Diam-diam

cerita ini menggunakan dua sudut pandang yang keduanya menggunakan kata ganti orang pertama, Aku, padahal orangnya berbeda. untuk memudahkan, bagian-bagiannya ditandai warna berbeda ya. selamat membaca dan menebak-nebak mana yang curhat dan mana yang ngarep :p


***



“Kak Raras bikin ulah lagi nih,” Rina menghampiri kami yang sedang mengerjakan tugas kelompok sambil membawa majalah. 

“Bikin apa lagi dia?” tanya Yuni, menghentikan kegiatannya mengetik lalu melihat Rina. Aku ganti-gantian menoleh antara Yuni dan Rina. Intan, Fitri, dan Opi juga sama penasarannya seperti aku. 

“Cerpennya jadi juara 2 lomba menulis cerpen majalah ini.” Rina menyodorkan majalah yang dari tadi ia acung-acungkan. Kami langsung saling menempelkan kepala. “Juara 2 sih tapi kan tetep aja.” 

Kami manggut-manggut. Membaca cerpen Kak Raras yang dimuat di majalah. Ceritanya sederhana, tentang cinta dalam diam. Hanya saja gaya bertutur Kak Raras selalu unik. 

“Multitalented banget ya Kak Raras ini. Udah punya pacar belom sih? Beruntung banget cowonya,” celetuk Intan. Melihat foto Kak Raras yang juga ditampilkan. 

Aku dan Rina saling melirik. Rina memutuskan angkat bicara. “Secara resmi sih nggak. Tapi semua orang juga tahu lah.” 

Aku cuma menelan ludah. Intan kebingungan. 

***

“Aku ada rapat. Rapat penting soal isu kenaikan BBM. Mungkin selesainya agak malam.” 

Suara ditelepon itu terdengar cukup merasa bersalah. Membuat aku tidak mampu untuk komplain, apalagi marah. 

“Ya udah. Jangan lupa makan ya,” cuma itu yang bisa aku sampaikan. 

“Hmm,” dia tampak berpikir sejenak. Sepertinya memancing. “Gak sempet beli nih. Ini aja udah di ruang Senat seharian.” 

“Kapan sih kamu mikirin kesehatan kamu sendiri?” Aku menghela nafas. Dia tertawa. Sambungan telepon terputus. Aku melirik display makanan di sekitarku. Pas sekali aku meneleponnya ketika sedang di kantin. Langsung aku menuju stand Chinese Food dan memesan Capcay plus Nasi. Bagi aku sendiri aku beli Nasi Goreng Seafood. 

30 menit kemudian aku sudah sampai di ruang Senat yang disebut Haidan di telepon tadi. Tanpa perlu menghubunginya, salah seorang temannya sudah melihatku. 

“Eh Kak Raras. Mau ketemu Idan ya?” tanyanya. Aku tersenyum dan mengangguk. 

“Saya panggilin dulu ya,” sahutnya lalu masuk. 5 menit kemudian Idan keluar sambil nyengir. 

“Makan dulu nih,” aku menyodorkan bungkusan yang aku pegang, ke arahnya. 

“Sama kamu kan?” tanya Idan. Melongok ke dalam keresek yang isinya menampilkan makanan yang cukup banyak kalau dimakan satu orang. 

“Iya dong,” jawabku pura-pura jutek. 

“Maaf ga bisa nemenin kamu makan malam. Gantinya kamu nemenin aku makan…” 

“...nanggung,” potongku. Idan tertawa. Tanpa banyak cakap kami langsung menikmati makanan masing-masing. Pukul 5 sore mentari mulai pulang ke rumah. 

“Nanti langsung pulang aja kan?” tanya Idan begitu makanannya tandas. Cepat sekali dia makan. Padahal kami sambil mengobrol. 

“Udah gak ada aktivitas apa-apa lagi sih. Pulang sekarang apa abis Maghrib ya?” 

“Maghrib di sini dulu aja. Bareng-bareng sama yang lain,” kata Idan dengan sedikit malu-malu. 

Aku mendelik padanya, aku tahu dia suka jadi imam atau memberi khutbah singkat setelah shalat jamaah. Kupandangi seperti itu, dia mengernyitkan kening. 

“Oke,” aku setuju. Idan tampak lega. 

“Sore Idan. Sore Kak Raras,” sapa sebuah suara. Aku menoleh, melihat Eno dan Rina berjalan melewati teras ruang Senat, menuju ke dalam. 

“Eh hai Eno, Rina,” balasku. Idan hanya mengangguk. 

“Yuk, ambil wudhu,” Idan beranjak berdiri. Aku membereskan bekas makan kami, membuangnya ke tempat sampah lalu bersama-sama kami menuju tempat wudhu. 

*** 

Aku memandang dua sejoli itu dengan tatapan nanar. Untuk mengusir bayangannya, aku menggeleng dan menepuk-nepuk pipi. 

“Cemburu sis?” towel Rina padaku setelah kami melewati pasangan tadi. 

“Nggak lah,” jawabku sedikit ketus. Padahal dalam hati api cemburu berkobar begitu besar. 

“Kak Raras ketemu Idan gak sering kok. Beda kan sama lo yang hampir 7 hari 24 jam barengan Idan mulu. Secara, Sekretaris Senat ama Ketua Senat!” Rina mengikik. Aku mencubit lengannya. 

“Ga ketemu tiap hari tapi hatinya bertaut kaleee,” timpalku sambil menjulurkan lidah. 

“Ceileh bertaut bahasamu No. Udah yuk mending kita siap-siap wudhu aja,” Rina menarik tanganku. 

“Lagi dapet gue,” aku menggeleng. 

“Pantesan, sensi,” kata Rina lalu meninggalkan aku. 

Makin sensi saja aku saat melihat Kak Raras berjalan beriringan menuju Ruang Senat setelah wudhu. Keduanya memang tampak begitu serasi. 

*** 

Aku dan Idan gak pacaran. Berani sumpah! Cuma pernah jalan bareng beberapa kali, rajin whatsapp dan telepon tiap hari, makan bareng hampir setiap hari (dengan catatan kami tidak sedang sama-sama sibuk), dan pernah ketemu orang tuanya sekali. 

Hmm, gak kan itu bukan pacaran? 

Aku tidak berani melabeli hubungan kami dengan identitas apapun. Aku nyaman dengan dia dan aku (harap) dia nyaman juga dengan aku. Sebisa mungkin aku juga tidak menunjukkan keakraban kami di depan orang banyak. Malu saja. Mengingat posisi dia di kampus ini sebagai Ketua Senat dan aku yang...ah apalah. Belum lagi beda usia diantara kami yang kadang membuat aku malas terlihat berurusan dengannya. 

“Gimana bimbingan skripsinya?” tanya Idan begitu aku selesai mengucapkan halo. Pukul 3 sore dan aku baru saja keluar dari ruangan Prof. Tina untuk mendiskusikan skripsi. 

“Lancar. Revisi beberapa poin. Setelah itu bisa dibawa untuk sidang bulan depan,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan perasaan bangga. 

“Luar biasa,” timpal Idan. Aku mendengar dia tersenyum tapi aku juga mendengar dia kecewa. 

“Kamu lagi apa?” pertanyaan klise. Aku langsung jijik sendiri. 

“Lagi nunggu adzan. Abis itu siap-siap masuk kelas.” 

“Oh iya. Ya udah aku juga menuju mesjid FISIP dulu ya,” aku memutar langkah dan berjalan menuju masjid. 

“Aku di Mesjid Teknik,” kata Idan. 

“Terus?” aku mengernyit. 

Idan tertawa. “Gak apa-apa.” 

*** 

Grup WhatsApp pimpinan Senat tiba-tiba ramai. Aku ingin mengecek obrolan mereka tapi saat ini aku sedang menemani salah satu staf mempersiapkan acara. Nanti aku tidak fokus membantu. Jadi kubiarkan dulu getar-getar dan notifikasi membanjir. 

“Kak Eno, udah beres nih. Ke Ruang Senat yuk. Ada rapat final untuk besok,” Cita si maba yang effortful ini menarik tanganku. 

“Yuk. Aku juga mau ikut rapatnya,” 

Kami berjalan menuju tempat parkir motor dimana Cita memarkir motornya sebagai angkutan kami menuju Ruang Senat. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengecek apa yang jadi biang keributan di grup WhatsApp. 

Keributan itu ternyata bersumber dari Yunus, si wakil ketua senat. Dia mengunggah foto seorang laki-laki dan perempuan. Aku menunggu sampai fotonya berhasil terunduh sebelum mengecek percakapan. 

Ternyata itu foto Idan dan Kak Raras. Mereka sedang berdiri bersisian dan Kak Raras memegang piala dan piagam dari lomba menulis lain yang ia menangkan. Ekspresi keduanya begitu bahagia. Sebersit rasa sakit muncul di hatiku. 

Kubaca komentar-komentar anak-anak. Ada yang cuma mengejek dengan berkomentar “ciye Idan akhirnya kenal cewek.” Ada pula yang ‘memuji’ dengan bilang “kalian mirip ya, mungkin jodoh.” Ada pula yang cuma ketawa-ketawa. Aku tidak mau jadi golongan manapun. Karena kalaupun aku berkomentar, aku ingin berkata “ngapain sih Dan sama yang lebih tua?” Jahat kan? Makanya aku memilih diam saja. 

Sementara Idan cuma berkomentar, “Naon sih Nus.” Ala-ala Sunda, seperti bahasa Ibu-nya Kak Raras. Sisi Sunda Idan juga semakin muncul sejak dekat dengan Kak Raras. 

Oh mereka cuma dekat kok Eno. Cuma dekat, bukan pacaran. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri tapi tetap saja rasanya sakit. 

*** 

Hari dimana aku resmi dinyatakan lulus sidang skripsi disambut heboh oleh teman-temanku. Ada yang membawa bunga, boneka, coklat. Aku senang dan bersyukur sekali akhirnya bisa lulus dari kampus yang sudah empat tahun aku gali ilmunya. 

“Congratulations from DPR,” sebuah foto dengan caption tersebut muncul di ponselku setelah riuh rendah euforia pasca sidang selesai. 

Kulihat lebih detil foto itu dan aku terkikik sendiri. Sedang aksi dan Idan sempat-sempatnya berfoto di luar pagar gedung DPR MPR dengan memegang tulisan “Raras Dewi Tiarani, S. Sos,” 

Aku langsung meneleponnya tapi tidak diangkat. Aku balas saja. “Thank you, Haidan Ramadhan, soon-to-be ST.” 

*** 

Aku melengos melihat sesi pemotretan tadi pagi. Sebelum aksi dimulai Idan sempat-sempatnya meminta Yunus memotret dirinya memegang nama Kak Raras. Setelah itu Idan kembali ke sifatnya yang galak dan dominan. Tidak takut menghancurkan pagar. Tidak takut berteriak menyerukan perdamaian. Cuma gara-gara Kak Raras, Idan bisa selunak itu. 

“No. Udah ampir Maghrib. Abis shalat, yang putri pulang ya,” Idan menghampiriku sebagai pimpinan tertinggi perempuan. 

“Oke Dan. Tapi mungkin beberapa ada yang mau stay sampai malam,” aku menoleh memandang yang kumaksud. Diantaranya Ade, staf Kastrat putri yang garangnya nyaingin ketuanya. 

Idan menggeleng. “Terlalu berisiko. Lo pulang. Ajak semua massa aksi putri. Pastikan ga ada yang masih disini lewat jam 7.” 

Inilah. Kepedulian dia terhadap orang lain yang selalu membuat aku terlena dan kagum pada Idan. Kekaguman yang kusimpan sendiri namun berhasil diketahui Rina. Yang semakin ingin kukubur sejak pria di hadapanku ini memilih perempuan yang satu tahun lebih tua darinya. 

“Baiklah,” aku setuju. 

*** 

Aku berseri-seri. Aku senang. Aku bahagiaaaaaaa. Hari ini aku mengenakan toga dengan strip oranye di lengan. Diberi berbagai hadiah dari teman dan adik kelas. Resmi lulus kuliah dan ditambah sudah berhasil menancapkan diri sebagai salah satu Management Trainee di perusahaan canggih, Astra Internasional. 

Aku tersenyum pada setiap orang yang mengucapkan selamat. Tanganku memegang banyak barang tapi aku tidak merasa kerepotan. Aku dan orang tua yang berangkat jauh-jauh dari Bandung sibuk berpose di depan gedung Rektorat yang ikonik itu. 

Baru menjelang Maghrib dia tiba. Mengenakan jeans dan kemeja kotak-kotak, dia menghampiriku. 

“Selamat,” ujar Idan sambil mengulurkan sebuah kotak pipih panjang. 

“Thank you,” aku membungkuk. Tersenyum lebar lalu meraih kotak yang ia berikan. Aku raba tapi belum kubuka. Dia mengangguk dan balas melemparkan senyum juga. Aku kenalkan Idan ke orang tuaku dan mereka terlibat dalam obrolan yang cukup hangat. 

“Foto yuk,” kataku, menarik kembali Idan padaku agar tak terlalu asik ngobrol dengan Bapak. 

“Boleh,” Idan menggeser posisinya ke sampingku. Aku suruh adikku Fauzan yang memotret. Ketika Fauzan masih mencari angle yang pas, kuselipkan tanganku ke tangan kanan Idan. Dia terkesiap tapi malah ia meletakkan tangan kirinya ke atas tanganku. Kami tertawa lebar memandang kamera. Cukup romantis untuk foto terakhir kan?

***

They say all is fair, in love and war. Iya kan? Peribahasa bilang seperti itu. Jadi bukan salahku kalau melakukan segala cara untuk dekat dengan Idan. Oke, gak segala cara juga. Maksudnya, aku tidak memelet Idan dan pelet ampuh ala Suzanna atau apa, tapi sejak Kak Raras lulus dan resmi bekerja, aku yakin intensitas pertemuan mereka juga menurun dan waktu Idan bisa lebih luang. 

Tidak benar-benar lebih luang sih. Karena sepertinya Idan sengaja menyibukkan diri dengan kuliah dan kegiatan Senat.

Aku sudah jarang melihat Idan menelepon Kak Raras di sela-sela rapat. Tapi bersamaan dengan itu aku juga sudah jarang melihat Idan tersenyum. Senyum iya, tapi agak dipaksakan. Kesempatan ini kugunakan dengan sesering mungkin menghabiskan waktu bersama Idan. Supaya dia tahu siapa yang juga perhatian dengannya.

“Kak Raras itu…” Rina tiba-tiba menyebut nama Kak Raras saat kami makan siang. Aku menoleh cepat ke arah Rina, bingung kenapa topik tersebut tiba-tiba muncul. “Gak cantik.”

Aku menghela nafas, merasa menang. Oh bukan GR, memang banyak yang bilang aku cantik kok.

“Tapi menarik. Auranya sedikit intimidatif tapi tetap menyenangkan deket dia. Hmm, kayak Olla Ramlan,” lanjut Rina.

Aku jadi sebal lagi. 

“Rambutnya juga panjang bergelombang,” RIna masih saja memuji sainganku itu.

“Badannya gak sekurus Olla, gak tinggi juga,”

“Tapi dia tetep lebih tinggi dari lo, No,” kata Rina polos. Aku mendengus. “Lagian Olla sih kayak triplek, tipis banget.”

“Lo kenapa tiba-tiba bahas Kak Raras sih? Bikin bete aja,” aku mengaduk jus alpukatku dengan tenaga berlebihan.

“Gak apa-apa. Cuma inget pas sebelum dia lulus, dia berhasil ikut konferensi di Malaysia. Sekarang kerja di Astra pula. Keren aja,”

“Hmm, thanks ya, bhay deh Rin,”

Rina tertawa melihat wajah beteku. Dia menepuk pundak.

“Yang namanya jodoh selalu ada cara untuk ketemu kok, No,” Rina mendadak jadi bijak setelah tadi bikin aku bete setengah mati.

***

“Aku capek banget nih. Seharian training.’

Aku kirimkan pesan itu kepada Idan melalui WhatsApp. Hampir pukul 10 malam dan aku berharap dia membalas supaya aku bisa tidur dengan nyenyak dan besok bisa segar kembali. Kutunggu 5 menit, 10 menit, sejam. Tidak kunjung berbalas. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur saja.

Sebelum berangkat kerja aku mengecek ponsel dan mendapatkan balasan dari dia. Pukul 4 dini hari.

“Tetap semangat, Ras. Ingat tujuan kamu bekerja. Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Selamat beraktivitas lagi,”

Aku tersenyum memandang untaian kata penyemangat dari dirinya. Segera aku balas pesannya. “Kamu juga, semangat ya demi rakyat Indonesia.”

***

Idan masih sama seperti dulu, ramahnya, perhatiannya, tawanya, sifatnya. Tapi sinar matanya berubah. Setidaknya itu yang aku sadari akhir-akhir ini. Dia memang masih sangat bersemangat menjalankan tugas-tugasnya sebagai ketua Senat, namun aku tak lagi merasakan auranya yang dulu. Setidaknya itulah yang aku rasakan setelah berusaha semakin dekat dengannya. Apalagi menjelang paruh kedua ini pertemuan kami makin intens karena program kerja pun semakin banyak. 

“Dan, makan dulu nih,” aku menyodorkan sebungkus nasi goreng ke depan Idan. Dia sedang asyik mengutak-atik ponselnya. Entah ada urusan apa tapi dia tampak sangat sibuk.

“Oh iya No, gampang,” sahut Idan lalu kembali asyik dengan ponselnya.

“Yuk makan barengan, nanti lanjut rapat lagi,” aku memaksa, menggeser nasi goreng itu lebih dekat ke arahnya.

Idan tersenyum. “Iya Eno. Sebentar lagi ya,”

Idan pun berdiri dan malah menjauhi kami. Sepertinya menelepon seseorang untuk urusan yang serius. Karena dia berjalan bolak-balik. Ekspresinya pun serius.

“Lama-lama Idan sakit nih,” bisikku pada Yunus. Yunus si wakil cuma memandang Idan lalu melanjutkan makannya.

***

Aku berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit. Salah satu akhir pekan dengan waktu libur adalah sebuah kenyamanan yang sulit kudapatkan. Sekalinya libur, aku malah harus mendatangi rumah sakit. Kubuka perlahan pintu ruang rawat dan kulihat ruang rawat berisi 3 pasien itu sedang sepi. Tempat tidur dekat pintu diisi seorang anak perempuan dengan ibunya yang sedang menonton. Tempat tidur tengah kosong. Tempat tidur paling ujung dekat jendela lah yang kutuju. Aku disambut oleh sang ibu yang tersenyum. Sementara anaknya memandangiku dengan tatapan risih. Sepertinya malu karena terlihat terkapar di rumah sakit.

“Raras,” panggil Ibunya Idan.

“Apa kabar Bu?” aku menghampiri Ibu dan mencium tangannya.

“Alhamdulillah. Kamu?”

“Sibuk Bu,” aku nyengir. 

“Sini duduk. Ibu tinggal dulu ke apotek ya,”

Aku mengangguk. Setelah ibu keluar kamar, aku duduk di kursi yang ditempati ibu tadi dan memandang Idan yang cemberut. Dia pura-pura menonton TV.

“Jadi…” aku memulai pembicaraan. Dia menoleh memandangku.

“Pulang aja,”

“Lho kok gitu?” aku mengernyit.

“Gak suka diliat kamu kayak begini,” jawabnya pelan.

Aku bengong lalu tersenyum. Kusentuh tangan Idan, dia balas dengan menyelipkan jarinya di jariku. “Apa kata dokter?”

“Tipes. Kecapean, makan gak bener,” jawabnya.

“Gak ada yang merhatiin makan lagi ya?” Aku tersenyum usil.

“Iya,”

“Aku kasih kamu tempat makan nih. Biar walaupun aku gak rajin nganter makan buat kamu, kamu selalu ingat bahwa aku memperhatikan kamu. Beli makannya di warteg aja gapapa,” aku mengeluarkan kotak makan dari tasku dan meletakannya di nakas samping tempat tidurnya. 

“Kamu gak perlu repot,” kata Idan pelan.

Aku mengangkat bahu. “Karena gak bisa kayak dulu lagi.”

Kami saling terdiam mendengarkan kata-kataku. Untunglah diselamatkan dengan kembalinya ibu dari apotek. Kami pun mengobrol berdua sementara Idan beristirahat. Menjelang pukul 2, pintu kamar terbuka dan masuklah teman-teman Idan yang kukenal sebagai sesama pengurus Senat.

“Halo Kak Raras,” sapa Yunus sebagai pemimpin mereka.

“Hai Yunus,” aku membalas sapaannya. Aku juga melambai pada Rina dan Eno yang kukenal. Lainnya sama sekali asing bagiku. 

“Udah lama Kak?” tanya Rina, berdiri di sampingku.

“Lumayan, dari jam 10,” jawabku sambil tersenyum. Rina melirik pada Eno dan Eno langsung melengos. Aku pura-pura tidak sadar. Teman-teman Idan tidak lama mampir disitu. Hanya memberi bingkisan, mengobrol sebentar, berfoto (iya aku yang fotokan), lalu mereka pulang. Sedangkan aku masih berada di kamar Idan, mengobrol dengan Idan dan ibu sampai jam besuk benar-benar habis. Katakanlah, aku ingin melepas rindu.

“Aku pulang ya. Besok aku kesini lagi,” kataku, membereskan barang dan menyampirkan tas ke pundak.

“Ga usah juga gapapa. Doain aja cepet keluar,” timpal Idan.

Aku cuma membalas dengan senyuman. Akhir pekan memang kuniatkan ketemu kamu, Dan. Biarpun harus di rumah sakit.

***

Tanpa berkata apa-apa Rina langsung merangkul pundakku begitu kami meninggalkan kamar rawat Idan. Aku melirik Rina, cemberut lalu berjalan menjauh. Ternyata mereka masih dekat. Bahkan Kak Raras selalu berdiri tidak jauh dari Idan. Sementara di sisi lain duduk ibu Idan. Wajah Idan pun terlihat lebih bercahaya dikelilingi perempuan-perempuan paling berharga dalam hidupnya. Duh, aku benci mengakui itu tapi dia memang kembali lebih hidup. Aku sudah menduga dia akan terkapar lemah dan pucat, nyatanya lemah tapi bersemangat. 

Jujur, aku kesal karena bukan aku penyebab senyum di wajah Idan. Kukira usahaku beberapa bulan ini sudah lebih maksimal dan mampu mengalihkan Idan dari Kak Raras. Nyatanya, nihil. Lupakan elakan mereka bahwa mereka tak punya hubungan apa-apa. Kenyataannya malah begitu akrab. Aku bahkan beberapa kali melihat Idan sengaja memainkan jemari Kak Raras yang terjulur tidak jauh darinya.

Aku benci. Aku cemburu. 

“No, jangan nangis,” bisik Rina.

Aku menggeleng. Menarik nafas dalam. Tak lucu rasanya orang lain melihat aku menangis tiba-tiba begini. 

“I’m fine,”

***

Kutanya Idan lebih rutin dari biasanya pasca dia keluar dari rumah sakit. Tapi respon dia malah sebaliknya. Hubungan kami seperti korelasi negatif. Semakin tinggi perhatianku, semakin rendah responnya. Aku berusaha memahami bahwa menjelang akhir tahun begini dia semakin sibuk dengan urusan Senat. Tapi tetap saja, sebagai seorang perempuan, aku ingin kejelasan. 

Aku pandangi foto aku dan Idan saat wisudaku tiga bulan lalu. Tanpa disadari, Anita melongok dari belakang.

“Siapa tuh Ras?”

Aku gelagapan, langsung berusaha menyembunyikan ponsel. Namun Anita sangat sigap, dia mengambil ponsel dari tanganku dan bahkan berteriak. “Wooow, Raras foto mesra sama cowo. Patah hati dah lo semua,” 

Anita lalu tertawa. Sementara aku gemes, langsung mengambil ponsel dari tangan Anita. Teman-temanku langsung ramai. Semua bertanya siapa orang yang fotonya daritadi kupandangi.

“Temen,” jawabku lalu berusaha kabur.

“Temen tapi mesra ya? Rangkulan gitu,” sindir Anita

Didesak sedemikian rupa akhirnya aku mengaku.

“He’s a special someone,” kataku pelan.

“Kerja dimana?” sambar Yulinda.

Aku menggelng. “Masih kuliah,”

“Wah, lo ngejar apa dari cowo yang masih kuliah?” tanya Anita. Saat itu aku diam saja. Namun pertanyaan itu terngiang di telingaku dan mengganggu sampai beberapa saat berikutnya.

***

“Dan, makasih banyak buat semuanya ya,” kataku sebelum turun dari mobil Idan.

“No problem, No. Its my duty,” timpal Idan sambil melambai. Dia baru saja mengantar kami, hampir satu per satu ke setiap kosan, pasca penutupan acara Olimpiade.

“Lo selalu baik deh sama orang lain. Bisa diandalkan. Ramah. Murah senyum,” aku menambahkan.

“Rajin menabung? Pintar pangkal pandai?” Idan mencoba melawak.

AKu tertawa. Biasa saja kata-katanya tapi aku hanya ingin tertawa. Menikmati momen dimana hanya ada aku dan Idan tanpa anggota Senat lainnya. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki waktu khusus dengannya.

“Udah malem, No,” kata Idan seakan mengingatkan bahwa tak baik kami berdua terlalu lama.

“Oh iya,” kataku pura-pura ingat. Aku mengambil tas dan membuka pintu. “Kak Raras apa kabar?”

Mendadak aku bertanya. Sekedar ingin tahu apa reaksinya. PAdahal kalau Idan menjawab dengan suka cita, aku sendiri yang akan sakit. Idan kaget ditanya begitu. Dia diam sebentar lalu tersenyum, tipis. 

“Baik,”

Aku memandang Idan. Mengangguk. Walaupun sesungguhnya merasa baik tak cukup menggambarkan apa yang Idan tahu sekarang tentang Kak Raras.

***

Kami saling duduk dalam diam. Idan berkali-kali mengecek arlojinya tapi tak berkata apa-apa. 

“Dan,” panggilku.

“Ya,” dia menoleh cepat. Mulutku membuka dan menutup seperti ikan yang megap-megap kehabisan nafas.

“Kamu sibuk banget ya sekarang?” 

“Akhir tahun. Kamu juga tahu kan seperti apa Senat kalau akhir tahun?” dia malah balik bertanya kepadaku yang dulu pernah jadi angota Senat. Seperti Eno, aku Sekretaris.

“Kita…” 

“Kita gak bisa seperti dulu lagi Kak,” kata Idan. Kalimatnya langsung menghunjam perasaanku seperti sambaran kilat. Bagian paling aku benci ketika mengobrol dengan Idan adalah kalau dia mengucapkan ‘Kak’ yang benar-benar menunjukkan jarak usia diantara kami. Ditambah maksud dari kata-katanya yang seakan memutuskan hubungan kami.

“Oke,” tanpa argumen aku mengangguk. Menunduk memandang Green Tea Latte pesananku.

“Aku pergi ya,” kata Idan pelan. Dia memang sudah bilang masih ada urusan siang ini. 

Aku mengangguk, masih tanpa memandang dia. Setitik demi setitik air mata yang menggenang di pelupuk mata mulai berjatuhan. 

***

“Lo kenapa Dan?” aku menghampiri Idan yang sedang bengong di balkon bagian belakang ruang Senat.

“Eno,” Idan berbalik menghadapku. “Gak apa-apa.”

“Kalau ada yang mengganjal di hati, cerita aja. Salah satu tugas Sekretaris kayak gitu kan,” aku berusaha nyengir. Sedikit modus.

“Gue baik-baik aja kok,” Idan senyum tipis lalu berjalan masuk ke ruangan.

“Dan,” panggilku lagi. Idan berbalik. “Lo harus ingat bahwa gue selalu ada buat bantuin lo.”

Idan terdiam. 

“Sebagai Sekretaris…” aku menambahkan, agar tak terlalu aneh terdengar.

“Siap No. Gue gak salah milih lo sebagai wakil gue selain Yunus,” Idan mengacungkan jempol lalu masuk. 

Cuma wakil ya, Dan?

***

Aku menatap layar komputer dan kembali kebingungan. Apakah pilihan ini benar-benar tepat? Sekali lagi aku meyakinkan bahwa jarak fakultas kami cukup jauh sehingga mengurangi kemungkinan kami akan bertemu. Awal tahun depan aku akan kembali ke kampus sebagai mahasiswi magister. Bersisian dengan tugasku sebagai karyawan kantoran. Ini pasti akan sangat berat tapi aku akan tetap berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Satu hal yang sangat aku takutkan adalah tanpa sengaja bertemu Idan. Aku tahu bahwa dia belum akan lulus begitu kepengurusannya di Senat selesai. Itu artinya, ada semester lain dimana kami sama-sama berstatus sebagai mahasiswa.

Aku masih sering merindukannya. Biarlah aku jujur saja. Diam-diam memperhatikan linimasanya, melihat apa yang sedang dia lakukan sekarang. Diam-diam bertanya pada Yunus bagaimana kabarnya. Diam-diam mendoakannya. Namun sepercik keraguan secara konsisten selalu muncul di pikiranku begitu aku ingat dia masih dia yang dulu. Dia yang tak yakin kepadaku. Dia yang berkata bahwa kami tak bisa lagi seperti awal mula hubungan. Dia bukan dia yang membuatku tertawa sepanjang hari. Bukan pula dia yang sedikit kata darinya membuat aku semangat berhari-hari.

***

“Kak Raras kuliah lagi lho,” Intan nyeletuk kepada aku, Rina, dan Fitri. Kami sedang makan siang merayakan kelulusan sidang aku dan Rina.

“Oh ya? Tau darimana?” tanya Rina penasaran.

“Twitter. Kemarin dia post foto kartu mahasiswa gitu,” Intan nyeletuk dengan polos. Rina mencubit lenganku di bawah meja. Buru-buru aku tepiskan karena cubitannya sakit sekali.

Aku kira dan aku harap topik Kak Raras kembali ke kampus akan berhenti di siang hari. Ternyata berlanjut di grup WhatsApp dimana Yunus (lagi-lagi Yunus), mengunggah screencapture tweet Kak Raras hari kemarin. Saat itu semua langsung memanggil nama Idan namun yang bersangkutan diam saja.

Tanpa komentar di grup tapi Idan menghubungiku langsung dan berkata, “Begitu lulus kuliah nanti gue mau lanjutin hidup gue dengan sesuatu yang lebih serius. Lo mau jadi pendamping gue No?”

Seketika itu juga aku tidak peduli apa yang orang lain bicarakan. Kata-kata Idan adalah yang lebih penting!

***

Rumor itu sampai juga ke telingaku. Bukan rumor lagi seharusnya. Aku cuma bisa menghela nafas berkali-kali. Berusaha menguatkan diriku karena itu yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa mengandalkan orang lain kecuali diriku sendiri. 

Idan dan Eno sedang mempersiapkan pernikahan. Ya. Itu yang aku tahu. Firasat yang tidak kusukai ternyata jadi kenyataan. Aku selalu berpikir bahwa Eno punya rasa pada Idan. Ternyata betul. Tidak hanya itu, Idan juga menyimpan rasa yang sama.

Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana posisi aku dulu di hidup Idan? Cuma sekadar senior yang rajin mengantarkan makanan? Cuma sebagai senior yang rajin menghubungi dia? Dia tidak pernah memandang aku sebagai perempuan kan?

Aku tahan apapun yang ingin keluar dari mataku hingga aku sampai ke kamar. Begitu kubuka pintu, barang-barang kujatuhkan dan aku tersaruk di kasur. Hatiku teriris, sungguh. Ibarat kaca yang jatuh dari ketinggian. Berserak dan sulit disatukan kembali.

***

Aku tahu aku jahat karena aku ingin tahu bagaimana reaksi Kak Raras saat tahu bahwa aku dan Idan akan mempersiapkan pernikahan. Pekan depan Idan akan mendatangi rumahku untuk melakukan lamaran resmi. Tepat setelah dia menyelesaikan ujian skripsinya. Aku memang sengaja menginfokannya di sosial media agar Kak Raras bisa membaca. Tapi aku tidak tahu bagaimana responnya. Jika boleh, aku ingin merasa menang. Menang dari saingan terberatku yang selalu terlihat luar biasa.

“Idan,” panggilku. Kami sedang makan malam bersama di dekat kampus. Idan diam saja.

“Dan, Idan!” Aku panggil lagi sambil menggoyangkan tangan di depan wajahnya.

“Eh kenapa? Udah mau tutup ya?” Idan gelagapan, melirik kesana kemari.

Aku menggeleng. “Kamu lagi mikirin apa?”

“Oh gak ada apa-apa No. Gue cuma ingat sidang skripsi minggu depan,” Idan berusaha tersenyum. Aku ikut tersenyum.

“Semangat dong. Ketua Senat pasti bisa kok ngadepin semuanya dengan mudah,” aku menjentikkan jari.

“Iya, makasih No. Gue mau ke toilet dulu ya,”

Pada saat Idan beranjak pergi, layar ponselnya menyala. Muncul pesan dari Yunus:

“Lo ga bisa bilang gitu ke gue, Dan. Lo ga bisa melarang gue kasih tau Kak Raras soal pernikahan lo sama Eno. Kenalan dia yang kenal lo juga banyak. Cepat atau lambat dia pasti tahu juga.”

Sudah beribu langkah lebih jauh tapi dia masih saja menolak memandangku langsung. Masih memilih menyebut gue-lo daripada aku-kamu. Masih memikirkan Kak Raras.

***

Sudah berbulan-bulan aku menahan diri untuk tidak menemui Idan atau menghubunginya. Tapi hari ini, sehari setelah aku tanu bahwa ia akan menikahi Eno, kuberanikan diri mengirim pesan singkat padanya. 

“Selamat ya. Semoga semua persiapan kamu dilancarkan.” 

Semenit kemudian pesan itu tak berbalas namun teleponku berdering. Dari dia. 

*** 

Aku sedang duduk menemani Idan mengerjakan revisi skripsinya agar hasilnya optimal di sidang 3 hari lagi. Aku bekerja sebagai asisten dosen di kampus jadi jadwalku cukup fleksibel. 

Tepat saat aku meletakkan buku bahan mengajar besok, ponsel Idan yang diletakkan di samping laptopnya berdenting. Sebuah pesan dari Kak Raras berbunyi: 

“Selamat ya. Semoga semua persiapan kamu dilancarkan.” 

Refleks, aku mengulurkan tangan ingin mengambil ponsel itu tapi Idan lebih cepat. Dia mengambil ponselnya, melirikku sebentar, lalu berdiri dan menjauhiku. Kulihat dia menelepon. Aku cuma bisa membatu. 

*** 

“Halo,” kataku setelah jeda 3 detik dari aku menerima telepon. 

“Raras,” katanya. Tanpa embel-embel Kak.

Kami terdiam lagi. 

“Kamu tahu dari mana?” Akhirnya itu yang dikatakan Idan. Aku belum menjawab namun air mataku mengalir. Berusaha keras menyembunyikan tangis dari teman kantor ataupun Idan, aku berlari ke toilet. 

“Yunus,” kataku sambil terisak. Entah apa Idan bisa mendengar isakanku. 

“Ras…” 

Dia memanggil namaku lagi. Tanpa ‘Kak’ lagi. 

“Sudah ya Dan. Aku harus kerja lagi,” akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja. Biarlah dia bahagia dengan Eno. Yang seumuran dengannya. Aku putuskan sambungan telepon. Bendungan air mata yang tak sanggup kutahan akhirnya pecah juga. 

*** 

Sidang skripsi Idan membutuhkan penangguhan. Biasanya, status mahasiswa akan dinyatakan pada saat itu juga. Entah lulus atau tidak. Nyatanya, dosen penguji Idan menunda keputusan apapun dan menyuruh Idan menyelesaikan masalah pada penelitiannya. Setelah solusinya ditemukan barulah para dosen penguji akan mengulang sidang Idan dan menyatakan Idan lulus atau tidak. Karena itulah dia belum bisa mengajak orang tuanya untuk melamarku. 

“Maaf No maaf. Gue kira semuanya udah oke. Ternyata masih ada aja yang kurang. Pak Indra juga gak nyangka. Rencana kita harus ditunda.” 

Aku memaksakan diri tersenyum walapun dalam hatiku sedikit resah. Setelah kejadian Kak Raras mengirim pesan itu, Idan jadi semakin tidak fokus padaku. Aku ingin menuntut. Meminta dia untuk 100% hadir utuh hanya buatku. Tapi aku ingat bahwa Idan butuh waktu lama untuk berpaling padaku. Marah padanya hanya membuang kesempatanku untuk bisa tetap di sisinya. 

“Gapapa, Dan. Nanti bisa bilang mama sama papa. Kamu revisi dulu aja skripsinya ya.” 

Aku mendoakan revisi yang terbaik untuk skripsi Idan. Tapi aku tidak mendoakan dia merevisi hubungannya dengan Kak Raras. 

*** 

Aku sedang terburu-buru kembali ke kantor setelah hampir setengah hari mengurus administrasi tentang biaya kuliah di kampus. Tepat saat aku memasuki area stasiun, saat itu juga aku melihat Eno baru berjalan masuk. 

Kami berpandangan namun aku memutuskan untuk pura-pura tak kenal saja. 

“Kak Raras,” panggil Eno cukup keras. Beberapa orang di sekitar kami memperhatikan. Dengan enggan aku berbalik. 

“Tolong. Berhenti menghubungi Idan. Apapun tujuan Kakak. Jangan pernah menanyakan dia lagi,” kata Eno. 

Aku terpana. Eno bicara seakan dia begitu sakit, begitu kecewa, atau mungkin benci juga kepadaku. Dia benar-benar tidak mau kehilangan Idan. 

“No… Oke…” kataku akhirnya. “Aku, duluan.” 

Tanpa menunggu balasan Eno, setengah berlari aku menuju stasiun. 

*** 

Aku melangkahkan kaki di sekitar Rotunda. Berjalan kecil di sela lari. Teman kantorku Ratna malah sudah lari beberapa putaran. Dia sengaja menginap di tempatku agar bisa lari Minggu pagi di Rotunda. 

Rambutku tiba-tiba terasa berantakan maka kubuka ikatannya. Belum sempat kurapikan lagi, sosok yang kurindukan sekaligus kutakutkan, muncul. 

Dia berjalan ke arahku sambil menenteng sebotol air mineral. Pakaian kaos dan celana training panjang menunjukkan dia juga sedang berolahraga. 

Aku bingung apakah harus menanti dia yang sedang berjalan ke arahku atau aku harus putar balik dan mencari Ratna. Tubuhku maju mundur tak jelas sehingga Idan sudah terlanjur di depanku sebelum aku sempat mengambil keputusan. 

“Hei,” panggilnya. 

Aku memandang ke arahnya. Akhirnya memutuskan untuk tinggal. 

“Hai,” 

“Sama siapa?” 

“Ratna, temen kantor,” jawabku, melirik ke belakang dan menunjuk Ratna yang mengenakan kaos pink. 

“Gimana kuliah?” 

“Capek,” jawabku. 

Kami saling diam dan berpandangan. Tiba-tiba angin berhembus dan menerbangkan sedikit rambutku. Buru-buru aku mengangkat tangan untuk mengikatnya kembali namun Idan sudah lebih cepat menyentuh rambutku dan merapikannya. 

“Aku sayang kamu, Ras,” katanya. Pelan, tapi jelas. Aku terpaku. Kutepiskan tangannya yang masih hinggap di rambutku. 

“Kamu sudah mau menikah dengan Eno. Gak pantas bilang sayang sama perempuan lain,” 

“Gimana kalau aku sayang sekaligus takut sama perempuan itu?” 

Aku terkesiap. Dia takut padaku? 

“Cantik. Eksis. Berprestasi. Lebih tua. Lulus lebih dulu. Bekerja di tempat bergengsi. Bahkan sekarang sedang melanjutkan S2. Sedangkan aku? Saat kamu lulus aku masih kuliah. Saat kamu lanjut S2, aku bahkan baru menyelesaikan sidang skripsi kedua kali karena tak langsung lulus di kesempatan pertama. Aku belum punya penghasilan. Bagaimana aku bisa menjamin kamu yang sudah begitu mapan?” Idan bergerak resah di tempatnya berdiri. 

“Itu yang kamu pikirkan tentang aku?” 

“Dan sikapmu berubah sejak lulus.” 

“Aku masih sama. Kamu yang berubah, Dan. Lebih dingin. Lebih jarang menanggapi pesanku,” nada suaraku meninggi. 

Idan menggeleng. “Gak ada gunanya kita bertengkar sekarang.” Aku mengatupkan bibirku. 

“Kita saling menjauh tanpa kita sadari,” 

“Aku sadar Dan. Aku sadar sekali. Aku ingat kapan terakhir kali kamu bersikap hangat kepadaku. Aku bahkan sangat ingat kapan kamu meninggalkan aku di Starbucks, berkata kita gak akan seperti dulu lagi.” 

“Aku memutuskan menyerah denganmu saat itu,” jawab Idan cepat. Mataku membelalak. Aku menggeleng tak percaya. 

“Asal kamu tahu ya Dan, aku juga ingin menyerah denganmu karena aku gak tahu harus berharap apa sama cowo yang lulus kuliah pun belum. Tapi bukan lulus atau nggaknya yang aku cari. Aku menemukan kenyamanan dan kebahagiaan saat bersama kamu dan itu yang aku harapkan. Aku tahu kamu tipe pejuang yang artinya masalah materi bisa kamu perjuangkan juga. Tapi kamu menjauh lebih dulu sehingga aku merasa kita gak punya harapan.” 

Idan terpana. 

“Lalu kamu memutuskan bahwa dengan Eno akan jauh lebih baik?” lanjutku. 

Idan diam. Sedetik kemudian dia menjawab. “Ya,” 

“You dont play with girls’ heart, Haidan,” aku menggeleng. Kecewa. 

“Aku tahu aku salah, Ras,” 

“Kamu pikir karena kamu punya kualitas diri yang baik, kamu bisa pilih siapapun perempuan yang kamu suka? Nggak, Dan” 

“I know and I'm sorry,” 

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Idan berdiri semakin dekat ke arahku. 

“Do you ever heart me, Ras?” bisik Idan. 

“Menurut kamu semua yang aku lakukan itu apa kalau bukan karena sayang?” aku balas berbisik. 

Idan membuka mulut untuk menanggapi namun suara cempreng Ratna mengganggu kami. 

“Ras udah yuk. Kita makan mi ayam,” 

Aku menoleh ke arah Ratna, Idan mundur selangkah. 

“Kayak kenal,” kata Ratna memandang Idan. “Oh yang fotonya ada di hapenya Raras ya.” 

Aku rasanya ingin menjitak kepala Ratna. 

“Idan,” kata Idan, mengulurkan tangan. 

“Ratna, temen kantornya Raras. Idan udah lulus? Udah dapet kerja?” Ratna nih mulutnya emang ember. 

Idan melirik ke arahku. Mungkin bingung dengan pertanyaan Ratna. 

“Alhamdulillah sudah lulus. Sejak selesai di Senat sudah magang. Insyaa Allah bulan depat diangkat pegawai tetap.” 

Giliran aku yang terpana. Aku tak tahu. 

“Wah selamat ya. Bisa dong lamar Raras segera?” Ratna bertanya dengan wajah berseri-seri. Dia tidak tahu saja aku dan Idan baru bertengkar. Aku senggol pundak Ratna keras-keras. 

“Doakan saja,” jawab Idan sambil tersenyum. 

“Eh gue laper banget. Gue boleh culik Raras makan ga? Atau lo mau ikut Dan?” 

Idan menggeleng. “Silakan, saya masih ada urusan lain.” 

Ratna menarik tanganku dan aku pun berbalik. Sebelum benar-benar jauh, aku berkata pada Idan. 

“Pilih, Dan.”

***

Idan pernah bilang padaku bahwa dia bukan siapa-siapa dan tetap bukan siapa-siapa. Dia bersyukur akan pengalamannya sebagai ketua Senat dan ketua lainnya tapi dia tetap hanya seorang Idan. Dia memang berusaha keras untuk memiliki kehidupan yang layak untuk istri dan keluarganya kelak. Juga demi membahagiakan orang tuanya. Idan butuh seorang pendamping yang bersedia diajak berjuang bersama dan aku rasa dia sudah menemukannya. Dia sudah mendapatkan perempuan yang sepadan dan seperjuangan dengannya. Aku bersyukur untuknya. 

Orang sering mendoakan yang kasmaran dengan kalimat, “semoga bertemu di pelaminan.” Walaupun ternyata bisa saja bertemu di pelaminan sebagai pengantin dan tamu. Seperti aku ini. 

Setelah pagi tadi menyaksikan dengan khusyu Idan mengucap ijab kabul, “saya terima nikah dan kawinnya Raras Dewi Tiarani binti Toto Suprapto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Sekarang aku berdiri berimpitan di pelaminan dengan para pengurus Senat untuk acara foto bersama kedua mempelai. 

“Cheese!” Teriak kami semua. Semoga kalian selalu bahagia, Idan dan Kak Raras. 

-THE END- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?