The Cure of Our Secrets
kita gak pernah tahu kan apa yang pernah dan telah dihadapi
seseorang sampai membuat ia jadi seperti sekarang ini. kita juga gak tahu, apa
orang yang sedang tertawa bersama teman-temannya benar sedang berbahagia atau
malah menangis tersedu. kita juga ga k tahu apa orang yang duduk sendirian
menanti pembeli untuk baso jualannya sedang sedih atau malah sedang sangat
berbahagia. kita tidak pernah tahu. kecuali mereka bercerita.
***
menurutmu, kita bisa jatuh cinta pada orang hanya melalui 3
kali pembicaraan? nggak? aku bisa. obrolan kami yang pertama adalah ketika ia
baru pindah ke divisiku. ia berkenalan ke setiap meja sebagai pindahan dari
Divisi Humas ke Divisi Marketing. dia mengenalkan dirinya dengan suaranya yang
berat, "Adrian," katanya. itu saja sudah langsung membuatku terpana.
apalagi ketika Mba Dina, yang memperkenalkan kami langsung nyeletuk,
"kalian kan satu universitas, jangan-jangan kenal lagi di kampus."
Adrian lalu mulai bertanya aku fakultas apa dan angkatan berapa. ternyata dia 3
tahun lebih tua dari aku sehingga hanya sedikit orang yang sama-sama kami kenal
karena jurusannya pun berbeda.
obrolan kami yang kedua adalah ketika aku mempresentasikan
program baru untuk peningkatan penjualan. dia sebagai bagian dari Departemen
Sales mewakili managernya yang berhalangan hadir. sebelum meeting dimulai, kami
membahas produk-produk yang dikeluarkan perusahaan kami dan bagaimana pasar
menanggapinya. aku senang bagaimana dia membahas sebuah hal yang kurang dia
sukai tapi dengan cara yang cerdas sehingga kita sebagai pendengar memahami
maksudnya dan bukan ikut tidak suka. ketika meeting selesai dan aku bermaksud
menyapanya, ia mendadak meninggalkanku begitu saja.
obrolan kami yang ketiga dan terakhir adalah saat aku ikut
dengan mobil Satrio, temanku di Departemen Sales sekaligus bawahan langsung
Adrian. kami sedang perjalanan menuju Grand Indonesia dan Adrian katanya ada
janji di Plaza Indonesia sehingga ia berminat nebeng Satrio karena motornya
sedang di bengkel. ketika ia tahu bahwa ada aku, raut mukanya sedikit berubah
tapi kami tetap mengobrol seperlunya.
aku heran mengapa ia jadi seperti itu padaku. padahal aku
merasa tidak melakukan sesuatu yang salah. tapi bagaimanapun tingkahnya padau,
aku sudah terlanjur jatuh padanya. di sisi lain aku jengkel diperlakuka seakan
tidak ada, tapi aku sulit melupakan dia apalagi kami hampir bertemu setiap
hari. meski melihatnya dari jauh, rasanya sudah cukup.
sudah hampir 1 tahun Adrian pindah ke Divisi Marketing
& Sales dan jadi Assistant Manager Departemen Sales. sudah 11 bulan
sejak aku terakhir berbicara langsung dengannya. 11 bulan interaksi kami hanya
melalui tatapan-tatapan tak disengaja dan melalui perantara orang lain. sungguh
menyedihkan, pikirku. sementara aku sedang tidak menjalin hubungan dengan
siapapun, berangkat ke kantor dan bertemu dengannya sudah cukup menjadi
motivasi bagiku.
aku sedang berjalan sednirian menyusuri Mall Kelapa Gading di
suatu Sabtu yang terik (yaaa, daerah Jakarta Utara memang terik, apalagi ini
siang hari di musim kemarau. cool. hot maksudnya). aku sedang menunggu
kedatangan temanku dan kami rencananya akan makan siang bersama sebelum aku
beranjak menginap di rumahnya. ketika aku melihat Adrian berdiri di luar salah
satu toko pakaian wanita. pelan-pelan kudekati dia. wajahnya terlihat bosan dan
ia berkali-kali melihat arlojinya. apa dia sedang menemani pacarnya berbelanja
ya? jika ya, pastilah aku tidak berani memandangi dia lagi. pria berpacar
(apalagi bersuami!) adalah sebuah larangan besar bagiku.
"Hai," sapaku ceria. kutebalkan kulit wajahku.
pura-pura tidak sadar bahwa selama hampir setahun ini dia menganggapku tidak
ada.
dia terlihat kaget, memegang dadanya dan berseru pelan.
"Manda,"
"sedang apa disini?" aku tersenyum padahal
jantungku berdebar. sedikit tidak siap juga kalau ternyata dia bilang 'pacar'
atau lebih parah lagi 'istri saya'. glek!
Adrian menunjuk ke arah belakang secara serabutan. mulutnya
hanya membuka dan menutup tidak jelas. dia tidak menyebut kata apapun sampai
sesorang wanita separuh baya yang masih cantik dan gaya keluar dari toko dan
menghampiri kami.
"Adrian," panggilnya.
Adrian menoleh dan langsung menyahut, "Ma,"
mamanya Adrian? manis sekali dia mau menemani mamanya
berbelanja di hari Sabtu begini. biasanya para jomblo akan pergi keluar bersama
teman atau pacarnya. eh, apa ini maksudnya mama mertuanya?
"teman Adrian?" tak disangka, beliau menoleh
memandangku dan tersenyum. aku kaget tapi mengangguk da tersenyum lebar.
sebaliknya, Adrian malah membeku.
"iya, Amanda. kita satu divisi tapi beda
departemen," aku mengulurkan tangan dan beliau menjabatnya dengan baik.
maksudku, bukan sekedar menempelkan tangan lalu melepasnya lagi ataupun jenis
jabatan yang meremukkan tangan.
"mamanya Adrian. Amanda janjian bertemu dengan
Adrian?" mama Adrian, yang kuputuskan kupanggil saja dengan sebutan
'mama', siapa tahu ia jadi mama mertuaku betulan kan, menunjuk kami berdua
bergantian.
"nggak, Ma. kami kebetulan saja bertemu," jawabanku
didukung Adrian dengan mengangguk berkali-kali. nekad aku memanggil beliau
dengan sebutan 'Ma'. beliau tidak keberatan atau mungkin tidak mendengar
panggilanku.
"wah, bisa kebetulan ya. Amanda sudah makan? ayo gabung
dengan kami," calon mama mertuaku ini mengulurkan tangan kanannya dan
menyentuh tangan kiriku. Adria sudah pucat pasi saja dan dia memalingkan wajah
ke arah lain. kenapa sih dia?
"oh ga usah ma, gapapa. Amanda lagi tunggu orang lain
buat makan siang bareng," aku menggerakkan kedua tangan, menola secara
halus. padahal sih aku mau-mau saja, tapi ketika ingat aku akan makan siang
dengan Erida, aku terpaksa menolak.
"pacar?" tanya mama Adrian, wajahnya terlihat
sedikit kecewa. Adrian juga melirik kembali kepada kami.
aku nyengir. "bukan, temen SMA. perempuan kok. aku gak
punya pacar." yee, curhat colongan.
mama Adrian sumringah lagi, ia makin menarik lenganku.
"ya udah yuk ajak temennya aja makan siang bareng."
nampaknya aku sulit menolak jadi aku minta ijin untuk
menelepon Erida dan menginfokan bahwa kami diajak makan siang bersama mama
tteman kantorku, ralat, mama dari gebetanku di kantor yang bahkan mau mengobrol
denganku saja tidak. Erida bilang dia sudah dekat jadi kami memutuskan untuk
menunggunya di tempat ini. ketika Erida sudah tiba, Adrian berjalan di depan
menuju tempat makan entah apa yang dia pilihkan untuk kami. aku diajak
mengobrol oleh mama Adrian sementara Erida asyik memaiinkan hape di sebelahku.
***
mau dapetin anaknya? PDKT-in ibunya! prinsip ini sebenarnya
tidak pernah terlintas di benakku. hanya saja setelah acara makan siang bersama
(yang penuh dengan interogasi dari mama Adrian kepadaku sementara Adrian
cemberut terus dan Erida asyik main hape), aku dan mama Adrian jadi sering
berkomunikasi. mama Adrian meneleponku hampir setiap sore. sekedar bertanya apa
kabar atau apa yang sedang dilakukan Adrian atau undangan makan siang bersama.
untungnya, mama Adria tidak pernah memintaku melakukan hal-hal yang membuatku
harus berinteraksi dengan anaknya. jadi sepertinya Adrian tidak tahu bahwa kami
mendadak akrab setelah acara makan siang itu.
Sabtu ini mama Adrian memintaku menemaninya berbelanja.
katanya ditemani Adrian seperti narapidana ditemani polisi, terbatas waktu.
mendengar itu, aku tertawa. berhubung aku juga sudah punya janji dengan ibuku
untuk makan siang bareng, jadilah aku menggabungka acara makan siang bersama
ibu dan belanja bersama mama (mertua. ngarep!). ibu-ibu itu ternyata tidak
keberatan. setelah belanja, makan siang, belanja, sekarang kami menyantap
dessert di Hong Tang. kedua ibu-ibu itu asyik mengobrol tentang gosip artis.
sedangkan aku sedang membaca majalah ELLE yang baru kubeli.
"Ma," kata sebuah suara tiba-tiba.
aku mendongak dan mendapati Adrian berdiri di kursi antara
mamanya dan aku. wajahnya lagi-lagi cemberut. aku malah ingin tertawa geli.
"eh jeng, kenalkan. ini anak sulungku, Adrian. temennya
Amanda di kantor," mama Adrian langsung menarik tangan Adrian dan
menyuruhnya menyalami ibuku. Adrian
menyunggingkan senyum sekilas lalu diam lagi.
"halo Adrian. saya ibunya Amanda," kata ibuku
kalem. iya, ibuku kalem, anaknya aja petakilan. nurun dari ayah sih.
"mama kok pergi tiba-tiba aja sama supir?" Adrian
berbisik kepada mamanya tapi masih bisa kudengar.
"kalau belanja sama kamu, mama kayak dibatasin waktunya.
mending sama Amanda dan ibunya," mama Adrian balas berbisik. tapi ketika
menghadap aku dan ibuku, dia meningkatkan volume suaranya. "ini nih ya
jeng, emang kalau belanja sama anak cowo tuh susah. waktunya sempit."
ibuku tertawa, aku juga. untuk alasan yang berbeda. ibuku
tertawa karena ia tahu bagaimana rasanya belanja ditemani laki-laki, kakakku.
aku sendiri kalau menemani ibu belanja selalu sabar meski
tidak ikut melihat-lihat. aku bukan tipe orang yang senang window shopping. aku
akan membeli barang yang kubutuhkan, tanpa perlu berpikir panjang. aku
sendiri tertawa karena Adrian melengos setelah diadukan ke teman mamanya dan
teman kantornya.
"belanjanya masih lama ma?" tanya Adrian. menghentikan
tawa kami.
"tuh kan jeng," kata mamanya memandangi ibuku.
"masih ada yang belum dapet. kemeja buat papamu. mama masih mau keliling
lagi sama Jeng Tika. kamu kalau gak mau ikut tunggu sini aja sama Amanda.
ya?"
kata-kata ibunda adalah titah. ya, Dri? karena setelah bciara
begitu, mama Adrian berdiri,
diikuti ibuku. sementara aku memutuskan menjaga barang belanjaan mereka disini
sambil membaca dan menghabiskan dessertku. Adrian duduk di depanku, wajahnya
berubah galak.
"lo ngapain sih?"
"sorry?" aku mengangkat wajah dari majalah.
"kenapa nyokap gue jadi akrab banget sama lo? belanja,
neleponin, makan siang bareng,"
"oh lo tau kami sering teleponan?" aku terkikik.
Adrian memutar bola matanya. "ga usah PDKT-in gue lewat
nyokap gue,"
sekarang giliranku yang memutar bola mata. "lo harusnya
ngomong itu ke nyokap lo. dia kan yang pertama kali ngajak makan siang bareng
waktu kita ga sengaja ketemu. gue udah nolak kok,"
Adrian diam. dia tahu itu benar. kami saling diam sampai ibu
kami masing-masing tiba. berhubung aku dan ibu tidak membawa kendaraan, mama
Adrian memaksa mengantar kami sampai rumah dan lalu berpisah.
"kamu suka Adrian ya?" bisik ibuku begitu mobil
Adrian menghilang di kejauhan.
"hah? apa sih bu?" aku kaget, tapi ibuku hanya
tertawa dan masuk ke rumah.
***
gathering kantor karena penjualan kami achieve 150%! yeay!
liburan liburan liburan! aku sudah membayangkan liburan ke Bali atau Singapore
ketika Kepala Divisi kami bilang liburan hanya ke Bandung. aku langsung
melongo.
"kita nginepnya juga di hotel bintang 5 kok. tau kan
Padma Hotel itu? nanti bisa berenang, makan enak, belanja," sambung Pak
Kiki.
mendengar itu aku melengos saja. tapi lumayan lah daripada
terkungkung di Jakarta terus. sabtu pagi kami berangkat naik 1 bus besar menuju
kawasan Ciumbuleuit, Bandung. sebelumnya kami mampir dulu di Dusun Bambu
Leisure Park. menikmati pemandangan dan makan siang di restoran samping danau.
foto-foto. lalu kami bertolak ke kawasan Dago demi memenuhi permintaan ibu-ibu
(ataupun calon ibu) yang ingin belanja. menjelang sore kami baru sampai di
hotel. kebanyakan langsung menaruh barang bawaan di kamar dan langsung berenang
di kolam air hangat.
"berenang!!!" seruku sambil berlari kecil menuju
kolam. melempar handuk ke tempat duduk berbentuk telur lalu langsung
menceburkan diri ke kolam. teman sekamarku, Rindy, menceburkan diri setelahku.
kami sibuk berteriak dan memainkan air. ketika kulirik ke tepi kolam, aku
melihat Adrian baru tiba. ia membuka sendal lalu membuka kaos dan menunjukkan
badannya yang rata dan berotot. aku menelan ludah dan buru-buru berenang lagi.
malam hari kami makan malam bersama, sharing-sharing, berdoa
agar ke depannya kami bisa terus mencapai kesuksesan, lalu berfoto bersama. aku
sedang akan berjalan menuju kamar ketika kupikir duduk sebentar di tepi kolam
yang sepi dapat membantuku melegakan pikiran.
"duluan aja Rin," Rindy mengangguk dan
meninggalkanku menuju kolam renang. aku berjalan perlahan di tepi kolam renang,
melihat pemandangan pepohonan yang terlihat agak mengerikan di malam hari. tapi
entah kenapa saat ini, itu tidak menakutkanku. aku berjalan terus dan kemudian
duduk di kursi. merapatkan jaket menghalau dinginnya udara dingin Bandung di
malam hari.
"mending lo ke kamar daripada di sini kedinginan,"
aku melonjak kaget dan memegang dadaku. jantungku baru
kembali normal ketika aku melihat Adrian sedang melipat dada sambil
memandangiku.
"lo ngikutin gue?"
dia mengangkat bahu. "jaga-jaga kalau lo jalan terus
kepeleset ke kolam renang terus kecebur, ga ada yang nolongin."
"thanks," balasku dingin. sedingin angin malam.
tsah.
"nyokap gue ngomongin lo terus," katanya lagi. dia
berjalan pelan menghampiriku.
"gue memang punya pesona yang baik di mata
orang-orang," sahutku sambil mengibaskan rambut. literally.
siapa sangka ternyata Adrian tertawa. aku jadi heran sendiri
dan mulai berdoa dalam hati. khawatir jika Adrian tiba-tiba tertawa melengking. dia berdiri di depanku. matanya menatap
mataku dalam. tangannya yang tadi terlipat di dada perlahan menyentuh tempat
duduk berbentuk telur, tepat di samping kedua bahuku. ia menunduk
perlahan-lahan. aku mundur sedikit, bingung dengan apa yang akan dilakukan
Adrian ketika pada detik berikutnya ia sudah menciumku. begitu saja. yaaaaa,
apalagi yang harus dilakukan orang yang akan mencium orang lain? dia cuma
menundukkan kepala, menemukan bibirku, dan menciumnya. aku kira karena hampir
setahun ini ia menghindarku, tindakan seperti ini tidak akan dia lakukan. siapa
kira ternyata ini malah terjadi. aku memejamkan mataku dan membalas menciumnya.
hey, aku kan naksir orang ini. wajar dong kalau aku membalas menciumnya. ya
kan?
secepat kilat dia memulai, secepat itu pula dia
melepaskannya. dia tiba-tiba menegakkan diri lagi lalu berkata, "please,
jangan dekat-dekat gue ataupun nyokap gue lagi." Adrian pun berbalik dan
berjalan meninggalkan kolam.
"hey!" aku melemparkan sendal namun luput dan
Adrian terus berjalan. apa maksudnya itu?!
***
Sekarang aku
duluan yang akan memasang tampang galak setiap berpapasan dengan Adrian. Biasanya
aku lempeng saja atau bahkan sedikit tersenyum (tanpa berani memandang dia
langsung, nanti aku disangka ke-GR-an). Dia juga nampaknya tidak peduli dengan
perubahan sikapku ini jadi ya sudah. Semacam perang dingin berkobar diantara
kami. Lagipula apa coba maksudnya dia tiba-tiba menciumku, berkata jangan
dekat-dekat dia dan besoknya dia kembali menganggap aku tidak ada. Boro-boro
ingin bertanya apa maksud dari semua perlakuan dia, aku hanya ingin menonjok
dia kalau bisa.
“Amanda, hari
Minggu ini ada arisan di rumah Mama. Kamu bisa datang kan?” mama Adrian
menelepon lagi siang ini. Tepat ketika aku sedang berjalan dan akan berpapasan
dengan anaknya.
“Amanda aja Ma?
Jam berapa?” tanyaku dengan nada ceria, seperti biasa.
“sama ibumu juga.
Dia udah oke, tadi mama udah telepon,”
“oh kalau ibu oke,
Manda juga oke, Ma.” Adrian tinggal 5 meter di depanku. Gelagatnya sudah
terlihat canggung.
“iya, nanti Adrian
jemput ke rumah kamu ya,”
“apa Ma? Adrian
jemput ke rumah Amanda? Oke!” kukeraskan suaraku, tepat ketika Adrian lewat di
sebelahku. Dia berhenti, memandangiku dengan heran dan kaget. Aku berbalik
menghadapnya, nyengir lebar. Menunjuk telepon dan menunjuk dirinya. Dia paham
bahwa yang menelepon adalah mamanya. Jadi ia melanjutkan berjalan sambil mendengus.
Aku terkikik tanpa suara.
***
Sepulang dari
acara arisan, mama Adrian memutuskan mengajak kami makan malam bersama. Papa
Adrian dan ayahku juga diajak untuk menyusul. Ini seperti semacam acara
perjodohan yes? Menyadari hal ini, sedari tadi wajah Adrian ditekuk terus.
Makan malam ini rupanya jadi acara para orang tua. Untunglah, untung sekali,
mereka tidak membahas perihal aku dan Adrian atau bertingkah seakan kami punya
hubungan. Mereka asyik membicarakan bisnis, ekonomi, makanan, lainnya kecuali
kami. Setelah selesai makan, para wanita bermaksud untuk berbelanja sedikit
sementara para pria memilih nongkrong di Starbucks.
Saat itulah aku
bertemu dengannya.
“Susan?” panggil
mama Adrian saat kami sedang di H&M. Aku dan ibu berbalik, naluri kepo
muncul.
“Tante,” ujar
wanita yang dipanggil oleh mama Adrian. Ia kelihatan sedang memilih-milih baju,
perutnya terlihat besar.
“Apa kabar?” mama
Adrian menghampiri Susan dan mengecup pipi kiri dan kanannya. Susan terlihat
canggung tapi kemudian dia tersenyum.
“baik Tante. Tante
apa kabar?”
“baik juga. Kamu
tinggal dimana sekarang?”
“Di Singapore,
Tante. Tapi sekarang lagi nemenin suami ke Indonesia karena ada conference,”
Mama Adrian
mengangguk. Kuperhatikan, sorot matanya seakan menunjukkan kesedihan. Ia tiba-tiba
seakan tersadar sesuatu lalu memandang ke arahku. Aku dan ibu mendekati mereka.
“Susan, kenalkan.
Ini Amanda, pacarnya Adrian,” kata mama Adrian sambil menggandeng tanganku.
Eits. Sejak kapan
aku jadi pacar Adrian? Ngobrol aja gak pernah, tiba-tiba pacaran aja? Tapi demi
menjaga nama baik calon mertua (ngarep juga kan?), aku tersenyum dan
mengulurkan tangan. Di sampingku, ibu tersenyum geli.
Susan tampak kaget
memandangku. Ia lama diam sebelum menyambut uluran tanganku.
“Susan,” katanya
lirih.
“Amanda,” aku
tersenyum manis.
“Susan ini, mantan
pacarnya Adrian.” Lanjut mama Adrian. Kali ini aku yang terpaku. Tanganku
menggantung di udara. Ibu mencolek tanganku dan saat itulah aku buru-buru
menurunkan tangan.
“Tante, aku
kayaknya harus segera pulang. Gapapa aku permisi duluan?” Susan berjalan
mundur, memandangi kami bertiga.
“Oh boleh-boleh.
Eh tapi mungkin kalian perlu tukeran nomor hape dulu supaya bisa ngobrol?” mama
Adrian menunjuk aku dan Susan bergantian. Ma, mana cewek tukeran nomer hape
sama mantan pacar pacarnya? Tapi, lagi-lagi demi nama baik sang camer, aku
mengeluarkan HP dan mencatat nomor Susan. Ia menyimpan nomorku setelah aku
me-missed call dia.
“Bukan sekedar
mantan pacar sih, mantan calon istri,” gumam mama Adrian tapi aku masih bisa
mendengarnya. Itu, membuatku tertegun.
***
Seminggu setelah
pertemuan dengan Susan, aku berusaha tidak memikirkan dia tapi sepertinya
perasaan kami nyambung. Karena di hari Sabtu sore setelah selesai membuat kue
untuk dikirim ke rumah calon mertua (tsailah, tentu saja ini konspirasi para
emak), ada nomor asing (literally asing, karena bukan nomor Indonesia dan aku
tidak tahu siapa. Apa ini Tom Cruise tiba-tiba nelepon aku?) yang meneleponku.
“halo?” kataku
saat kuangkat dengan ragu-ragu.
“Amanda?”
“Amanda disini,”
“ini Susan,”
Aku diam. Masih
ingat kata-kata mama Adrian pasca bertemu dengan Susan. Rasanya aneh kan kamu
bisa akrab dengan mantan pacar (calon) pacarmu. Pede banget aku ya bakal jadi
pacarnya Adrian.
“Ada apa Susan?”
aku mengatasi kekagetanku dan melanjutkan obrolan.
“ada yang harus
aku sampaikan ke kamu. Tapi ga bisa lewat telepon. Kita harus ketemu langsung,”
“oke,”
“tapi aku tidak
memungkinkan untuk naik pesawat. Kamu bisa ke Singapore? Mungkin sekaligus
liburan?”
Ebuset. Dia minta
aku ke Singapore seakan-akan minta aku ke Bekasi. Kalau bekasi sih tinggal naik
Commuter Line. Tapi ke Singapore?
“Ini tentang
Adrian. Menurutku ini penting kamu ketahui. Bukan hal yang buruk kok. Malah,
kamu bisa menolong Adrian,” Susan menambahkan.
Kali ini aku
sukses penasaran. Aku duduk di tempat tempat tidur. Bimbang menentukan apakah
akan berangkat atau tidak. kumainkan gelang yang melingkar di pergelangan
tanganku dan kutatap langit-langit.
“Oke, tapi mungkin
aku baru bisa kesana pekan depan. Dengan segala urusan tiket dan ijin yang
harus kubuat,”
“ya. Aku akan
menunggu kamu di Bandara. Kamu bisa hubungi aku di nomor ini. Terima kasih
Amanda.”
“Ya Susan,”
kututup teleponnya. Urusan apa yang tidak bisa dibicarakan sampai aku harus menempuh
ratusan kilometer menuju Singapura?
***
Aku sampai di
Singapura malam ahri dan Susan berkeras menjemputku untuk menginap di
apartemennya. Padahal aku sudah berencana untuk menginap di hotel saja tapi
saat aku sudah sampai di Changi, ada orang yang membawa papan namaku dan aku
langsung menuju apartemen Susan. Dia Reno, suami Susan. Saat aku sampai di
apartemen, ternyata Susan sudah tidur. Aku menempati salah satu kamar dan
tidur. Keesokan paginya, aku terbangun oleh ketukan di pintu dan ketika kubuka,
Susan sudah berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah. Tidak heran ia tidak
diijinkan untuk naik pesawat.
“How’s the
flight?” tanya Susan saat kami bercipika cipiki.
“Nice. Terima
kasih untuk jemputannya,” jawabku dan tersenyum.
Susann mengangguk.
“Kutunggu untuk sarapan?”
“Sebentar ya,”
Aku mandi dan
bersiap-siap lalu menghampiri Susan dan Reno yang sudah siap di meja makan.
Kami membicarakan kehidupan Susan di Singapura, kehamilannya, dan ia menanyakan
kabarku, kabar Adrian, mama Adrian.
“Aku ingin bicara
langsung ke pokok permasalahan. Tidak apa-apakah?” tanya Susan setelah kami
selesai bicara dan mencuci piring.
Aku memandang
Susan dan Reno bergantian. “Its okay,”
Susan memandang
suaminya dan Reno mengangguk. “Aku tinggalkan kalian berdua ya. Girl’s talk,”
kata Reno sambil beranjak. Sebelum keluar dari apartemen, dia mengecup kening
Susan terlebih dahulu.
Setelah Reno
keluar, aku memandangi Susan. Susan balik memandangi aku.
“Aku ingin
bercerita tentang Adrian,” Susan memulai, aku mengangguk, memasang telinga
lebih tajam. “Aku dan Adrian adalah teman di kampus. Kami cukup dekat dan
sering berkumpul bersama. Lama kelamaan aku tertarik padanya. Adrian yang
ramah, murah senyum, gampang membantu orang lain, pintar, tampan, kesayangan
dosen. Semua kualitas diri seorang mahasiswa yang baik ada padanya. Untukku
sendiri, aku jadi semakin menginginkan dia.”
Jeda. Aku khawatir
cerita ini bukan cerita menarik semacam saling berbagi tips mengenai bagaimana
menghadapi pasangan.
“Suatu hari aku memutuskan
untuk bertindak nekad. Saat itu aku ulang tahun ke-22. Aku sengaja mengadakan
pesta di suatu club. Kuundang semua temanku di kampus, termasuk Adrian. Dia
awalnya menolak, tapi karena aku membujuknya, teman-temannya semua hadir dan
pada dasarnya dia memang orang yang baik, dia pun hadir. Malam itu, dengan
bantuan teman-teman gilaku, kami berhasil membuat Adrian mabuk.”
Kan. Betul kan?
Perasaanku semakin tidak enak.
“Aku mengajak
Adrian yang sedang mabuk ke hotel dan....” Susan terdiam, aku menahan nafas.
“We slept together, Manda.”
Halo, sutradara,
aku bisa pingsan sambil berdiri kah?
“Keesokan paginya
dia bangun dan kaget mendapati kondisi kami yang terbangun di hotel dalam
keadaan...berantakan,” nampaknya Susan kesulitan memilih kata-kata. Untunglah
dia tidak menceritakan secara detil kejadian malam itu. mendengar garis
besarnya saja aku sudah...kesulitan berkata-kata. “Dia marah tapi dia juga
menyesal. Sejak saat itu hubungan dia denganku jadi buruk.”
Susan menghela
nafas lalu mengambil air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Aku masih
menatapnya dengan intens.
“Sebulan kemudian
aku tahu bahwa aku hamil,” Ya Tuhan. “Aku beritahu Adrian dan dia bersedia
menikahi aku. Di usia semuda ini dan dia juga sedang menyelesaikan skripsinya,
dia berani untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya. Pernikahan disiapkan,
walaupun aku tahu Adrian tidak menginginkan ini. Ia hanya mau bertanggungjawab
untuk anaknya, bukan karena ia ingin denganku.”
Ya ampun, Adrian.
Ternyata kamu mulia sekali. Aku mulai mengubah pandanganku pada Adrian yang
selama ini kulihat sebagai makhluk dingin tak berperasaan.
“Suatu saat, kami
baru pulang dari Bandung setelah Adrian menemaniku bertemu keluargaku di
Bandung. Di perjalanan pulang, kami mengalami kecelakaan. Ada truk menyalip
jalur, membuat mobil kami terpelanting dan keluar jalur. Untunglah kami berdua
selamat, tapi tidak dengan kandunganku. Aku keguguran. Mengetahui hal itu
Adrian sedih sekali. Aku tahu ia sedih karena separuh bagian dirinya ikut
meninggal. Lagi-lagi ia bersedih bukan karena aku. Saat itu aku menyadari bahwa
ia tidak pernah menginginkan aku. Akhirnya kuputuskan untuk menghentikan
semuanya. Adrian setuju, dia bahkan lega. Sejak itu kami tidak pernah
berhubungan lagi.”
Melihat bahwa
Susan sudah menyelesaikan ceritanya. Aku menghela nafas.
“Itu kejadian
hampir 5 tahun lalu, Amanda. Aku sudah menikah, Reno tahu semua cerita itu.
kedua orang tua kami juga tahu. Aku sudah mulai menjalani hidup baru. Tapi aku
tidak tahu apakah Adrian masih menyesali perbuatannya atau tidak.”
“Aku rasa itulah
alasan kenapa mama meminta kita berdua saling bertukar nomor telepon,” ujarku.
“Mama? Kamu
memanggil mama Adrian dengan panggilan ‘mama’?”
Aku mengangguk.
Susan tersenyum dan menggeleng. “Itu artinya kamu benar-benar disayangi oleh
Tante Andrea,” Susan mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku.
Aku tidak tahu
harus berbuat apa jadi aku balas menggenggam tangan Susan dan tersenyum.
“Bantu Adrian,
Amanda. Bantu dia untuk lepas dari masa lalunya,”
***
Begitu aku pulang
dari Singapura, Adrian sudah menungguku di gerbang sambil melipat tangan di
dada. Aku tidak merasa memintanya menjemputku jadi aku melewatinya begitu saja.
Tepat saat melewati dia saat itu juga HP-ku berdering karena telepon dari mama
Adrian.
“Sudah landing,
Amanda?”
“Ya ma. Baru
saja,”
“sudah ada Adrian
jemput kamu?”
Aku berhenti
berjalan. Memutar badan 360 derajat dan kulihat Adrian tepat di belakangku.
Sepertinya begitu aku meninggalkan dia, dia langsung mengejar.
“Iya, ini ada di
depan Amanda.”
“Syukurlah.
Hati-hati di jalan ya. Besok kita makan malam ya Amanda, dengan ibumu juga,”
“Iya Ma,”
Sambungan telepon
ditutup, kupandangi wajah penjemputku yang tidak ada ramahnya sama sekali. Dia
juga terlihat jengkel tapi kurasa dia tidak sampai hati menolak permintaan
mamanya. Padahal dia juga sudah berusaha keras menjauhkanku dari hidupnya
dengan terpaksa menciumku. Nyatanya kami masih sering berinteraksi begini. Aku
jadi geli sendiri dan refleks tersenyum. Adrian mengangkat sebelah alisnya lalu
menggeleng. Ia menarik troliku dan langsung berjalan mendahului. Aku mengikuti
di belakangnya.
***
Malam itu aku
menceritakan semua apa yang diceritakan Susan ke ibu dan ayahku. Kenapa aku
harus menceritakan ini semua? Karena kubilang aku sayang pada Adrian, aku
menghormati mama Adrian, dan aku ingin menolongnya. Ketika kuceritakan itu,
ayah sedikit keberatan. Terutama mengetahui bahwa Adrian pernah ‘kalah’ pada
minuman keras.
“Tapi ayah pernah
ketemu Adrian langsung kan? Ayah tahu seperti apa orangnya,” aku meyakinkan
ayahku.
“Ayah tahu dia
orang yang baik, tapi hanya sebatas itu. entah apakah dia cukup baik untuk jadi
seorang suami,” balas ayahku. Aku juga tidak tahu itu. restu orang tua adalah
hal yang mutlak harus aku dapatkan jika aku ingin menjalin hubungan dengan
seseorang. Sekalipun orang itu masih dingin dan yang hangat hanyalah orang
tuanya.
“Bagaimana jika
Adrian sudah tobat? Sudah menyesal dan tak akan mengulangi perbuatannya? Ayah
tidak keberatan dengan...masa lalunya?”
“He’s life won’t
be easy then, girl,” sahut ayah lalu mengelus kepala putri satu-satunya ini dan
masuk ke ruang kerjanya. Aku melirik ibu dan ibu tersenyum.
“Seorang ayah
pasti akan selalu sulit melepaskan putrinya ke tangan laki-kaki lain, Manda. Ayahmu
sudah kenal dengan Adrian, dia suka Adrian. Tapi ayah belum bisa menerima
begitu saja setelah tahu masa lalu Adrian seperti apa,” ibu yang sekarang
mengelus kepalaku. Aku bersandar di pundak ibuku, merasa seperti anak kecil
lagi.
“Di sisi
lain, Adrian bahkan sepertinya membenci aku,” kataku sambil cemberut.
Ibuku malah tertawa. “Belum tentu juga. Kamu tidak pernah
melakukan sesuatu yang salah padanya kan?”
Aku menggeleng. Tapi, mungkin juga pernah.
***
Orang tua kadang memang suka membingungkan. belum sempat aku menarik nafas setelah perjalananku ke Singapore (apalagi ditambah kerjaan seabrek di kantor, memperhatikan Adrian dari jauh saja aku tidak sempat), ibu dan ayah sudah menculikku ke Bali. mereka menjemput aku di kantor dan langsung membawaku ke bandara. tebak siapa yang aku temui di bandara? siapa lagi kalau bukan mama, papa, dan Adrian. apa kedua orang tuaku sudah setuju untuk menjodohkan kami? hemmmmmmmmm, aku merenung cukup keras untuk pertanyaan itu.
Bali seperti Bali pada umumnya. pantai, GWK, belanja, tari kecak. aku menikmati liburan gratis ini, tentu saja. padaha setelah bekerja, keinginan untuk liburan harus kupenuhi dengan uangku sendiri. ketika sedang penuh dengan pikiran dan beban pekerjaan, siapa menolak sweet escape ke Pulau Dewata, dengan ditemani pria tampang irit kata-kata (dan kedua orang tua kami masing-masing).
aku berusaha untuk bersikap biasa saja tapi mama sepertinya yang paling gencar mendekatkan aku dengan Adrian. kami disuruhnya foto berdua, makan bersebelahan, sampai Adrian membantuku membawa barang belanjaan. kadang aku tidak tega melihat dia cemberut karena dipaksa mamanya. aku kadang menolak permintaan mama seperti ketika aku memilih untuk membawa sendiri oleh-oleh yang kubeli untuk teman kantor. sedangkan ayah, ayah selalu intens memperhatikan kami, khawatir Adrian melakukan lebih dari yang disuruh oleh mamanya. contohnya ketika aku menyebrang tanpa menoleh ke kanan dan hampir tertabrak motor kalau Adrian tidak menarikku mendekat. saat Adrian memegang tanganku dua detik lebih lama, ayah langsung berdeham keras sambil melotot. Adrian buru-buru melepaskan pegangannya dan menjauhiku. aku tersenyum dan langsung menggandeng lengan ayah.
malam Minggu alias malam terakhir di Bali. aku memilih membaca sambil duduk di pinggir private pool sementara kedua oranguaku dan Adrian pergi menikmati Bali. kamar keluargaku dan keluarga Adrian berbagi private pool yang sama. jadi ketika aku bermain di pinggir kolam, aku bisa melihat bahwa Adrian juga sedang melakukan hal yang sama.
"lo sadar bahwa orang tua kita berusaha menjodohkan gue sama lo?" Adrian berkata tiba-tiba. sadar bahwa tidak ada siapapun disitu selain kami, aku mendongak.
"nyokap lo, bukan orang tua kita,"
"sama aja," Adrian mengibaskan tangannya. "lo setuju?"
aku diam sejenak, memandangnya dalam. dia juga balas memandangiku. saat ini akhirnya aku memutuskan untuk bertindak ekstrim.
"lo tau kan gue suka sama lo? harusnya peranyaan tadi lo udah tau jawabannya," heyyaaaahhhh, ngaku juga deh. Adrian kaget sedikit tapi lalu melanjutkan gaya coolnya.
"gue ga pantas lo sukai," Adrian berkata lirih. suaranya ragu tapi juga menyiratkan kepedihan. bagaimana aku tahu bahwa dia merasa berat mengatakan itu? entahlah, aku hanya tahu. dari dinginnya udara malam ini aku tahu perasaannya juga dingin.
"kenapa?"
"ga penting kenapa,"
"karena lo udah pernah menghamili orang lain dan dia keguguran?" tindakan nekat lainnya dariku. sudah gol 2 kali malam ini. Adrian kaget. dia bangkit berdiri setelah tadi betah duduk saja.
"darimana lo tau?" Adrian berjalan mendekatiku. ia marah dan bingung. kuputuskan untuk bicara jujur saja.
"gue ketemu Susan beberapa minggu lalu. kemudian dia nelepon gue dan ngajak gue ketemuan dan berangkatlah gue ke Singapore. di sana dia cerita banyak hal, termasuk kejadian diantara kalian berdua, dengan detail. gue rasa itu kan alasan kenapa nyokap lo begitu antusias mendekatkan gue ke lo?"
Adrian terpaku. ekspresinya bercampur antara kesal karena rahasianya terbongkar, menyesal atas dosa di masa lalunya, juga kecewa entah karena apa. aku sudah berpikir ia akan menghajarku atau apa. tapi dia hanya berdiri diam, sorot matanya seakan menyinariku seperti berjuta senter diarahkan kepadaku bersamaan.
"dan lo ga menjauhi gue setelah tahu itu?" Adrian berkata lirih.
aku mengangkat bahu. "sudah cukup jarak kita jauh karena lo yang menjauhi gue. gak perlu gue menjauhi lo. gue sayang sama lo Adrian, kenapa lo gak ngerti juga sih," aku geram. semua topeng yang kupakai kulepas malam ini.
"gue gak pantas dicintai siapapun, Amanda. apalagi lo," Adrian memasukkan tangannya ke saku dan kali ini menolak memandang aku.
"kenapa?" aku bergerak mendekatinya. dia mundur. selangkah aku mendekat, selangkah pula ia mundur. akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan jarak kami kembali seperti tadi.
"gue gak mau mengecewakan orang lagi. gue gak mau membuat dosa lagi. gue tertarik sama lo sejak pertama kita kenalan, gue terpukau sama cara lo bicara dan tertawa. lo juga pintar, nyambung kalau kita ngobrol. tapi lama kelamaan lo mulai seperti Susan. terkenal dan ceria, semua orang suka sama lo. saat itu gue takut bahwa gue akan jatuh ke kesalahan yang sama. gue takut khilaf, gue takut menyakiti lo. terlebih, gue juga memang suka sama lo. beda dengan ketika dengan Susan, gue cuma menganggap dia teman. tapi dengan teman saja ketika gue melakukan kesalahan, gue sudah sangat merasa jadi orang paling nista sedunia. apalagi dengan lo yang sebenarnya ingin gue bahagiakan. gue gak mau kejadian dulu terulang lagi. jadi gue memilih untuk mundur," Adrian berkata panjang lebar. awalnya dia menatap wajahku tapi lama kelamaan dia menunduk. menceritakan hal yang membuat dia merasa berdosa rupanya menjadikan dia terlihat sangat rapuh. aku mendekati dia dan kali ini dia tetap di tempatnya.
"i dont deserve you, Amanda. you deserve much better man than me," bisik Adrian di depanku ketika kami sudah berhadapan.
"lo bilang lo suka sama gue. tapi malah menjauhi gue. lo ga tau kalau itu malah menyakiti perasaan gue?"
"gue cuma gak mau gue gak bisa menahan perasaan gue dan akan menyakiti lo,"
"you did hurt my heart, Adrian Surya," kusebutkan nama lengkapnya dan kusentuh pipinya. bulir air mata mulai mengalir di pipinya
"i'm sorry," Adrian berkata lirih.
"jangan minta maaf. jangan merasa lo bakal menyakiti gue. mungkin ini cara yang Tuhan pilihkan buat lo, buat gue, buat kita. supaya kita bisa melangkah lebih jauh. lo ga bisa terus tertahan di masa lalu, terus menyesali kesalahan yang gak semuanya salah lo. lo harus maju, Adrian. sama gue. kita hadapi masa depan bersama," kusentuhkan kedua tanganku di pipinya. separuh harga dirinya sebagai laki-laki membuat dia menahan keras agar tidak terlihat menangis di depanku. tapi dia juga tidak bisa menahan perasaan bahwa dia menyesal dan takut untuk berjalan lebih jauh.
"lo gak malu sama gue?"
"kenapa harus malu? gue tahu lo sudah menyesal. yang terpenting adalah kita sudah tahu apa yang salah dan apa yang akan kita lakukan di masa depan. gue juga sudah tahu alasan lo menjauhi gue selama ini dan gue tetap mau menerima lo. semoga lo mau menerima gue juga," akhirnya aku menangis juga. aku tidak tahan melihat Adrian mengeluarkan semua perasaan kesalnya selama bertahun-tahun. aku tarik Adrian ke pelukanku dan kami menangis bersama.
***
my, ralat: our, sweet escape was ended. orang tua kami mendadak heran karena keesokan pagi saat kami bersiap untuk check out dan kembali ke Jakarta, Adrian begitu perhatian kepadaku bahkan tanpa disuruh oleh mamanya. ayah memang masih sering berdeham jika Adrian terlalu lama dekat denganku, tapi ketiga orang lainnya tampak sumringah memperhatikan kami.
begitu sampai di Soekarno-Hatta, supir yang biasa mengantar papa Adrian sudah menjemput. kata mama, dia sengaja diminta menjemput agar Adrian bisa mengantar aku dan orang tuaku pulang. sepanjang perjalanan dari bandara ke rumah, aku tertidur, begitu pula dengan ibu. namun ketika aku bangun (lalu pura-pura tidur), aku mendengar dialog antara ayah dan Adrian. aku pura-pura memperbaiki posisi duduk dan melirik kepada ibu. ibu sedang membuka sebelah mata dan tersenyum. aku ikut tersenyum juga.
Adrian menghentikan mobil di depan rumahku dan bermaksud membantu membawakan barang ayah dan ibu. namun ayah menolak dan ia yang kerepotan membawa barang ibu. meski begitu, menurutku itu romantis. ayah masih memperlakukan ibu sebagaimana saat mereka muda dulu. aku sendiri menurunkan tas ransel yang kubawa dan kantong-kantong oleh-oleh. sempat kerepotan saat Adrian masih memutuskan untuk membawakan barang orang tuaku.
setelah ayah dan ibu masuk, baru Adrian berbalik menatapku.
"yak, sampai ketemu besok di kantor," kataku sambil melambaikan tangan kanan. tangan kiriku menggenggam kantong oleh-oleh.
Adrian tersenyum. senyum yang kukira takkan pernah dia arahkan untukku.
"aku mungkin masih harus banyak belajar. aku masih mungkin menyakiti hati kamu walaupun aku berusaha untuk tidak. tapi aku akan terus berusaha jadi pria yang baik, jadi suami yang terbaik untukmu," katanya. kalimat itu meluncur dari mulut Adrian yang kukira cuma bisa manyun dan merepet. kalimat terakhirnya mengagetkanku tapi aku menanggapinya sambil tersenyum.
"i know you'll be greatest man ever, number 2. number 1 is my dad," kataku lalu nyengir. Adrian tertawa. dia menghampiri dan memeluk aku. aku balas pelukannya dengan lebih erat. berdua, kita hadapi semua masalah di masa lalu dan masa depan bersama ya Adrian.
-THE END-
Komentar