Miserable Fate - 41
Holly
Kebahagiaan berumah tangga, persiapan untuk masa depan
“Gue masih nggak terima,” Crystal masih menangis, air matanya membasahi pipi dan menitik ke pangkuannya.
“Crys, kita udah bahas ini berkali-kali,” Liv membelai lengan Crystal. Menatapnya dengan tatapan meminta maaf.
“Emangnya nggak ada cara lain?” Crystal mendongak, menatap Liv lalu menatap kakaknya, pacar kakaknya, asistennya, asisten Liv, Mel, Jamie, Adam, dan orang lain yang ada di situ.
“Opsi selalu ada sih Crys. Gue memilih opsi untuk berhenti jadi manajer lo,” Liv tersenyum kecut.
“Makanya. Emang nggak bisa tetep di sini aja?”
“Liv akan menikah, Crystal. Calon suaminya meminta dia untuk ikut bersamanya. Masa iya dia harus tolak?” Jade angkat bicara. Ketika kakak tertuanya bicara, Crystal tidak bisa apa-apa lagi selain diam.
“Kamu menolak waktu aku minta kamu berhenti jadi CEO Crystal Corp setelah kita menikah nanti,” timpal Dimas dengan gaya super tenang sambil meminum kopi. Jade melemparkan tatapan membunuh pada Dimas.
“Ya nanti setelah nikah pun gue nggak akan kerja kantoran kok. Jadi waktu gue tetep fleksibel. Kalau ada waktu, gue bakal sering main ke Jakarta,” Liv menatap Crystal dan memandang orang lain bergantian.
“Berasa deket aja Jakarta dari tempat lo ya. Tinggal naik KRL gitu,” Mel menimpali. Semua orang tertawa, kecuali Crystal yang masih hanya tersenyum kecut.
“Gimana dengan rencana gue go international? Kan lo yang udah nyiapin semuanya?” Crystal masih berusaha mempertahankan Liv untuk berada di sisinya, menjadi manajernya.
Liv tertawa. “Gue kan gak kerja sendirian, Crys. Seluruh Crystal Corp pasti akan bantu lo untuk meraih cita-cita lo itu.”
“Tapi kan lo yang berhasil deal sama orang-orang sehingga gue bisa duet sama Yuna dan BTS,” Crystal menotol ujung matanya untuk menghilangkan bekas air mata. Di sebelahnya, Jamie dengan sabar mengulurkan tisu.
“Kalau deal sama BTS sih bukan gue ya. Jade tuh,” Liv menunjuk bos sekaligus kakak Crystal dengan dagunya.
Crystal pelan-pelan melirik kakak perempuannya yang balas menatapnya dengan galak. Cepat-cepat Crystal memalingkan pandangannya. Takut.
“Terus manajer gue siapa?”
“Aku,” jawab Jade.
“Nggak ada orang lain selain Kakak? Itu mah aku diawasin, bukan dimanajerin!” Crystal mendengus.
“Hey!” Jade merengut dan Crystal langsung menciut.
“Sementara aja, Crys. Nanti pasti ada pengganti yang tepat kok,” Liv meyakinkan.
“Udah udah nggak usah sedih. Ayo kita foto-foto dulu,” Mel berseru dan mendahulu berdiri. Mel berinisiatif mengatur posisi pemotretan sebelum meminta waitress yang bekerja di kafe ini untuk memotret mereka.
Semuanya berfoto berkali-kali dengan berbagai pose. Ada foto beramai-ramai, ada foto berdua dengan Liv saja. Semuanya membuat kenangan manis sebelum Liv permanen berpindah ke kota lain.
“Ngomong-ngomong, mana laki-laki yang tega menjauhkan lo dari kita semua?” Tanya Mel setelah sesi foto usai.
“Hihihi. Dia masih lembur di kantor. Beresin beberapa hal dan farewell sama tim di kantor pusat,” Liv menjawab dan meminum minumannya.
“Jadi besok pindahan ke Surabaya?” Crystal mengulangi pertanyaan yang sudah berkali-kali dia tanyakan sejak Liv memutuskan untuk pindah.
“Iya, Crys.”
“Barang-barang udah di sana semua ya?”
“Udah. Besok tinggal bawa koper kecil aja,”
“Jadinya tinggal di mana?” tanya Mel.
“Ada rumah punya keluarganya bokap yang nggak dipake,” Liv menjawab. “Deket sama rumah nyokap dan rumah mertua. Jadi tetep bisa mandiri tapi deket sama orang tua.”
“Enak banget lo ya emang,” Mel menggeleng, takjub.
“Oh iya. Lo jadi sewain kita hotel atau nggak, Liv?” Kali ini Adam yang bertanya.
“Jadi hotel, Dam. Gue udah sewain buat kalian. Adam sekamar sama Jamie. Mel sekamar sama Crystal. Jade sama Dimas. Nanti juga ada kamar buat anak-anak Crystal Corp,” Liv berusaha mengingat-ingat pemesanan kamar untuk tamu-tamu pernikahannya minggu depan.
“Oh, oke,” Adam mengangguk.
“Lo pasti kecewa sekamar sama Jamie kan? Jadi nggak bisa bawa cewek lo. Huh, serigala,” Mel mencibir.
“Suudzhan aja lo. Lagian ngapain gue ngajak cewek lain segala. Plus one gue udah disewain kamar kok sama Liv,” Adam menanggapi dengan santai sambil melipat tangannya.
“Plus one lo siapa?” Mel menatap Adam dengan mata menyipit.
“Lo lah. Siapa lagi,” Adam menggeleng seakan tidak percaya.
“HAH?! Idih siapa ya yang dulu bilang mending jomblo daripada jadian sama gue? Sekarang…” Mel tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Adam keburu membungkamnya dengan ciuman. Liv dan Crystal terkikik sementara Jamie menggeleng saja.
“Berisik, Mel,” komentar Adam setelah selesai mencium Mel.
“Lo tuh…” Mel tidak dapat menemukan kata yang tepat. Pipinya bersemu merah karena ciuman barusan.
“Halo, semuanya,”
Liv dan teman-temannya menoleh. Bibirnya tersenyum saat melihat sang calon suami sudah tiba. Ditepuknya kursi di sebelahnya untuk tempat dia duduk.
“Udah beres farewell-nya, Yan?” sapa Mel, sudah menemukan kata-kata lagi.
“Sudah. Sengaja nggak lama-lama,” Ian menjawab dan memandang Liv, mencium pipinya.
“Waktu awal terima undangan kalian, jujur deh gue kaget. Masa nama bokapnya sama...” Crystal memandangi semua orang lalu mereka tertawa.
“Tadinya mau nggak usah nulis nama orang tua. Tapi kayaknya aneh. Jadi ya udah. Biarin deh orang nanya-nanya. Lagian untungnya cuma sedikit kok undangannya,” Liv tersenyum. Bukan hanya Crystal yang kebingungan, petugas pencetak undangan pun heran ketika harus menuliskan nama Reza Alamsyah Tirtojoyo sebagai ayah bagi pengantin perempuan maupun laki-laki.
“Yang penting kenyataannya nggak seperti yang orang pikirkan,” kata Ian pelan. Liv mendengar kata-kata Ian dan memegang tangannya.
“Gak jadi juga lo ya nikah di Bali,” sindir Mel.
Liv tertawa. Setelah pertengkaran dengan Febri di bandara, Ian dan Liv membatalkan keberangkatan mereka ke Bali. Mereka kembali menuju rumah Liv dan menghadapi keluarga yang panik. Ian dan Liv dimarahi oleh seluruh keluarga Liv. Beberapa saat setelahnya bahkan keluarga Febri masih menghubungi Liv untuk memarahinya. Kemudian Febri mengajak Liv bertemu untuk menyelesaikan hubungan mereka dengan baik. Sejak itu tidak ada lagi yang mengungkit tragedi kaburnya Liv di hari pertunangannya. Ian, sementara itu, memanfaatkan kesempatan untuk melamar Liv dan mengajaknya menikah.
“Anyway, sudah jam 11 dan besok aku dan Jamie ada kuliah pagi. Jadi, sampai ketemu besok di bandara untuk antar Liv?” Crystal berdiri diikuti Jamie.
“Sepertinya begitu. Thanks for coming, Crys,” Liv ikut berdiri dan memeluk Crystal.
“Nanti aja peluk erat-eratnya. Kalau sekarang, bisa-bisa gue nangis lagi,” Crystal mendengus.
Semua orang tertawa dan satu per satu berpamitan. Setelah semuanya pulang, giliran Liv dan Ian pulang. Baik mobil Ian maupun Liv sudah dibawa ke Surabaya, bersama seluruh aset mereka di Jakarta lainnya. Maka saat ini Ian dan Liv memesan sebuah taksi untuk mereka pulang. Sudah seminggu terakhir ini Ian menginap di apartemen Liv karena apartemennya sudah disewakan ke penghuni lain sejak seminggu ini.
Begitu Ian resmi akan menikahi Liv, dia meminta dipindahkan ke kantor cabang di Surabaya. Begitu juga Liv. Resign dari Crystal Corp dan akan memulai bisnis wedding organizer di Surabaya. Pilihan ini diambil agar mereka tetap bisa dekat dengan keluarga mereka.
“Can’t believe we’re about leaving Jakarta in just hours,” kata Liv setelah mereka turun dari taksi dan menuju apartemen Liv.
“Yeah,” Ian mengangguk. Jemarinya menyusup ke jemari Liv seiring langkah mereka.
“Setelah pertemuan kita, berantem kita, drama keluarga kita, berantem sama Febri, ternyata seminggu lagi kita jadi suami istri,” Liv tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak Ian.
“Semoga semuanya lancar,” Ian mencium puncak kepala Liv sekilas.
Mereka tidak bicara apa-apa lagi hingga tiba di kamar Liv. Berdiri di depan pintu kedua kamar, Ian menghadap Liv. Dikecupnya kening Liv lama. Tinggal bersama selama seminggu adalah godaan sekaligus ujian bagi mereka berdua. Berusaha keras untuk tidak menyentuh satu sama lain lebih dari sekedar ciuman. Awalnya Ian akan menginap di hotel sementara menyiapkan kepindahannya ke Surabaya. Pemilik apartemen tempat dia menyewa kamar selama hampir dua tahun keberatan jika Ian harus tinggal seminggu lebih lama karena dia sudah terlanjur menyewakan untuk penghuni lain. Penghuni lain yang akan menyewa tepat di awal bulan.
“Selamat istirahat, Liv,” bisik Ian. Meskipun Ian tahu bahwa sebentar lagi Liv menjadi miliknya, Ian ingin menjaga kehormatan mereka berdua. Menjaga privasi dalam batas-batas yang sewajarnya. Sebagaimana yang sering diingatkan oleh ibunya dan calon ibu mertuanya.
“Selamat istirahat, calon suami,” bisik Liv manja. Liv selalu bangga memiliki Ian sebagai calon suaminya. Sesekali Liv ingin menguji Ian dengan mengedip manja atau menggodanya dengan berbagai cara. Jika sudah begitu, Ian cepat-cepat pamit ke kamarnya dan menguncinya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ian mengecup bibir Liv sebentar lalu segera berbalik menuju kamarnya. Begitu pula dengan Liv. Di pintu kamar masing-masing mereka saling mengintip dan melambaikan tangan sebelum menutup pintu.
***
Pernikahan Olivia Anindya dengan Ardiansyah Chandra Tirtojoyo berlangsung di hari Minggu yang cerah. Di halaman rumah keluarga Reza Alamsyah Tirtojoyo, pesta sederhana itu berlangsung. Pesta pernikahan ini dihadiri oleh keluarga dekat dari pihak Reza Alamsyah, Nita Adinda, dan Elsie Von Guttenberg. Hadir pula rekan-rekan dan keluarga dari pengantin wanita dan pria. Sesungguhnya pernikahan sederhana ini adalah hasil argumentasi panjang antara Liv dan Ian melawan keluarga besar ayah dan ibu mereka. Pihak orang tua tentu saja ingin acara diadakan dengan mewah, mengingat mereka berdua merupakan keluarga berada dan anak satu-satunya. Namun kemudian Liv dan Ian berhasil meyakinkan bahwa mereka hanya ingin upacara pernikahan sesuai dengan kepribadian mereka. Sederhana dan akrab.
Pagi hari menjalankan prosesi akad yang lancar diucapkan oleh Ian. Siang hari resepsi dilaksanakan dengan isi pidato selamat dari perwakilan kedua mempelai (perwakilan dari pihak Liv adalah Mel dan perwakilan dari pihak Ian adalah Leo), ucapan selamat dari para undangan, dansa yang diawali oleh Liv dan Ian sebagai pengantin, pelemparan buket (yang didapatkan oleh Mel dan langsung membuat Adam salah tingkah), hiburan menyanyi dari Crystal yang rela tidak dibayar demi memeriahkan pernikahan mantan manajernya, dan foto bersama. Pesta itu terasa sederhana, hangat, ceria, dan tentu saja akrab.
“Lihat itu,” Ian berbisik pada istrinya saat pesta usai namun mereka masih duduk-duduk. Beberapa petugas berseliweran di sekitar mereka saat merapikan dekorasi. Liv dan Ian masih duduk di kursi pengantin karena mereka masih perlu melakukan beberapa sesi foto. Ada pula orang tua, Mel, Adam, Crystal, Jamie, dan Jade yang masih mengobrol.
Liv menoleh ke arah yang ditunjuk Ian. Rupanya Ian menunjuk ke arah ibu mereka, Nita dan Elsie, yang sedang mengobrol dan sesekali tertawa. Liv berpaling pada suaminya.
“Pasti nggak mudah untuk sampai ke tahap seperti ini,” Liv berkata. Teringat bahwa berpuluh-puluh tahun yang lalu, kedua wanita itu bisa dibilang bermusuhan karena seorang pria.
“Ya. Butuh hati yang besar untuk bisa berdamai dengan masa lalu,” Ian menimpali. Tangannya mengelus tangan Liv yang tidak pernah ia lepaskan sedari tadi.
“Papa pasti senang melihat kita,” Liv memejamkan matanya. Liv bahkan bisa merasakan keberadaan ayahnya sedari tadi. Sejak Ian mengucapkan janji suci hingga saat acara usai. Liv bisa merasakan ayahnya duduk bersama istri-istrinya di sana. Ingatan Liv pun melayang ke saat-saat dia kecil dulu. Saat ayahnya selalu memperlakukannya seperti Putri di saat pertemuan mereka yang singkat.
“Pasti,” Ian setuju. Diciumnya pipi Liv dengan khidmat.
“We will always be together forever, right, Ian?” Liv membuka kembali matanya dan memandang suaminya lekat-lekat.
“We will, Liv,” Ian mengecup kening Liv dan memeluk istrinya. Keduanya tersenyum sambil memandang ke depan, ke arah orang tua mereka, ke arah masa depan yang akan mereka hadapi bersama mulai saat ini.
Tidak semua hal diawali dengan sesuatu yang indah. Namun semua hal pasti akan berakhir indah. Kebahagiaan bukan datang dari orang lain. Kebahagiaan datang dari diri sendiri atas keinginan kita yang berusaha untuk membuat semuanya indah. Banyak pelajaran yang didapat oleh Liv dan Ian. Pelajaran yang akan membuat mereka menjalani hidup lebih baik lagi.
-TAMAT-
Komentar