Yang Lebih Baik

Aku masih di sini. Memandangi hujan yang turun dengan deras di luar. Kata Ika Natassa dalam bukunya, Critical Eleven, “hujan dan kenangan bukanlah perpaduan yang baik untuk seseorang yang sedang melupakan.” Ya, menurutku betul. Aku menghela nafas dan termangu. Ruangan yang tadinya begitu dingin jadi tidak terlalu menusuk karena suhu di luar mengimbangi suhu di dalam. Aku melihat sepasang kekasih turun dari motor dan berlari ke arah kafe yang ada aku di dalamnya. Mereka berlari kecil sambil mengibaskan air yang membasahi mereka saat masih mengendarai motor. Si Mars menepuk rambut Venus yang basah dan si Venus mengelap wajah Mars dengan tisu yang ia keluarkan dari tasnya. Aku rindu momen seperti itu.

“Kangen ya?” Dyah tiba-tiba muncul di samping dan mencubit pipiku dengan cubitannya yang sadis. Cubitan yang selalu kuandalkan kalau sudah mulai ngantuk di kelas saat kuliah.

“Apaan sih,” aku menggosok pipi dan lagi-lagi memandang keluar. Semakin banyak orang berteduh.

“Udah berapa lama, lo, setiap Selasa malam, pesen Green Tea Latte, duduk deket jendela, dan ngegalau di kafe gue?” Dyah duduk di depanku dan menyangga dagu dengan kedua tangannya. Bibir Dyah menyunggingkan senyum miring dan matanya berkilat jahil.

“Baru 6 bulan,” aku menggumam sambil bersandar ke kursi kayu, memandangi jemari yang sedang kuhiasi dengan kutek berwarna hijau muda. 

“Ha, 6 bulan. Selama lo disini, Ario kemana?” Dyah bersandar dan melipat kedua tangannya. Ia memandangku dengan sinis sekali. Tapi matanya menyiratkan kesedihan.

Aku tidak perlu dikasihani. Aku sedang tidak ingin bersedih ria.

“Ga usah bahas deh. Mending lo layanin yang beli deh. Banyak tamu tuh gara-gara hujan,” aku mengibaskan tangan menyuruh Dyah pergi. Setelah itu kuambil buku yang kubawa dan pura-pura melanjutkan membaca padahal telingaku memastikan Dyah berdiri dan pergi. Berhenti membuatku makin merana.

Dyah memang pergi, setelah menepuk pundakku. Aku menghela nafas, melempar kembali buku dan lalu memandang hujan lagi.

***
 
Beranjak ke 6 bulan yang lalu. Malam tidak sebasah dan sedingin hari saat terakhir kali Dyah mengasihaniku. Ario menggandeng tangan kiri yang berhiaskan jam tangan hadiah ulang tahun darinya. Kami saling berjalan dalam diam, sekali-kali mengomentari sesuatu yang muncul di hadapan kami. Aku dan Ario sudah sama-sama lelah setelah seharian diterpa berbagai jenis pekerjaan. Namun karena dedikasinya yang tinggi sebagai pacarku, ia tetap rela menjemput dan mengantarku pulang ke kosan. Tempat kosku yang tidak dapat dilalui mobil membuat Ario harus memarkir mobilnya di depan pintu kompleks dan mengantar dengan berjalan kaki. Hela nafas kami yang mengiringi perjalanan sepi ini.

“Hei,” panggil Ario saat kami akhirnya sampai di depan pagar rumah kosku. Aku berbalik menghadap Ario dan menyunggingkan senyum lebar. Memberikan senyum kepada teman kuliahku yang baru dua bulan jadi pacarku.

“Yes,” aku memiringkan kepala.

“Kamu tahu aku sayang kamu kan?” Ario terdengar cheesy ya.  Kadang memang dia hobi seperti itu.

Aku tertawa. “Yeah, I can see it in your eyes,” aku mengacak rambutnya seperti seorang ibu kepada anaknya. Kupandangi kedua matanya, mata yang selalu jujur dan memandangku seakan aku adalah makhluk paling mulia di dunia.

“Sini,” Ario menarikku ke pelukannya dan mencium rambutku lama. Aku sedikit risih karena hari ini aku tidak keramas, tapi sepertinya itu bukan masalah untuk Ario. Ragu-ragu, akhirnya aku balas memeluk Ario.

“Kenapa sih?” aku melonggarkan pelukan dan memandangi wajah Ario. Dia masih senyum-senyum saja.

“Kita sebaiknya menghentikan hubungan ini,” kata-kata itu meluncur begitu cepat dari mulut Ario. Refleks, mulutku membuka dan Ario langsung menangkupkan kedua tangannya di pipiku. 

“Kenapa? Kita ga ada masalah kan?” aku memandangi setiap sudut wajah Ario, mencari bukti bahwa ia sedang bercanda.

“Aku sedang...punya masalah. Aku gak mau membuat kamu terlibat di masalahku. Kamu pasti bisa dapat yang lebih baik dari aku,” Senyum masih mengembang di wajah Ario. Senyum yang sama saat ia memberikan hadiah ulang tahun padaku. Bedanya, saat itu aku ingin memeluknya, sekarang aku ingin menjitaknya.

“Alasan apaan itu,” kupukul Ario dengan tas yang kubawa. Kadang-kadang aku memang bisa sedikit sangar. Tapi Ario tetap tersenyum, tangannya terjatuh lunglai ke sisi tubuhnya.

“Istirahatlah,” Ario mendekatkan wajahnya padaku dan mencium bibirku untuk pertama kalinya. Apa-apaan dia, setelah tadi minta putus sekarang masing berani mencium aku. Sebagai wujud protes, kututup bibirku rapat-rapat.

“Kita gak akan putus, Ario,” aku menegaskan kembali. Menolak usulan yang dia sebut dan membuat mood ku langsung jelek.

“Istirahatlah,” Ario mengulang kata-kata itu lagi. Ia mengelus rambutku yang ikal dan panjang, yang selalu dia mainkan saat kami duduk bersebelahan dan membaca buku favorit masing-masing. Lalu Ario berjalan mundur, kembali ke arah pintu kompleks tempat mobilnya terparkir. Tidak lepas ia memandangku sampai sosok kami saling tak terlihat. Aku masih terpaku, di pikiranku masih tertanam gagasan bahwa dia akan muncul kembali, mengajakku makan siang dari kantornya, dengan sedikit peluh menghiasi wajahnya karena panasnya kota Jakarta. Semua akan biasa saja. 

Tapi, seperti kata Augustus Waters, “dunia bukanlah pabrik pewujud keinginan.”

***
 
Pertemuan dengan klien sore ini membuatku malas kembali ke kantor, apalagi hanya untuk absen. Jadi kuputuskan untuk mampir ke kafe Dyah meskipun ini bukan hari Selasa. Aku memeluk Macbook di tangan kiri, iPhone di tangan kanan, dan mendorong pintu kaca kafe dengan pundakku. Begitu aku ingin menghampiri tempat favorit, aku termenung. Ada orang disana. Ia mengenakan polo shirt biru gelap, headphone hitam bertengger di kepalanya dan ia sedang serius menghadapi Macbook. Badannya diam tapi saat ia tidak mengetik, jarinya mengetuk meja mengikuti alunan musik. Di sekitar mejanya berserakan kopi, iPhone, rokok, dan kunci mobil.

“Horang gahul,” aku berbisik lalu memutar balik.

Sambil cemberut, aku menghampiri meja bar, ada Dyah sedang membuat latte art. 

“Itu siapa?” aku menunjuk spot favoritku dengan ibu jari. Dyah melirik arah yang kutunjuk lalu melanjutkan pekerjaannya.

“One of my new customer,” jawab Dyah.

Aku mengangguk, memandang sekilas ke arah pria itu. Berharap ia membereskan barangnya lalu keluar dan aku bisa menempati tempat itu. Tapi saat aku pulang jam 10 malam, ia masih di situ. Maka aku harus puas duduk berjam-jam di kursi kayu tinggi dengan meja bar, sekali-kali memperhatikan Dyah dan teman-temannya bekerja. Rasanya sosok itu menggangguku.

***
 
Pekan berikutnya aku datang ke tempat Dyah, hari Selasa, sosok itu mengalahkanku lagi. Dia sudah duduk manis saat aku datang pukul 7. Aku bergegas menghampiri Dyah. 

“Dia siapa sih? Sering ke kafe lo ya?” 

Dyah menghentikan aktivitasnya mengelap gelas lalu tertawa.

“Lo merasa tersaingi ya?” Dyah menggeleng. Aku menghela nafas, sedikit kesal lalu duduk di kursi tinggi dan meletakkan dagu di meja. “Dia udah seminggu ini kesini mulu dan selalu duduk disitu juga. Gue sih ga keberatan, ganteng gitu.”

“Mungkin dia memang rajin kesini karena naksir lo kali. Untungnya, lo naksir dia juga. Gimana kalau kalian kenalan aja?”  Aku memiringkan kepala dan menjadikan tanganku alas untuk tiduran di meja.

“Udah dong. Namanya Juna,” Dyah tersenyum bangga. 

“Gila lo, gercep abis!” Aku duduk tegak dan memandang bergantian antara Dyah dan Juna itu. “Juna dari Arjuna? Kayak chef gitu?”

Dyah mengangguk. “Ganteng dan coolnya sama kan? Bedanya dia bukan chef, tapi programmer. Baru balik kuliah S2 dari Jerman.”

“Kok dia bisa nyangkut di kafe lo? Yang terpenting, kok lo bisa kenalan?!” 

Tawa Dyah makin melebar, tapi dia menutup mulutnya agar suaranya tidak terdengar. “Karena dia nanyain lo, nyet.”

“Hah?”

“Minggu kemarin, setelah lo pulang, dia datengin gue. Nanyain siapa nama lo. Yaa gue samber aja, tanya balik nama dia siapa.”

“Kok bisa dia nanyain gue?” Aku masih kaget, kutolehkan kepala ke sebelah kiri, bermaksud menganalisa wajahnya, siapa tau dia teman SD yang kulupakan.

“Hai,” Juna tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Aku memekik kaget dan tanpa sadar dudukku menggeser dari bangku tinggi yang sempit itu lalu aku merasakan tubuhku meluncur dari bangku. Aku sudah siap untuk jatuh dan membentur lantai batu. Kupejamkan mata erat-erat tapi lantai batu tak kunjung menghantam tubuhku. Ada yang memegangi pundak dan pinggulku, menahan aku dari jatuh dan menghantam lantai batu lalu menjadi bahan lelucon seantero kafe. Pelan-pelan kubuka mata dan kupandangi mata coklat Juna sedang memandangiku sambil nyengir. “Hai, Yona.”

Aku menelan ludah.

***
 
He just coincidentally bumped in Dyah’s cafe and then he saw me. He said that he’s interested in me and wants to know more about me. That’s why he sit there almost everyday, waiting for the chance to meet me again. Surprisingly, second time he meet me is the time when he became my hero, despite of the reason i almost fallen is him.

Setelah aku hampir jatuh dari kursi, dia mengajakku bergabung dengannya di meja. Kami terlibat percakapan tentang politik Indonesia, wirausaha, kafe Dyah, studinya di Jerman, pekerjaanku sebagai konsultan desain interior, film yang sedang diputar, termasuk kesesuaian artis pemerannya. Lalu hari ini, sehari setelah kami mengobrol, dia tiba-tiba muncul di depan kantorku, membawa dua gelas Chatime.

“How do you know?” Aku memandangi Chatime yang dia pegang dengan wajah berseri-seri.

“Everybody loves Chatime, I guess. But I hardly guess what kind of flavor you like. So I go with the neutral one, chocolate. Is it okay?” 

“Its more than okay, Juna. Thank you,” aku tertawa dan Juna terlihat senang. Ia lalu menyodorkan salah satu gelas Chatime dan menusukkan sedotan ke gelas satunya.

“So, lunch?”

“Okay, my treat,” lalu kutarik tangannya menuju kios makanan yang berjejer di belakang kantorku.

***
 
He was fast, you know. Cepet kerjanya, project-project yang dia dapat sebagai freelancer (katanya dia belum mau kerja kantoran karena belum ada tawaran yang cocok) bisa dia kerjakan dalam waktu maksimal 3 hari. Cepet geraknya, setiap aku berpikir tentang mengambil sebuah keputusan, dia akan langsung memberikan opsi-opsi beserta keuntungan dan kerugian sehingga membuat aku mudah menentukan pilihan. Saat aku bingung apakah akan menemuinya di kantor atau tempat kami janji bertemu, dia akan langsung muncul di depanku. Seakan-akan kemacetan Jakarta tidak mempengaruhinya. Cepet makannya, mungkin karena saat kami makan bersama lebih banyak aku yang bicara sementara dia makan sambil mendengarkan aku. Setelah itu dia akan menanggapi. Oh iya, dia juga merokok, tapi tanpa aku peringatkan, dia tidak pernah menyalakan rokoknya di depanku. Yang terakhir adalah yang paling membuatku tersipu malu. Begini ceritanya.

Aku masih ada di kantor sampai pukul 9 malam. Padahal aku punya janji dengan Juna untuk makan malam bersama, 2 jam lalu. Namun aku terpaksa membatalkan saat bosku meminta aku kerja lembur. Juna tidak keberatan, ia bilang ia mau menyelesaikan pekerjaannya juga. Pukul 9, aku meregangkan badan, merasakan tulang-tulangku berkeretakan saking terlalu lama duduk. Aku menoleh ke sebelah kanan, Kikan, rekan seperguruanku juga masih asyik menghadapi laptop dan sekali-kali meminum kopi. Sedari tadi ada beberapa orang yang ikut lembur tapi saat ini hanya tersisa empat orang, aku, Kikan, dan dua orang dari Departemen Pemasaran. Aku hendak berdiri mengambil air minum ketika ada langkah kaki orang dari arah pintu masuk. Saat kulirik, Juna sedang berjalan menghampiriku, tangan kanannya menjinjing keresek hitam, tangan kirinya menjinjing keresek putih khas sebuah convenient store, dan bibirnya menyunggingkan senyum. 

“Pasti belum makan kan?” ucap Juna saat kami sudah berdiri berhadapan.

Aku pura-pura acuh dan mengangkat bahu. “Sibuk kerja,” balasku sambil nyengir.

“Nih makan dulu. Nasi goreng pake telor dadar,” Juna meletakkan barang bawaannya di meja yang kosong, duduk di kursi dan menarikku untuk ikut duduk. 

“Wah, pas banget! Itu menu favoritku,” aku menggeser kursi lain dan duduk di sebelah Juna, mulai mengeluarkan isi kantung yang dibawa Juna. Saat itu kusadari bahwa rambutku yang sudah tumbuh lebih panjang dan kuberi highlight merah ini sedikit mengganggu. Kuangkat tanganku untuk mengikat rambut dengan ikat rambut yang selalu kusematkan di pergelangan tangan kanan. Namun Juna menyentuh tanganku lalu sedikit memutar tubuhku menghadapnya, lalu ia menjatuhkan bibirnya di atas bibirku, begitu pelan dan lembut. Aku kaget, tanganku masih menggantung di atas tapi kujatuhkan kelopak mata hingga menutup dan kubiarkan kemana Juna akan membawaku.

***
 
Kejadian itu hanya dua minggu setelah insiden hampir jatuh. Saat aku dan Juna saling melepaskan diri, Kikan dengan cueknya berjalan melewati kami sambil berkata, “ga ada kejadian apa-apa selama lembur hari ini. Ga ada,” Aku cekikian dan Juna tersenyum-senyum. Dia mengeluarkan buku lalu bersandar di kursi, sementara itu aku mulai makan. 

Sulit untuk kusebutkan bahwa saat itu adalah ikrar bahwa kami mulai pacaran. Nggak. Memang kami bukan ABG yang butuh kata-kata “kamu mau jadi pacarku?” untuk bisa memulai sebuah hubungan. Tapi, aku menghela nafas mengingatnya, aku juga belum berminat untuk melanjutkan hubungan dengan Juna ke arah yang lebih jauh. Mungkin aku sudah tidak pernah termenung menghadapi jendela di Selasa malam tapi kalau hampir setiap kencanku dengan Juna dilakukan di kafe Dyah, mana aku bisa benar-benar lupa?

“Lagi mikirin apa?” Juna memecah keheningan yang menggantung diantara kami saat kami berada dalam perjalanan menuju Bogor. Aku pulang, dia menghadiri gathering dengan teman kuliahnya.

“Hmm,” jeda, Juna sabar menunggu, tangannya fokus ke setir dan matanya fokus ke jalanan tapi aku yakin telinganya fokus mendengar suaraku. “Aku gak bisa menjanjikan kita bakal jadi apa.”

Kutelan ludah, khawatir bahwa kalimatku itu terdengar terlalu pede. Bahwa saat Juna menciumku dulu itu hanya tindakan spontan, tidak berarti apa-apa, tidak berarti ia menyukaiku.

“Jadi apa memangnya?”

Tuh kan. Aku memandang Juna dengan mata melotot, ternyata yang dipandangi balas memandangku dan nyengir. 

“I’m not in hurry, Yona,” balas Juna, tangan kirinya terulur dan aku meraihnya, menggenggamnya.

“Kita jalanin aja dulu,” kataku.
 
 ***

Orang bilang untuk melupakan seseorang, butuh orang yang baru. Aku gak setuju sih dengan statement itu. Karena kupikir kasihan dengan orang yang baru. Sekaan-akan dihadirkan hanya untuk menggantikan orang yang lama. Sengaja dicari untuk membantu melupakan. Hal itu membuat kita kurang menghargai esensi keberadaan dari si orang baru itu tersebut. Siapa tau sebenarnya dia memang hadir di saat yang tepat, bukan untuk membuat kita lupa akan yang telah lalu tapi untuk membuat hidup kita lebih bahagia.

Tapi kali ini, aku terpaksa sedikit setuju dengan kalimat itu. Aku tidak dengan sengaja mencari sosok Juna, ia hadir ke hadapanku begitu saja. Dia mengisi hari-hariku tanpa kuminta. Aku pun melupakan Ario tanpa kusadari. Karena yang ada di hadapanku hanya Juna, pekerjaan, teman-temanku, dan hobiku. Pada akhirnya Ario bisa kusingkirkan pada sudut tertentu di dalam hati. Dia masih ada, tapi bukan lagi menempati posisi tertentu ataupun mengganggu pikiranku. Dia yang menghilang begitu saja hampir 8 bulan lalu sudah seharusnya aku pun menyingkirkannya dari prioritas hidupku.

Kemarin Juna menyodorkan cincin berlian ke hadapanku. 1,2 karat. Cahayanya menyilaukan. Diamonds are women’s bestfriend, they said. Tapi tidak buatku karena aku bukan pecinta perhiasan, meski saat Juna menyodorkannya di bawah hidungku, tetap saja aku juga terpukau akan keindahannya. Kami sedang duduk di sofa di rumahnya, di perpustakaan pribadinya, perpustakaan yang berisi buku-buku yang dia kumpulkan sejak SMP. Aku sedang membaca sambil bersandar di pundaknya sedangkan dia sedang mengerjakan sesuatu di Macbook. Saat tiba-tiba dia menutup Macbook, membuat aku mengangkat kepala dan terjadilah. Cincin berlian itu muncul dari antah berantah.

“Will you?”

Dia diam. Aku diam. Alisku kuangkat sebelah.

“Marry me?” Juna melanjutkan. Lain dari biasanya, wajahnya sedikit merona tapi dia berdeham dan kembali jadi Juna yang cool.

Kupasang ekspresi paling cool yang aku bisa. Keheningan tercipta di antara kami. Tangan yang menyodorkan cincin mulai bergetar karena pegal berada dalam posisi menggantung sekian lama. Juna juga mulai salah tingkah. Saat Juna terlihat mulai menurunkan tangannya, saat itu juga aku tersenyum lebar dan mengangguk. Wajah Juna langsung sumringah dan tanpa ragu ia meletakkan cincin itu di jari manis tangan kiriku lalu melakukan lagi hal yang dia lakukan setelah mengantarkan nasi goreng saat aku lembur.

***
 
Akhir pekan kemarin Juna menemui orang tua dan adik-adikku. Menyampaikan maksud bahwa ia ingin serius menikah denganku. Belum lamaran resmi karena ia juga belum mengenalkanku secara formal kepada orangtuanya. Melihat respon kedua orang tuaku, sepertinya Juna lulus tes. Karena setelah Juna pulang, mama tak kunjung berhenti membicarakan Juna. Papa juga terlihat begitu girang karena seharian itu Juna membantunya menyelesaikan banyak pekerjaan pertukangan sambil membahas hal-hal khas lelaki.

Pekan ini giliranku. Berbeda dengan saat Juna hadir di rumahku, kali ini aku akan menemui keluarga Juna dalam acara makan malam di restoran. Kata Juna, ini karena  orang tuanya sudah bercerai jadi lebih memilih tempat umum. 

Aku menggenggam erat tangan Juna saat memasuki restoran bintang lima yang suasananya begitu syahdu. Jarang terdengar tawa canda seperti di restoran umumnya, hanya denting garpu menyentuh piring dan percakapan sopan. Aku melirik Juna dan dia tersenyum menenangkan, sesekali ia mengelus rambut yang kuikat jadi ekor kuda. Saat kami sampai di meja yang sudah dipesan, kedua orang tua Juna sedang duduk sembari mengobrol sopan. Keduanya sepertinya berhasil menjaga hubungan cukup baik setelah bercerai saat Juna hampir menyelesaikan kuliah S1-nya. Ayahnya duduk di ujung meja, sementara ibunya duduk di ujung yang lain. Juna akan duduk di sebelah kanan ayahnya sementara aku akan duduk di sebelah Juna. Di hadapan kami ada dua kursi, baru satu kursi yang diduduki, yaitu oleh Padma, adik perempuan Juna. Aku pikir kursi itu memang dibiarkan kosong. Tak memikirkan kenapa kursi itu kosong, aku berkenalan dengan kedua orang tua Juna seformal yang aku bisa. Mereka tersenyum dan tampak menyambutku dengan tangan terbuka. Sekilas kulihat raut wajah Juna menampilkan ekspresi gusar. Padahal tadi dia baik-baik saja.

Hidangan pembuka mulai dihidangkan, termasuk di kursi yang masih kosong itu. Aku semakin heran, saat ingin kutanyakan pada Juna, ekspresi wajahnya semakin kaku, pertanyaan orang tuanya pun dijawab singkat saja. Jadilah aku yang lebih banyak menjelaskan perihal hubungan kami. Saat aku sedang jeda bicara, terdengar bunyi kursi digeser dan seseorang berkata, “maaf terlambat. Jalanan Jakarta memang luar biasa.”

Aku mengenal suara itu, kuangkat kepalaku dan kualihkan pandanganku ke arah sosok yang baru tiba itu. Apa yang kulihat membuatku ingin pingsan sekaligus melompat memeluknya dan melemparkan stiletto yang kukenakan. Sedangkan ekspresi Juna langsung terlihat murka.

Ario baru saja bergabung di acara makan malam ini.

***
 
Tak banyak yang kubicarakan selama Juna mengantarku pulang.  Perasaan kaget, marah, kesal, lelah, rindu, bercampur jadi satu. Juna juga marah, maka dari itu dia sama diamnya seperti aku. Makan malam itu berjalan lancar, tentu, kedua orang tua Juna terlihat menyukai aku tapi bagi kami berdua, kami tahu bahwa makan malam itu adalah sebuah kesalahan. Semua karena kehadiran Ario yang tiba-tiba.

Mobil Juna sampai di depan rumahku. Aku langsung membuka pintu mobil dan turun, Juna melakukan hal yang sama.

“Hei,” panggil Juna, ia meraih tanganku yang pelan-pelan kutarik lagi.

“Kita obrolin lagi aja nanti. Aku lelah,” aku berbalik dan membuka pintu pagar lalu masuk ke rumah. Juna masih di situ, seperti biasa ia akan menungguku hingga masuk lalu pulang. 

Begitu memasuki kamar, aku melempar stiletto dan tas begitu saja lalu kujatuhkan diri di atas kasur. Aku menangis. Aku tidak tahu apa alasan yang membuatku menangis. Entah karena Juna tidak cerita padaku bahwa dia kenal dengan Ario. Entah karena Ario yang tiba-tiba muncul lagi dan bersikap seakan tidak ada apa-apa. Entah karena dalam hatiku aku masih mengharap Ario.

Entah.

***
 
“Pa, maaf saya terlambat. Jalanan Jakarta yang macet dan jarak antara bandara dan tempat ini membuat saya terlambat,” Ario angkat bicara, memandang ayahnya dengan tatapan hormat namun hanya mengangguk kepada ibunya. Dia menyapa Padma dan bertanya bagaimana kuliah Padma. Sedangkan kepada Juna, dia hanya melirik sekilas. 

“Ya, makanlah,” jawab ayah Juna. 

Saat itu, ribuan pertanyaan berlarian di otakku. Aku tidak tahu mana yang ingin kutanyakan lebih dulu.

Ario, apa yang kamu lakukan disini?

Ario, kamu tinggal dimana?

Ario, kamu siapanya Juna?

Ario, kamu masih sayang aku?

Sedangkan Juna. aku sedikit takut memandang dia. Wajahnya seakan-akan dia bisa membalikkan meja ini kapan saja. 

Saat makan malam berakhir dan kami berpamitan, Ario menghampiri aku dan Juna.

“Pilihan lo emang ga pernah salah ya bro. Selalu, kampus nomor 1, barang kualitas original, dan perempuan paling cantik.” Lalu Ario beralih memandangku. “Take care of my brother, Yona.”

Ario berbalik, berpamitan kepada ibunya lalu ia menghilang bersama ayahnya.

***
 
Setelah pertemuan tiba-tiba dengan Ario kemarin, aku berharap dapat bertemu dengannya lagi. Tentu saja. Maka dari itu aku duduk di tempat favoritku di kafe Dyah, berharap dia akan muncul dengan tiba-tiba seperti kemarin malam dan aku bisa menanyakan banyak hal padanya. Namun yang muncul adalah Juna. Gagah dan tampan seperti biasa.

Siapa yang kamu tunggu?” adalah kalimat Juna begitu dia duduk di depanku. Kualihkan pandangan dari jendela ke arah kekasihku ini, orang yang cincin pemberiannya masih tersemat di jari manis tangan kiriku.

“Ario,” aku merasa tidak perlu menutupi apapun dan kuharap Juna juga berpikiran yang sama. Kalau memang kami akan melanjutkan hubungan yang lebih serius—yang mulai aku ragukan—maka kami harus saling terbuka.

Juna menghela nafas lalu bersandar di kursi. Wajanya yang mirip Hamish Daud ini terlihat sedih dan menyesal. 

“Aku minta maaf karena aku gak jujur sejak awal padamu. Ario adalah adikku. Adik kandungku, sama murninya seperti Padma padaku. Namun sejak perceraian kedua orang tua kami, kami menjauh. Ario ikut papa, Padma ikut mama, dan aku memilih kabur ke luar negeri.  Tidak bisa dibilang bahwa kami kakak beradik yang akrab. Kamu sendiri mungkin dengar kalimat sinis Ario sebelum kita berpisah kemarin. Entahlah, mungkin dia iri, karena sejak kecil aku selalu mendapat yang kuinginkan. Bukan hanya karena pemberian orang tua, dia juga mendapat hal yang sama, melainkan karena aku berusaha berkali-kali lebih keras dari orang lain. Hanya saja, untuk satu hal ini, aku sudah keterlaluan.”

Aku masih diam mendengarkan. Rasanya aku tahu ‘satu hal’ yang dimaksud Juna.

“Aku tahu kamu sejak lama. Sejak kalian bahkan belum pacaran. Ario selalu menceritakan tentang teman-temannya, tapi kamu yang paling sering ia ceritakan. Lama kelamaan muncul perasaan bahwa aku ingin memiliki kamu. Entah karena hanya ingin menang dari Ario atau aku benar-benar terpesona olehmu.”

Aku tidak menyangka...

“Lalu aku pulang dari Jerman dan bertemu dia saat acara keluarga, setahun lalu. Saat itulah aku tahu Ario terkena kanker tulang,”

Aku terkesiap. Kanker?

“Dia stres menghadapi hal itu. dia sempat pesimis menghadapi hidupnya. Bahkan aku yang mengusulkan pengobatan di luar negeri dan membuat dia melupakan semua yang dia miliki disini. Termasuk kamu...”

Ya ampun, jadi Juna yang menyebabkan Ario meninggalkanku?

“Dia menuruti usulku. Mungkin merasa bahwa usulku ada benarnya. Lalu dia berangkat ke Singapura dan menetap disana untuk menjalani pengobatan. Saat itulah aku merasa ini kesempatan untukku. Selanjutnya adalah seperti yang kamu tahu. Aku mendekatimu,”

Aku tidak percaya Juna ternyata seperti ini.

“Secara jelas aku melarang Juna untuk pulang ke Indonesia saat aku mengajakmu bertemu mama dan papa. Aku takut, takut kamu akan bertemu Ario dan meninggalkan aku. Namun rupanya Ario tidak mendengarkan laranganku dan akhirnya kalian berdua bertemu. Aku tahu sebenarnya cepat atau lambat kalian akan bertemu...”

“Kamu jahat, Juna,” aku menatapnya dengan pandangan menyipit. Juna menggeleng, tangannya mengusap kepala berkali-kali.

“Aku tahu aku jahat, tapi bukan itu maksudku. Cuma caraku yang salah, tapi aku berusaha dengan tanganku sendiri untuk mendapatkanmu,” Juna mengulurkan tangan bermaksud meraih tanganku. Buru-buru kutarik kedua tanganku. Kubereskan tasku dan aku berdiri.

“We need a break,” ujarku lalu berjalan keluar kafe.

“Yona,” panggil Juna.

Aku berbalik. “Jangan berani-berani mengejarku,” Aku memegang cincin berlian dari Juna, sebagai ancaman, jika ia berani mendekat, aku akan melepaskan cincin ini dan juga hubunganku dengannya.

***
 
Aku sudah hampir terlambat menemui klien, dengan terburu-buru aku membawa tas yang belum ditutup dengan benar sambil hati-hati menjaga agar macbook-ku tidak jatuh. Supir kantor sudah menunggu sejak sejam lalu namun karena meeting yang kuikuti selesai lebih lama, aku jadi terlambat. Sukses menjaga barang-barang agar tidak terjatuh, malah aku yang rasanya ingin jatuh, berguling-guling kalau perlu.

“Hai, buru-buru?” Ario berdiri di samping mobil kantor yang akan kugunakan. Pak Dodo, sang supir, melirik kami bergantian.

“Y-ya,” 

Ario mengangguk. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Keberatan kalau aku ikut ke lokasi klien? Setelah itu kamu bisa pulang denganku sambil kita mengobrol...beberapa hal.”

Rasanya aku ingin melempar barang-barang sambil memarahinya, berbulan-bulan tidak bertemu dan dia mengajakku mengobrol seakan tidak ada apa-apa? Kenapa juga sekarang harus sok mengajak mengobrol baik-baik padahal dulu pergi begitu saja?

“Oke,” Dasar cewek. Rupanya rasa penasaranku mengalahkan rasa marah.

Ario mengangguk lagi dan bergerak ke arah mobilnya. Sementara itu aku langsung memasuki mobil kantor.

***
 
“Jadi kakakku belum cerita bahwa kami kakak beradik?” Ario seakan berkata untuk dirinya sendiri. Ia menghirup cappucino dengan latte art buatan Dyah.

“Koreksi, baru cerita pasca makan malam kita,” aku memandangi Ario lekat-lekat, seakan memastikan bahwa sosok di hadapanku ini nyata.

“Aku punya kanker, Yona. Itulah alasan utamaku meninggalkan kamu. Aku merasa tidak pantas jadi pasanganmu. Kita gak akan punya masa depan,” Ario angkat bicara lagi.

Delapan bulan lalu mungkin aku akan membantahnya, berkata bahwa semua bisa diselesaikan, Ario bisa disembuhkan dan aku akan setia di sampingnya. Sekarang, bicara sepatah katapun aku tak sanggup. Ario meninggalkan aku begitu saja sudah cukup membuat aku tak mau berkata apapun.

“Aku sangat berharap kamu akan dapatkan orang yang jauh lebih baik dari aku. Walaupun aku tidak menyangka bahwa orang itu adalah kakakku sendiri. Siapa sangka ternyata dia sudah naksir kamu saat aku bahkan belum sadar perasaanku,” Ario tersenyum miris. Aku pun, hatiku rasanya teriris.

“Hubungan kami memang renggang sekarang. Aku tahu dia merasa insecure, dia takut kamu masih punya perasaan padaku. Tapi...kenyataannya gimana?”

Aku menggeleng, memainkan es krim di green tea floatku. “Entahlah Yo. Kita temenan lama, tapi ternyata aku bahkan masih belum kenal kamu. Kita pacaran, lalu kamu tinggalin aku begitu saja, kamu pikir gimana perasaanku? Lalu aku didekati orang lain, orang yang ternyata kakak dari orang yang meninggalkan aku dan dengan sedikit tipu muslihat dia mendekati aku. Rasanya aku tidak percaya kalian berdua.”

Ario menangkupkan kedua tangannya lalu mencondongkan tubuh ke arahku. “Trust your heart, Yona. Like you always do.” Ario bangkit berdiri dan berlalu, ia menepuk pundakku sekilas.

“Ario,” 

Ario berbalik, tak jadi mendorong pintu kaca kafe. “Ya?”

“Apa kamu pernah cinta padaku?”

Ario memejamkan mata, perlahan membukanya, memandang lurus ke arahku. “Selalu, Yona. Sampai saat ini pun masih.”

***
 
“Jun,” panggil Dyah saat pintu kafenya terbuka jam 2 siang, kafe beranjak sepi setelah orang-orang mampir di jam makan siang.

“Hai,” Juna menghampiri Dyah di meja kasir dan celingukan. 

“Yona gak kesini. Jam segini mah dia pasti masih di kantor,” Dyah seakan bisa membaca pikiran Juna. “Lagi berantem ya?”

Juna menoleh cepat, Dyah tersenyum penuh misteri.

“Kok tau?”

“Kemarin Yona curhat, marah-marahin makhluk namanya cowo. Yaaa ga mungkin kan ya dia curhat bete sama bokap atau adiknya kayak gitu. Jadi, siapa lagi penyebabnya kalau bukan cowonya, lo?”

Juna tersenyum miris. Ia lalu duduk di kursi tinggi.

“Salah gue sih,” 

“Iya lah, wanita selalu benar soalnya.” Dyah mengangkat bahu bangga.

Baru saja Juna akan membuka mulut untuk bicara, pintu kafe Dyah terbuka dan Yona melangkah masuk.

“Eh,” Juna langsung turun dan menghampiri kekasihnya.

Dyah menggeleng dan melanjutkan pekerjaannya.

***

“Hei,” Juna sudah berdiri di depanku begitu aku menginjakkan kedua kaki di dalam kafe milik Dyah. “Jam segini udah keluar, ga ngantor?”

“Ijin pulang cepet,” aku berpaling ke arah Dyah yang aku tahu pasti sedang memperhatikan kami. “Pinjem ruangan VIP dong.”

Tanpa banyak bicara, Dyah mengulurkan sebuah kunci yang langsung kusambar. Aku menoleh ke arah Juna dan kuberikan isyarat agar dia mengikutiku. Ruangan VIP adalah ruangan yang bisa disewa oleh orang-orang yang ingin melaksanakan meeting di ruang tertutup tapi sambil menikmati hidangan dari kafe ini. Namun berbeda dengan bayangan ruang meeting yang serius, ruang VIP ini dipenuhi sofa dan bean bag serta meja kayu kecil di tengah ruangan. Suasana jadi lebih santai dan cocok untuk meeting semi-formal. Untuk pengunjung umum, Dyah akan mengenakan charge 400 ribu per jam untuk penyewaannya, sudah termasuk makanan dan snack. Untukku, gratis.

Aku buka pintu ruang VIP dan masuk, Juna mengikutiku masuk. Setelah kami berdua di dalam, aku kunci pintunya, untuk mengantisipasi ada orang tak diinginkan masuk dan menguping. Aku duduk di salah satu bean bag dengan kedua tangan dilipat di dada, sementara Juna duduk di salah satu sofa. Punggungnya tegak. Seakan anak sekolahan yang melakukan kesalahan dan dipanggil ke ruang kepala sekolah. 

“Kemarin aku ketemu Ario, dia cerita banyak hal juga. Cukup untuk mengcover sebuah isu dari kedua sisi,” aku memulai. Juna diam saja.

“Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana aku akan bersikap kepada kalian berdua.” Pelan-pelan, kulepas cincin pemberian Juna dan kuletakkan di meja. Juna tampak shock tapi tak berani berkata apa-apa. Apalagi dengan raut mukaku yang masih sangar.

“Aku kesal ditinggal begitu saja oleh pacarku, tanpa penjelasan a-pa-pun. Tiba-tiba hilang begitu saja. Aku pikir kalau ada yang salah harusnya bisa kita bicarakan, tapi nggak. Dia anggap masalah selesai dengan pergi tanpa pesan. Ternyata yang nyuruh pacarku ninggalin aku itu kakaknya sendiri, yang setelah adiknya pergi, deketin aku dan berhasil bikin aku mengiyakan lamarannya.” Juna bersandar ke sofa, menggeleng berkali-kali.

“Lalu si pacarku itu datang lagi. Udah bukan pacar dong ya, toh dia udah ninggalin aku berapa lama. Statusku saat itu juga tunangan orang lain, tunangan kakaknya. Dia jelaskan semua penyebab perbuatannya dulu dan yang terpenting, dia tegaskan bahwa dia tidak akan melanjutkan hubungan ini. Karena dia mau aku dengan yang lain, yang lebih baik.”

Aku menghela nafas, sebaliknya, Juna terlihat menahan nafas.

“Awalnya aku berpikir aku bakal mengejar dia, memohon mungkin. Meyakinkan dia bahwa kita bisa mulai lagi dari awal, menjalani semuanya bersama-sama. Meski mungkin dengan resiko aku akan ditinggal tiba-tiba karena dia kena osteosarkoma.”

Aku menatap Juna dan dia balas menatapku, tak sabar menanti jawaban.

“Tapi tidak. Aku gak mengejar si mantan pacarku itu. setidaknya mengejar untuk menjalin hubungan kekasih lagi. Nggak. Aku mengejar dia dan kuyakinkan dia bahwa dia masih punya aku sebagai temannya. Karena sejak dulu pun kami selalu berteman, berbagi banyak hal. Aku harap setelah semuanya lebih terbuka, dukungan sebagai teman bisa tetap aku berikan. Dia setuju. Kami kembali seperti saat kuliah dulu. Teman akrab.”

Juna memajukan duduknya ke arahku. Aku mencondongkan tubuh ke arahnya.

“Lalu aku harus apa dengan kakaknya? Harus kembali ke kondisi seperti dulu juga? Stranger?” Aku memberi jeda, ingin melihat apa reaksi Juna. Dia ternyata masih cool walaupun raut tak sabarnya masih ada.

“Pertama, aku bakal cubit, pukul dia sekuat aku bisa. Hukuman karena dia sudah membohongi aku. Aku ga bisa melakukan lebih dari ini karena aku cinta dia dan aku yakin dia juga cinta aku dan dia menyesal. Kedua, aku akan minta dia untuk memohon minta maaf ke aku, mungkin dengan bunga atau coklat yang banyak atau makan siang di restoran mahal sebulan sekali. Ketiga, aku akan minta dia lebih terbuka ke aku supaya aku juga terbuka ke dia, kami jadi saling mengenal dan paham dan bisa ngadepin semua masalah bersama-sama. Mungkin juga ngajakin aku jenguk adiknya tanpa rasa cemburu karena kami fix teman.”

“Keempat?” tanya Juna pelan.

“Keempat, aku ingin dia ada di sisi aku terus sampai maut memisahkan. Selesai.” Aku berdeham. Kutatap wajah Juna, dia terlihat lega. Juna kemudian berdiri dan duduk di sampingku, kami berbagi bean bag yang besarnya tidak seberapa.

“Satu dulu,” dia mengulurkan lengannya yang berotot tapi aku pilih mencubit pipi, paha, hidung, dan bagian tubuh lain yang bisa kuraih. “Hei, cubitan kamu sakit banget.”

“Bodo!” balasku tanpa berhenti mencubit dan memukul Juna.

“Oke, oke. Kedua,” aku berhenti menyiksa Juna, dia menatapku lekat. “Aku mohon maaf atas perbuatanku yang jahat dan kekanak-kanakan. Aku janji gak akan mengulanginya lagi. Aku juga akan jujur ke kamu. Aku akan ajak kamu ke tempat Ario. Setiap hari Jumat sebulan sekali kita akan dinner di tempat pilihan kamu. Untuk bunga dan cokelat, let it be suprises, okay?”

“Oke!”

“Nah itu yang kedua dan ketiga. Lalu yang keempat?”

Juna agak bingung, karena memang sebenarnya kami sudah mulai mempersiapkan pernikahan. Aku mengangkat bahu. Juna akhirnya mengerti. Dia ambil cincin yang kuletakkan di meja dan dia pasangkan lagi di jari yang seharusnya. 

“Aku akan jadi suami terbaik sampai maut memisahkan,” ujar Juna sambil memasukkan cincin cantik itu.

“Iya,” balasku sambil tersenyum lebar. Kupeluk erat orang yang ada di depanku, takkan kulepas lagi orang yang kusayang. Sampai kapanpun.

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?