Miserable Fate - 39

 Flax

Takdir

Sudah hampir lima menit Liv memandangi deretan angka di layar ponselnya. Nomor telepon yang sudah lama sekali tidak dia hubungi tapi tidak sampai hati untuk dihapus. Jari Liv bergerak ke atas layar. Hanya tinggal 1 milimeter jarak antara jarinya dengan menghubungi nomor telepon tersebut. 

Mengunci dan melemparkan ponselnya ke tempat tidur adalah keputusan akhir Liv. Rupanya dia masih tidak sanggup untuk menjalankan rencananya. Liv tidak sanggup untuk kembali menemui seseorang yang mati-matian dia lupakan. Seseorang yang masih memiliki posisi penting dalam hatinya. Sebagai seseorang yang dia cintai sebagai laki-laki, bukan sebagai kakak sebagaimana seharusnya. 

“Oh shoot,” Liv memeluk lutut dan membenamkan kepalanya di sana. Sudah beberapa bulan terakhir ini hidup Liv kembali damai. Dengan Febri, Liv berusaha meninggalkan Ian dan segala memori tentangnya. Walaupun Liv sendiri tahu bahwa dia belum benar-benar menerima Febri dan mencintai Febri sebagaimana seharusnya. Ditambah lagi sekarang pikiran Liv semakin berantakan setelah tidak sengaja bertemu Ian. 

Pertemuan yang berakhir dengan Ian yang mengatakan bahwa mereka tidak bersaudara.

Pikiran Liv mulai goyah. Keyakinannya untuk menikah dengan Febri sedikit demi sedikit mulai terdorong oleh rasa ragu. Bertanya-tanya, lebih tepatnya. Liv penasaran. Kenapa Ian bisa sampai berkata seperti itu? Setelah pertemuan penuh bencana itu, mereka meyakini bahwa mereka memiliki hubungan darah. Sekarang Ian bilang mereka bukan kakak dan adik? Ada apa ini?

Liv kembali menatap ponsel tipis yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidurnya. Seperti di film-film saat si pemeran utama memutuskan melakukan sesuatu yang penting, Liv ikut menelan ludah terlebih dahulu. Liv melakukan ini hanya karena penasaran. Hanya karena ingin tahu. Bukan yang lain. 

Secepat kilat Liv membuka kunci ponselnya. Layar ponselnya masih menampilkan deretan nomor tersebut. Tanpa pikir panjang, Liv menyentuh layar tepat di atas nomor-nomor itu. Telepon tersambung tanpa menunggu lama. Dalam deringan pertama, seseorang mengangkat teleponnya.

“Liv?” 


*** 


Ian berjalan bolak balik untuk kesejuta kalinya. Tentu saja ini disebabkan oleh telepon tidak terduga dari seseorang tadi. Berbulan-bulan tidak bertemu atau mendengar suaranya. Bertemu sekilas ketika dia bersama tunangannya. Tiba-tiba saja sekarang dia mengajak bertemu. 

“Ian,” Liv membalas sapaan Ian di telepon. 

Jujur saja, jantung Ian berdegup lebih cepat dari biasanya. Liv menghubunginya lebih dulu. Liv belum menghapus nomor Ian dari ponselnya.

“Ada yang mau kamu tanyakan?” Ian berusaha keras terdengar kalem. Walaupun dalam seluruh tubuhnya semua bergerak lebih cepat. Jantung yang berdegup lebih cepat. Aliran darah yang berdesir lebih cepat. Termasuk otak yang berputar lebih cepat dan memikirkan berbagai alternative penyebab Liv menghubunginya. 

“Soal yang kamu bilang waktu itu,” kata Liv dengan ragu-ragu. 

Ian ingin langsung menceritakan semua yang ibunya katakan padanya. Namun pikirannya menyuruhnya diam. Kalimat Liv tadi pun terdengar seperti Liv masih ingin mengatakan sesuatu. Maka Ian diam, menunggu Liv melanjutkan. 

“Bisakah kita ketemu supaya semuanya lebih jelas?” 

This is beyond Ian’s expectation. Semula Ian hanya berpikir Liv akan meminta penjelasan lewat telepon. Nyatanya Liv meminta bertemu? 

“Tentu,” Ian berdeham. Ia menjawab beberapa detik lebih cepat dan beberapa tingkat lebih ceria dari seharusnya. “Tentu, Liv.” 

“Iya,” Liv memberi jeda. “Hari ini?” 

“Hari ini,” Ian menyetujui. Beruntunglah sekarang hari Minggu. Sesuai kebiasaannya, Ian tidak memiliki agenda apa-apa selain beraktivitas di tempat tinggalnya sendiri. “Dimana?” 

“Tempatmu,” jawab Liv. 

Ian terdiam. Dari semua tempat yang bisa mereka kunjungi, Liv memilih tempat tinggalnya. Tempat tinggal Ian yang penuh kenangan antara mereka berdua. 

“Kalau di luar, aku takut ada temanku atau teman Febri yang melihat. Nanti bisa menimbulkan kesalahpahaman,” Liv menambahkan.

“Oh,” Pundak Ian turun. Rupanya tadi ia hanya GR. Liv meminta bertemu di tempat Ian agar tunangannya tidak curiga. “Baiklah.” 

“Aku akan berangkat setengah jam lagi. Dalam satu jam mungkin aku akan sampai,” kata Liv. Saat ini suaranya terdengar luar biasa santai. Berbanding terbalik dengan Ian yang penuh ketegangan.

“Hati-hati di jalan, Liv.” 


*** 


Liv tidak perlu menunggu lama untuk pintu dibukakan. Cukup beberapa ketukan pertama dan pintu sudah terbuka. Ian berdiri di balik pintu yang terbuka itu, terkejut dan senang pada saat yang bersamaan. Liv bisa melihat mata yang berkilat di balik kacamata yang dikenakan Ian. 

“Kamu sampai,” Ian mengatakan itu sebagai ganti ucapan salam.

“Iya,” Liv mengangguk. 

“Masuk,” Ian memberikan jalan untuk Liv masuk ke tempatnya. 

Ketika Liv sudah berada di dalam unit apartemen Ian, Ian menutup pintu di belakangnya. Liv refleks memandang ke sekeliling. Lampu darurat di ruang tamu masih ada. Coffee maker masih disimpan di tempatnya. Peralatan olahraga Ian masih ada di balkon. Karpet yang menutupi lantai juga masih sama. 

Tidak ada yang berubah. Apakah perasaan mereka juga tidak berubah?

“Kamu mau minum sesuatu?” tawar Ian, melewati Liv dan membuka kulkas. 

“Gak perlu,” Liv menggeleng. “Aku mungkin gak akan lama-lama.” 

Penolakan Liv memunculkan perasaan sedih pada Ian. Walaupun demikian, Ian tidak menunjukkannya. Tangannya menutup kulkas dengan pelan. “Setidaknya kamu duduk dulu.”

Liv setuju untuk duduk. Sengaja Liv memilih sofa yang berukuran single agar tidak menimbulkan perasaan aneh semacam nostalgia jika Liv memilih duduk di sofa satunya. Sementara itu Ian duduk di tempatnya yang biasa. 

“Aku mau tanya soal yang kamu bilang waktu kita gak sengaja ketemu,” Liv meremas tasnya. Terlihat sekali bahwa dia gugup. “Kenapa… kenapa kamu bilang kita bukan adik kakak?” 

Ian menatap Liv lekat-lekat sampai Liv merasa tubuhnya sedang ditelanjangi. Detik demi detik berlalu tanpa Ian menjawab apa pun. Apa yang dilakukan Ian hanya menatap Liv dan membuat Liv salah tingkah. 

“Setelah kamu datang ke rumahku dan ibuku mengatakan hal-hal itu, bisa dibilang hubunganku dengan ibuku menjadi semakin buruk. Aku tidak pulang ke rumah berbulan-bulan,” Ian mengusap rambutnya. 

Liv terkejut karena dia pun lama tidak pulang ke Surabaya setelah mendengar cerita dari ibunya. 

“Suatu hari ibuku terus bertanya kapan aku akan pulang. Aku tetap tidak berminat pulang. Rupanya ibuku punya sesuatu yang harus disampaikan dan karena aku tidak kunjung pulang, beliau yang datang ke Jakarta.” 

Liv masih menunggu dengan sabar kelanjutannya. 

“Rupanya yang mau beliau sampaikan adalah perihal kamu,” Ian menundukkan pandangannya namun langsung mengangkatnya kembali. Jantung Liv mulai berdetak lebih cepat.

“Ibuku bilang bahwa beliau tidak bisa punya anak,” suara Ian sedikit bergetar tapi raut wajahnya tetap terlihat tegar. 

Liv terkesiap mendengar itu. 

“Keluarga ayah dan ibuku menuntut mereka memiliki keturunan. Sayangnya ibuku tidak bisa memiliki bayi. Jadi mereka mengadopsi seorang anak. Aku.” Ian benar-benar gusar saat ini. Nafasnya mulai memburu mungkin karena emosi yang kembali naik ke permukaan.

“Ian, tenang,” Liv mengulurkan tangannya dan mengelus punggung tangan Ian. 

Ian menatap tangan Liv yang ada di punggung tangannya. Segera Ian menggenggam tangan tersebut. Menggenggamnya seiring Ian melanjutkan ceritanya. 

“Rupanya ayahku masih sangat menyayangi mantan pacarnya, yaitu ibumu. Mereka menikah dan memiliki kamu.” Ian menatap Liv. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas tapi matanya terluka. Liv ikut merasakan kesedihan Ian saat ini.

“Ternyata aku bukan siapa-siapa, Liv,” gumam Ian.

“Jangan ngomong gitu. Kamu disayangi ayah dan ibu kamu juga,” Liv melupakan jarak yang berusaha dia bangun. Liv menyingkirkan tasnya lalu duduk di hadapan Ian. Mengelus pipinya. 

“Baru sebesar ini aku tahu bahwa aku bukan anak asli orang yang kuanggap orang tuaku,” Ian berkata lirih. 

“Ian…” 

“Aku bahkan mengambil kebahagiaan yang seharusnya kamu miliki. Anak kandung ayahku,” Mata Ian berkaca-kaca sekarang. 

“Ian, ayahku menyayangi kita. Terlepas dari kamu anak kandungnya atau bukan,” Liv memegang kedua pipi Ian lebih erat. Ian memegang tangan Liv yang ada di pipinya dan mencium tangan itu. 

Come back to me, Liv. Sekarang kita tahu kenyataannya. Tidak ada halangan lagi di antara kita. Tinggalkan Febri,” Ian memegang kedua tangan Liv dengan erat. 

Liv tidak menjawab. Melainkan menarik kedua tangannya dari pegangan Ian dan berdiri menjauh. Suasana di antara mereka mendadak hening. Liv memejamkan mata dan memeluk dirinya sendiri. Sekilas terdengar suara gerakan dan detik berikutnya yang terjadi adalah Ian memeluk Liv dan mengelus rambutnya.

“Liv,” panggil Ian.

Don’t,” Liv membuka mata. “Don’t say anything.”

“Bisa, Liv,” ujar Ian pelan. Tangannya kembali memegang tangan Liv dan mencium jemari Liv. Tidak dulu, tidak sekarang. Sentuhan Ian masih tetap mampu membuat tubuh Liv seakan dialiri listrik.

“Gak mungkin. Sudah terlambat,” Liv menggeleng. Meninggalkan Febri adalah sesuatu yang mustahil. Mereka sudah bertunangan. Liv sudah mengenal keluarga Febri, begitu pula sebaliknya.

“Kita masih bisa mengusahakan.” Ian berkeras.

“Dan menyakiti lebih banyak hati lagi?” 

“Dan kamu gak peduli dengan hati aku?” 

Perlahan air mata menetes di pipi Liv. “Aku gak seharusnya datang ke sini,” kata Liv dengan lirih. Perasaannya bercampur antara sedih, kesal, marah, kecewa. 

Why?” Ian bertanya. Tidak terima dengan pernyataan Liv itu.

“Semuanya…jadi sulit,” Liv menarik tangannya menjauh dari Ian dan berjalan mundur, menjauh dari Ian.

“Kamu harus tahu kenyataannya,” kata Ian yang masih pantang menyerah. Dia kembali mendekati Liv. 

“Aku sudah tahu. Waktu itu kamu bilang,” Liv menggelengkan kepalanya kuat-kuat. 

“Kamu harus tahu dengan detail. Saat ini waktunya. Bukan saat kita tidak sengaja bertemu.” Ian berjalan dengan langkahnya yang lebar. Membuat dia kembali berada tepat di hadapan Liv. Punggung Liv menyentuh pintu yang tertutup sehingga tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Kedua tangan Ian berada di sisi kepala Liv dan kakinya berada di samping kedua kaki Liv. Posisi Ian benar-benar mengunci Liv agar tidak dapat bergerak kemana pun.

“Sudahlah,” kata Liv dengan lelah. “Sudah.” 

“Aku bisa mengambil ponselku sekarang dan meneleponnya. Aku juga bisa keluar dari apartemen ini sekarang dan mendatangi dia langsung. Aku bisa lakukan…”

“Gak ada yang bisa kamu lakukan,” Liv memotong dengan cepat. Telunjuk Liv menyentuh bibir Ian dan membuatnya tersentak. “Let it be. This is the best.”

Jari Liv yang ada di bibir Ian, digerakkan perlahan untuk mengusap bibirnya. Kali ini Ian bisa menguasai kekagetannya dan malah mencium jari Liv yang bergerak dengan gerakan sensual, mencium dan menjilatinya.

Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Liv menggeser jarinya ke arah pipi Ian. Dielusnya pipi dan dagu Ian bergantian. Liv mengamati wajah Ian lamat-lamat. Penampilannya kembali seperti dulu saat mereka baru pertama bertemu. 

Liv mengangkat kedua tangannya dan menyentuh gagang kacamata Ian. Sedikit demi sedikit Liv melepaskan kacamata itu. Benda ini selalu menjadi penghalang utama jika Liv ingin mencium Ian dengan leluasa. Ian tahu maksud Liv membuka kacamatanya. Karena detik berikutnya, dia memindahkan tangannya ke pinggul Liv, menarik wanita ini masuk ke dalam pelukannya yang terasa putus asa, dan mencium bibir Liv yang lama tak Ian temui. 

Liv melingkarkan tangan di leher Ian dan memejamkan matanya. Tanpa bisa dicegah, mereka berciuman. Melepaskan rasa rindu, kesal, putus asa, cinta, ke dalam satu sentuhan dalam untuk satu sama lain. Orang pertama yang kembali dalam kesadarannya adalah Liv. Sembari menyentuh bibirnya yang membengkak, Liv bergerak mundur. 

Is it final?” tanya Ian.

Yes,” Liv mengangguk dengan mantap. 

“Kenapa harus bertemu jika harus berpisah?” tanya Ian dengan kesal.

So we can learn something.” Liv menjawab dengan sok bijak lalu terkikik..

What so funny?” Ian tidak mengerti dimana letak hal lucu dalam obrolan mereka malam ini.

I used to be the one being teached by you. Liv, kamu harus begini. Liv, kamu jangan begini. Sekarang aku yang mendadak lebih bijak.” Liv tersenyum kecut.

Ian mendengus dan berkata dengan nada menyindir. “Funny,”

 “Aku…pergi…” Dengan cepat Liv mengubah topik pembicaraan kembali pada topik semula.

There is…” Ian menunduk dan menghela nafas. “Nothing I can do, right?” 

“Ya,” Jawab Liv setelah iba melihat Ian yang tampak hilang arah seperti ini.

I’ve tried,” komentar Ian.

I know,” Liv tersenyum. “It just won’t work for us.”

“Liv,” Ian kembali memanggil

“Ya?” Liv mengambil tasnya dan menoleh ke belakang. Kesempatan ini Liv gunakan untuk merekam adegan-adegan yang mungkin tidak dapat Liv temukan kembali. Saat Liv berbalik, Ian sudah kembali mengenakan kacamatanya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya lebih tenang daripada tadi. 

I love you,” kata Ian. Tegas, jelas, dan pasti.

Liv terpana. Pada awalnya. Lama kelamaan gadis itu tersenyum. Hanya itu. Kemudian Liv membuka pintu dan keluar. 


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?