Its About Too Late to Realize
Maura tidak pernah berpikir bahwa salah satu hal terpenting dalam hidupnya akan ditentukan oleh orang lain. Maura masih tidak habis pikir bagaimana semua ini bisa terjadi. Maura memejamkan mata, menghela nafas, sekali lagi berusaha memahami apa yang terjadi.
***
Jakarta, April 2006.
“Elnora’s Sweet Seventeen Birthday Party”
Maura membaca tulisan yang terpampang di depan rumah megah Elnora. Tulisan bernuansa pink dan ungu dengan dekorasi glitter dan lampu. Maura menunduk, memandang pakaiannya yang terbilang manis, rok tutu warna biru muda dan blus warna biru tua. Pumps biru tua dan clutch Gucci. Bunda selalu membelikan barang baru bagi Maura setiap ada temannya yang berulang tahun ke-17. Katanya supaya Maura semakin percaya diri dalam pergaulan. Kata Maura dalam hati, tak perlu clutch baru pun kepercayaan dirinya sudah berlebihan.
Maura menyunggingkan senyum lebar dan melangkah masuk. Dia langsung disambut penerima tamu yang tersenyum sama lebarnya.
“Malam, Maura, silakan langsung ke halaman belakang,” ujar penerima tamu itu.
“Terima kasih,” balas Maura sambil mengangguk. Maura tidak kenal dia tapi tampaknya Elnora sudah mewanti-wanti semua kru pestanya agar hafal pada semua wajah tamunya agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik.
“Happy birthday Elnora!” teriak Maura begitu El melihat dirinya.
“Thank you Mauraaaa!” Balas El juga berteriak. Mereka lalu tertawa-tawa dan berpelukan.
“Gue tau lo mau liburan ke pantai tapi gue ga bisa ikut jadi gue kasih ini supaya nanti lo inget gue,” Maura menyodorkan kado yang cuma dihiasi pita kecil warna ungu.
“Rayban? So much thanks barbies,” El memeluk Maura dan mengecup pipinya.
“Padahal tawaran main ke Belitong itu sangat menggiurkan, El,” ujar Maura.
“Iya lo nya kan yang ga bisa ikut. Gara-gara ada study tour ke Yogya bareng temen-temen sekelas,” El manyun. Maura cuma tertawa. “Gue masih ga abis pikir kenapa ortu lo malah masukin lo ke sekolah negeri.”
Maura mengangkat bahu. “Biar pergaulan gue luas, El.”
El mengangkat bahu. Malas berdebat soal sekolah dengan Maura. Golongan orang kaya seperti mereka biasanya sekolah di sekolah internasional atau khusus putri. Sementara Maura sekolah di sekolah negeri, dimana siswanya berasal dari beragam latar belakang. Maura bilang itu supaya dia kenal banyak orang, El dan yang lain bilang itu penurunqn derajat.
“Ketemu yang lain yuk, sambil mendekat ke panggung. Sheila On 7-nya udah mau tampil,” El menarik tangan Maura dan mereka mendekat ke kerumunan teman-teman sosialita El dan Maura. Mereka lalu mulai membandingkan barang bermerk apa yang melekat di badan masing-masing. Sementara Maura cuma berkomentar, “kayaknya gue udah liat tiruan tas lo di ITC deh.” Kalimat Maura disambut ekspresi bete di wajah salah satu temannya tapi Maura malah tertawa, tentu saja bercanda. Tidak lama kemudian mereka mengobrol lagi.
Pesta ulang tahun El diadakan hari Jumat. Dengan dalih dia bisa beristirahat di hari Sabtu. Padahal Maura sendiri masih ada sekolah di hari Sabtu. Maka setelah berpamitan dengan El, pukul 10 Maura menyelinap keluar kerumunan orang yang sedang menonton Sheila.
Saat itulah Maura melihat seseorang yang sedang berdiri di paling belakang kerumunan. Diam dan memandang Maura. Tampangnya oke, ganteng malah. Tapi karena Maura ingat Pasha, pacarnya yang rakyat jelata (menurut El dan gengnya) dan yang sekaligus cowo terganteng di sekolah karena seorang ketua OSIS, cowo ini tetep ga ada apa-apanya.
“Kak Maura,” Maura menoleh saat namanya dipanggil.
“Eh Nicko. Hai,” sapa Maura pada salah satu teman sepermainannya yang lebih muda 2 tahun. Nicko adalah anak dari pemilik bisnis peralatan rumah tangga terbesar di Indonesia. Tidak heran melihat dia disini, di pesta ulang tahun anak pebisnis majalah dan fashion terbesar.
“Mau pulang?” tanya Nicko lagi. Maura lanjut berjalan, diikuti Nicko di sampingnya.
“Yeah, besok masih sekolah,” jawab Maura.
“Sayang sekali,” Nicko tersenyum simpul. Maura tertawa. Tanpa disadari mereka berjalan menghampiri orang yang tadi Maura lihat.
“Ngomong-ngomong, kenalkan kakakku,” ujar Nicko pada orang itu.
Maura memandang dia lebih dekat. Ternyata wajahnya lebih ‘laki’ tapi dingin.
“Maura,” kata Maura sambil tersenyum lebar.
“Rio,”
***
Jakarta, November 2011
Maura melangkahkah kaki memasuki Royal Suites yang disewa Pritha untuk ‘merayakan’ ulang tahunnya yang ke-23 sekaligus ‘syukuran’ atas diterimanya dia di University of Glasgow untuk melanjutkan studi. Padahal sih ada campur tangan ayahnya juga disitu.
Maura kira hanya ada beberapa tamu di acara Pritha ini, cewe saja. Tak sangka, setelah masuk Maura baru melihat bahwa ada beberapa orang tamu laki-laki juga disitu. Termasuk Eldrian, kakak Elnora. Irman, teman Eldrian yang ditaksir berat oleh Pritha. Revan, kakak Pritha. Salman, keturunan India-Indonesia yang kelihatannya geek tapi pengetahuan bar dan clubnya paling luar biasa. Untungnya diimbangi kemampuan otak luar biasa di bidang pendidikan. Lulusan summa cum laude saat dia S1. Juga Rio, yang kata Pritha, baru saja pulang dari Melbourne setelah menyelesaikan studi MBA-nya.
“Dahling,” sambut Pritha begitu Maura muncul.
“Hei, happy birthday Prit. And congrats for your new journey,”
“Thank you. Come in. Udah kenal kan sama yang lain?” Pritha menggamit lengan Maura dan Maura mengangguk sambil tersenyum. Menyapa satu per satu orang disana.
“How’s England, Maura?” tanya Salman.
“Fine, beautiful as always,” jawab Maura. Mengingat tahun-tahunnya sebagai mahasiswi di University of Warwick.
Malam itu Maura banyak berdiskusi dengan Salman. Sebentar lagi dia akan berangkat ke Columbiq untuk melanjutkqn kuliah. Partner yang menarik jika berdiskusi tentang hal serius.
“Lets play truth or dare,” Pritha berseru. Maura dan yang lainnya menoleh.
“Lets,” Salman menggerakkan kepala, Maura mengangguk. Dia duduk di lantai di sebelah El yang sudah sibuk memberi isyarat sejqk awal. Di sebelah kiri Maura duduklah Rio.
Eldrian mendapat truth dan pertanyaannya adalah kapan pertama kali dia mencium bibir seorang gadis. Jawabannya adalah saat ulang tahunnya yang ke-17, ia mencium gadis yang bukan pacarnya. Maura menggeleng mendengar itu.
“Parah banget lo Kak,” ujar Maura.
“Dia senior yang udah lama gue incar, Ra. Tapi ga berhasil gue dapetin,” jawab Eldrian sambil nyengir. Elnora memandang kakaknya sambil bengong. Tak percaya.
Pritha mendapat dare dan tanpa disuruh dia langsung memberanikan diri mengucapkan perasaannya pada Irman. Irman tertawa dan bilang terima kasih. Tapi Pritha tidak puas, dia langsung menghampiri Irman dan bermaksud mencium Irman. Irman ternyata lebih cepat dan mengubah niat Pritha mncium Irman di bibir jadi Irman mengecup Pritha di pipi. “Enough,” bisik Irman lalu tersenyum. Itu malah mmbuat Pritha semakin tunduk.
Berikutnya adalah Rio. Entah kenapa begitu giliran Rio, semua pria langsung bersorak.
“Dare, of course,” sahut Eldrian sambil menyunggingkan senyum licik. Rio cuma diam.
“Who’s the prettiest girl in this room?” Salman memulai. Wajahnya serius.
“That’s truth, not dare,” celetuk Elnora.
“We’re not finished yet, sister,” bantah Eldrian. Mengedipkan sebelah mata.
Semua mata memandang Rio, menanti jawabannya. Termasuk Maura. Memandang Rio yang duduk di sampingnya. Rio memandang teman laki-lakinya satu per satu kemudian berhenti di Eldrian. Meski yang bertanya adalah Salman.
“Maura,” jawab Rio akhirnya. Wajah Maura langsung bersemu kemerahan. Elnora menyikut Maura sambil cengar-cengir. Maura memalingkan wajah, tidak berani memandang Rio. Cengiran di wajah para pria makin melebar.
“Kiss her,” ujar Eldrian.
Maura langsung kaget. Juga Elnora dan dua cewe lain. Tapi Pritha cekikian saja.
“Ga berani, Yo?” tanya Irman santai.
“Cukup tau lah sampai dimana keberanian Rio seorang Rio,” timpal Eldrian.
“Bungee jumping, paralayang, ngebut di jalan, ngerokok di toilet, beran Yo,” Salman menambahkan. Dengan efek gelengan yang membuat Rio seakan jadi anak badung.
“Cium cewe ga berani Yo?” tanya Eldrian, memajukan badannya ke arah Rio.
Maura mulai merasa gelisah dan kesal. Seakan-akan dia dijadikan bahan permainan oleh para pria ini. Di depan matanya sendiri. Apa maksudnya mencium Maura sama menantangnya seperti hal-hal ekstrim yang disebut Salman? Lagipula Maura tidak dekat dengan Rio sampai menganggap ciuman adalah hal biasa. Tadi pun Rio bilang Maura sebagai perempuan tercantik di ruangan ini hanya karena tak mungkin dia menyebut yang lain. Pritha sudah menyukai Irman. Elnora adik dari temannya. Sedangkan yang dua lagi Maura tak yakin Rio kenal.
Mungkin Rio tersulut bujukan teman-temannya. Sedetik kemudian Maura merasakan sentuhan di pipinya. Maura menoleh cepat dan melihat wajah Rio mendekat. Refleks Maura menepis tangan Rio dan mundur. Bahkan sampai menabrak Elnora.
“Dont you dare to come even for 1 inch!” teriak Maura. Untuk hal ini, personal space Maura terganggu dan ia marah karenanya. Orang lain terkejut melihat Maura yang biasanya tertawa sekarang wajahnya merah karena marah.
Maura berdiri, mengambil tas dan bergerak keluar.
“Maura, lo mau kemana? Kita kan mau sleepover,” cegah Pritha.
“Besok gue kerja,” jawab Maura asal.
“Tomorrow’s Saturday for God’s sake,” ucap Pritha lagi. Maura menepiskan tangannya dari pegangan Pritha dan segera membuka pintu.
“Pokoknya gue mau pulang,” seru Maura tanpa menoleh lagi.
Rio sudah ikut berdiri dan akan mengejar Maura, sekedar minta maaf. Tapi tangannya ditahan Eldrian.
“You better not,”
Sekali lagi Rio menuruti kata-kata Eldrian. Padahal itu juga yang menjerumuskannya dalam masalah.
***
Jakarta, Oktober 2014
Tiga tahun berlalu dan Maura masih sering kesal mengingat kejadian saat ulang tahun Pritha saat itu. Bahkan setelah Pritha menikah (siapa sangka ternyata Pritha malah menikah dengan Eldrian, that playboy). Sementara Irman sekarang sedang meniti karier di Jepang. Salman langsung melanjutkan studi Doktor di universitas yang sama. Elnora sudah membuka salon & spa. Sementara itu Maura berkutat dengan pekerjaannya di perusahaan keluarga, Maureen Group. Perusahaan yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia, dari mulai asuransi, mall, property, waterpark, hotel, hingga provider telepon. Ditambah lagi ayahnya, Danny Maureen, menyuruh Maura untuk melanjutkan kuliahnya sebagai ilmu pendukung di bidang pekerjaannya. Maka jadilah hari-hari Maura dipenuhi kerja di kantor dan kuliah di kampus. Akhir pekannya pun diisi dengan tugas kuliah yang tak sempat Maura kerjakan di hari biasa.
Senin pagi ini Maura memasuki ruang meeting Maureen Group untuk mengikuti meeting rutin. Dengan segelas Frappucino di tangan dan senyum terkembang di bibir, Maura siap menghadapi tantangan hari ini. Hal yang membuat dia senang juga adalah karena topik tesisnya sudah disetujui dosen pembimbing. Semester depan Maura hanya tinggal mengerjakan tesis dan dia bisa menyelesaikan tugas belajarnya.
“Such a big smile on your face,” sapa Alden Maureen, sepupu tertua Maura.
“Everyday God gives you new chances and oppprtunities, why dont make it a best one?” balas Maura lalu melangkah menuju kursi, diikuti Alden yang mengangguk.
Meeting belum dimulai, baru ada ayah Maura sebagai Direktur Keuangan yang sedang membaca materi meeting pagi ini. Meski tinggal serumah, ayah dan Maura tidak pernah berangkat bersama. Di ujung yang lain ada Dylan Maureen, yang bertindak sebagai CEO sekaligus anak sulung dinasti Maureen, ayah dari Alden sekaligus kakak dari Danny Maureen. Om Dylan sedang mengobrol dengan Duncan Maureen. Paman Maura, anak kedua, sekaligus Direktur Risk & Strategies. Oh ya, Maura berdarah Inggris dan Sunda. Kakeknya, Seamus Maureen yang membangun bisnis dinasti Maureen. Dia menikah dengan perempuan pribumi berdarah Sunda, Ratna Djundjunan. Keduanya dikaruniai tiga putra, Dylan, Duncan, dan Danny Maureen. Dylan Maureen memiliki putra Alden dan Alvin yang keduanya juga memegang posisi sebagai top management di Maureen Group. Duncan Maureen memiliki tiga putra, Raven, Winston, dan Elmar. Baru Raven dan Winston yang masuk ke bisnis karena Elmar masih berkuliah. Hanya Duncan Maureen yang menikah dengan bule, Victoria Reed. Tidak heran ketiga bersaudara tersebut yang wajahnya paling ‘asing’ diantara sepersepupuan. Danny Maureen sendiri, ayah Maura, mengikuti jejak ayahnya dan menikahi seorang perempuan Sunda bernama Alya Satradiharja. Selain Maura, putranya adalah Charles Maureen, saat ini sedang menyelesaikan kuliah di bidang Hukum. Dengan sepupu yang semuanya laki-laki, Maura jadi primadona yang dijaga dan dilindungi oleh keenam pria tersebut.
“Shall we begin?” Om Dylan berdiri dan bergerak ke arah layar. Alvin, Raven, dan Winston sudah tiba, begitu juga dengan para direktur dan General Manager lainnya.
Om Dylan memulai dengan mereview pencapaian perusahaan mereka di berbagai bidang. Membahas masalah-masalah yang muncul secara sekilas, meninggalkan PR bagi para GM untuk dituntaskan. Maura mencatat beberapa tugas baginya selaku General Manager of Corporate Communication.
“And now we’re facing a new challenges in our property industries,” Om Dylan membelakangi layar dan entah kenapa matanya melihat Maura sekilas. “Hotel, perumahan, bahkan waterpark kita selama ini bekerja sama dengan importir khusus untuk keperluan housewares. Namun prediksi setahun ke depan, kebutuhan akan hal ini mampu menghabiskan hampir 50% dari biaya yang kita butuhkan untuk membuat suatu unit baru. Nominal tersebut terutama bertambah dari segi biaya pengiriman dan bahan.”
Om Dylan melanjutkan. Layar menampilkan desain-desain property dan housewares yang dimaksud. “Untuk tetap menjaga kualitas sekaligus memotong biaya yang tidak dibutuhkan, salah satu alternatif dikeluarkan. Pertama, untuk menciptakan housware sendiri. Kedua, bekerjasama dengan perusahaan lain.”
Semua orang masih diam mendengarkan.
“Opsi untuk menciptakan produk sendiri bukan tidak mungkin tapi waktu dan biaya yang diperlukan belum memungkinkan. Masa kontrak dengan supllier kita akan berakhir akhir tahun ini dan sesegera mungkin kita harus menemukan alternatif baru. Kami memutuskan untuk bekerjasama dengan perusahaan lain, perusahaan yang kualitasnya tidak lebih buruk dari supplier kita sebelumnya.”
Om Dylan menekan clicker dan tampilan layar berubah.
“PT. Sukaria Persada, established since 1990, known as number 1 housewares provider in Indonesia. Their business is not only about the housewares but also furniture and other home appliance. Their company grow so fast and predicted still well established for the next 10 years, due to their innovation and corporate values. Recently, they even launched new product included car and motorcycle appliances.”
Maura dan Alden saling melirik. Alden sudah tersenyum tapi Maura masih kebingungan.
“To beat number 1 company is hard. So why dont we work with them?” Om Dylan melanjutkan. Kali ini memandang semua peserta meeting satu per satu.
“So, start from today, we will begin our merger plan with PT. Sukaria Persada to make them one of our subsidiaries,” orang-orang bertepuk tangan. Maura pun ikut takjub akan keputusan ini. Maura melirik ayahnya dan ayahnya satu-satunya yang tidak bertepuk tangan. Maura merasa ada yang salah. “Tapi, tidak berhenti hanya pada merger, PT. Sukaria Persada akan resmi menjadi perusahaan keluarga milik Maureen Group, untuk mengembangkan unit bisnis MAureen Group. Therefore, they will be a unification of two families through marriage.”
Om Dylan mematikan layar. Memandang Maura. Perasaan Maura benar-benar tidak enak sekarang.
“Meeting dismissed. Thank you everyone. You may continue your work now,” Peserta meeting berdiri, bersiap kembali. Maura malah masih menempel ke kursi. “Duncan, Danny, Alden, and Maura, please stay.”
Maura memandang Alden. Alden mengangguk dan menepuk pundak Maura seakan memberi semangat. Maura masih belum berhasil mengkoneksikan apapun yang dikatakan Om Dylan tadi.
“Maura,” panggil Om Dylan.
“What was that mean?” Maura perlahan berdiri. Mendekati om dan ayahnya.
“Eldest son of the owner of PT. Sukaria Persada is a man. Maybe you already know him,” kali ini Om Duncan yang memulai.
“I dont…” Maura menggeleng.
“Rio Armando,” timpal Alden.
“What?”
“And we decided that marriage is much better to tighten the cooperation between two big company instead of just ordinary merger,” Om Duncan melanjutkan.
“Since the only girl in our family was only you…” Om Dylan berkata, tapi Maura memotong.
“Aku akan dinikahkan dengan Rio demi kepentingan perusahaan?” Maura memandang setiap orang yang tersisa di ruangan ini. Hanya Om Dylan yang mengangguk.
“What a very silly words I ever heard in my entire life!” seru Maura. “Ayah, how can you do this to me?”
“I did refuse this, Maura. Said you would not agree,”
“Of course,” Maura mengangguk.
“Tapi kebaikannya jauh lebih besar,” lanjut ayahnya.
“AYAH!” Maura memandang ayahnya tak percaya. Maura menghentakkan kaki dan berlari keluar ruang meeting.
***
Maura jarang menangis selama hidupnya. Ia dikenal keluarga dan teman-temannya sebagai anak yang ceria. Sekali-kalinya Maura menangis tersedu-sedu adalah ketika kelinci yang dipeliharanya meninggal setelah berkelahi dengan kucing. Rasanya hati Maura sakit melihat kelinci kesayangannya terkapar dengan berbagai luka.
Sekali lagi Maura menangis adalah hari ini. Tanpa perlu menunggu pukul 5--waktu normal pulang kantor--Maura langsung berangkat menuju Sudirman, dimana kantor Nadya berada. Nadya, teman terdekatnya sejak SMP hingga saat ini. Bukan dari golongan orang-orang berada tapi selalu paham apa yang dipikirkan Maura.
“Nad,” ujar Maura begitu sampai di lobby kantor Nadya.
“Maura, lo kenapa? Kok suara lo kayak orang nangis gitu?”
“Turun dong, gue di bawah nih,” lanjut Maura masih dengan sedikit sesenggukan.
“Oh My God, pasti ada hal besar nih sampai lo nangis-nangis dan nyamperin gue di kantor. Bentar gue rapiin barang dulu. Gue turun sekalian balik. 5 menit!”
Maura memutus sambungan telepon lalu duduk di sofa lobby, kembali menangis. Tidak percaya bahwa hidupnya akan ‘berakhir’ karena dijodohkan demi kepentingan bisnis keluarga.
“Mau,” suara Nadya terdengar. Maura mendongak lalu buru-buru memeluk Nadya. Security dan pegawai lain memperhatikan mereka. “Cupcupcup. Kenapa?”
“Gue nginep di kosan lo dong. Gue ga mau pulang ke rumah,” ujar Maura.
Nadya sedikit sangsi mengundang Maura ke kosannya. Maura bukannya tidak pernah melihat kosan Nadya yang bisa dibilang minimalis, tapi kadang Nadya segan mengajak Maura yang bergelimang kekayaan ke kehidupannya yang sederhana. Padahal Maura cuek-cuek saja. Lagipula melihat wajah sahabatnya yang kusut begini, Nadya tidak tega menolak.
“Yuk,” Nadya merangkul Maura dan bersama-sama mereka menuju kosan Nadya, tidak jauh dari kantor Nadya.
Nadya sudah duduk manis di depan Maura, setelah makan dan mandi, Maura rencananya akan menceritakan hal apa yang mengganggu pikirannya.
“Yang gue gak suka, ayah sama om-om gue membuat keputusan tanpa sepengetahuan gue. Bahkan tanpa menyadari bahwa gue ini manusia. Seakan-akan gue ini aset perusahaan yang bisa seenaknya mereka pergunakan demi menghasilkan profit. Gue memang karyawan yang bekerja disini, tapi gue juga punya pilihan dan pertimbangan lain kan? Belum lagi yang akan dijodohkan dengan gue itu Rio…”
“Yang mau nyium lo dulu itu?”
“Lo bahkan masih inget Nad?” Nadya mengangguk. “Itulah. Gue merasa sakit hati banget keluarga gue bisa memperlakukan gue seperti itu. Kayak gue ga punya perasaan.”
Maura menitikkan air mata lagi. NAdya buru-buru duduk di samping Maura dan memeluk Maura.
“Lo bisa menolak kan?” tanya Nadya.
“Oh I wish I could, Nad,” ujar Maura. “Ini semacam vonis yang gue bahkan gak tau salah apa. Mau banding juga gak bisa.”
“I’m sorry to hear that. Gue bisa bantu apa?”
Maura tersenyum, memandang sahabatnya. “Mau dengerin aja udah bantu gue banget kok Nad. Lo doakan gue aja supaya gue bisa tangguh menghadapi ini semua.”
Nadya mengangguk. “Lo pasti bisa Maura. Dengan ‘cobaan’ ini pasti kualitas diri lo akan meningkat satu tingkat atau lebih.”
“Haha. Aamiin. Makasih lho Nad,”
Mereka kembali berpelukan.
***
Jakarta, November 2014
Maura memandangi hujan yang turun dengan deras di luar. Suasana di luar ataupun di dalam Bengawan at Keraton at The Plaza begitu dingin tapi tak sedingin suasana hati Maura. Refleks, Maura menggerakkan tangan untuk memeluk tubuhnya yang sepertinya mulai kehilangan rasa.
“Maura,” terdengar suara ibunya. Maura menoleh dari jendela. Ibunya menggerakkan kepala ke arah pintu masuk. Maura mengangguk lalu mengikuti ibunya menuju meja tempat mereka akan makan malam.
“Selamat malam,” sapa Bapak Nurmawan Alano, CEO PT. Sukaria Persada sekaligus ayah Rio.
“Malam, apa kabar?” Ayah Maura menjabat tangan Pak Nurmawan dan mereka bertukar pelukan.
“Luar biasa,” jawab Pak Nurmawan. Ia dan istrinya bersalaman dengan orang tua Maura.
“Perkenalkan, putri sulung kami, Maura Maureen,” Ayah memanggil Maura. Dengan sopan dan senyum lebar Maura menyalami Bapak Nurmawan Alano dan Ibu Bestari Aninda. Dia dan Bunda sudah berkomitmen untuk menunjukkan pada orang lain bahwa Maura menyambut baik rencana ini. Padahal ibunya pun menolak perjodohan. Namun keduanya sama-sama tahu tidak ada gunanya membantah.
“Malam, Maura,” sapa Rio saat Maura menjabat tangannya, sekilas. Maura tidak menjawab. Ia malah memalingkan muka.
Pertemuan ini sengaja diadakan demi mendekatkan hubungan kedua keluarga. Pembahasan tentang merger diadakan pada pertemuan bisnis yang lain. Namun mengenai pernikahan, pertemuan ini juga harus dilaksanakan. Maura kembali seperti sifatnya dulu, berdiskusi dan mengobrol dengan ramah kepada siapapun. Satu hal yang disyukuri Maura, Rio bukanlah tipe orang yang banyak bicara sehingga Maura tidak terpaksa untuk mengajak ngobrol Rio. Dimana orang yang paling dibencinya disini adalah Rio.
Rencana pertunangan dibuat. Tepat seminggu sebelum penandatanganan rencana merger. Sedangkan pernikahan sendiri dilaksanakan di bulan Maret.
Makan malam selesai dan Maura tidak sabar untuk segera pergi.
“Maura,” Maura menoleh, melihat bahwa Rio yang memanggil namanya. Maura langsung melengos. Sedikit sebal karena orang tuanya masih mengobrol sehingga mereka belum bisa pulang.
“Maura,” panggil Rio lagi. Sekarang sudah berdiri di samping Maura.
“Gue gak setuju sama rencana perjodohan ini dan gue gak akan pernah setuju. Tapi gue tetap menjalani semuanya karena ini demi kepentingan perusahaan. Lo gak perlu berharap terlalu tinggi sama gue. Kita sama-sama jalani aja sandiwara ini sebaik-baiknya,” belum apa-apa Maura sudah memperingatkan Rio.
“Alright,” cuma itu respon Rio. Maura memandang calon suaminya ini, Rio juga balas memandang wajah Maura yang sedikit bule. Mereka berpandangan selama beberapa detik lalu Maura yang pertama memalingkan muka, tepat ketika supir mereka tiba.
***
Jakarta, Desember 2014
Sehari setelah Ujian Akhir Semester, Maura Maureen resmi menjadi tunangan Rio Armando. Pertunangan yang direncanakan hanya sederhana rupanya dibanjiri media yang sibuk meliput penyatuan dua perusahaan besar di tanah air. Berita ini masuk ke bagian ekonomi surat kabar online ataupun cetak, menandakan munculnya strategi baru dalam dunia bisnis.
Maura dan Rio menyunggingkan senyum lebar kepada para tamu dan media. Saling berpegangan tangan dan melempar tawa. Semua teman mereka hadir dan menganggap mereka pasangan yang bahagia dan serasi. Namun begitu seluruh tamu pulang, Maura bahkan tak melirik Rio dua kali. Ia langsung menarik Nadya untuk menginap di rumahnya. Meninggalkan orang tuanya sekalian.
***
Jakarta, Januari 2015
“Siang Tante. Ada aktivitas di sekitar sini?” Rio menyapa ramah pada Alya Sastradiharja, saat mereka tidak sengaja bertemu di Blue Grass.
“Lho, Rio? Kamu disini?” Bundanya Maura memekik kaget melihat Rio. Namun tangannya tetap terulur untuk disalami oleh Rio.
“Iya Tante. Kantor kan memang daerah sini,” jawab Rio sambil tersenyum.
“Bukannya kamu berangkat ke Shanghai sama Maura?” tanya Bunda Alya dengan keheranan.
“Shanghai?”
“Maura bilang dia mau nonton Michael Buble di Shanghai. Sama kamu. Makanya tante ijinin. Kok sekarang Rio disini? Udah selesai nontonnya?”
Rio menggeleng pelan. Selama beberapa minggu mereka bertunangan, tak pernah sekalipun Maura menghubungi Rio, apalagi mengajak nonton konser bersama. Di Shanghai pula!
“Jadi Maura ke Shanghai sama siapa?” Bunda Alya kebingungan. Dia langsung mengeluarkan handphone dan menelepon Maura.
***
Shanghai, Januari 2015
“Bunda?” tanya Maura takut-takut.
“Kamu masih di Shanghai sayang?”
“Masih Bunda,”
“Sama Rio?”
“I-iya Bunda.”
“Terus disini yang lagi makan siang sama BUnda siapa ya? Kok mirip banget sama Rio?”
Maura langsung lemas. Bohongnya ketahuan. “Sorry Bunda,”
“Kamu ke Shanghai sama siapa?” nada suara Bunda langsung galak.
“Calvin, Bunda,” jawab Maura pelan. Sadar namanya disebut, Calvin yang sedang duduk di samping Maura, menunggu boarding, langsung menoleh.
“Kalian kan udah putus! Kamu juga udah tunangan sama Rio. Ngapain masih keluar negeri sama orang lain? Ayo pulang!” Bunda terdengar sangat marah.
“Iya iya ini udah di bandara kok, nunggu boarding,” Maura menutup sebelah telinganya. Bundanya kalau sedang galak memang mengerikan.
“Pulang ke Indonesia Bunda jewer telinga kamu ya,”
Sambungan telepon diputus.
***
Hampir pukul 11 malam Maura dan Calvin mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Keduanya sama-sama lelah, tapi Calvin masih sempat menyunggingkan senyum lebar.
“Maaf merepotkan lo ya, sampai harus nemenin ke Shanghai segala,” ujar Maura saat mereka berjalan keluar.
“Aku suka Buble juga kok. Jangan khawatir,” jawab Calvin.
“Hmm, kita udah putus kan ya? Jadi manggilnya balik ke gue lo aja gimana?” Maura memutar bola matanya.
“Emang kenapa kalau pake aku kamu? Ga enak sama tunangan kamu? Aku kira ngajak ke Shanghai sekalian mau kabur dari tunangan.”
“Gak gitu juga sih,” jawab Maura. Mulai malas menanggapi pembicaraan Calvin. Calvin malah tertawa.
“Aku antar kamu pulang key?”
“No need to, Calv. Somebody has artived to pick me up,”
“Your driver?” tebak Calvin. Hafal kebiasaan Maura yang kemana-mana diantar supir.
“I guess yes,”
“...but actually not,” timpal Calvin. Mereka berdua terdiam siapa yang menjemput Maura di terminal kedatangan penerbangan internasional.
“Kamu lebih milih aku atau tunangannu, cantik?” Calvin bertanya pada Maura tapi matanya memandang Rio. Senyum licik terpasang di wajah Calvin. Such a playboy.
“Gue udah minta Mang Udin buat jemput gue,” jawab Maura, memandang Rio.
“Mang Udin pulang, anaknya sakit.” Hanya begitu jawaban Rio.
“Gue pulang pakai taksi aja kalau gitu,” Maura berbalik dan menuju taksi yang berjejer.
“Lebih baik kuantar,” Calvin segera berbalik. Rio juga.
“You’re my fiance, Maura,” celetuk Rio. Membuat Maura dan Calvin terdiam. “And its my duty to keep you safe.”
“So you think I cant make her safe?” mata Calvin menyipit.
Rio tidak gentar. Ia balas memandang Calvin.
“Alright boys. I’ll go with you, Rio.” Maura mendekati Rio tapi menoleh ke arah Calvin. “Thank you so much for your hospitality, Calvin. May our holiday will be remembered as time we shared as a friend. Take care,”
Maura berbalik, begitu juga Rio. Mereka berjalan dalam diam menuju lokasi parkir. Maura menaruh tas di bagasi dan duduk sambil melipat tangan.
“Please, dont you forget that i obliged to this marriage. Gue gak benar-benar mencintai lo. Lo juga gak mencintai gue kan? Lo juga terpaksa kan terhadap pernikahan ini?”
Maura memandang lurus ke arah Rio. Rio balas memandang Maura. Mulutnya tak berkata-kata. Tapi jelas sekali ekspreai Rio menunjukkan bahwa dia tak suka. Rio cemburu.
“Oh God. Please dont say that,” Maura menutup mulutnya. Rio berpaling, masih dengan ekspresi cemburu, Rio menjalankan mobilnya.
Saat itulah Maura tahu bahwa Rio tak punya pandangan yang sama seperti dirinya terhadap pernikahan ini.
***
Jakarta, Maret 2015.
Ballroom Hotel Indonesia Kempinski disulap menjadi begitu glamour. Ornamen gold dan silver memenuhi setiap sudut. Makanan berlimpah dan tamu-tamu mengobrol sambil menanti kehadiran raja dan ratu sehari ini.
courtesy of bridestory |
Tiga jam yang lalu Rio mengucapkan janji suci, menerima Maura Maureen putri dari Danny Maureen sebagai istrinya. Begitu acara akad nikah selesai, mereka langsung ke ruang ganti.
“Sini Mba ganti bajunya,” panggil sang penata rias.
“Disini?” tanya Maura.
“Iya. Apa Mba mau ganti dulu sama Masnya? Saya keluar. Kalau udah selese saya masuk lagi buat bantu rapiin.”
“Oh bukan,” Maura refleks menatap Rio.
“Ah gak usah malu-malu gitu. Kan udah suami istri. Gak apa-apa dong buka-bukaan,” lalu si penata rias terkikik. Maura malah bengong.
“Aku ganti di toilet aja.” Rio mengambil inisiatif. “Baju buat saya yang mana?”
Si mba usil segera mengambil baju adat Sunda yang disiapkan untuk pengantin pria. Rio mengambilnya dan langsung menyelinap keluar.
Tanpa banyak bicara Maura buru-buru melepas kebaya yang dia kenakan untuk akad. Khawatir Rio akan tiba-tiba masuk dan melihatnya dalam kondisi yang Maura tidak siap untuk dilihat. Ternyata selama Maura mengganti baju, didandani ulang, dirapikan sigernya, Rio belum masuk kembali. Baru saat penata rias keluar untuk mengecek, ia melihat bahwa ternyata Rio menunggu di luar ruang rias.
Setelah keduanya siap, mereka dijemput untuk prosesi resepsi.
“Ingatlah untuk berakting,” bisik Maura.
“I dont need to act,” begitu respon Rio. Membuat wajah Maura jadi panas.
Pintu ballroom terbuka. Didampingi kedua orang tua mereka, Maura dan Rio masuk ke ballroom dengan senyum terlebar yang mereka punya. Mereka melambai dan mengangguk pada tamu yang mereka kenali. Kebanyakan relasi bisnis orang tua.
Tersenyum, berterima kasih atas doa dan kehadiran, berpose untuk dokumentasu, berdiri selama 3 jam rupanya sangat menguras tenaga Maura. Ia begitu lelah, tepatnya lelah berakting bahagia. Sementara yang ingin dia lakukan hanya pergi dan mengingkari bahwa dirinya sudah resmi menjadi istri orang. Istri dari orang yang masih dia tidak sukai.
Maura dan Rio menginap semalam di hotel, sebelum besok pagi mulai menempati rumah yang sudah dibeli Rio di daerah Cempaka Putih.
“Gue mandi duluan. Lo jangan masuk. Dan nanti gue ga mau kita tidur satu kasur. Either lo atau gue yang tidur di sofa,” begitu ultimatum Maura saat mereka baru menginjakan kaki di kamar hotel.
“Aku di sofa,” jawab Rio. Mengangkat tas memasuki kamar hotel. Swmentara itu Maura langsung ngibrit ke kamar mandi.
Saat Maura keluar 1 jam kemudian, ia melihat Rio masih terjaga. Rio tampak sedang sibuk dengan laptop. Tanpa banyak bicara, Maura langsung masuk ke balik bed cover. Rio mendengar suara ribut Maura lalu mendongak.
“Gue ga bisa tidur dengan lanpu padam. Tapi kalau ada temen gapapa,” kata Maura dari balik bed cover. Rio tersenyum. Tahu 1 fakta baru tentang Maura.
***
Kedua orang tua Maura, orang tua Rio, Charles dan Nicko, menemani Maura dan Rio saat mereka menuju rumah baru. Maura melihat bahwa orang tuanya mulai berpikir Maura mulai membuka hati pada Rio. Padahal, tidak.
Mereka makan siang bersama (delivery tentu, ART untuk mereka belum tiba). Untuk menambah bumbu aktingnya, Maura bahkan beberapa kali memandang Rio dengan tatapan (yang diusahakan) penuh cinta. Kadang sengaja menyuapkan makanan kepada Rio. Rio menanggapinya dengan sedikit senyum, karena dia memang tipe orang yang tak banyak persediaan ekspresinya. Namun sedikit rona di pipi Rio menunjukkan bahwa dia senang. Walaupun tahu bahwa itu hanya akting.
Setelah para tamu pulang, Maura langsung menentukan hal baru. “Gue akan tidur di kamar yang terpisah. Barang-barang yang ada di kamar lo akan gue ambil sekarang juga.”
“Kenapa?” Rio menahan tangan Maura.
“Kita cuma akting Yo. Akting di depan orang lain. Di rumah ini kita ga perlu akting, ga perlu juga tidur bareng.”
***
Rutinitas baru bagi Maura. Setelah selesai mandi, yang ia hadapi di meja makan bukan lagi Ayah, Bunda, dan Charles. Melainkan hanya Rio seorang. Di rumah ini mereka ditemani 1 ART, Mbak Atik dan 1 supir, Mang Udin, yang pulang ke rumahnya di Bogor setiap akhir pekan.
Mbak Atik, akan menyiapkan sarapan bagi Maura dan Rio. Mereka akan makan dalam diam. Kadang Rio menyampaikan rencananya hari itu. Jika sudah begitu, Maura juga akan menyebutkan aktivitasnya. Setelah makan, Rio akan mengendarai mobilnya ke daerah Kuningan dan Maura bersama Mang Udin bergerak ke atah Gatot Subroto.
Maura masih perlu beberapa kali ke kampus untuk urusan tesisnya. Jika begitu, ia akan pulang larut malam dan mendapati Rio menunggunya untuk makan malam bersama. Kadang menceritakan apa yang mereka jalani seharian. Kadang saling terdiam. Setelah selesai makan, mereka masuk ke kamar masing-masing. Mandi, tidur. Begitu seterusnya.
“Aku harus dinas ke Yogya, seminggu. Ketemu calon supplier baru,” ujar Rio saat mereka sarapan.
“Oke,” komentar Maura.
“Kamu gak apa-apa aku tinggal?”
“Emangnya kenapa?” Maura balik bertanya.
“Gak apa-apa,” Rio menggeleng. Ia menghabiskan omelet lalu beranjak. “Kamu boleh ajak Nadya menginap kalau mau.”
“Oke,”
Terjadi kebisuan diantara mereka. Rio tidak paham harus berkata apa lagi maka ia memutuskan untuk segera berangkat kerja.
Rio's favorite breakfast |
***
Yogya, Mei 2015
Rio sedang di lounge Bandara Adi Sucipto, bersiap untuk naik pesawat kembali ke Jakarta, ketika telepon genggamnya berbunyi.
“Maura,” bisik Rio. Wajahnya langsung berseri. Jana, sekretaris Rio, memandang perubahan di wajah bosnya yang dingin dengan pandangan sendu. Sudah sekian lama menyimpan rasa pada sang atasan namun rasa itu langsung patah melihat sang bos menikah dengan perempuan cantik, kaya, dan pintar. Apalagi ditambah foto pernikahan Maura dan Rio yang dipajang begitu besar di ruangan Rio, membuat salit hatinya makin menjadi.
“Ya, halo Maura,” sapa Rio.
“Ini Nadya, bukan Maura,” sahut suara di sebrang sana. Rio langsung bingung.
“Nadya?”
“Lo dimana Yo? Buruan ke RS MMC! Maura kecelakaan!”
“Maura kecelakaan?” Rio langsung bangkit. Wajahnya panik. “Gimana ceritanya?”
“Gue jelaskan kalau lo udah disini. Lo dimana?”
“Gue masih di Yogya,” jawab Rio, mulai kesal.
“Ya ampun. Pokoknya begitu mendarat di Jakarta, lo langsung ke MMC.”
“Kondisi Maura gimana sekarang?”
“Masih ga sadar, Yo,”
Jawaban Nadya langsung membuat Rio lemas.
“Pak, udah dipanggil.” Jana menepuk bahu Rio.
“Oh ya,” Rio buru-buru menuju pesawat. Tidak sabar untuk bisa segera bertemu Maura.
***
Jakarta, Mei 2015
“Gila,” adalah kata yang pertama diucapkan begitu Maura sadar, hampir pukul 11 malam, dan melihat Nadya.
“Banget,” tambah Nadya yang duduk menghadap Maura.
“Untung yang kena cuma moncong mobil aja. BMW lagi. Tapi lo lumayan lecet-lecet sih. Tambah geger otak juga,” cerita Nadya.
“Gue ga amnesia?” tanya Maura.
“Lo ngarep banget amnesia?” Nadya mengerutkan kening.
“Nggak sih. Tapi klo amnesia mungkin gue bisa lupa gue udah punya suami.”
“Hush ga boleh gitu ah. Ngomong-ngomong suami, gue udah telepon suami lo,”
“What? Instead of calling my parents, you called Rio?”
“Rio suami lo. Tanggung jawab lo udah di pundak dia sekarang. Lagian ortu lo kan lagi ke Beijing. Si Charles juga lagi ke Bandung ama temen-temennya,”
“Hmpfh,” Maura mendengus. “Tapi dia lagi di Jogja.”
“Bentar lagi nyampe. Tadi udah SMS lo. Panik banget dia,” Nadya menyodorkan iPhone Maura.
“Maura?” Pintu kamar perawatan Maura dibuka. Masuklah Rio, di belakangnya ada seorang wanita.
Jika tidak melihat perempuan entah siapa itu, Maura sudah akan memarahi Rio karena terlalu ribut.
“I'm fine, Sayang. Ga kenapa-kenapa,” kata Maura sambil tersenyum. Nadya terkikik.
Rio berjalan menghampiri Maura dan menyentuh perban di kepala Maura. Wajahnya benar-benar cemas.
“Gimana ceritanya?” Rio menoleh ke arah Nadya.
“Gue sama Maura mau puter balik di Kuningan, deket Pasfes itu. Maura nyetir sendiri. Ternyata dari jalur busway ada yang ngebut dan telat ngerem. Nabrak lah idung BMW-nya. Tepat di sisi Maura. Langsung heboh sih itu. Yang nabrak dibawa polisi langsung, gue sama Maura langsung dibawa kesini. Gue sih gapapa, cuma memar dikit. Tapi Maura kan lumayan kena langsung. Dia luka-luka lecet dan gegar otak ringan.”
Rio memandangi luka-luka di lengan kanan Maura. Rio mengulurkan tangan ingin menyentuh tapi Maura menarik tangannya segera.
“Glad you fine,” kata Rio akhirnya. “Hmm, perkenalkan, ini sekretarisku.”
Jana maju, menyalami Maura an Nadya
“Senang berkenalan langsung dengan Mba Maura. Kemarin kita cuma papasan di pelaminan.”
Maura tersenyum simpul.
“Apa aku boleh ngambil barang di mobil Jana?” tanya Rio pada Maura.
“Oke,”
Jana pamit, Rio mengantar sekaligus mengambil barang di mobil Jana yang ia pakai untuk menuju ke RS MMC. Jana dijemput kakaknya dan Rio memutuskan untuk ikut. Rio bahkan tidak sempat meminta jemputan karena pikirannya tertuju pada Maura.
“Gue balik ya,” kata Nadya begitu Rio keluar.
“Ih jangan. Lo nginep sini aja. Ada kasur kan itu,”
“Gue mau istirahat juga cintaaa. Nih jidat gue juga luka lho. Lagian udah ada laki lo yang jagain.”
“Nad, ah,”
“Semoga cepet sembuh ya sayangku,” Nadya memeluk Maura dan mengecup pipi Maura lalu berbalik. Tak lama kemudian Rio kembali masuk.
“Gimana perasaan kamu?” Rio duduk di kursi di samping Maura.
“Baik,” jawab Maura datar. Kembali ke sikapnya yang asli.
“Istirahat ya, biar cepet sembuh,” Rio mengulurkan tangan untuk mengelus rambut Maura tapi Maura menjauh. Sehingga tangan Rio hanya menyentuh angin.
***
Rio memutuskan untuk cuti bekerja keesokan harinya. Setelah mandi dan sarapan, Rio memastikan perawatan pagi Maura dilakukan dan Maura menghabiskan sarapannya. Mereka kemudian saling terdiam. Rio membuka Macbook dan mulai mengerjakan entah apa. Sementara Maura memainkan iPhone atau memindahkan saluran TV.
“Selamat siang,” pintu terbuka dan muncullah Alden dan Winston. Membawa buket bunga yang besar. Maura langsung tersenyum sunringah.
“Hai cousins,” seru Maura. Rio berdiri dan menyambut sepupu-sepupu iparnya. Ternyata di belakang mereka masih ada orang lain, beberapa tim PT. Sukaria Persada.
“We heard about your accident and decided to come. You look healthy enough,” kata Winston, memandang Maura.
“Glad you dont see me dying,” sahut Maura, pura-pura cemberut.
“Aku ga tau bakal seperti apa kalau kamu benar-benar sekarat,” tanpa disangka, Rio berkata seperti itu. Ia duduk di tepi tempat tidur Maura, memandang istrinya dengan tatapan sendu. Maura sudah ingin mendorong Rio tapi tidak jadi karena ada banyak orang memperhatikan mereka.
“Geli,” cuma itu yang bisa dikatakan Maura.
Maura memperhatikan suaminya. Suami di buku nikah. Jambangnya mulai tumbuh, sepertinya pagi ini Rio tidak bercukur. Memberi dampak berbeda di wajahnya.
Entah mungkin Rio sadar dipandangi Maura, karena dia tiba-tiba balas memandang Maura. Buru-buru Maura mengalihkan pandangannya ke Alden dan Winston.
***
“Kamu dari mana?” tanya Rio begitu Maura memasuki rumah.
“Kenapa emang?” tanya Maura ketus.
“Ini udah jam berapa, Maura?” Rio menunjuk jam dinding.
“Jam setengah 12,” jawab Maura, nadanya mulai turun.
“Kamu gak bilang sama aku kamu mau pergi kemana sampai semalam ini. Biasanya jam 10 aja kamu udah pulang,” Rio menggeram.
“Lo kenapa sih Yo? Kan udah biasa gue pulang malem kalau kuliah,” Maura menghentakkan kakinya.
“Kalau kuliah. Aku sekarang gak tau kamu abis dari mana. Kamu gak bilang!”
Maura sesungguhnya kaget melihat Rio yang tak pernah banyak bicara sekarang begitu murka dan banyak berkata-kata.
“Hari Kamis kan emang jadwal gue bimbingan tesis. Dan tadi salah satu temen kuliah ada yang ulang tahun jadi kita makan dulu. Jadi pulangnya lebih telat,”
“Kamu bisa kan kabari aku kalau kamu pulang terlambat?!”
“Kenapa harus kabari lo?” nada suara Maura benar-benar meninggi sekarang. Dia tidak suka Rio membentaknya perihal dirinya yang pulang malam.
“I'm your husband,” desis Rio. “Kamu tanggung jawab aku. I'm worried about you, Maura. Telepon kamu gak nyambung, aku takut kamu kecelakaan lagi.”
“Gue gak pernah setuju dinikahkan sama lo! Gue gak pernah mau menjalani hidup gue sama lo! Maka dari itu gue gak pernah merasa lo sebagai suami gue!” Maura berteriak, marah, kesal. Air matanya mulai menitik. Rio kaget mendengar itu. Sedikit rasa bersalah terbersit di hati Maura tapi Maura tidak mau peduli. Maura membalikkan tubuh dan keluar dari rumah, mencari Mang Udin dan memintanya mengantar ke rumah orang tuanya. Rio tidak mengejar.
***
Alya Maureen sudah hampir terlelap setelah seharian mengurus persiapan acara charity Maureen Group. Tetapi ketika gerbang rumahnya dibuka dan menyadari bahwa mobil milik putrinya yang masuk. Alya langsung paham bahwa pasti ada hal yang salah jika putrinya pulang ke rumah orang tua tengah malam buta.
Alya membuka pintu rumah tepat ketika Maura sampai di pintu.
“Bunda,” panggil Maura.
Alya langsung mengulurkan tangannya dan Maura memeluk ibunya. Menangis sesenggukan.
“Maura gak pernah mau menikah dengan Rio. Maura gak pernah mau, Bunda.”
“Sayang, ada apa?”
“Rio dan Maura bertengkar. Maura ingin disini saja,”
“Masuk masuk. Mau Bunda buatkan teh hangat? Kamu masuk duluan ke kamar ya nanti Bunda menyusul.”
Maura masuk ke kamarnya yang dulu. Berlari ke orang tua saat ada masalah ataupun kebahagiaan sesungguhnya adalah hal yang paling tepat.
***
Rio menjemput Maura pada hari Sabtu. Setelah Maura curhat dan dinasehati oleh orang tuanya. Danny dan Alya Maureen akhirnya sadar bahwa Maura ternyata belum bisa benar-benar menerima Rio. Meski keduanya berusaha untuk menampilkan kehidupan rumah tangga yang damai.
“Aku minta maaf,” kata Rio ketika mereka dalam perjalanan pulang. Maura diam saja. “But I do really worried about you.”
Ketika Maura masih diam, Rio melanjutkan. “What can i do to make you forgive me? Or to make you happy?”
“Shopping?” akhirnya Maura bersuara.
“Is GI alright?” tanya Rio.
Maura mengangguk. Rio langsung memutar mobil yang menjauh dari kawasan Menteng, menuju salah satu mall sophisticated di Jakarta.
Maura memasuki toko satu per satu. Mencoba pakaian, sepatu, mencari aksesoris, kacamata, membeli kue, dan lainnya. Setiap Maura ingin membayar barang belanjaannya, setiap itu pula Rio mengangsurkan kartu kreditnya. Rio pula yang menawarkan membawa barang belanjaan.
“It cost almost 20 million,” bisik Maura sedikit tak enak.
“Its okay,” jawab Rio. “Do you forgive me?”
“I dont know. Gue masih belum benar-benar menerima pernikahan ini,”
“Aku akan membuat kamu menerima, Maura.”
Maura memandang Rio, tak berani menjanjikan apa-apa.
***
Jakarta, Juni 2015
Pritha and Eldrian just had their baby girl. Maura begitu bersemangat mengetahui berita itu. Tak perlu menunggu lama, Maura langsung mengajak Elnora menengok keponakannya.
“Gue udah di rumah sakit dari pas Pritha pecah ketuban, Mau. Lo kesini aja sama Rio. Gue disini kok,”
“Oh. Oke,”
Maura memutuskan teleponnya. Diam-diam melirik Rio yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Maura memilih berkunjung sendiri saja.
“Maura,” panggil Rio. Menghentikan langkah Maura yang bergerak menuju kamarnya.
“Pritha baru melahirkan,” ujar Rio. Maura mengangguk. “Kita kesana besok ya.”
“Oke.” Mau tidak mau Maura mengangguk.
Pritha sedang menyusui bayinya saat Maura dan Rio sampai. Rio langsung menyelamati Eldrian yang sekarang terlihat begitu bijak padahal dulunya pecicilan.
“Siapa namanya Prit?” tanya Maura dengan nada suara yang begitu lembut. Jemarinya menyentuh pelan pipi si bayi.
“Berliana Calista Elditha. Panggil aja Baby Cal,” jawab Pritha juga memandang bayinya.
“Halo, Baby Cal,” panggil Maura. Baby Cal begitu kecil. Ia bergerak-gerak di pangkuan ibunya.
Di sisi lain, Rio memperhatikan betapa cocoknya Maura dengan bayi. Sesungguhnya Rio juga ingin memiliki bayi sendiri.
“Kapan?” Eldrian menyenggol Rio, menyadarkan dari lamunan.
“Apanya?”
“Kasih temen buat anak gue,” Eldrian nyengir.
“Oh,” Rio kembali memandang Maura. “Maura belum mau.”
“Karena?”
Rio mendeham. Tak mungkin bilang bahwa Maura masih membencinya. “Gue sama dia masih sama-sama sibuk. Maura juga masih kuliah. Mungkin setelah dia selesai tesis.”
“Jangan kelamaan nunda. Takutnya pas lo udah bener-bener pengen malah belum dikasih,” Eldrian menasihati. Tumben bijak.
“Oke bro. Thank you,” Rio menyodorkan tinjunya, dibalas dengan hal yang sama oleh Eldrian.
Maura terdiam sepanjang jalan, memperhatikan foto-foto yang dibuat tadi bersama Baby Cal. Rio diam-diam mengagumi istrinya ini. Sejak dulu Rio memang selalu kagum. Kepintaran Maura, keceriaan Maura, pergaulan Maura, semuanya. Sayangnya hingga saat ini Maura tak sedikit pun balas mengagumi Rio, apalagi mencintai.
Rio mengikuti Maura masuk ke dalam rumah. Bahkan tidak melepas jejaknya saat Maura akan masuk ke kamar.
“Ada apa?” Maura berbalik memandang Rio.
“I wanna have a baby,” jawab Rio.
“Errr, no, never,” Maura menggeleng.
“Why?” Rio mendekati Maura. Membuat Maura mundur semakin dalam ke kamarnya.
“Lo tau gue belum benar-benar menerima pernikahan ini kan?” ujar Maura berusaha galak. Tapi sungguh Maura agak takut dengan sorot mata Rio saat ini.
“Sampai kapan?” Rio melangkah semakin maju, membuat mereka benar-benar sudah masuk ke kamar Maura. Rio segera menutup pintu dan menguncinya.
“Sa-sampai...kenapa lo kunci pintunya?” pekik Maura.
Rio langsung menarik Maura dan menciumnya. Maura berusaha berontak, mendorong bahu Rio namun Rio memeluk Maura sangat erat. Mereka terjatuh ke tempat tidur.
“Rio!” pekik Maura, masih berusaha melepaskan diri. Rio tidak berkata apa-apa tapi terus menciumi sang istri. Maura yang awalnya menolak lama kelamaan akhirnya menurut. Malam itu mereka resmi melakukan apa yang harusnya dilakukan sepasang suami istri.
“I love you,” bisik Rio di telinga Maura setelah mereka selesai.
“I hate you,” balas Maura sambil terengah-engah. Rio memejamkan mata, berusaha bersabar menghadapi keras kepalanya Maura. Rio bangkit dari tempat tidur, mengambil pakaiannya dan masuk ke kamarnya sendiri. Sementara itu Maura memeluk tubuhnya, menangis lagi.
***
Depok, Juli 2015
Sidang tesis Maura. Dihadiri teman-teman sekelasnya dan juga Nadya yang sengaja mengambil cuti demi mensupport sahabatnya. Maura deg-degan, Nadya menepuk tangan Maura, menguatkan.
“Udah sering presentasi di kantor kan? Bisa dong,” ujar Nadya.
“Di kantor kan presentasinya sama om dan ayah. Ga ngefek,” Maura menunduk. Padahal dia pernah juga mengalami hal begini tapi tetap saja ini mendebarkan.
Nadya tertawa. “Udah pokoknya tenang aja. Lo pasti bisa. Ini semua kan lo yang ngerjain.” Maura mengangguk. “Inget, wajar aja kalau ada yang lo ga ngerti. Namanya juga manusia, masih bodoh, makanya cri tahu dengan kuliah lagi.”
Gantian Maura yang tertawa. “Lo bijak amat ya siang ini. Lagi overdosis?”
Nadya ikut tertawa. Tidak lama kemudian sidang tesis dimulai. Sesi presentasi dilanjut sesi tanya jawab. Ditutup dengan pengumuman kelulusan Maura di strata 2.
“Congratulations! Nambah panjang deh tuh namanya,” seru Nadya sambil memeluk sahabatnya.
“Menurut lo ajaaaa,” timpal Maura. Mereka berdua tertawa.
“Maura?”
Maura melepas pelukannya pada Nadya. Mereka berdua memandang siapa yang baru tiba.
“Maaf aku telat. Gak bisa nonton kamu,” Rio, masih dengan jas lengkap, berjalan sambil memangku sebuket bunga.
“Its okay,” ujar Maura pelan.
“Congratulations. Semoga ilmu kamu bermanfaat ya,” Rio menunduk dan mengecup pipi Maura. Maura bisa saja mendorong Rio namun dengan kondisi banyak orang di sekitarnya, Maura cuma bisa tersenyum dan menerima kecupan Rio di pipinya.
“Thank you, Hubby,” kata Maura semanis mungkin. Rio mengangguk
***
Pasca kejadian malam itu, keduanya seakan melupakan apa yang mereka lakukan. Maura dan Rio menjalani kehidupan seperti biasanya. Hanya saja setelah Maura selesai kuliah, Rio meminta Maura untuk pulang ke rumah lebih cepat. Walaupun pada setiap malam mereka akan bicara seperlunya saat makan malam lalu masuk ke kamar masing-masing.
“Aku berangkat ke Itali minggu depan. Cukup lama, 3 minggu. Kamu mau ikut?” tanya Rio saat mereka sarapan berdua.
“Nggak. Banyak kerjaan di kantor,” jawab Maura sambil menunduk, memandang sarapannya.
“Oke. Nginep di rumah Bunda aja kalau gitu ya?”
“Lets see,” jawab Maura acuh tak acuh.
***
Jakarta, Agustus 2015
Rio berangkat ke Itali dengan penerbangan malam. Maura tidak ingin mengantar tapi Rio memaksa, bahkan melalui Bunda. Sehingga Maura terpaksa mengantar Rio ke bandara, bersama Bunda juga.
Rio berangkat dengan seorang temannya dari perusahaan lain. Tujuan mereka memang untuk studi banding dan mencari lahan bisnis baru. Hal ini membuat Maura harus berakting. Padahal di depan Bunda, Maura sudah berhasil untuk mengacuhkan Rio.
“Aku berangkat ya,” ujar Rio di depan Maura dan Bunda.
“Ah ha,” sahut Maura.
Rio mendekatkan wajahnya ke Maura. Sedetik, Maura ingin mundur tapi teman Rio memperhatikan mereka. Maka Maura membiarkan Rio menciumnya. Rio bahkan mengulurkan tangannya, Maura meraih tangan itu dan menciumnya. Terakhir Maura melakukannya adalah saat mereka menikah. Rasanya ada yang aneh dengan tingkah laku Rio ini.
“Take care, sayang. I love you,” Rio pamit pada Maura setelah pamit pada Bunda. Maura mengangguk-angguk lalu Rio berbalik dan mulai masuk lounge.
“Sedih?” tanya Bunda.
“Nggak. Biasa aja,” jawab Maura cuek. Memutar badan dan menelepon Mang Udin untuk menjemput mereka.
***
Jakarta, akhir Agustus 2015
Maura tiba-tiba merasa pusing. Dunianya berputar. Maura cepat-cepat memegang tembok. Seorang OB melihatnya dan cepat-cepat menghampiri.
“Bu Maura kenapa? Ada yang bisa dibantu?”
“Nggak, saya gapapa Nang. Cuma pusing sedikit. Kayaknya karena belum makan.” Maura mengangkat tangannya, memijat sedikit kening.
“Udah jam 3 Bu. Belum makan? Mau saya beliin apa?”
“Boleh. KFC aja yang gampang,” jawab Maura masih sambil memijat keningnya. Ia mengeluarkan selembar uang 50ribuan dan memberikannya pada Danang.
“Gak mau yang lebih sehat Bu?”
Maura menggeleng. Ia menghela nafas lalu mulai berjalan ke ruangannya. Danang memperhatikan Maura, khawatir kenapa-kenapa. Ternyata benar saja, mata Maura mendadak gelap dan Maura jatuh pingsan.
***.
Maura bermimpi tentang Rio. Dalam mimpi itu Rio tertawa begitu lebar. Sesuatu yang jarang dia lakukan. Disitu Rio terlihat begitu tampan dan mereka begitu akrab.
Maura tiba-tiba teringat iMessage yang selalu dikirimkan Rio sejak mereka berpisah karena Rio berangkat ke Italia. Hanya 1 pesan yang Maura balas, ketika Rio meminta Maura berangkat ke Pondok Indah karena mama Rio berulang tahun.
Maura tiba-tiba ingat Rio.
“Maura?”
Maura membuka mata dan melihat Danny Maureen sedang membungkuk ke arahnya.
“Ayah,” gumam Maura.
“Masih pusing?”
“Hmm,” Maura memejamkan matanya lagi.
“Kamu makan dulu sedikit ya. Nanti pulang dengan Mang Udin. Ayah sudah minta Bunda panggilkan dokter ke rumah.”
Maura menurut. Ia makan dibantu salah seorang temannya kemudian pelan-pelan turun ke lobby. Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tuanya di Menteng, Maura memejamkan mata.
Bunda menyambut Maura dan langsung memapah Maura menuju kamar. Bahkan saat itu ada Charles di rumah dan dia membantu kakaknya juga. Maura ingin menepis tangan Bunda dan Charles karena rasanya dia tidak serapuh itu. Tapi ternyata tubuh Maura memang lemas sekali.
Dokter Rahma, sudah berusia 50 tahun tapi masih lincah, adalah dokter kepercayaan keluarga Danny Maureen. Saat Maura masuk ke kamar, Dokter Rahma mengikuti.
Serangkaian tes dilakukan. Setelah selesai, Dokter Rahma menoleh pada Bunda Alya dan Maura bergantian.
“Selamat ya jeng, bentar lagi punya cucu,” kata Dokter Rahma. Bunda langsung sumringah sementara Maura malah mengernyit.
“Aku...hamil?”
Dokter Rahma tersenyum dan mengangguk. “Perlu dicek lebih lanjut usia dan kondisinya bagaimana. Tapi melihat kondisi Maura keseluruhan, sepertinya kamu harus jangan terlalu kecapean. Takutnya ngeflek, khawatir janinnya kenapa-kenapa.”
Maura menelan ludah. Dia benar-benar tidak menyangkan kejadian malam itu benar-benar membuatnya hamil.
“Saya pamit dulu ya. Jangan lupa makan yang banyak aja. Mungkin bed rest juga besok. Nanti cek ke dokter obgyn ya ada kenalan saya Dokter Tiana,”
“Makasih ya Rahma,” Bunda menggamit lengan Dokter Rahma. Bersama-sama mereka keluar.
Maura mengerang. Kesal. Sungguh ia kesal pada Rio karena membuatnya hamil.
“Aaaaah, Rio menyebalkan!” teriak Maura.
***
Maura keluar dari kamar, berusaha untuk mencari suasana baru. Mungkin duduk-duduk di depan TV. Ia melihat adiknya di depan TV. Maura berjalan pelan menghampiri adiknya.
“Char,”
“Eh? Eh,” Charles buru-buru memindahkan channel TV.
“Kenapa dipindahin? Lagi nonton berita kan?”
“Beritanya ga seru Kak,” kata Charles, berusaha menyembunyikan remote.
“Balikin lagi dong kayaknya tadi aku lihat ada Itali-Italinya gitu,”
Charles menelan ludah. Mau tidak mau dia mengembalikan channel ke berita tadi. Berita sedang membahas mengenai kecelakaan pesawat yang terjadi di Italia baru-baru ini. Mata Maura melebar, perasaannya mulai sesak. Charles memperhatikan kakaknya dengan khawatir. Layar kemudian menampilkan nama-nama penumpang pesawat.
“Rio Armando,” bisik Maura. Membaca salah satu nama disitu, nama yang dinyatakan sebagai salah satu penumpang pesawat yang kecelakaan karena menabrak gunung. Charles ikut melihat hal yang sama. Perasaan tidak enak Maura akhirnya terbukti. Cengkraman tangan Maura di sofa perlahan mengendur. Maura pingsan untuk kedua kalinya hari ini.
***
Jakarta, September 2015
Maura seharusnya menghadiri wisuda di kampus. Tapi Maura tidak mampu. Seminggu ini diadakan pengajian di rumah mertuanya dan Maura tidak keluar rumah selama seminggu ke belakang maupun 30 hari ke depan.
Maura seperti orang linglung. Dia menerima ucapan belasungkawa dari orang-orang, dari paman dan bibi, dari sepupu-sepupunya, dari Elnora, dari Pritha, Eldrian dan Baby Cal, dari Irman, juga dari Nadya. Tapi Maura cuma diam, mengangguk.
Orang-orang pun tahu bahwa saat ini Maura sedang mengandung. Itu menambah kesedihan mereka juga. Beberapa ikut menangis tapi Maura hanya tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak yakin Rio sudah benar-benar meninggal. Jika benar, Maura bingung apa harus sedih karena separuh perasaannya masih ingat Rio sebagai orang yang tak dia sukai.
Malam-malam Maura lalui dalam keheningan. Dia terbiasa tidur sendirian tapi akhir-akhir ini kesendiriannya begitu mengecam. Puncaknya adalah ketika Maura sedang sarapan dengan omlet, ia teringat itu sebagai menu sarapan favorit Rio. Tangis Maura meledak. Orang tua dan adiknya langsung panik.
“Rio used to ate this almost every single day,” kata Maura di sela tangisnya.
“Oh sayang. Ikhlaskan ya,” Bunda memeluk Maura, Ayah mengelus rambut Maura, dan Charles mengelus tangan kakaknya.
“Kita istirahat di kamar aja ya,” Bunda mengajak Maura ke kamar. Maura berbaring di pangkuan ibunya.
“Rio paling senang makan omelet Bun. Maura ga pernah masakin, selalu buatan Atik. Rio pernah minta Maura masak tapi Maura ga mau. Maura ga bisa.”
Bunda Alya mengangguk, mengelus rambut Maura.
“Rio selalu menunggu Maura kalau Maura pulang terlambat. Setelah itu kita makan malam lalu tidur. Tapi Maura gak pernah menunggu kalau Rio pulang terlambat,” Maura mulai menangis.
“Rio sering ngajak Maura belanja, Rio tau Maura senang belanja. Dia gak pernah protes kalaj Maura belanja berjam-jam dan bahkan ngabisin beberapa juta,”
“Rio selalu menyempatkan menelepon Maura minimal sehari sekali. Hanya untuk menanyakan kabar Maura. Padahal seharian Maura di kantor. Gak kemana-mana,”
“Kata sekretarisnya, Rio majang foto pernikahan kami di ruangannya. Sementara Maura gak pernah masang foto Rio dimana pun,” tangis Maura semakin banjir.
“Waktu Maura kecelakaan, Rio sangat panik. Bahkan sampai gak masuk kerja demi menemani Maura.”
“Rio bilang dia cinta Maura. Tapi Maura ga pernah sedikit pun bilang cinta sana Rio.”
Bunda mengelus rambut Maura, wajahnya ikut sedih melihat putrinya mengingat kenangan dengan suaminya yang telah tiada.
“Maura merasa sangat bersalah pada Rio, Bunda. Maura selalu jahat pada Rio. Sekarang Maura menyesal. Maura kangen Rio,”
Maura menangis lebih keras. Tangis berisi sakit hati karena tak sempat berbuat lebih baik pada Rio. Sekarang sudah tak ada kesempatan bahkan hanya untuk meminta maaf pada Rio. Maura sungguh sangat merasa bersalah. Dan ya, Maura kangen Rio. Maura ingin bertemu Rio.
***
Jakarta, 23 September 2015
Maura tidak ingat bahwa hari ini dia berulang tahun. Ia juga tidak peduli. Siang tadi Maura mengunjungi dokter Tiana dan mengetahui usia kandungannya sudah 14 minggu. Sepulang dari dokter, Maura duduk di halaman belakang dan mengerjakan pekerjaan kantornya.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dan muncullah kelima sepupunya, Charles, juga Nicko, kedua orang tua Maura dan mertuanya. Bahkan Nadya.
“Happy birthday ya Sayang,” Bunda yang pertama kali menghampiri Maura. Mengecup pipi putrinya.
“Terima kasih Bunda,”
Semua orang menyalami Maura satu per satu. Berikutnya, Nadya mengangsurkan kue ulang tahun Maura. Warna pink dengan huruf M. Maura terkikik.
“Make a wish dulu, cin,” kata Nadya.
Maura memejamkan mata dan berkata dalam hati. “I want Rio back, God. I promise i’ll be better.”
***
Jakarta, November 2015
Gak percaya bahwa baru setahun lalu Maura ditentukan untuk menikah dengan Rio. Waktu berjalan sangat cepat rasanya. Pertumbuhan Maureen Group setelah disokong PT. Sukaria Persada jadi lebih baik.
Maura sudah kembali ke kantor. Untuk melupakan kesedihannya (ya, Maura masih sedih), Maura bekerja begitu keras. Perutnya semakin membesar dan yang Maura bisikkan adalah “yang kuat ya Nak.”
Bunda beberapa kali memarahi Maura karena pulang terlalu larut. Tapi Maura tetap bandel. Ia butuh pengalih perhatian.
“Mang Udin, boleh ke rumah Cempaka Putih?”
“Iya Neng,”
Maura tiba-tiba ingin pulang ke rumahnya dengan Rio. Disana ada Atik yang bantu merawat rumah. Maura mengelus perutnya. Jadwal rutin kunjungannya ke dokter pekan lalu menunjukkan bayinya berjenis kelamin perempuan.
“Teteh, kita ke rumah mama sama papa ya. Teteh belum pernah kesini kan?” Maura bicara pada bayinya. Maura merasakan bayinya bergerak dan ini memberi kehangatan pada diri Maura.
Maura menapaki setiap tangga di rumahnya yang masih terawat rapi. Berjalan menuju kamar yang biasa ditempati Rio. Pelan-pelan Maura masuk dan tercengang.
Di kepala tempat tidur ada salah satu foto prewedding mereka. Maura tersenyum simpul mengingat ini. Pemotretan mereka hanya satu hari dengan 6 kostum dan background berbeda. Maura berkali-kali memperingatkan pengarah gaya untuk jangan memberikan gaya yang memerlukan sentuhan atau ciuman. Tapi dia berhasil membuat gaya dimana Maura berbaring di rerumputan dan Rio berbaring di sebelahnya, berlawanan arah, memandang Maura dalam jarak hanya 5 senti.
Kamar yang minimalis ini tidak banyak ornamennya. Maura menghampiri meja rias dan baru menyadari ada 1 kotak berhias pita hijau. Di atasnya terdapat kartu ucapan.
“Happy birthday, My Wife. I love you. -R”
Maura terenyuh melihat itu. Ternyata Rio bahkan sudah mempersiapkan hadiah untuk Maura dua bulan sebelum ulang tahunnya. Maura jatuh terduduk. Menangis lagi. Menyesali sikapnya yang begitu ketus pada Rio.
Malam itu Maura tidur di kamar Rio. Memeluk salah satu kemeja Rio demi merasakan keberadaan Rio di sisinya.
***
“Maura, ingat jangan pulang terlalu malam ya. Malam ini kita mau makan malam sekeluarga,” ujar Bunda melalui telepon. Maura mengecek arlojinya.
“Iya Bunda. Maura pulang jam 5 ya. Sekarang masih jam 3 kok,”
“Iya, Bunda ingetin aja takut kamu keasyikan kerja. Kasian ntar makan malem ulang tahunnya Charles keburu dingin. Oiya ayah aja udah pulang nih,”
Maura memutar bola mata. “Ayah kan direktur. Mau pulang besok juga gapapa,”
“Hush. Ya udah, pokoknya pulang cepat ya sayang. Cucu Bunda gimana? Lagi apa?”
“Lagi bobo kayaknya Bun,” Maura mengelus perutnya. “Dari tadi diem aja.”
“Mungkin nyuruh mamanya buru-buru pulang, jangan kerja terus.”
“Bunda bisa aja,”
“Oke, see you tonight darling,”
Maura menyimpan iPhone lalu menunduk memandang perutnya. Sudah beberapa jam terakhir bayinya tak bergerak, bahkan Maura sedikit merasakan sakit di perutnya.
“Teteh gapapa kan? Sehat kan?” tanya Maura sambil mengelus perutnya. Tidak ada respon. Maura banyak berdoa saja.
Sesuai instruksi Bunda, pukul 5 Maura sudah pulang. Mang Udin sudah menunggunya di Area drop off. Begitu Maura ingin masuk, tiba-tiba perutnya terasa begitu sakit.
“Ouch,” seru Maura.
“Kenapa neng?” Tanya Mang Udin.
Maura menggigit bibir lalu menoleh kepada Mang Udin, senyum. “Gapapa Mang. Sakit dikit,”
Maura masuk ke mobil dan Mang Udin langsung menjalankan mobil. Sakit perut Maura makin menjadi. Maura berusaha menarik nafas dalam, mengoleskan minyak kayu putih, dan memejamkan mata. Tapi sakitnya tak kunjung hilang.
Saat Maura menggeser duduknya, barulah ia sadar joknya basah. Saat Maura mengoleskan jarinya ke pahanya (akhir-akhir ini Maura mengenakan baju hamil berbentuk rok), ia melihat tangannya berwarna merah.
“Kyaaaaaaa,” teriak Maura. “Mang Udin, Mang Udin. Rumah sakit! Cepet cepet rumah sakit mana aja,”
“I-iya Neng,”
Maura berusaha meyakinkan semuanya baik-baik saja. Walaupun ia tak begitu yakin. Begitu sampai di rumah sakit, Maura langsung meminta Mang Udin menghubungi Bunda. Maura komat kamit berdoa semoga bayinya baik-baik. Ia sudah kehilangan suami, Maura tak mau kehilangan bayinya juga.
Namun malang tak dapat ditolak. Dokter mengatakan bayi Maura meninggal dalam kandungan. Harus dikeluarkan saat ini juga. Operasi langsung dilakukan karena Maura tidak bisa mengeluarkannya sendiri. Maura menjalani semuanya sambil menangis. Ayah, Bunda, dan Charles belum tiba. Maura hanya bisa berdoa.
Maura terus menangis saat dipindahkan ke ruang rawat. Keluarganya sudah tiba. Begitu sampai di ruang rawat VVIP, Bunda langsung memeluk Maura.
“Maura kehilangan Rio. Sekarang Maura kehilangan bayi Maura juga,”
“Sabar sayang. Sabar,” ujar Bunda. Ikut menangis bersama Maura.
“Salah Maura apa, Bunda?”
“Ga ada salah, Sayang,” Bunda mengelus rambut Maura terus. Hingga Maura tertidur kelelahan.
***
“Gue ikut sedih. Banget,” ucap Nadya begitu sampai di samping Maura.
Maura menyunggingkan senyum sedikit tapi setelah itu wajahnya kembali mendung.
“Yang kuat ya Mau,” bisik Nadya. Memeluk erat sahabatnya.
“Suami gue meninggal. Sekarang bayi gue juga. Gue gak sekalian?”
“Ish,” Nadya menyentil kening Maura. “Gak boleh ngomong gitu. Lo harus bersyukur masih hidup. Lo masih punya banyak kesempatan lain.”
Maura menggeleng.
“Gue mau ketemu Rio. Gue mau minta maaf,”
“Gue yakin Rio udah maafin lo kok. Dan lo ga bisa minta yang meninggal untuk kembali lagi.”
Maura tahu itu. Maura tahu. Dan itu yang membuatnya sedih.
***
Jakarta, Desember 2015
Hujan turun semalaman, membuat pagi ini suasana jadi sedikit sendu. Maura baru saja bangun dan berniat untuk berjalan-jalan. Semalam ia tidur di kamar Rio lagi, di rumah mereka di Cempaka Putih. Maura selesai mandi dan berpakaian. Berniat untuk berkeliling menyapa tetangga atau melihat aktivitas pagi. Tepat saat Maura membuka pintu, tepat saat Atik berdiri di depan kamarnya dengan wajah kaget.
“Bu..”
“Kenapa Tik?”
“A-ada.. Pak Rio,”
Maura membelalak. Ia langsung menuruni tangga dan melihat seseorang berdiri di pintu masuk. Orang itu menoleh saat mendengar Maura turun.
“Rio, is that you?”
“Maura…” Panggilnya. Suara yang sama. Maura berjalan perlahan menghampiri Rio. Wajahnya dipenuhi jenggot. Dia tampak begitu lelah.
“You’re alive?” bisik Maura, mengelus pipi Rio.
“I am,” jawab Rio, menyentuh pipi Maura juga.
“Where have you been?” Suara Maura mulai serak.
“Aku pulang sehari lebih cepat. Tapi di pesawat itu namaku masih tercantum memang. Sayangnya aku dirampok saat transit. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa mengurus kepulangan, mencari orang yang membantu disana.”
“Why dont you call me? I thought you were dead,” Maura mencubit pipi Rio.
“I'm sorry. I'm so sorry,”
Air mata Maura akhirnya merebak. Ia menyurukkan kepala di dada Rio.
“I lost the baby,”
“The what?”
“Our baby,” bisik Maura.
“Oh,” Rio tak berkata apa-apa tapi ia memeluk Maura sangat erat. Mencium puncak kepala Maura.
“Aku minta maaf atas semuanya. Aku minta maaf karena sering menyakiti hati kamu, Rio.”
“Kamu tidak pernah menyakitiku, Maura,” Rio mengelus kepala istrinya.
“Rio, shall we begin again?” Maura menatap Rio langsung ke matanya.
“Yeah, lets start everything all over again,” Rio mengangguk.
“I love you,” kata Maura. Mata Rio melebar mendengar itu. Senyum mengembang di bibirnya.
Rio mencium kening Maura, kedua pipi Maura, hidung Maura, dan kemudian bibir Maura. Kali ini Maura melakukannya atas keinginannya sendiri.
“I love you too and we will never be separated again. We’ll have a lot of kids,” bisik Rio.
“Oke,” kata Maura, terkikik. Mengeratkan pelukan pada suaminya.
-THE END-
Komentar