Miserable Fate - 40
Spiderflower
Kawin lari yuk!
Mel merapikan rambut Liv dan kembali bertanya untuk kesekian kalinya. “Are you sure?”
“Apa lagi yang lo ragukan, Mel?” Liv balas menatap Mel dari cermin.
“Lo, bukan gue. Gue tahu lo sebenernya masih ragu kan?”
“Sudah bukan saatnya lagi gue ragu dan mundur, Mel. Ini pilihan gue,” Liv berkata dengan suara pelan. Mel tahu pasti bahwa Liv sebenernya masih ingin bersama Ian. Saat mereka terbang dari Jakarta ke Surabaya, Liv tertidur dan beberapa kali menggumamkan nama Ian.
“Gue bisa cari Ian sekarang juga kalau lo mau. Biar dia ngobrol sama lo langsung. Kemudian lo bisa pastikan lo akan melanjutkan tunangan sama Febri atau lo pergi sama Ian.” Mel menghampiri tasnya dan mengambil ponsel.
“Jangan, Mel. Jangan. Keluarga Febri sebentar lagi datang ke sini. Nggak mungkin gue batalin semua demi pergi sama Ian.” Liv bangkit dari kursi dan mengambil ponsel dari tangan Mel.
“Tapi...” Mel ingin membantah. Mel tidak mau nanti Liv menyesal di kemudian hari.
“Liv,”
“Ya, Ma,” Liv dan Mel berbalik saat didengar suara ibunya yang memanggil. Keduanya langsung membeku di tempat begitu melihat Nita tidak hanya datang sendiri.
Ian berdiri di ambang pintu kamar Liv.
***
Sehari sebelumnya.
“Ada apa, Elsie?” Nita mengangkat telepon di rumahnya.
“Ian bilang… Liv sudah dilamar oleh pacarnya?”
“Iya, betul,” Nita menjawab pelan.
“Kalian sudah yakin?”
“Sepertinya Liv sudah yakin. Dia sedang dalam perjalanan kemari dari Jakarta. Keluarga Febri juga malam ini akan terbang kemari. Besok akan ada acara lamaran resmi untuk mereka berdua.” Nita menjelaskan.
Di ujung sana, Elsie memejamkan matanya. Merasa sangat menyesal. Seharusnya sejak awal dia ceritakan ini pada Ian dan Liv. Supaya Liv tidak terlanjur memilih pria lain. Kekecewaan Elsie di masa lalu yang membuat dia gengsi dan tidak mau mengakui semuanya. Sekarang putranya sendiri yang jadi korban. Ian tidak lagi mau terbuka kepadanya seperti dulu dan Ian benar-benar seperti sudah melupakan keluarganya di Surabaya.
“Jam berapa acara lamarannya berlangsung?” Tanya Elsie setelah kembali menemukan suaranya.
“Rencananya jam 1 siang, Elsie. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Semoga… semuanya lancar.”
“Iya, terima kasih.”
Elsie tidak menunggu lama lagi. Segera dia menelepon putranya dan seperti sudah diduga, Ian menolak mengangkat telepon ibunya. Elsie tidak menyerah, dia mencari nomor telepon kantor Ian dan berpura-pura sebagai klien. Ian terjebak dan mengangkat telepon ibunya sendiri.
“Halo?” sapa Ian pada penelepon yang kata resepsionis, punya tawaran kerja sama.
“MAU SAMPAI KAPAN KAMU MENGABAIKAN MAMA?”
Ian langsung menjauhkan gagang telepon karena telinganya berdenging.
“Ma?”
“Kamu tega ya, Ian. Kesalahan Mama dan Papa kan sudah masa lalu. Sekarang Mama berusaha menebusnya. Kamu malah nggak mau ngobrol lagi sama Mama sama sekali. Jahat kamu,” Elsie berkata dengan menggebu-gebu.
“Ma, bukan gitu maksud Ian…”
“Lalu apa? Liv akan resmi tunangan besok dengan Febri. Kamu pulang sekarang ke Surabaya dan temui Liv. Kalau setelah itu Liv sama sekali nggak mau ketemu kamu lagi, kamu boleh nyuekin Mama selamanya.”
“Apa?” Ian tidak percaya dengan pendengarannya. Ibunya tidak bermaksud menyuruh Ian merusak acara pertunangan orang lain kan?
“Jangan bilang kamu budek sekarang ya. Cepat!”
Elsie menutup telepon dan membuat Ian membeku di tempatnya berdiri. Ian melemparkan telepon ke tempatnya dan langsung berlari ke ruangannya, mengepak barang-barangnya.
Ian sampai di rumahnya hampir tengah malam. Ibunya masih bangun dan menunggu Ian sampai di rumah. Dijelaskannya bahwa Liv akan mengadakan pertunangan besok pukul 1 di rumahnya. Ibunya meminta Ian datang ke rumah Liv sebelum acara berlangsung. Meminta Ian untuk memastikan kembali perasaan Liv kepada dirinya.
***
“Ian mau bertemu kamu, Liv,” ujar Nita pada putrinya yang masih ternganga. “Mel.”
Mel mengangguk mengerti. Dia menghampiri Nita dan meninggalkan Ian bersama Liv. Ian masuk ke kamar Liv, menutup pintunya. Liv mundur seiring Ian yang berjalan mendekat.
“Liv, kita perlu bicara,” Ian memulai.
“Nggak. Nggak perlu. Nggak ada lagi yang perlu dibahas,” Liv menggeleng-geleng. Berbalik memunggungi Ian, Liv menutup telinganya.
“Liv, please,” Ian mendekati Liv, berdiri satu langkah di belakang Liv. “Kamu tahu bahwa kita nggak ada hubungan darah. Aku minta maaf karena meskipun aku anak angkat, ayah kita lebih banyak menghabiskan waktu denganku daripada dengan kamu yang anak kandungnya. Aku nggak bermaksud seperti itu. Aku juga nggak tahu semua kenyataan itu hingga kemarin ibuku datang ke kantor dan menjelaskan semuanya. Aku juga mau kamu tahu, Liv. Bahwa aku masih cinta kamu dan aku tahu ini semua masih bisa diperjuangkan.”
Liv memeluk tubuhnya, air mata mengumpul di sudut matanya.
“This is too much, Yan. Ibuku yang ternyata istri kedua, aku yang lahir karena istri pertama ayahku tidak bisa punya anak, orang yang aku sayang ternyata saudaraku, walaupun tidak sedarah. Kemudian Febri datang saat aku putus asa karena tidak bisa bersama kamu lagi. Lalu semua kenyataannya terbuka. Dalam keadaan aku sudah bersedia menikah dengan Febri. This is too much, Ian. Too much.”
“I know, Liv. I know,” Ian menghampiri Liv dan memeluk Liv dari belakang. Liv tidak menolak. “Biarkan semua kisah orang tua kita, kita simpan di belakang. Ibuku dan ibumu mulai berhubungan dengan baik. Mereka mau yang terbaik untuk kita. Untuk itu aku datang kemari. Aku sekali lagi ingin memastikan apakah kamu benar-benar mencintai Febri dan mau menikah dengannya? Liv kita masih punya kesempatan.”
“Kita sudah bahas ini berulang kali ketika kita ketemu terakhir kalinya. Kita sudah sama-sama tahu bahwa ini keputusan final. Aku akan menikah dengan Febri,” Liv berkata dengan suara getir. Tubuhnya mulai gemetar. Air matanya perlahan mengalir.
Ian mencium bagian belakang kepala Liv dan memeluknya semakin erat. Liv masih menangis tapi dia memegang tangan Ian yang melingkari tubuhnya. Ian, sosok yang selalu dia rindukan dan tidak bisa dia lupakan sedetik pun.
“Aku mencintai kamu, Liv. Sungguh. Tidak sedetik pun aku bisa lupa kamu bahkan sejak kita masih dianggap kakak beradik. Apalagi sekarang ketika kita tahu kenyataannya seperti apa. Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi begitu saja. Ketika kita berpisah pun, kamu harus tahu bahwa aku masih gak ikhlas. Aku masih mau berjuang untuk kamu dan ini waktunya. Kalau setelah ini kamu benar-benar mau memilih Febri, aku pasrah, Liv. Setidaknya kamu tahu bahwa aku masih ingin kamu ada di sampingku.”
Liv memejamkan matanya. Kali ini hatinya tidak golput. Hatinya tahu ke mana dia mengarah.
“Aku juga sayang kamu, Ian. Aku masih sayang kamu,” Liv membiarkan dirinya direngkuh Ian ke dalam pelukan Ian. Liv menyandarkan kepalanya di dada Ian dan memejamkan matanya. Ian menciumi kepala, pipi, dan leher Liv.
Liv berbalik menghadap Ian. Sekali lagi menatap mata yang tersembunyi di balik kacamata. Ian balas menatapnya dengan rasa cinta dan kesungguhan yang belum pernah Liv lihat sebelumnya. Tanpa menunggu lagi, Ian mencium bibir Liv dan Liv balas menciumnya dengan penuh hasrat. Ian mempererat pelukannya di tubuh Liv dan Liv memegang baju Ian seakan tidak mau berpisah lagi.
“Ayo pergi,” bisik Ian saat jeda ciuman mereka.
“Apa?”
“Pergi. Tinggalkan acara pertunangan ini dan aku akan langsung mengajak kamu menikah,” kata Ian lagi.
“Ian, kamu gila ya?” Liv berseru tidak percaya.
“Sekarang sudah hampir jam 12, Liv. Sebentar lagi keluarga Febri akan datang. Kamu berencana untuk membatalkan pertunangan di hadapan seluruh orang?”
“Iya. Iya itu yang aku pikirkan tadi,” Liv menatap Ian tidak percaya. Sekarang Ian sedang melongok ke jendela kamar Liv.
“Yang bisa jadi mereka tidak akan menerima pertunangannya dibatalkan. Liv, sudah berapa persen persiapan pernikahan kamu dan Febri?” Ian berbalik menatap Febri.
“Sudah… banyak.” Liv mendesah. “Tapi Ian, kabur?”
“Kita pergi dulu dari sini kemudian kamu bisa telepon ibumu dan setelah itu kita bicara dengan Febri. Tapi tidak dengan seluruh keluarganya mendengarkan.” Ian kembali menghampiri Liv. “Ayo, Liv.”
Liv masih tidak percaya bahwa dia diajak kabur di hari pertunangannya. Setelah menatap Ian beberapa menit, Liv menunduk. Dia menjauhi Ian dan segera mengambil barang-barang pribadinya.
“Ayo,”
Ian mengangguk. Dia langsung membuka jendela kamar Liv dan memanjat keluar. Beruntung kamar Liv berada di lantai 1 dan berada dekat sekali dengan pagar. Liv mengangkat roknya dan memanjat keluar mengikuti Ian. Mereka berjingkat-jingkat agar Nita dan Mel beserta keluarga Liv lain yang ada di dalam tidak bisa melihat mereka.
Ian mengajak Liv menuju mobil yang diparkirkan di luar. Liv masuk ke kursi penumpang dan Ian ke balik kemudi. Begitu mereka berdua berada di dalam mobil, Ian langsung menjalankan mobilnya.
“Kita ke mana sekarang?”
“Bandara. Kita akan menikah di Bali,”
***
Nita melihat layar ponselnya dan langsung lemas begitu melihat pesan yang dikirimkan putrinya.
“Tante?” panggil Mel karena melihat ibu dari sahabatnya yang seperti kena serangan jantung.
“Liv,” Nita mengulurkan ponselnya. Mel mengambil ponsel itu dan melihat tulisannya.
Ma, aku minta maaf. Aku pergi dengan Ian. Aku akan jelaskan semuanya kepada Febri. Aku ternyata nggak bisa bertunangan dengan Febri. Mama jangan dulu cari aku. Aku baik-baik saja. Love you, Ma.
“Oh God, Liv!” Mel menggeleng, memijat kepalanya yang terasa pening.
***
“Feb,” sapa Liv melalui telepon.
“Hai, aku baru saja akan pergi ke rumah kamu,” balas Febri dengan nada ceria.
“Aku minta maaf Feb. Aku nggak bisa bertunangan dengan kamu. Aku, aku pergi…” Liv menjelaskan dengan terbata-bata.
“Ini pasti karena Ian. Kamu lebih memilih dia kan? Jangan bilang dia yang berhasil membujuk kamu pergi?” Suara Febri mendadak terdengar murka.
“Aku memang belum bisa melepaskan Ian. Aku minta maaf, Feb. Aku akan jelaskan semuanya kalau kita bertemu langsung. Tapi tidak sekarang. Aku minta maaf, Feb.”
“Kamu di mana?” Febri mendesis.
“Aku nggak bisa bilang. Maaf, Feb. Sekali lagi aku minta maaf,” Liv langsung menutup teleponnya dan mematikannya. “Apa kita salah, Yan?”
“Iya dan tidak,” Ian mengulurkan tangannya untuk membelai kepala Liv. Liv meraih tangan itu dan menggenggamnya.
***
“Masih kebagian tiket?” tanya Liv saat Ian kembali dari konter tiket.
“Last flight,” jawab Ian. Dia duduk di samping Liv dan meraih Liv ke dalam pelukannya.
“Nekat banget,” Liv menyandarkan kepalanya di dada Ian.
“Aku tahu,” Ian mengangguk.
Mereka berdua duduk dan saling diam. Masih ada beberapa jam sampai waktu keberangkatan mereka ke Bali. Liv tidak tahu apa yang mereka lakukan untuk mengisi waktu. Ke mana pun Ian mengajaknya, Liv akan ikut.
Baru saja saat Liv akan memejamkan matanya, suara derap kaki dan teriakan orang membuatnya kembali terjaga. Ian berdiri dan Liv ikut berdiri. Di hadapan mereka Febri menghampiri dengan wajah luar biasa marah.
“Brengsek lo,” Febri menarik kerah kemeja Ian dan langsung menghantamnya dengan tonjokan di wajah.
“Ian!” Liv menghampiri Ian yang tersungkur.
“Jadi kamu memilih dia?” Febri berpaling kepada Liv. “Oke. Oke memang selama ini aku cuma jadi pelarian kamu kan? Kamu nggak pernah benar-benar memilih aku.”
“Febri, aku minta maaf. Aku mau mencoba denganmu. Sungguh,” Liv berbalik kepada Febri setelah Ian berdiri kembali.
“Mencoba menjadikan aku ban serep? Bah. Kamu nggak pernah pedulikan perasaan orang lain selain perasaan kamu sendiri, Liv!”
Duak!
Giliran Ian yang menghajar wajah Febri. Liv memekik kaget. Mundur karena terkejut akan keberanian Ian.
“Stop! Kalau kalian nggak berhenti berantem, kalian bakal ditangkap!” Liv berteriak histeris. Cepat-cepat dia menarik Ian dan memeluknya.
“I’ve wasted my time for you, Liv. I’ve tried to make you mine. To make you the happiest woman by my side. And you choose this scumbag over me. It’s okay. It’s your lost. I have never really loved you anyway.”
Hati Liv terasa teriris mendengar kalimat terakhir Febri. Ian sepertinya merasakan bahwa kata-kata Febri cukup meyakinkan juga. Karena dia seperti ingin melepaskan diri dari pelukan Liv untuk menghajar Febri lagi. Tapi Liv memeluk Ian semakin erat untuk mencegah Ian melakukan kekacauan lainnya.
“Thank you for everything, Liv. Thank you,” Febri mendesis dan setelah itu suasana hening.
Liv belum melepaskan pelukannya pada Ian. Liv bahkan belum ingin bergerak sama sekali. Baru saat Ian memeluknya dan mengatakan bahwa Febri sudah pergi, Liv berani mendongakkan kepalanya.
“Semua baik-baik saja,” Ian meyakinkan.
“Aku tahu, aku tahu,” balas Liv tanpa melepaskan Ian dari pelukannya.
***
Komentar