Miserable Fate - 13

 Mint


Kehangatan rasa, kebaikan


Ian memegang mangkuk berisi Indomie dobel dengan telur rebus, sayur, dan cabe rawit sebagai pelengkap. Dia duduk dengan fokus menonton TV sambil mengunyah. Di sampingnya, Liv memakan roti bakar Nutella, menonton dan sekali-kali menatap Ian. Tampaknya Ian sudah mandi. Wajahnya terlihat bersih, pakaiannya rapi, dan tentu saja dia wangi. Liv baru menyadari. 

“Lo nggak ada rencana kemana-mana hari ini Yan?” Liv membuka obrolan. 

Ian menggeleng lalu menyuapkan mie ke mulutnya. Setelah dia menelan, Ian lanjut menjawab. “Gue mau istirahat seharian di rumah. Seminggu kemarin gue lembur terus.” 

“Oh gitu,” Liv mengangguk, kembali memakan rotinya. Ketika Ian tidak terlihat akan mengajukan pertanyaan lain, Liv sedikit gemas. “Lo gak mau tanya apa aktivitas gue hari ini?” 

Ian menoleh kepada Liv, terlihat bingung dan mengangkat alisnya. “Kenapa gue harus tanya?” 

Liv memutar bola matanya. Ian kembali menyebalkan. Ke mana Ian yang tadi malam begitu pengertian dan membuat Liv merasa begitu nyaman?

“Biar imbang gitu. Gue tanya, lo jawab. Gantian,” Liv mendengus. 

“Nggak perlu gue tanya kalau gue nggak mau tahu,” kata Ian lalu kembali menikmati mie-nya. Liv semakin geram tapi dia tidak marah. Ian memang begini orangnya. 

“Gue tadinya mau di rumah aja juga. Gue capek, pengen berenang aja mungkin. Tapi tadi ternyata Crystal telepon gue. Minta maaf dan minta ketemu,” Liv akhirnya menceritakan rencananya meskipun Ian tidak bertanya. 

“Dan lo mau ketemu?” 

“Menurut lo, gue temui atau nggak?” Liv malah balik bertanya. 

Why not, Liv?” Ian menghadap Liv sepenuhnya. Ternyata mangkoknya sudah kosong. Pantas saja kali ini Liv mendapat perhatian penuh. 

“Ya, gimana ya, masih agak kaku aja gitu setelah kemarin berantem gede-gedean. Bukannya gue childish dengan nggak mau ngomong dengan Crystal. Tapi kayak, gue masih perlu waktu buat menenangkan perasaan gue sendiri…” 

“Nggak usah ketemu kalau gitu,” 

“Heh labil,” celetuk Liv. 

“Bukan. Maksud gue, nggak perlu ketemu dulu hari ini. Take your time, and maybe Crystal too. Besok hari Minggu, mungkin kalian bisa girls’ time seharian,” Ian mengangkat bahunya. Sejujurnya dia sendiri tidak tahu bagaimana treatment bagi kedua perempuan yang bertengkar. 

“Mungkin lo bener. Gue bilang aja gue nggak enak badan tapi gue usul besok kita ketemuan. Gimana?” Liv mengambil ponselnya dan bersiap mengetik. 

“Oke,” Ian mengangguk. 

Liv ikut mengangguk dan jemarinya langsung meluncur di layar. Diam-diam Ian memperhatikan Liv mengetik namun tidak lama. Segera Ian kembali mengalihkan tatapannya ke TV. Saat menonton TV, Ian tiba-tiba teringat sesuatu. 

Dia bilang gue nggak peduli sama Crystal. Dia bilang gue malah sibuk pacaran.

“Lo nangis-nangis kemarin… gak curhat ke pacar lo?” Ian mendadak bertanya. Pertanyaannya membuat Liv membeku dalam kegiatannya menghubungi Crystal. Liv menolehkan kepalanya dengan ekpresi heran. Ian, sementara itu berusaha tetap santai dan tidak terlihat terlalu ingin tahu.

“Hah? Gue gak punya pacar,” seru Liv dengan volume lebih tinggi dari biasanya.

Ian mengernyit. “Tapi…” 

“Lo ngira gue punya pacar?” Mata Liv menyipit tapi dia seperti ingin tertawa. 

“Yah, gue pernah liat lo pegangan tangan sama cowo dan tadi malam Crystal bilang lo terlalu sibuk pacaran…” 

“Ohh itu,” Liv bersandar ke sofa dan menatap TV. Tidak melihat Ian yang sedang menatapnya dan menunggu responnya. “Itu Febri. Sebenernya cuma kenalan, kenal waktu Crystal promo ke radio. Crystal sih jodohin gue sama Febri dan baru beberapa kali jalan bareng aja. Tapi bukan pacar kok.” 

Ian mendengarkan dengan seksama. Berarti bukan pacar.

“Kenapa emangnya, Yan?” Liv menaruh ponselnya agar fokus kepada Ian. Bibirnya tersenyum geli. Membuat Ian sedikit salah tingkah. Sedikit.

“Gak apa-apa. Jangan sampai gue dianggap pebinor,” Ian berdeham. Cepat-cepat dia berdiri lalu menaruh mangkok di tempat cuci piring. “Piring lo, sini.” 

Liv memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh mengenai kenapa Ian ingin tahu dia sudah punya pacar atau belum. Ian sudah membantu menenangkannya tadi malam. Liv tidak perlu membuat Ian merasa bersalah atau salah tingkah. 

“Thank you,” Liv tersenyum saat menyerahkan piring dan berdiri di samping Ian yang langsung mencuci piring dan mangkuk. 

“Sama-sama,” balas Ian tanpa menatap wajah Liv.


*** 


Belum pernah Liv memasuki rumah besar ini dengan perasaan ragu dan sedikit khawatir. Baru sekarang ini saja. Liv dan Crystal setuju agar mereka bertemu di rumah Liv saja. Mereka butuh waktu bersama dengan nyaman dan bukan di hadapan banyak orang seperti di mall ataupun kafe ataupun salon. Rumah Crystal menjadi pilihan karena di sini mereka bisa menjadi diri mereka sendiri. 

“Liv,” sapa Tante Amora begitu Liv menjejakkan kaki di teras depan. Entah apa mungkin Tante Amora sudah menunggu-nunggu kehadiran Liv juga sehingga beliau bisa muncul tepat waktu. 

“Tante,” Liv mencium tangan Tante Amora. “Udah lebih tenang, Tante?”

“Syukurlah sudah. Untung banget Tante gak sampe jantungan, Liv,” ujar Tante Amora merangkul pundak Liv sembari memegang dadanya. “Tante gak tahu gimana kalau sampai beneran Crystal ternyata pengguna.”

“Gak mungkin, Tan,” Liv memegang tangan Tante Amora yang ada di pundaknya. “Kita semua tahu Crystal anak seperti apa.”

“Iya,” Tante Amora mengangguk. “Terima kasih karena berkat kamu juga Crystal bisa jadi anak seperti sekarang ini.” 

“Bukan apa-apa, Tante,” Liv kembali tersenyum. 

Seiring dengan langkah Liv dan Tante Amora menuju bagian dalam rumah, di kaki tangga rupanya sudah berdiri sang pemeran utama yang menyebabkan kehebohan beberapa hari lalu. Tante Amora langsung menepuk pundak Liv dan meninggalkan mereka berdua. Liv awalnya canggung melihat Crystal yang sekarang sedikit tertunduk. 

“Gimana kabar lo, Crys?” sapa Liv dengan ramah. Sama seperti ketika Liv menyapa Crystal dalam kondisi biasa. 

Perlahan Crystal mengangkat kepalanya. Dia tersenyum semanis yang Liv ingat dari adik tanpa hubungan darah ini. “Much better, Liv.” 

Liv mendekati Crystal sehingga mereka berdiri berhadapan. “Jadi mau ngapain nih kita sampai gue diundang ke rumah lo segala?” 

Crystal tersenyum sedikit. “Gue udah manggil petugas buat home spa. Abis itu nanti nonton film romcom ya. Maid In Manhattan sama Bride Wars kan favorit lo?” 

“Kece!” Liv mengangkat kedua jempolnya. “Sekalian ada popcornnya gak?” 

“Nggak,” Crystal cemberut. “Lupa.” 

“Ya udah, delivery cemilan mecin aja nanti kalau udah kelar. Ayo spa-nya mana? Badan gue udah butuh rileksasi nih,” Liv menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

“Ayo ayo naik sini,” Crystal mengajak Liv naik ke lantai dua. Di kamar Crystal, sudah siap dua petugas yang akan memberikan pelayanan home spa bagi kedua wanita ini. 

Liv sengaja tidak mengungkit apa pun mengenai tragedy yang telah lalu maupun mengenai kemarahan Crystal padanya. Bagi Liv, dengan mereka bersikap seperti biasa tanpa ada rasa canggung pun sudah menunjukkan bahwa mereka berbaikan. Permintaan maaf dan pemberian maaf yang dipahami oleh satu sama lain. 

“Ruby dan Jade, mana?” tanya Liv ketika dia sedang menikmati dipijat. 

“Ruby kerja kelompok. Jade kencan,” jawab Crystal dengan nada malas.

“Apa? Jade kencan?” Liv mendadak sadar 100% setelah dia hampir jatuh tertidur.

“Disuruh Papa. Anak temennya Papa. Gue rasa tuh cowok juga lama-lama takut sama Jade. Galak gitu,” Crystal memajukan bibirnya. 

Liv tertawa terbahak. Tidak terbayang seorang wanita dingin dan super mandiri seperti Jade menurut dijodohkan dengan orang lain. Walau biar bagaimana pun Jade memang masih menghormati kedua orang tuanya. Termasuk jika Jade harus memenuhi permintaan berkencan demi kelangsungan keluarga. 

Liv dan Crystal lanjut membicarakan Jade sampai spa mereka selesai dan TV 60 inch di ruang tamu lantai dua sudah siap menyiarkan JLo dalam Maid In Manhattan. Sebelum memulai menonton, Liv sudah memesan beberapa cemilan manis dan asin untuk menemani acara nonton ini. Untuk kali ini pun Liv tidak melarang Crystal memakan makanan yang biasanya dia larang karena tidak baik untuk suaranya.

“Liv, sebelum filmnya mulai…” Crystal mendadak lebih serius.

“Hmm?” Liv menoleh dengan wafer digigit di mulutnya. 

“Gue minta maaf banget,” kata Crystal. Ekspresinya berubah menjadi serius. Tatapannya sedikit takut. Kepalanya agak tertunduk. “Maaf karena nuduh lo macem-macem. Ngata-ngatain kayak gitu yang gue akuin itu berlebihan banget.”

“Iya, Crys,” sahut Liv kalem. 

“Gue tahu itu sebenernya salah gue. Tapi gue kayak gak mau disalahin dan jadinya malah cari orang lain buat gue marahin,” Crystal mengangkat wajahnya dengan ragu. “Harusnya gue dengerin lo dan Jamie. Kalian lebih dewasa dan sering lebih bijak dan tahu apa yang baik buat gue, gue yang masih suka serampangan ini.” 

Liv hanya tersenyum melihat penyanyi muda yang sudah seperti adiknya sendiri ini.

“Gue menyesal banget. Beneran deh. Padahal lo yang udah larang gue, lo juga yang beresin semua kekacauannya. Gara-gara gue,” Crystal tiba-tiba menitikkan air matanya.

“Lah lah kenapa nangis?” Liv menoleh mencari tisu. Ketika ditemukan, segera dicabutnya beberapa helai dan diulurkannya kepada Crystal.

“Gue dimarih sama Jade. Jade kan galak. Pas dia marah, lebih galak lagi. Kak Jade bilang, gue egois dan kekanak-kanakan. Belum bisa bedain mana yang penting dan nggak,” Crystal malah semakin menangis. Mungkin dia benar-benar takut saat dimarahi kakak sulungnya itu. 

“I know Jade,” Liv menepuk-nepuk pundak Crystal.

“Jadi gue minta maaf lagi ya,” Crystal menarik nafas dan menmbuang ingusnya. 

“Udah gue maafin kok. Untunglah ada seseorang yang bilang supaya gue kasih jeda. Jadi gue bisa menenangkan diri dan ya udah, semuanya sudah lewat deh,” Liv mengangkat bahu.

“Seseorang? Siapa? Febri?” Crystal mengangkat wajahnya. 

“Ada lah,” Liv mengibaskan tangannya. 

Ketika tangisnya sedikit reda, Crystal merentangkan tangannya. “Maaf.” Dengan tenang dan sembari tertawa, Liv balas memeluk Crystal. Akan seperti ini juga rasanya jika Liv mempunya adik sendiri dan mereka melakukan permintaan maaf atas pertengkaran yang terjadi. Apalagi antara kakak beradik perempuan. 

“Jangan bandel-bandel lagi ya,” Liv menyentil kening Crystal. 

“Nggak. Soalnya dimarahin sama Kak Jade lebih ngeri daripada ngadepin BNN sama Polisi,” Crystal merengut.

“Wah bagus itu,” Liv tertawa dan membuat mereka berdua tertawa.

“Liv itu lebih mending dari Jade. Kenapa gak Liv aja jadi kakak gue sih?” 

“Ah, gak boleh gitu. Untung Jade lagi kencan jadi dia gak denger,” Liv merenung. 

“Jangan bilang-bilang pokoknya ya,” Crystal mengacungkan jarinya.

“Ya udah mending sekarang lanjut deh nonton JLo ya,” Liv mengambil remote dan bersiap memulai film.

“Ayo!” Crystal berseru girang dan mengangkat kedua tangannya dengan bersemangat.


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?