang sedang mengandung. Toh Stargade juga sudah menjadi bagian Laexitita. Dengan cepat Raja Regulus mengatur dua negara yang baru beegabung ini. Mencari orang-orang yang benar-benar memiliki visi kedamaian. Menyingkirkan mereka yang punya niat buruk di hati. Ratu Grisella dan Putri Helena tinggal di salah satu rumah dekat istana. 

Semua bisa diperbaiki. Hanya satu yang tidak bisa. Aldera tidak akan kembali. 

"Beth," panggil Ratu Capella dengan lembut. "Jangan menangis. Nanti bayimu ikut sedih," 

Beth tidak menanggapi. Hatinya sakit. Beth hanya ingin bertemu Aldera. Mengatakan bahwa mereka tidak perlu bersembunyi lagi. Mengatakan bahwa semuanya sudah aman. 

"Beth..." Vega memeluk kakaknya. Vega menangis karena kakaknya terlihat begitu sedih. 

"Tolong....kuatlah," Ratu Capella ikut memeluk putrinya, menangis. 

***

Beth mengunjungi makam Aldera hampir setiap hari. Awalnya hanya menangis. Namun lama kelamaan Beth mulai bisa bercerita. Apa yang dilakukan bayi mereka dalam kandungan. Saat menyadari Aldera tidak akan menanggapi, Beth menangis lagi. 

Kadang Beth mengunjungi makam Aldera ditemani Vega atau Arc. Mereka akan menarik Beth ketika Beth mulai menangis. 

Meski dengan penuh kesedihan, akhirnya Beth melahirkan bayinya. Ditemani kedua orang tua, kakak, dan adiknya. 

Suara bayi menggema di kamar Beth. Raja Regulus, Ratu Capella, Pangeran Arcturus, dan Putri Vega berseru kegirangan. Bayi yang masih berwarna merah diangkat oleh sang dokter. Setelah tali pusarnyadipotong, dokter menyerahkan bayi yang menangis kencang itu ke pelukan Beth. 

Beth ikut menangis. Menangis terharu. Menangis sedih karena tak ada Aldera di sisinya. 

Bayi laki-laki itu menempel di dada Beth. Mencari payudara Beth untuk mulai menyusu. Seluruh keluarga Beth memperhatikan adegan ini dengan terharu. 

"Bunda menyayangimu, Antares. Dan ayahmu Aldera juga pasti merasakan hal yang sama," 

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?