Miserable Fate - 38

 Primrose

Aku tidak bisa hidup tanpamu

Ian merapikan jasnya saat turun dari mobil. Buah dari patah hatinya kemarin, Ian membeli sebuah mobil supaya bisa berkendara dengan lebih leluasa jika dia harus pergi dengan orang lain atau untuk acara-acara tertentu. Seperti kemarin saat dia menemani ibunya ke Bandara atau seperti hari ini saat Ian harus datang ke acara resmi. 

Datang ke acara penghargaan dari salah satu majalah ekonomi sebagai perwakilan dari perusahaannya. Ada dua undangan ditujukan untuk perusahaan Ian. Di bidang terobosan teknologi informasi dan di bidang pelayanan pelanggan. Atas penghargaan di bidang teknologi informasi ini Ian datang sebagai perwakilan karena Pak Kornel berhalangan hadir. Jika bukan karena atasan paling dihormatinya yang meminta, Ian tidak akan datang ke hotel bintang mewah ini. Mengenakan jas, berdandan rapi, dan bersosialisasi bukanlah keahliannya. 

“Yan, sini,” Bu Eva, Kepala Divisi Operational Support yang membawahi pelayanan pelanggan, memanggil Ian untuk menghampirinya. Beliau menjadi perwakilan jika mereka menang kategori tersebut. Berbeda dengan Ian yang datang sendiri, Bu Eva ditemani salah satu stafnya.

“Malam, Bu Eva, Bu Nora,” sapa Ian pada Bu Eva dan Bu Nora, Kepala Departemen Customer Services.

“Sendiri, Ian?” tanya Bu Nora. 

“Sendiri, Bu.” Ian mengangguk. 

“Nggak ada pacar yang nemenin?” goda Bu Eva sambil tersenyum.

Ian menggeleng. “Nggak ada, Bu.” 

“Kemarin, staf saya, Elena, kamu kenal?” Bu Nora bertanya.

Ian sebenarnya tidak kenal tapi dia tidak menunjukannya dan menjawab, “Kenapa memangnya Bu?”

“Dia minta ikut ke sini begitu tahu kita datang dengan Ian, Bu,” kata Bu Nora pada Bu Eva. Keduanya terkikik. “Katanya biar bisa ketemu Ian. Kayaknya dia naksir kamu deh.”

Ian memaksakan diri tersenyum. 

“Penampilan kamu sekarang dan di kantor beda banget, Yan. Kenapa nggak kayak gini aja setiap hari?” tanya Bu Eva, memperhatikan Ian dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Ribet, Bu,” jawab Ian sekenanya. 

“Ya udah ya udah. Kita masuk sekarang ya. Sebentar lagi acaranya mau mulai,” ajak Bu Nora. Ian dan Bu Eva mengangguk. Mereka pun menuju ballroom dan diantarkan menuju meja mereka.

Seseorang melewati Ian dan Ian langsung menoleh. Sosok yang sepertinya dia kenal. Ian mencari sosok tersebut dan mendapati Febri yang sedang mengobrol dengan orang lain. Ada Febri. Apa artinya Liv juga ada di sini?

“Ian,” panggil Bu Eva.

“Iya, Bu.” Ian berbalik, mengesampingkan rasa penasarannya. 


*** 


Acara penganugerahan selesai dan saat itu pula Ian langsung berpamitan dengan Bu Eva dan Bu Nora. Ian ingin langsung pulang dan tidak ikut bersosialisasi dengan orang-orang. Berbeda dengan kedua ibu itu. Piagam dan piala yang berhasil diraih Ian dan timnya pun Bu Nora yang membawa. Katanya untuk keperluan dokumentasi. Ian tidak keberatan. 

Sebelum menuju mobilnya, Ian berbelok ke toilet. Namun apa yang dilihatnya membuat Ian menghentikan niatannya memasuki toilet. Orang yang berdiri di depan toilet pria menyadari keberadaan Ian dan langsung tersenyum.

Well, lihat siapa yang nggak sengaja ketemu di sini?” Febri tersenyum kelewat ramah dan membuat Ian merasa tidak nyaman. 

“Gue datang ke acara yang sama kayak lo,” Ian tidak pura-pura terkejut atau menutupi bahwa dia tidak tahu Febri datang juga ke acara ini. 

“Memang dunia sempit,” Febri mengangkat bahu dan mengibaskan tangannya. 

Ian benar-benar akan mengabaikan Febri ketika dari toilet perempuan muncul seseorang yang menghentikan langkahnya. 

“Feb, tadi inget nggak aku naro make up di mobil kamu…” 

Febri dan Ian sama-sama melihat ke arah Liv yang keluar dari toilet sambil merogoh tasnya. Liv menurunkan tasnya untuk melihat Febri dan mendadak terkejut karena di sana tidak hanya ada tunangannya. Di sana juga ada mantan pacarnya. 

Mulut Liv menutup segera dan berpaling. Tanpa mempedulikan Febri, Liv hampir berlari menjauhi kedua pria itu. Tangannya mencengkram erat tas tangannya.

“Liv!” Ian berlari secepat mungkin dan menghadang langkah Liv. Segera Ian memegang tangan Liv. 

“Lepas,” Liv menarik-narik tangannya tapi Ian tidak melepaskan tangan Liv. 

“Ada yang harus aku bilang,” Ian memulai. Sudah beberapa kali Ian mencari kesempatan menemui Liv. Jelas Ian tidak bisa menghubungi Liv karena Liv memutuskan semua hubungannya dengan Ian. Crystal juga tidak mau membantu Ian karena Crystal lebih setuju Liv bersama Febri. Mendatangi kantor pun tidak bisa jadi pilihan. Liv lebih sering berada di luar, di tempat yang tidak bisa Ian prediksi. Maka saat ini, ketika Liv ada di depan kedua matanya, Ian tidak akan melepaskan kesempatan itu. 

“Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi, Ian,” Liv menolak memandang wajah Ian. Liv terus menarik tangannya dari pegangan Ian. 

“Hei, lo menyakiti tunangan gue,” Febri menghampiri mereka.

“Gue cuma mau bilang sesuatu ke Liv. Sebentar. Sedikit,” Ian melihat Febri sekilas lalu kembali menatap Liv.

“Tapi nggak pake nyakitin segala,” Febri menarik tangan Ian dan Ian segera melepaskan cengkramannya dari tangan Liv. Liv segera mundur menjauhi Ian. 

“Liv, tolong dengarkan aku.” Ian kembali menghampiri Liv.

Liv malah bersembunyi di balik tubuh Febri. Febri segera meraih Liv ke pelukannya dan menarik Liv menjauhi Ian. Ian tidak bisa kehilangan kesempatan lagi untuk memberitahu semua ini kepada Liv. 

“Liv, kita bukan adik kakak!” Ian berteriak. 

Teriakan Ian sukses membuat Liv berhenti. Febri juga. Dia menoleh kaget kepada Ian. Tidak tahu menahu tentang masalah ini. Febri hanya tahu bahwa Liv dan Ian putus karena ada masalah perbedaan prinsip. Kenapa sekarang mereka membahas soal adik kakak?

“Aku anak angkat. Aku bukan anak kandung Pak Reza dan Bu Elsie. Kamu yang anak kandung Pak Reza, Liv.” Ian kembali berseru. 

Perlahan Liv menoleh ke belakang. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketidakpercayaan. Ian merasa dia berhasil mengambil perhatian Liv. Segera Ian berusaha mendekati Liv dan Febri. Secepat itu pula Liv kembali berbalik dan menyeret Febri menjauhi Ian. 


*** 


Apartemen barunya tidak memiliki balkon tempat Liv bisa duduk di sofa dan menatap langit. Akan tetapi apartemen barunya memiiki jendela besar di kamar tidur yang memungkinkan Liv menaruh sofa di tepi jendela dan menaruh dagunya di ambang jendela yang terbuka. 

Malam ini Liv membuka jendela lebar-lebar dan menaruh dagunya di ambang jendela. Angin kencang menerpa wajahnya tapi Liv tidak peduli. Dia lebih mempedulikan kata-kata Ian tadi. Kata-kata bahwa mereka tidak memiliki hubungan darah. Dengan demikian mereka sebenarnya sah saja jika menjalin hubungan. 

Akan tetapi Liv tidak bisa semudah itu kembali kepada Ian. Dia punya Febri sekarang. Liv punya Febri yang sudah dia pilih untuk jadi pasangan hidupnya. Bahkan keluarga Febri sepakat untuk datang ke Surabaya dua minggu lagi untuk melaksanakan acara lamaran. Tanggal pernikahan pun sudah ditetapkan, bersamaan saat mereka menetapkan tanggal lamaran. 

Liv memejamkan matanya. Lagipula, apa yang Liv inginkan adalah kembali kepada Ian? Masihkah Liv punya perasaan pada Ian?

Liv tertidur di sofa samping jendelanya. Tanpa mengganti pakaiannya. Tanpa menentukan kemana perasaannya tertuju. 


***  


“Liv, nggak mau sekalian liat-liat koleksi bajunya? Tante Anne Avantie kebayanya bagus-bagus lho,” Crystal berseru girang begitu memasuki butik Anne Avantie. 

Desainer ternama ini akan mengadakan peragaan busana untuk koleksi barunya. Crystal dipilih untuk membawakan dua baju. Sekarang Crystal datang untuk melakukan fitting dan Liv menemani.

“Nggak usah, Crys,” Liv tersenyum sedikit. Sebelum Crystal bisa mencecarnya lagi, Liv mencari asisten Anne Avantie yang membuat janji dengannya. 

“Mungkin bisa jadi referensi kebaya buat akad, Liv,” Crystal kembali menggoda Liv saat Crystal sedang mencoba pakaian yang akan dia bawakan.

“Iya, Crystal,” Liv kembali menggeleng.

“Liv akan menikah?” Anne Avantie sendiri menoleh langsung kepada Liv yang sedang duduk menunggu. 

“Iya, Tante. Bulan kemarin baru dilamar sama pacarnya. Minggu depan mau lamaran sama keluarga. Terus nikahannya rencananya…”

“Crystal, stop.” Liv berkata tegas. Crystal terkejut karena sikap Liv yang mendadak galak. “Lebih baik fokus dengan pakaianmu saja.” 

Crystal mengangguk. Liv menatap Anne Avantie dan mengangguk, meminta maaf. Khawatir akan menimbulkan permasalahan lainnya, Liv menunggu di luar. Setiap sendirian, Liv selalu memikirkan kata-kata Ian. Kata-kata yang sekarang membuatnya ragu. 

 “Liv, fitting-nya sudah selesai,” Crystal sudah kembali berdiri di sampingnya. 

“Oh oke. Ayo kita langsung ke kantor,” Liv mengeluarkan kunci mobilnya. 

“Lo ada yang mau diceritain?” Crystal memegang tangan Liv. 

“Kok nanya kayak gitu?” Liv mengernyit.

“Lo tahu kan kita itu bukan sekedar manajer sama artisnya. Lo udah kayak kakak gue sendiri. Bahkan kayaknya gue lebih akrab sama lo daripada Jade. Jadi gue tahu kalau lo lagi galau dan ada pikiran.” Crystal berkata begitu serius sampai membuat Liv terenyuh.

“Ya udah gue ceritain. Tapi nggak di sini ya. Sekalian gue panggil Mel dulu. Gue juga butuh dia denger,” Liv menepuk pundak Crystal lalu berjalan lebih dulu menuju mobil. Crystal mengikuti di belakangnya. 


*** 


“Suara hati lo bilang apa?” Mel bertanya cemas setelah Liv selesai menjelaskan semua ceritanya. Sementara Mel sudah menemukan suaranya, Crystal masih terbengong-bengong.

“Dia milih golput,” Liv mengambil Ice Lychee Tea dan meminum sedikit. 

“Yeh masih aja bisa bercanda,” Mel mendengus.

Crystal tertawa terbahak sambil menepuk-nepuk meja. 

“Manajer lo gila,” Mel menunjuk Liv kepada Crystal.

“Pastinya,” Crystal setuju.

“Gue nggak tau, Mel, Crys. Otak gue seakan berhenti berfungsi setelah Ian bilang begitu. Lo tau, gue sebenernya pengen balik kanan dan minta dia jelasin semuanya. Tapi gue nggak bisa. Ada Febri di situ,” Liv menggeleng.

“Terus kenapa?” Mel menekankan nada di kata ‘kenapa’. Seakan menunjukkan bahwa ada tidaknya Febri seharusnya tidak menahan Liv untuk mendengarkan penjelasan Ian.

“Ya lo gila aja. Gue udah tunangan sama Febri terus gue tetap ngobrol sama Ian gitu? Apa dia nggak bakal mikir bahwa gue masih suka sama Ian?”

“Yang sebenarnya masih kan?” Crystal menyeletuk. 

Liv dan Mel berbalik pada Crystal, keduanya membelalak. Tidak satupun diantara mereka bersuara. Sampai Liv kemudian air mata Liv menetes.

“Masih, Crys, masih…” 


*** 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?