Miserable Fate - 11
Agnus cactus
Lalai
Liv menaruh tas di kursi kerjanya. Sepagi ini rupanya sudah ada undangan yang ditaruh di mejanya, mungkin oleh Messenger Crystal Corp. Liv membuka amplop dan melihat isinya. Rupanya sebuah undangan pembukaan club baru di daerah Pejaten. Liv mengernyit. Rasa-rasanya dia tidak punya riwayat suka clubbing sehingga harus diberikan undangan seperti ini. Liv mengeluarkan iPad-nya untuk sedikit mencari informasi mengenai club baru ini.
Rupanya ini adalah club yang dibuat oleh salah seorang penyanyi kelas menengah yang lebih banyak membuat tragedy daripada prestasi. Memang Liv pernah bertemu dengan penyanyinya sendiri dan managernya saat Liv menemani Crystal taping salah satu talkshow. Penyanyi ini menjadi bintang tamu di episde berikutnya. Harus Liv akui bahwa baik si manager maupun penyanyinya, begitu tertarik mendekatkan diri dengan Crystal dan Liv. Sepertinya mereka berpikir bahwa dengan mengenal dan terlihat akrab dengan Crystal, itu dapat meningkatkan pamor mereka. Sayangnya, baik Liv maupun Crystal langsung tahu bagaimana kualitas si penyanyi perempuan tersebut sehingga mereka tidak terlibat lebih jauh.
Melihat undangan kali ini, sepertinya mereka tidak menyerah. Tetap berusaha mencari kesempatan untuk mengenal Crystal lebih dekat. Yah, kalau setdaknya Crystal muncul dalam salah satu foto ataupun Instagram story dari penyanyi tersebut, netizen pasti akan langsung berasumsi bahwa mereka memiliki hubungan pertemanan yang baik. People these days.
“Ori,” Liv memanggil asisten Liv yang sekarang tiba-tiba melewati meja Liv dengan membawa kopi.
“Ya, Mbak?” sapa Ori lalu menghampiri Liv. Ori ini adalah asisten sekaligus roadman, lebih tepat roadwoman berarti. Dia yang akan menggantikan Liv kalau Liv berhalangan menemani Crystal. Dia juga yang bertanggung jawab untuk teknis di lapangan. Tubuhnya kecil dan terlihat seperti wanita anggun dan pendiam. Siapa sangka tenaganya besar dan Ori ini begitu tangguh.
“Crystal belum datang?” Liv menaruh kembali undangan tersebut di mejanya. Menyingkirkannya ke pinggir. Liv tidak akan datang dan dia tidak perlu memberi tahu Crystal.
“Datang agak siangan, Mbak. Katanya ke bandara dulu nemenin kakaknya Jamie yang mau berangkat ke New Zealand. Nanti dia datang ke sini diantar Jamie,” Ori menjawab.
“Oke. Kalau dia udah datang, ingetin untuk langsung ke studio yang di Cipete buat workshop bareng Lale Ilman Nino. Jadwalnya jam 11. Gue udah WA dia juga sih, takutnya kalau dia ke sini dulu terus keasyikan di sini. Gue berangkat ke sana duluan soalnya. Setelah beresin email, quotatoion, kontrak dan segala macem di sini.”
“Siap, Mbak. Aku stand by di sini sampai Crystal berangkat ke studio kok,” Ori mengangkat jempolnya.
“Iya. Thank you ya,” Liv mengangguk dan mempersilakan Ori melanjutkan aktivitasnya pagi ini. Liv sendiri langsung menyalakan laptop untuk akses digital yang lebih mumpuni. Dikeluarkannya iPad untuk melihat to do list apa saja yang harus dia kejar selama di kantor. Semua termasuk review tawaran kerja sama yang masuk untuk Crystal dan rencana go internasional yang Jade inginkan untuk Crystal.
***
“Oriiii!” Crystal memanggil dengan merdu kepada asisten setianya yang sudah menungu di kantor sembari menonton drama Korea.
“Iya Crys,” sahut Ori sambil tersenyum. Takjub melihat Crystal yang berjingkat masuk ke kantor, terlihat begitu senang sehingga gerakannya seperti menari. Di belakang Crystal, sang pacar menemani sambil tersenyum tipis saja.
“Liv manaaaa?” tanya Crys dengan manja. Celingak celinguk ke kanan dan ke kiri. Kantor setengah ramai karena banyak yang belum datang ataupun sudah berangkat.
“Berangkat duluan ke studio katanya. Kita mau berangkat kapan?” Ori mematikan computer untuk bersiap pergi.
“Bentar aku nafas dulu. Masih capek dari bandara,” Crystal mengangkat tangannya lalu duduk di kursi Liv. Sementara itu Ori yang paham langsung mengambilkan air minum untuk artisnya. Ketika itulah Crys melihat undangan yang berusaha disingkirkan oleh Liv. “Apa ini? Untuk Crystal dan Olivia.”
Crys membuka undangan pembukaan club baru itu dan langsung terpekik.
“Jamie, Jamie, sini deh!” seru Crystal kegirangan.
“Apa?” tanya Jamie dengan kalem lalu menghampiri sang pacar.
“Lihat ini ada undangan buat aku sama Liv. Lihat deh bintang tamunya. Ini kan band yang kita pernah lihat waktu itu. Yang aku suka banget sama lagu mereka,” Crystal mengibaskan undangan tersebut sampai Jamie harus beratraksi untuk mengambil undangan itu dan membacanya sendiri.
“Hmm, iya. Kamu mau datang ke sini?” Jamie mengerutkan keningnya.
“Iya, yuk. Mau nonton itu lagi,” kata Crys sambil merajuk.
“Coba tanya Liv dulu boleh apa nggak. Ada jadwal atau nggak,” Jamie mengembalikan undangan tersebut kepada Crystal.
“Okeee. Kalau gak ada jadwal, aku mau datang. Kamu temenin aku ya!” Crystal memasukkan undangan tersebut ke tasnya lalu berdiri.
“Gak ah. Gak suka tempatnya,” kata Jamie kalem lalu berbalik.
“Hah kok gitu?” Crystal menarik tangan Jamie untuk kembali menghadapnya.
“Night club, Crys. Aku gak suka. Waktu itu kita nonton di kafe. Liv juga mungkin gak akan ijinin.”
“Tapi kan…”
Crystal sudah akan membantah namun Ori datang dengan segelas air dan Crystal langsung minum banyak-banyak. Kesempatan ini diambil oleh Jamie untuk berbicara. Mengatakan sesuatu untuk menenangkan hati kekasihnya. Daripada dia uring-uringan sepanjang hari.
“Tapi coba tanya Liv dulu aja,” kata Jamie dengan tenang.
“Baiklah,” Crystal menyerahkan gelas kepada Ori. Suasana hatinya kembali ceria. “Yuk berangkat!”
***
“Kok undangannya bisa di lo?” Liv mengernyit heran saat Crystal mengacungkan undangan pembukaan club kepada Liv saat dia, Liv, Ori, dan Jamie istirahat workshop dan sedang makan siang.
“Gue nemu di meja lo,” jawab Crystal dengan polos.
Liv mengambil undangan itu dan langsung memasukkannya ke dalam saku. “Gak usah datang. Gak penting.”
“Kok gitu? Emang kenapa?” Crystal bergantian menatap Liv maupun Jamie.
“Acaranya gak penting, Crys. Cuma opening night club. Lo juga bukan orang yang suka clubbing. Gimana kalau lo kepergok ada di tempat clubbing. Lagian lo diundang sama penyanyi yang…yah biasa aja. Dia Cuma mau jadi social climber dan lo adalah salah satu caranya.” Liv berkata tajam, membuat Crystal mengernyit dan merengut.
“Galak banget,” Crystal cemberut. Dia meletakkan sendok dan garpunya. “Tapi gue mau datang. Ada band yang gue suka dan udah lama banget gue belum lihat lagi.”
“Pokoknya nggak. Lo bisa lihat si band itu di kesempatan lain. Dia pasti punya gig lain di tempat yang lebih normal yang lo bisa datangi tanpa khawatir.” Liv mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa pembicaraan usai. Di waktu yang sama, ponsel Liv berbunyi. Ada telepon dari Febri.
Liv mengambil ponsel tersebut dan mengangkat telepon sembari menjauh dari meja. Crystal memperhatikan managernya sambil cemberut. “Pacaran deh,” gumam Crystal/.
“Biarin aja,” Jamie menggeleng.
“Yuk temenin aku yuk,” Crystal menggoyangkan tangan Jamie. “Please.”
“Nggak. Kamu udah denger kata Liv. Aku setuju sama dia,” Jamie menggeleng.
“Jahat.” Crystal merengut.
“Biarin. Demi kebaikan kamu juga,” Jamie mengangkat tangannya lalu menepuk kepala Crystal lalu membelainya pelan. Karena perilaku Jamie tersebut, meski Crystal super sebal padanya, Crystal tidak bisa lebih dari sekedar cemberut.
***
“Ya, Tante,” Liv heran melihat ibu Crystal meneleponnya selarut ini. Liv memang masih berada di kantor. Ada urusan yang membuat dia harus lembur.
“Crystal ada agenda apa malam ini ya Liv?” tanya Tante Amora dengan nada yang cemas.
Liv melirik ke meja sebelahnya. Meja yang sekarang digunakan Ori untuk menyangga kepalanya karena dia sudah terlelap. Liv menarik iPad mendekat dan langsung membuka shortcut untuk jadwal Crystal.
“Gak ada jadwal apa-apa hari ini, Tante. Soalnya kan besok Crystal ada kuliah pagi,” Liv menjawab dengan cepat. “Emang kenapa, Tante?”
“Crystal belum pulang. Dia gak bilang juga kemana,” kata Tante Amora semakin panic.
Jantung Liv seakan berhenti berdetak. Pikiran buruk muncul di kepalanya.
“Sudah telepon Jamie, Tante?”
“Sudah. Jamie sekarang lagi di rumahnya. Dia juga gak dikasih tahu sama Crystal soal kemana Crystal malam ini. Aduh anak itu kemana ya? Telepon juga gak diangkat,” Liv bisa mendengar suara seorang ibu yang benar-benar khawatir mengenai keberadaan putrinya. Liv membayangkan ini juga yang terjadi pada ibunya jika Liv tidak memberi kabar.
“Aku coba cari tahu dulu ya Tante. Nanti aku kabari segera. Tante tenang dulu ya. Tenang,” Liv teringat sesuatu. Tangan kanannya langsung merogoh tas besar yang belum ia ganti di pekan ini.
“Tolong ya Liv. Kabari Tante. Tante sama Om mulai panik. Cuma bisa tanya kamu dan Jamie karena Jade lagi gak ada,” ujar Tante Amora lagi.
Jade sedang ke Korea untuk bertemu beberapa agensi penyanyi terkenal. Saat ini keluarga Liv pasti mengandalkan dirinya untuk membantu. Mau tidak mau Liv memang sudah seperti keluarga sendiri.
“Iya Tante. Aku kabari segera ya.”
Begitu telepon ditutup, Liv langsung menarik keluar sebuah undangan dari tasnya. Perasaannya benar. Acara itu hari ini. Kemungkinan besar Crystal nekat datang ke acara itu sendirian. Tanpa memberitahu orang tuanya, managernya, pacarnya, ataupun asistennya.
Liv segera membangunkan Ori untuk menemaninya. Ori yang masih mengantuk diberi penjelasan singkat oleh Liv. Sembari berlari menuju mobil, Liv menelepon Jamie untuk menuju tempat yang dia bilang. Perasaan Liv tidak enak saat ini.
***
Ketika Liv sampai di tempat yang dituju, club yang baru dibuka itu, bukan antrian pengunjung yang dilihatnya. Melainkan beberapa mobil dari BNN dan polisi. Jantung Liv seakan diremas dan dia benar-benar panic sekarang.
Tangan Liv gemetar saat berusaha menelepon Crystal. Tidak diangkat. Kaki Liv melangkah kesana kemari untuk mencari dimana Crystal berada. Di belakangnya, Ori juga tidak kalah panik. Warga sekitar menonton. Petugas berseliweran. Beberapa pengunjung dibawa keluar sambil menutup wajahnya. Siapa yang akan menyangka dalam pembukaan club baru akan ada Polisi dan BNN yang melakukan penggerebekan.
“Pak,” Liv mencegat salah seorang Polisi. “Saya cari Crystal Claudia.”
“Yang penyanyi ya?” kata Polisi itu. Nadanya tetap santai namun rautnya tegas.
“I-iya.” Keberanian Liv mendadak hilang dan dia ketakutan mulai menguasainya.
“Sudah dibawa mobil BNN sejak tadi.”
Tubuh Liv langsung terasa lemas. Ori memegang tangannya agar Liv tidak jatuh. Perasaan buruknya terbukti.
***
Komentar