Miserable Fate - 10

 Petunia


Tidak pernah putus asa

“Nggak biasanya lo seceroboh ini Yan,” Leo menatap laptop yang terbujur kaku dan divonis tidak dapat digunakan lagi. 

Sh*t happens, Bro,” Ian memijat keningnya. Pusing. Seluruh data pekerjaannya ada di laptop itu. Laptop yang sekarang terpaksa pensiun dini karena terkena siraman Coca Cola. 

“Untung dokumen-dokumen penting di-copy di storage utama kantor,” Leo duduk di kursi di hadapan Ian dan mengelus laptop tipis canggih tersebut. 

“Dan perlu waktu buat gue punya laptop baru dan copy file yang gue butuhkan ke laptop baru itu,” Ian mengusap wajahnya dan menggeleng. 

“Padahal deadline project lo semakin dekat,” Leo menambahkan minyak ke dalam api. 

“Itulah kenapa gue kena omel Mas Aji lagi pagi ini,” Ian menyebut nama Kadiv IT-nya yang tadi menceramahi Ian akan kecerobohannya membuat laptop kantor senilai 20 juta mendadak mati total. 

“Emang kenapa sih bisa rusak begini? Tuh laptop lo bawa mandi?” Leo antara khawatir dan geli sendiri dengan leluconnya. 

Ian memilih tidak menjelaskan bahwa rusaknya laptop ini karena ada seorang perempuan mampir ke apartemennya dan menumpahkan hampir separo isi Coca Cola ke laptop tersebut. 

“Ini pelajaran aja buat gue supaya nggak bawa urusan kerjaan ke rumah. Urusan kerjaan ya dikerjain di kantor aja,” jawab Ian lalu bangkit berdiri. 

“Ke mana lo?” 

“Asset. Mau ngecek seberapa lama lagi laptop baru gue tersedia. Semakin lama gue diem bengong gini semakin cepet gue dapet SP 2,” Ian membawa ponselnya dan berjalan ke luar ruangan. 

“Lah lo di-SP sama Mas Aji?” Leo benar-benar terkejut sekarang. 

“Karena deadline gue kemarin molor dan karena ngerusakin aset kantor,” jawab Ian dengan muram. 

“Ya ampun gue turut prihatin,” Leo menepuk pundak Ian dan mendadak menghentikan langkahnya. Begitu pula Ian. 

“Aku denger katanya laptop kamu rusak. Mau pake laptop aku?” tawar Felis di hadapan Ian dengan wajah prihatin dan gerakan tubuh segenit mungkin. 

“Apa Fel? Pake kamu?” Leo pura-pura budek. 

Ian menjitak kepala Leo sementara Felis mendengus kesal. 

No need to. Thanks Fel. Sebentar lagi laptop barunya juga siap,” Ian tersenyum lalu segera meninggalkan Felis. 

“Ian, aku denger kamu kena SP?” Felis mengejar Ian dan Leo sambil bertanya dengan suara yang membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka.

Ian berbalik, berusaha kerasa menjaga emosinya agar tidak naik ke permukaan. Leo, sementara itu, memutar bola mata dan mendengus. Dia semakin tidak menyukai perempuan di hadapannya ini. 

“Dan lo nggak usah pengumuman ke seluruh orang juga, Fel,” desis Leo.

“Nggak kok. Gue kan cuma nanya,” balas Felis sambil merengut.

Stupid. 

Ian akhirnya memilih kembali berbalik untuk menuju ruangan Asset dan bertanya perihal laptopnya. Dia tidak punya waktu untuk mendengarkan repetan atau godaan Felis yang menurutnya tidak berfaedah. Lebih baik dia mulai kembali bekerja dan mengejar ketertinggalannya.

“Aku beliin makan mau Yan? Supaya perasaanmu lebih baik?” Felis berseru lagi. 

I’d rather eat alone,” jawab Ian pada Leo.

Leo tertawa.


*** 


Ian baru memarkirkan motornya di parkiran menjelang pukul 2 pagi. Dia bekerja lembur di kantor untuk mengerjakan project yang diminta Mas Aji yang deadline-nya mundur menjadi akhir pekan ini. Sudah terlambat 1 minggu dan Ian tidak boleh terlambat lagi. Nanti pagi dia akan kembali datang lebih pagi ke kantor untuk meeting dan kembali bekerja. 

Mendekati pintu kamarnya, Ian sedikit terkejut melihat kantung ditaruh di depan pintunya. Semakin dekat dia berjalan, rupanya di pintu kamarnya tertempel sebuah surat. Ian meluruskan surat itu dan membaca.

Ian!

Gue bener-bener minta maaf soal kemarin. Laptop lo gimana? Bisa diselamtin nggak? Dokumen-dokumennya aman? Yan, kalau ada yang perlu diganti, bilang aja. Gue mau tanggung jawab kok. Gue nggak enak banget soalnya kayaknya lo lagi ngerjain sesuatu yang penting banget gitu. Kasih tau gue yah Yan. Please banget. Biar gue nggak ngerasa bersalah dan barang lo bisa diganti pake apa gitu. Lo bisa ketok kamar gue atau kontak gue aja. Ini nomer gue: 0811xxxxxxx. 

Anyway Yan, gue nggak tahu apa lo punya atau nggak, tapi ini gue ada tab cadangan yang mungkin bisa lo pake. 

Sekali lagi maaf yah Yan. I mean it. 

-Liv

Ian mencabut surat itu dan kemudian berjongkok untuk melihat isi dari kantung yang disimpan di depan kamarnya. Ian merogoh sebuah kotak dan melihat isinya, dia langsung menghela nafas. Sekotak iPad Air yang masih disegel. Kemudian Ian melihat lagi bahwa ada sweater rajut yang tersimpan di bagian bawah. Ian menarik keluar sweater itu dan melihat bahwa Liv memilihkan desain yang cocok untuknya.

Tanpa berkata-kata, Ian membawa benda itu ke dalam apartemennya. 


*** 


“Lo kenapa sih Liv?” tanya Crystal yang semakin kebingungan karena manajernya tidak mau diam. 

“Nggak, nggak apa-apa,” Liv menggeleng lalu mengeluarkan ponselnya. Tidak ada pesan yang dia tunggu. Hanya ada group chat dan pesan dari klien-klien.

“Kalau nggak ada apa-apa kenapa nggak diem deh?” Crystal menggeleng lalu menaruh ponsel untuk mematut dirinya dalam kaca. Mereka sedang bersiap untuk rehearsal Crystal di salah satu acara TV.

“Hehe. Gue kebelet,” jawab Liv asal. 

“Itu toilet di luar. Bersih kok,” tunjuk Crys.

“Setelah gue pikir lagi, gue nggak kebelet,” Liv kemudian duduk dan melipat tangannya. Seperti anak kecil yang dihukum oleh orang tuanya dan harus diam untuk beberapa waktu.

Mata Crys tiba-tiba berbinar dan dia duduk di samping Liv. 

“Lagi nunggu chat dari Febri ya? Gimana progresnya?” 

Liv mengibaskan tangannya. “Gue sama Febri cuma temen.”

“Ah masa?” goda Crystal sambil mendorong pelan tubuh Liv. 

“Dia naksir gue, gue tahu,” Liv mendengus. 

Crystal tertawa. “Pede gila.”

“Terakhir kita jalan bareng tuh dia megang tangan gue gitu. Tiba-tiba aja,” ce;etuk Liv.

“Lo pegang balik nggak?” 

“Yah, iya,” jawab Liv sambil merona malu.

“Berarti lo suka juga kan?” Crystal menunjuk. 

“Nggak berarti apa-apa ya Crys,” Liv berkata sok tegas. 

“Ih ya nggak apa-apa kali kalau lo jadian sama Febri. Asli deh gue ikut seneng. Banget! Febri orangnya baik, ramah, ganteng, seru, pinter,” Crystal melipat jarinya setiap menyebut kualitas diri Febri. 

“Ya lo aja yang pacarin Febri,” Liv menjulurkan lidahnya.

“Terus Jamie dikemanain?” Crytal berdecak, menyebut nama pacarnya. Si Ketua BEM yang pintar. 

“Taro aja di Depok,” jawab Liv asal. 

Crystal tertawa lebar. “Jadi tunggu apa lagi? Kapan kencan lagi?” 

Sebelum Liv bisa menjawab, ponsel Liv berdering. Liv dan Crystal sama-sama melihat ke layar untuk mencari tahu siapa yang menelepon. Nama Febri muncul di layar dan otomatis membuat Crystal tertawa lebih lebar dan mengejek Liv lebih parah. 

Liv yang malu segera mengangkat telepon dan menjauh dari Liv. Padahal bukan telepon dari orang ini yang dia tunggu. Liv menunggu telepon dari Ian. Liv ingin tahu bagaiman kondisi laptop Ian setelah insiden itu. Liv merasa sebenarnya ia dan Ian bisa berhubungan baik jika satu sama lain menurunkan tingakt kegalakan dan kedinginannya. Toh kemarin saat Liv membuatkan kue untuk Ian, Ian tidak bersikap galak sama sekali.

Dengan berat hati Liv menghela nafas. Mungkin memang belum waktunya dia bersikap baik dengan tetangganya itu. Tetangga cupu yang galak.


*** 


Dua minggu berlalu sejak kejadian Liv menumpahkan Coca Cola di laptop Ian. Ian tidak menghubungi Liv seperti permintaan Liv melalui pesan yang ditempel di pintu kamarnya. Ian juga tidak bertemu dengan Liv dalam perjalanan pergi maupun pulangnya. iPad yang diberikan oleh Liv pun masih tersimpan begitu saja di lemari ruang tamu. Ian belum menentukan apan yang akan dia lakukan teradap iPad tersebut. 

Tenggat waktu project-nya sudah selesai. Atasan dan seluruh timnya puas dengan hasil yang dicapai. Hal ini membuat Surat Peringatan Ian dicabut dan dia kembali menjadi karyawan dengan status yang bersih. Ian kembali bisa pulang dan pergi bekerja dalam waktu yang normal. 

Satu hal yang tidak normal adalah ketika Felis masih bertengger di kursinya di Divisi IT ketika dia seharusnya kembali ke tempatnya di Divisi Internal Audit. Ian mengernyit melihat Felis sedang duduk anteng menelepon ketika Ian datang pagi itu. Ian menatap Leo yang datang bersamanya dan Leo pun menggeleng. 

“Ah Ian akhirnya kamu datang,” seru Felis begitu melihat Ian menuju ruang kerjanya.

Langkah Ian terhenti dan dia berbalik menatap Felis. 

“Aku akan kembali ke Audit,” Felis memulai, berdiri dengan pose ala model sedang melakukan pemotretan. Ian menghela nafas lega tapi berusaha tidak menunjukannya. 

“Selamat ya, Fel,” ujar Leo sambil menyembunyikan senyum, menepuk pundak Felis lalu menuju tempatnya sendiri. 

Felis mengernyit tidak mengerti atas sikap Leo tapi dia kemudian memutuskan untuk mengabaikan Leo. Orang yang ingin dia ajak bicara adalah Ian. Orang lainnya tidak penting. 

“Nah ini ada hadiah dari aku, anggap ucapan terima kasih,” Felis mengulurkan sebuah goodie bag The Executive untuk Ian. Ragu-ragu, Ian menerimanya. “Dan aku mau ajak kamu makan malam bareng.”

“Hah?” Ian kembali mendongak. “Dinner?”

Felis mengangguk bersemangat. 

“Hmm, gue nggak tahu, Fel. Masih ada follow up dari project kemarin. Meskipun kelihatannya aman, tapi gue tetep harus mantau beberapa hal,” Ian menghindar dengan berdalih perihal pekerjaannya. Padahal meski dia sedang lowong sekalipun, dia tidak mau makan malam dengan Felis. 

“Ya udah nggak apa-apa. Bilang aja kalau kamu lowong ya. Kamu bisa cari aku di bawah. Yah literally I don’t mind to be under you,” Felis mengedipkan sebelah matanya dan Ian hanya tertawa pelan. “Kalau kamu ada waktu untuk kita makan malam bareng, boleh lho dipakai bajunya. Supaya kamu keliatan kayak waktu Gala Dinner perusahaan kita tahun kemarin.”

Ian mengingat penampilannya saat Gala Dinner tahun lalu dan dia mengangguk. “Oke Fel. Terima kasih atas hadiahnya. Terima kasih juga untuk semua pertolongan lo selama lo di IT. Maaf tapi gue nggak nyediain apa-apa.”

Felis mengangkat bahu dan tersenyum. “Gak masalah. Aku tunggu info dari kamu soal kapan kita bisa jalan bareng ya.”

Ian melemparkan senyum sekali lagi. Tidak menanggapi apapun karena khawatir Felis tidak akan pergi dari hadapannya. Untunglah Felis kemudian berbalik dan mengambil tasnya lalu keluar menuju lift. Dia melambai dan melemparkan sebuah ciuman pada Ian, yang ditanggapi Ian lagi-lagi dengan senyum. Ketika Felis tidak melihatnya, Ian langsung mengibaskan tangannya seperti menepiskan ciuman yang diberikan Felis. 

Akhirnya tenang juga hidup gue di kantor. 


*** 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?