Miserable Fate - 12
Apple Blossom
Keberuntungan, pilihan
Ian bersenandung sangat pelan begitu turun dari motor dan berjalan menuju tower apartemennya. Dia pulang tidak lama setelah matahari terbenam. Sesuatu yang perlu dirayakan bagi Ian sendiri. Ian sudah berencana akan mengeluarkan Xbox dan bermain sampai pagi. Toh besok hari Sabtu. Ian juga tidak lupa akan memesan pizza untuk dia nikmati dengan damai di kamarnya.
Langkah Ian terhenti ketika dia melihat seseorang turun dari mobil sembari menangis. Perempuan itu menutup pintu dan mengambil barang di bagasi sambil tersedu. Pundaknya naik turun dan sesekali dia mengusap matanya dan hidungnya dengan asal. Perasaan Ian terpisah antara turut prihatin sekaligus ingin tertawa melihat adegan itu. Tetapi rasa ibanya lebih tinggi daripada rasa jahilnya sehingga Ian memutuskan untuk menghampiri perempuan itu.
“Kalau nangis ya nangis aja. Gak usah sambil bongkar muat,” ujar Ian saat sudah berada di samping perempuan itu.
Dia menoleh kaget, menatap Ian dengan tidak percaya.
“Abisan, hiks, gimana,” Liv melanjutkan tangisannya lalu tetap mengambil beberapa kotak dari bagasi mobilnya.
Ian menggeleng. Dia mengambil kotak dari tangan Liv lalu menaruhnya di aspal. Setelah itu Ian mengambil kotak lainnya dan menumpukannya di luar.
“Lo dipecat?” Tanya Ian asal saat Liv menutup bagasi dan bermaksud mengambil beberapa kotak untuk dia bawa ke atas.
“Sembarangan, hiks,” Liv menjawab lalu mengelap hidungnya.
Lagi-lagi Ian ingin tertawa melihat Liv yang menangis deras tapi tetap berusaha galak.
“Terus?” Ian penasaran dan dia membantu membawa beberapa barang Liv.
“Gue berantem sama Crystal, hiks,” Tangis Liv jadi lebih deras dan Ian jadi semakin bingung.
“Lo yakin gak mau duduk dulu aja terus selesein nangis lo?” Ian menawarkan, menghentikan langkahnya.
Liv menggeleng. “Gue mau nangis di atas aja,” jawab Liv.
Ian memutar bola matanya. Perempuan yang aneh. “Sini deh,” Ian mengesampingkan kotak yang dia pegang ke tangan kiri kemudian dengan mudahnya mengambil kotak lain di tangan Liv.
Liv tercengang.
“Lo jalan duluan. Gue ngikut di belakang. Barang lo gue bawain. Nggak berat juga,” kata Ian singkat, menunjuk pintu masuk tower mereka dengan dagunya.
Liv menatap Ian dengan air mata yang masih mengalir, ingus yang mau keluar dan make up yang berantakan. “Serius?”
“Semakin sering lo nanya, semakin lama lo naik, semakin banyak orang ngeliatin kenapa ada ondel-ondel nangis. Buruan,” Ian semakin gemas dan dia hampir berjalan lebih dulu.
Liv mengangguk dan akhirnya berjalan cepat. Ian mengikuti Liv dengan langkahnya yang panjang. Ian tahu ada yang salah saat ini. Liv tidak membalas ejekannya ketika Ian mengatakan ia seperti ondel-ondel. Sesuatu yang parah sehingga kegalakan wanita ini mendadak lenyap.
Liv menekan pintu lift sampai terbuka. Kedua orang itu masuk ke dalam lift tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sampai akhirnya mereka tiba di lantai 10. Liv kembali berjalan lebih dulu menuju kamarnya, mengeluarkan kunci, dan membuka pintunya.
Nih cewek masih belum juga ngeset kode buat buka pintu.
“Kotaknya taro di meja aja,” kata Liv sambil menunjuk ruang tamunya.
Ian menaruh kotak-kotak itu dengan hati-hati. Baru dia sadari bahwa ternyata kotak itu berisi pakaian dengan merk-merk terkenal. Mungkin pakaian untuk Crystal atau milik Liv sendiri. Entahlah.
“Makasih Ian,” kata Liv lagi. Wajahnya masih muram dan dia cuma menunduk.
Ian membatalkan niatnya untuk balik kanan dan kembali ke apartemennya sendiri. Dia menutup pintu Liv dan berdeham. Liv mendongak.
“Gue haus. Mau minta minum,” kata Ian cuek.
“Oh,” Liv mengelap air matanya dan bermaksud berjalan menuju dapur.
“Gue ambil sendiri aja. Di mana?” Ian mengulurkan tangan, mencegah Liv bergerak.
“Gelasnya di rak, airnya di dispenser. Kalau yang dingin banget, ada di kulkas,” jawab Liv.
“Oke. Lo duduk aja,”
Liv kebingungan tapi kemudian dia mengangguk dan duduk. Matanya mengikuti Ian yang bergerak menuju rak dan mengambil air di kulkas. Setelah Ian menuangkan air ke dalam gelas, Ian menghampiri Liv dan duduk di sampingnya. Gelas yang berisi air es itu diulurkannya kepada Liv.
“Abis nangis pasti capek. Minum dulu,” kata Ian masih dengan nada sedikit galak.
“Eh?” Liv terkejut. “Kan lo yang haus.”
“Udah nggak,” Ian mengangkat bahu.
Liv tidak berkomentar apa-apa. Diambilnya gelas dari tangan Ian dan diteguknya isinya sampai habis. Harus diakui memang sedari tadi dia begitu haus. Juga lelah. Bertengkar dengan Crystal dan harus menyetir sendiri ke rumah membuatnya lelah.
“Thanks, Yan,” ujar Liv setelah gelasnya kosong. Liv mengambil tisu yang ada di meja dan mengelap wajahnya. Tangisannya sudah tidak sederas tadi walaupun masih ada titik-titik air mata keluar dari wajahnya.
“Lo, er,” Ian mulai bicara lagi dan Liv menatapnya. Ian berdeham pelan sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ada yang lo perlukan?”
Liv menggeleng lalu bersandar ke sofa. Perlahan menggerakkan badannya sehingga kepalanya mendarat di pundak Ian. Tubuh Ian langsung kaku dan wajahnya sedikit merona. Perlahan tangannya merangkul Liv dan mengelus lengan Liv. Ian melakukan ini semata-mata untuk mengurangi kegugupannya.
“Gue sama Crys itu nggak pernah berantem,” Liv memulai. “Meskipun jarak usia kita jauh banget, tapi gue sama Crys udah kayak temen deket banget. Walaupun ada beberapa kelakuannya yang kayak anak bocah dan bikin geregatan tapi masih bisa gue toleransi.”
Ian masih mendengarkan sambil mengelus Liv. Ian sendiri tidak tahu apa yang membuatnya bersikap seperti ini. Seingat Ian, terakhir kali mereka bicara, mereka masih saling mengejek.
“Dia selalu mau mendengar kata-kata gue karena dia tahu bahwa gue benar,” Liv menarik nafas dalam dan Ian merasa ada kesulitan saat Liv akan menceritakan bagian berikutnya. “Kecuali kemarin malam.”
Kali ini Liv mulai menangis lagi, badannya sedikit bergetar dan Ian ganti mengelus rambut Liv. “Dia keukeuh mau dateng ke grand opening night club karena katanya band favorit dia main di situ. Gue udah larang dia, Jamie juga udah nggak kasih izin. Tapi Crystal keukeuh ingin pergi dan akhirnya dia pergi sendiri. Dia gak bilang gue, gak bilang Jamie, gak bilang orang tuanya, gak bilang asistennya.”
Ian tidak tahu siapa itu Jamie tapi Ian tidak bertanya.
“Tiba-tiba ada polisi sama BNN ngegerebek tempat itu karena katanya ada peredaran obat-obatan. Crystal termasuk yang dicek apakah dia make atau nggak.”
Ian menahan nafasnya.
“Beritanya langsung muncul dimana-mana. Online, acara gosip di TV, akun gosip di Instagram. Semuanya ngeberitain bahwa Crystal dicurigai pake obat. Lo gak tahu komentar netizen yang ngehujat Crystal gara-gara itu tajamnya kayak apa. Walaupun malam itu juga gue, Jamie, dan orang tua Crystal langsung jemput dia di kantor polisi dan Crys dinyatakan negatif narkoba.”
Diam-diam Ian merasa lega.
“Pagi tadi gue langsung ke rumah Crystal buat ngeliat kondisi dia. Gue hampir mau ngomelin dia karena nggak mau dengerin kata-kata gue dan pacarnya sendiri.”
Oh Jamie itu pacarnya Crystal.
“Tapi gue malah dimarahin balik sama Crystal. Dia bilang gue nggak becus jadi manajer. Harusnya gue bisa jaga dia supaya nggak dateng ke pesta yang nggak ‘aman’. Harusnya gue juga yang bisa mencegah berita-berita yang bergerak liar itu supaya berhenti dan nggak muncul ke permukaan. Dia bilang gue nggak berdedikasi. Dia bilang gue nggak peduli sama Crystal. Dia bilang gue malah sibuk pacaran.”
Ian mendadak merasa tidak nyaman. Jadi Liv sudah punya pacar?
“Gue langsung pergi dari rumah Crystal dan balik ke kantor. Gue berusaha banget buat ngurangin opini negatif orang-orang terhadap Crystal. Gue berusaha sekuat gue, ngehubungi temen-temen media, minta Crystal buat klarifikasi. Beritanya memang udah clear lagi bahwa Crystal cuma ada di tempat yang salah di waktu yang salah. Tapi sampai tadi sore pun Crystal masih marah sama gue. Masih banyak orang yang tiba-tiba bully dia padahal selama ini dia selalu dipuji-puji. Akhirnya karena gue udah pusing banget, Jade yang mendadak balik dari Singapura akhirnya nyuruh gue pulang dan biar dia yang ngasih pengertian sama adiknya.”
Liv menghentikan ceritanya. Dia masih tersedu. Ian memutuskan mengabaikan pertanyaan perihal apakah Liv sudah punya pacar atau belum dan mengalihkannya menjadi memeluk Liv dan membelai rambutnya. Biasanya Ian melihat Liv sebagai orang yang selalu galak, tapi ceria sekaligus berani. Sekarang Ian melihat sisi manusiawi Liv yang lain.
“Gue cuma sakit hati karena Crystal nggak percaya sama gue, Yan,” Liv mengubah posisi duduknya. Entah Liv sadar atau tidak, dia meringkuk dan memeluk Ian, menenggelamkan wajahnya di dada Ian.
Ian membeku di tempatnya. Tidak menyangka bahwa Liv akan melakukan ini padanya. Mendadak badan Ian terasa panas dingin. Dia menunduk dan melihat ternyata Liv sudah tidur. Ian menggeleng. Diperbaikinya posisi tubuh Liv dan dirinya sendiri sehingga Liv bisa tidur dengan nyaman di pelukan Ian.
***
Liv merasa badannya terasa berat tapi dia harus tetap bangun. Ketika kedua matanya dibuka, Liv langsung melihat wajah Ian yang sedang terlelap hanya lima senti jaraknya. Liv menghela nafas, pundaknya turun. Dia pikir Ian sudah pulang tidak lama setelah Liv curhat dan menangis. Nyatanya Ian masih berada di sampingnya, memeluknya dengan protektif.
Liv tidak lupa dan tidak pula menyesal sudah menceritakan semua hal pada Ian. Malah Liv bersyukur. Ian tidak menghakimi, tidak membantah, tidak menasihati. Ian hanya mendengarkan dan itu yang Liv butuhkan sejak malam. Perasaannya lebih lega saat ini, terlepas dari posisinya saat ini yaitu ketika Ian masih memeluknya.
Sepelan mungkin Liv menurunkan tangan Ian dari pundaknya agar tidak membangunkan. Perlahan Liv pindahkan tangan Ian ke pangkuannya dan kemudian Liv berdiri. Ian tampak tidur dengan nyenyak dan nyaman meskipun tertidur di sofa dalam posisi duduk. Semoga setelah ini Ian tidak sakit badan. Arloji di tangan Liv menunjukkan masih pukul 5 dini hari. Liv memutuskan untuk menunaikan kewajibannya dan merapikan barang-barangnya yang masih belum dia simpan di tempatnya sejak tadi malam. Setelah barang-barangnya disimpan di tempatnya masing-masing, Liv mandi dengan cepat dan kemudian berpakaian. Liv bermaksud membuatkan sarapan ketika Ian bangun. Sebagai ucapan terima kasih.
Waktu menunjukkan pukul 6 kurang 15 menit saat Liv sedang mengeluarkan roti dari tempatnya dan Ian mendadak terbangun. Liv menoleh ke sofa. Dilihatnya Ian sedang menggeliat kemudian mengusap wajahnya. Dia menoleh ke arah Liv setelah Liv memperhatikan sambil tersenyum.
“Hai, pagi,” sapa Liv ceria.
Tak disangka, Ian balas tersenyum. “Pagi,” Ian menyapa.
“Makasih udah mau dengerin curhat gue dan nemenin gue semaleman. Sampai lo tidur di sofa. Semoga badan lo gak sakit-sakit abis ini. Maaf udah ganggu waktu lo ya,” Liv langsung menyambar. Rotinya dia kesampingkan sejenak.
“Hmm,” Ian bangkit dan berdiri di hadapan Liv. “Perasaan lo udah mendingan?”
“Much better,” Liv tersenyum dan mengangkat bahu.
“Baguslah,” Ian mengangguk dan kemudian berbalik.
“Ian, sarapan dulu, gue bikinin,” Liv memegang tangan Ian untuk mencegahnya pergi.
“Apaan?” Ian, yang wajahnya masih terlihat mengantuk, melirik Liv dan meja dapur bergantian.
“Gue sih mau bikin roti,” jawab Liv, jemarinya menunjuk ke belakang.
“Gue mau Indomie,” kata Ian lalu menguap lagi.
Liv ingin tersenyum geli tapi dia tahan sekuat tenaga. Wajah Ian yang menguap berkali-kali ini terlihat lucu di matanya. Maklum, biasanya Ian galak.
“Iya gue bikinin Indomie-nya,” Liv menurunkan tangannya setelah Ian setuju untuk sarapan bersamanya.
“Tapi gue mau ke tempat gue dulu. Mandi dan segala macemnya,” Ian menggaruk kepalanya.
Kali ini Liv tidak menutupi tawanya. “Oke. Abis itu ke sini lagi ya,”
Ian hanya mengangguk dan setelah itu dia mengambil tas dan kotak Xbox lalu keluar. Tanpa disadari, Liv tersenyum kepada sosok itu. Senyum yang Liv sendiri tidak tahu diartikan sebagai apa.
***
Komentar