Stuck On You



Another wedding of a friend. Fortunately, the question of “kapan nyusul?” has been decreased since the declaration of my master degree. Gak perlu ditanyain juga harusnya semua orang tahu aku mau kuliah dulu.
Yaaa itu jawaban aman sih. Kenyataannya, pacar aja gak punya. Mau nikah ama siapa? Setidaknya jawaban “mau kuliah dulu” bisa jadi tameng sementara daripada jawab “ga tau mau nikah ama siapa”. Sementara, soalnya kalau yang kepo pasti bakal bilang, “lho jangan ngejar karier terus, nanti keasyikan terus lupa nikah.” Ya ya ya. Kayak aku lupa aja soal nikah padahal temen-temenku satu per satu nikah.
Kayak yang sekarang ini. Salah satu temen deketku selama kuliah, Fitri, akhirnya nikah sama pacarnya yang udah dipacari dari 9 tahun lalu. Ga bosen gitu ya. Kalau nyicil KPR, bentar lagi juga lunas. Kalau nikah dari dulu, sekarang anaknya udah kelas 4 SD kali. Etapi kalau nikah pas 15 tahun berarti di bawah umur ya. Ga boleh dong.
Fitri manis banget hari ini. Dia terbiasa di make up sih jadi ga begitu pangling. Tapi ekspresinya yang terlihat sangat bahagia bikin dia kelihatan manis, glowing di atas pelaminan. Aku suka pilihan kebaya Fitri, warna abu-abu dan gold jadi terlihat sangat elegan. Belum lagi pandangan Sean ke Fitri yang bikin pemandangan ini makin manis.
“Thinking of when will you be in the stage and become a bride?”
“Nggak tuh,” aku menjawab cuek atas pertanyaan iseng Yunus di sebelahku.
“Oh kirain. Dari dulu ngomong pengen nikah mulu soalnya,” Yunus membalas, senyum lebar tersungging di mulutnya.
Aku respon kata-katanya sambil menonjok pelan lengan Yunus. Begitu aku melirik ke arah teman-teman segeng aku lainnya (teman-teman dekatku yang sering jalan bareng dan bahkan ke kondangan ini pun baju kita samaan dan datang hampir semuanya barengan), aku langsung lemas melihat siapa yang menghampiri kami.
“Gue cari minum dulu,” bisikku pada Yunus dan dia mengangguk. Yunus sepertinya belum sadar akan dihampiri siapa.
Aku menemukan deretan jus dan langsung mengisi gelas dengan jus warna merah, entah tomat atau strawberry isi jus ini yang penting aku punya alasan untuk menghindar dari teman-temanku dan orang yang baru tiba itu. Letak stand jus sebenarnya tidak jauh tapi aku sengaja berlama-lama, mengisi lagi gelas agar ketika aku kembali, orang itu sudah tidak ada.
“Hei, Maria. Dicariin tuh, yuk kita foto sama penganten,” Kirana tiba-tiba muncul di sebelahku dan mulai menarik lenganku kembali ke kerumunan geng kami. Aku menghela nafas, pertemuan dengannya tak terelakkan rupanya.
“Hai, Maria,” suara itu langsung menyapa gendang telingaku begitu aku dan Kirana sampai di kerumunan geng kami. “Aku pikir kamu sengaja menghindari aku.”
Yeah, maunya. Jawabku dalam hati. Tapi kuberanikan diri membalas, “Hai, Andra.”
Kirana, Yunus, Heru, Pingkan, Tatia, Zidan, Rendra, dan Lukman memandangi kami bergantian. Lukman bahkan menutup mulutnya karena geli. Sementara para wanita sedikit tegang. Suasana di sekitar kami sedikit hening meski musik mengalun kencang dari pengeras suara. Melihat kekakuan diantara kami, Kirana inisiatif untuk angkat bicara.
“Langsung ke pelaminan aja yuk. Biar kalau MC-nya manggil, kita udah siap,”
“Pulang sama siapa kamu?” Andra menyela. Tidak membiarkan kami menanggapi kalimat Kirana. Kebiasaan.
“Nebeng mobil Zidan,” jawabku singkat.
“Sampe mana?” tanya Andra lagi. Nadanya itu lho ya.
Aku menoleh ke arah Zidan, yang punya mobil. “Kuningan kayaknya. Sori ya ga bisa nganter satu-satu,”
“Kamu pulang bareng aku aja. Udah malem. Ga bagus juga cewe naik taksi malem-malem begini apalagi kosan kamu masih jauh dari Kuningan,” Andra menatapku lagi. Aku melengos. Males sebenernya nanggepin dia yang masih begini aja. Alasan kenapa aku minta putus dari dia ya karena sifatnya ini. Bossy!
“Liat ntar aja deh,” lalu aku berbalik dan berjalan sendiri menuju pelaminan. Saat berdiri di sebelah tangga menuju pelaminan, aku melihat teman-temanku sudah berdiri di belakang dan Andra berdiri tidak jauh dari fotografer. Seakan memastikan aku tidak kemana-mana.
“Udah putus lama bukannya?” bisik Pingkan.
“Lima bulan,” jawabku ketus.
“Masih overprotective aja,” Kirana terkikik.
“Auk deh,”
Giliran kami berfoto tiba. Aku berusaha tidak memikirkan keberadaan Andra yang memandangi aku—kami—dengan begitu intens. Saat turun dari pelaminan, kami langsung dihadang oleh videografer yang meminta testimoni dari kami. Aku malas disorot kamera jadi aku mundur perlahan dan tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Eh maaf,” kataku panik lalu berbalik.
“Iya gapapa, eh, Maria!”
“Eh Kak Fabiola! Apa kabar?” aku menyalami kakak tertua Fitri dan bercipika cipiki. Aku dan yang lain cukup sering mampir ke rumah Fitri jadi kami kenal keluarganya. Termasuk kakak tertua Fitri, Fabiola, dan kakaknya yang lain, Fahmi.
“Baik. Kamu gimana? Kata Fitri lagi S2 ya?”
“Iya kak, baru mau kuliah minggu depan. Doain ya,”
“Iya, semoga lancar ya kuliah sambil kerjanya. Eh, udah punya pacar lagi belum?”
Aku meringis. Bahkan sampai urusan putus dari pacar aja kakaknya Fitri ini tahu. Aku menggeleng.
“Bagus deh. Bentar ya,” Kak Fabiola balik badan dan langsung memanggil seseorang. “Teddy!”
Aku mengikuti arah pandangnya dan kudapati sesosok laki-laki tinggi, tegap, berkulit putih, sedang tersenyum lebar dan menghampiri kami.
“Teddy, ini Maria. Maria, ini Teddy,”
Aku tersenyum sambil mengulurkan tangan, menyebut namaku perlahan. Genggaman tangannya kencang namun tidak menyakitkan. Tangannya sedikit kasar, tanda dia juga pekerja dan bukan laki-laki yang terlalu peduli penampilan.
“Fitri tuh wanti-wanti kakak supaya mempertemukan kalian berdua. Untung aja sempet ketemu ya,” kata Kak Fabiola sambil berseri-seri. Ada rencana apa si Fitri? “Kakak tinggal dulu ya. Kalian ngobrol aja.”
Kak Fabiola berlalu, meninggalkan aku kebingungan dengan Teddy.
“So, this is Maria?” tanya Teddy dengan suaranya yang berat.
“Iya, ini Maria.”
“Lebih cantik dari yang di foto,”
Aku tertawa garing. Bisa aja si mas ini. “Basi banget. Ini juga Cuma karena pengaruh make up.”
Teddy Cuma tersenyum. “Hmm, gue masih dibutuhkan di acara resepsi ini. Boleh minta nomer HP lo supaya kita bisa janjian makan siang bareng mungkin?”
Whoa, straight to the point. Tapi akhirnya kuberikan juga nomer hapeku. Lalu dia kembali ke panggung dan mengurusi entah apa. Saat aku kembali kepada teman-temanku, aku juga harus bersiap menghadapi mantan pacarku yang tiba-tiba muncul dan memulai lagi sikap overprotective-nya.


Siapa yang mau dianter pulang kalau di perjalanan malah berantem? Mending naik taksi aja, adem. Meski harus bayar. Emang ya si Andra ini kayaknya ngerasa aku itu bawahannya di kantor alih-alih pacarnya, ralat mantan pacarnya.
Setelah berhasil menyeret aku untuk ikut dengan mobilnya (dengan nada-nada perintah pastinya, aku menurut daripada saling bentak dan ganggu nikahannya Fitri) dimana aku juga memaksa supaya Tatia ikut karena dia mau naik kereta ke Depok, aku duduk diam di kursi penumpang depan. Aku diam, Tatia diam, Andra diam. Lalu dimulailah drama ini.
“Kalau ga tau pulangnya gimana, mending ga usah dateng aja ke nikahannya,” Andra memecah keheningan diantara kami.
Sadar aku yang dia ajak bicara, aku menoleh ke si supir. “Maksudnya?”
“Kamu kan tahu ini acara kondangan malem-malem. Kamu juga ga punya kendaraan pribadi. Ga pasti juga pulangnya gimana kan? Mana ini acara di Halim, kosan kamu Sudirman, rumah kamu Cempaka Putih, jauh. Pake angkutan umum malem-malem tuh ga aman,” selama menceramahi aku, Andra tidak sedikit pun melepaskan pandangannya dari jalanan.
“Pulang sih gampang. Aku bisa nebeng siapapun yang searah. Naik taksi juga asal merknya terpercaya aman kok. Lagian kamu apaan sih nyuruh aku ga dateng ke nikahan sahabatku sendiri?!”
“Demi keselamatan diri kamu sendiri,”
“Dan mengorbankan persahabatanku Cuma karena aku ga punya kendaraan? Ya ampun,” Lelah deh aku menghadapi percakapan semacam ini dengan Andra. Sementara dia masih lempeng aja ekspresinya.
“Kamu kan tinggal bilang, dia juga pasti ngerti. Daripada kamu pulang dari nikahannya dia terus dirampok atau diapa-apain?”
“Kamu kok doainnya gitu sih? Jahat banget!”
“Er, sori, gue turun depan aja,” Tatia tiba-tiba bersuara menyela pertengkaran kami.
“Eh maaf Ti, jangan gara-gara kami jadi lo segen,” aku menoleh ke arah Tatia, wajahnya terlihat canggung.
“Bukan kok Mar. Emang depan udah mau Tebet kan,” Tatia berkata sambil meringis, menunjuk ke depan.
Aku melirik ke depan dan benar saja, stasiun Tebet sudah terlihat.
“Silakan Ti,” ujar Andra saat mobilnya sudah di dekat Stasiun Tebet.
“Thanks Ndra, Mar. See you. Ati-ati di jalan ya kalian,” Tatia melambai pada Andra lalu cipika cipiki denganku. Setelah dia turun, mobil melaju lagi dan aku menganggap bahasan tadi tidak pernah ada. Aku cemberut sepanjang perjalanan. Sengaja membiarkan Andra menyetir sendiri. Karena terlalu hening, Andra menyalakan radio dan langsung memutar lagu Meghan Trainor featuring John Legend. Aku ingin menyanyi tapi kutahan. Jangan sampai si bossy ini menganggap aku menikmati waktu dengannya.
Jalanan Jakarta di Minggu malam ternyata cenderung lancar. Tidak lama ternyata Andra sudah berhenti di depan tempat kost-ku. Setelah dia membuka central lock, aku langsung membuka pintu dari mobil, dia ikut turun.
“Lain kali, kalau mau keluar malem, kabari aku aja biar aku temani kamu,” ujarnya saat aku membuka pintu pagar. Aku diam sejenak, tanpa memandangnya, aku menggumam, “Gimana nanti,” lalu masuk ke dalam.


Senin pagi yang (masih) damai. Aku terbangun pukul 7 setelah tidur lagi pasca shalat Subuh tadi. Karena jarak ke kantor yang Cuma 5 menit, bangun pukul 7 lalu bersiap-siap dan berangkat jam 8 kurang 15 pun masih tidak terhitung telat. Apalagi ini pekan terakhir sebelum aku mulai kuliah S2 di Kampus UI Salemba. Sungguh sebuah perjuangan, saudara-saudara. Maka aku akan menikmati pekan terakhir sebelum rutinitas itu dimulai.
Sebelum masuk ke kamar mandi, aku mengecek handphone yang kusimpan begitu saja setelah pulang dari nikahan Fitri. Eh ternyata mati. Jadilah aku cas hapeku dan biarkan laptop yang mendapat tugas menyetel musik. Shuffle, lalu terputarlah Meghan Trainor dan John Legend. Seakan mengejekku atas kejadian tadi malam.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, hape yang tadinya mati sudah menyala dan ada telepon berdering. Nama yang sebenarnya sudah kuhindari sekarang muncul di layar.
“Apa?” sapaku begitu kuangkat teleponnya.
“Ga bisa lebih ramah angkat teleponnya?” tanya si penelepon.
“Buat kamu nggak.”
“Temenin aku buka puasa ya nanti malam. Aku jemput di kantormu, kita berangkat bada Maghrib, ke GI aja,” Klik. Telepon diputus. Weeeeeiii, ini ngajak makan apa suruh harakiri?! Merepet terus ga ada basa-basi.
Setelah telepon dari Andra ditutup, muncul lagi telepon lainnya. Nomor tak dikenal.
“Halo?” kali ini nada suaraku lebih rama. Siapa tau telepon dari tempat kerja baru kan? #eh
“Maria?”
“Maria disini,”
“Ini Teddy,”
“Oooh, hai Ted. Apa kabar?”
Dia tertawa mendengar basa-basiku.
“Capek, tadi malem tidur jam 1 abis beres-beres. Lo?”
“I’m good. Tidur cukup kok tadi,”
“Ada aktivitas kemana hari ini?” Basa-basi lainnya.
“Masih kerja aja. Belom jadi orang kaya yang ongkang-ongkang kaki terus duit tiba-tiba dateng kok.”
Dia ketawa lagi. “Ada waktu malam ini?”
Wow wow, ada apa ini dua cowo tiba-tiba ngajak aku ketemuan malam ini? Sebenarnya kalau Andra tidak mengajak aku ketemu malam ini, sudah langsung aku balas dengan ‘YA’ ajakan Teddy itu. Tapi berhubung si bossy satu itu sudah ajak aku lebih dulu, mau tidak mau aku terpaksa menolak ajakan Teddy. Bukan berarti aku masih suka Andra atau gimana ya. Kadang memang masih mikirin sih. Tapi menolak ajakan dia tuh sama dengan memulai perang dunia. Itulah alasan aku minta putus sama dia. Eh tapi kok setelah putus aku masih nurut juga?
“Sorry Ted, malam ini gue gak bisa. Senin, tau lah biasanya kalau Senin itu kerjaan suka tiba-tiba numpuk gak tau dari mana datangnya. Hmm, besok mungkin?”
Aku bisa merasakan Teddy tersenyum, padahal keliatan juga nggak. “Oke, jangan lembur ya besok. Gue jemput di kantor lo gimana?”
“5 pm will be nice,”
“Oke, see you tomorrow. Happy working, Maria,”
“For you too, Ted,”


Si bossy satu ini, setelah numpang shalat Maghrib di kantorku, tanpa babibu langsung mengajak aku ke basement dan menculikku ke GI. Selama memesan sushi di Sushi Groove, dia juga belum mengajakku bicara, malah asyik mengobrol di telepon. Kata-katanya seputar cabang, NPAT, nasabah, dan kawan-kawannya. Saat pesanan kami tiba, baru dia menutup telepon dan memandangiku.
“Apa? Baru sadar kesini gak sendirian?” tanyaku ketus. Tanpa memandang Andra, aku memilih menuangkan soyu.
“Nggak kok. Dari tadi juga sadar kesini ditemenin bidadari cantik,” balasnya. Tanganku terhenti dan aku memandangnya sambil melongo. Sejak kapan dia bisa ngegombal macam gini? “Maaf tadi urusan kantor mendadak. Untung bisa diselesaikan tanpa aku harus kembali ke kantor. How’s your day?”
Ini, pertanyaan soal bagaimana hariku, adalah pertama kalinya selama kami berkenalan, pacaran, putus, dan hari ini. Dia tidak peduli kepadaku. Diskusi kami selalu seputar kehidupan sekitar, aktivitasnya, cita-citanya, tak pernah tentang aku. Bahkan saat aku sakit tipes pun, dia tahu dari orang lain dan dia tidak marah karenanya! Luar biasa kan? Memang dia gak pernah peduli padaku. Jadi saat dia bertanya kabarku hari ini....basa basikah?
“Hectic as always Monday does,”
“Tired?”
Aku mengangkat sebelah alis. Nggak! Nggak capek. Aku kan Samson Betawi, tulang besi otot kawat. Ya capek laaah, gimana sih si Andra nih.
“Iya,” akhirnya hanya itu yang aku katakan.
“Makannya lebih banyak kalau gitu, biar ada tenaga dan gak sakit,”
Wait wait, ada yang aneh nih. Satu, baik banget dia. Dua, itu nada khawatir, bukan suruhan seperti biasanya. Tadi sok ngegombalin. Sekarang sok khawatir. Kesambet apa sih?
“Kamu sakit?” kutanya saja langsung.
“Hah? Kenapa? Nggak, sehat,”
“Tadi ngegombalin, sekarang perhatian. Gak kamu banget,”
Dia tertawa. Lalu saat tahu aku tidak bercanda, dia diam. “Just wanna be a different person.”
Aku diam, dia diam lagi. Such an awkward moment. Aku buru-buru melahap sushi sampai habis supaya bisa segera pulang. Dia juga sepertinya tidak tahu harus membahas apa karena...tiba-tiba dia mengulurkan jarinya ke bibirku.
“Ada bekas mayonnaise di bibir kamu,” katanya. Fix deh ini anak kesambet. Aku ambil tisu dan kulap seluruh bibirku.
“Udah yuk pulang,” langsung kupanggil waitress untuk meminta bill. Sementara bill diambil, aku memainkan hape dan dia memandangi seisi Sushi Groove.
“Silakan,” waitress mengulurkan bill ke arah Andra. Aku segera mengeluarkan dompet dari tas tapi Andra rupanya sudah menyerahkan kartunya ke si waitress.
“Kenapa?” tanyanya saat aku bengong sebelum bisa membahas soal pembayaran. “Aku yang ngajak makan kan, aku yang bayar.”
“Makasih,”
Sumpah ya, aku sekarang ini canggung secanggung-canggungnya menghadapi Andra. 6 bulan kenalan, 2 tahun pacaran, 5 bulan putus, dan aku masih gak tau mau ngomong apa dengan dia. Memang waktu pacaran dulu banyak yang kami bicarakan. Tapi sekarang, jeda 5 bulan tanpa komunikasi apapun, mau bahas sesuatu juga rasanya serba salah. Takut dia ga ngerti, takut dia ga nyambung, takut dia ga mau bahas itu, takut aku grogi. Tapi bukannya ketemu mantan tuh memang begini rasanya?
Padahal ya, hingga bulan kelima aku putus dari Andra, aku masih suka mendengar lagu yang sering kami dengar bersama, aku masih suka mellow kalau melewati tempat-tempat yang kulalui bersamanya, masih suka galau kalau hujan turun, dan kadang masih nulis kata-kata mutiara di Path yang kushare ke Inner Circle. Tapi saat benar-benar bertemu orangnya, entah kenapa aku jadi gagu begini.
“Kapan kamu mulai kuliah?” tanya Andra saat kami berjalan menuju tempat parkir.
“Senin depan,”
“Kuliah sambil kerja? Kamu yakin kuat?”
Aku mengangkat bahu, tanpa memandang dia. “Harus bisa. Itu kan emang kepengen aku.”
“Setiap hari PP Sudirman Salemba Sudirman?”
“Yep,”
“Memang kamu selesai kuliah jam berapa?”
“Jam 9,”
“Bahaya,” sahut Andra. Membuat aku berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya.
“Kamu mau larang aku kuliah?” tanyaku ketus.
“Biar aku jemput kamu setiap hari,” keempat kalinya dia membuat aku bingung hari ini.
“Kenapa? Kamu ga punya kewajiban apa-apa untuk jemput aku,” mendengar kata-kataku ini dia tampak ingin membantah. Mulutnya sudah membuka tapi ia mengatupkannya kembali dan menggeleng.
“Iya, memang ga ada kewajiban apa-apa.” Ia pun berlalu lebih dulu menuju mobilnya.


“Thanks for today ya Ted. Such a great conversations with you,”
Mobil Teddy sampai di depan tempat kost ku dan aku memalingkan muka ke partner dinner ku malam ini. Aku tersenyum lebar dan dia juga balas tersenyum.
“Anytime, Maria,”
“Ngobrol sama lo bisa banget bikin gue ‘mikir’ padahal udah bukan jam kantor nih. Biasanya kalau udah pulang kantor, otak gue dipake yang ringan-ringan aja.”
Dia ketawa makin lebar. Sepanjang dinner tadi kami sibuk membahas kenaikan harga minyak dan hubungannya ke berbagai aspek ekonomi. Penting banget kan bahas ini sambil dinner? Tapi dasar ketemunya sama anak Pertamina, ya begini.
“Latihan asah otak sebelum mulai kuliah minggu depan kan?”
Aku mengangguk mantap. “Kita perlu sering-sering ngobrol deh.”
“Itu bukan kode supaya sering ketemu gue kan?” godaan Teddy membuatku menaikan satu alis lalu tertawa terbahak-bahak.
“Apaan sih,” aku menonjok lengannya pelan. “Biar gue makin pinter aja.”
“Kapanpun lo telepon gue, gue siap kok,”
“Jadi kalau gue hubungi via WhatsApp, lo gak ready dong?” aku berusaha ngelucu. Untungnya dia ketawa juga.
“Kapanpun lo hubungi gue, dengan cara apapun, mau lewat teknologi atau telepon benang, gue siap,” Teddy meralat ucapannya.
Aku mengangkat kedua jempol.  “Mantap Ted. Sekali lagi makasih ya. Sampai ketemu lagi. Hati-hati di jalan lo ya.”
“Iya Maria. Selamat istirahat,”
Beda banget kan obrolannya?


Ini bukan selingkuh kan ya namanya. Toh ga ada hubungan apa-apa sama siapa-siapa juga dan ga mengkhianati siapa-siapa juga. Pagi berangkat kantor sendiri. Siang lunch sama temen-temen kantor, kadang Andra nyamperin kalau dia lagi ga sibuk. Malem pulang kantor ke kampus Salemba dianter Teddy sambil kadang makan siomay dulu. Pulang kuliah dijemput Andra dan dianter sampai kosan.
Bukan berarti aku sama Andra damai aja ya. Berantem, masih. Dia masih dengan sikap bossy-nya itu dan aku—entah kenapa—ga bisa nolak. Tapi dia juga, Andra yang sama, yang mulai ngasih perhatian-perhatian kecil ke aku. Kayak nanyain udah makan apa belum, rambutku berantakan, barang-barangku tercecer, udah ngerjain tugas apa belum.
Bersama Teddy, dengan otaknya yang cerdas itu, bisa bikin aku ngobrol macem-macem dari mulai serius sampai ketawa-ketawa. Kemarin aja kita baru bahas kenapa Sule bisa cepat terkenal tapi ga cepet turun juga. Ga penting-penting amat kan. Tapi kita bisa paham bahwa ada perjuangan, skill, dan attitude disitu.
Untungnya, kedua orang ini gak pernah ketemu. Teddy gak pernah melanggar jadwalnya dengan tiba-tiba menjemputku pulang kuliah. Andra juga gak pernah tiba-tiba kesambet ngejemput aku dari kantor dan anter ke kampus. Sedangkan weekend, aku selalu tolak ajakan mereka keluar dengan dalih mau ngerjain tugas dan istirahat. Kuliah sambil kerja itu capek sis, bro. Mungkin nanti kalau udah bisa atur jadwal dengan lebih baik, baru aku berani keluar di weekend.
“Halo?” handphone berdering di saat aku sedang asyik mengunyah soto mie sebagai menu makan siangku. Setelah susah payah menelan tomat, kuangkatlah telepon itu.
“Nanti kamu pulang kuliah jam berapa, Yang?” Iya saudara-saudara, ini Andra yang bicara. Kami gak balikan lagi, ga pernah bahas sedikit pun. Tapi sejak kami sering gencatan senjata dan sejak aku hampir pingsan di masa UTS, dia seenaknya panggil aku “yang-yang”. Yang Mulia kali maksudnya hahaha. Saat aku terkapar dengan suhu 38 derajat di mobilnya setelah pulang di UTS hari terakhir, dia menggenggam tanganku sepanjang perjalanan ke rumah dan dia bilang dia masih sayang aku. Berhubung aku masih lemas dan bawaannya pengen tidur, aku Cuma membalas dengan, “Apaan sih Ndra.”
“Aku masih sayang kamu, Maria. Kita balikan lagi ya?” kata dia saat itu. sambil mengelus pelan punggung tanganku.
“Nggak,” jawabku ketus. Mungkin kalau dia tidak melihat aku yang sedang demam, dia akan membalasnya dengan seribu pertanyaan. Tapi karena aku lemas sekali, dia Cuma membalas singkat.
“Ya udah, kita jalanin dulu aja,”
“Hmm,” aku merespon dan tertidur. Sejak itu dia terus memanggilku begitu. Awal-awalnya aku sempat protes, lama-lama Cuma mengangkat alis, sekarang-sekarang diam saja.
“Jam 9 kayak biasa, Ndra.” Yaaa, aku tidak ikut permainannya. Aku masih memanggilnya dengan nama.
“Keberatan kalau aku jemput kamu agak terlambat? Sekitar setengah 10 mungkin? Aku ada meeting dadakan jam 7,”
“Ga usah jemput juga gapapa,”
“No. Berbahaya cewe pulang sendirian. Ada tempat aman yang bisa kamu pake buat nungguin?”
Masih dengan drama ga-aman-cewe-pulang-malem-sendirian, pemirsa.
“Hmm, ya aku tunggu di kelas aja. Palingan juga ada anak-anak yang masih ngobrol atau nanti aku minta temenin OB aja,”
“Good. Pokoknya jangan kemana-mana sebelum aku datang,”
“Iya boss,”
Dia diam tapi tidak menutup teleponku.
“Masih?”
Aku menelan ludah. Iya dia tahu aku benci sifatnya yang bossy itu dan saat dia minta balikan lagi itu setelahnya (dengan aku jalan sempoyongan ke dalam rumah) dia mau jadi orang lebih baik, ga mau main suruh-suruh aja, ga mau dianggap bossy lagi. Jadi saat aku panggil dia begini, sepertinya dia jadi bete.
“Aku masih makan siang nanti kamu telepon lagi aja. Bye.” Kututup teleponnya. Jawaban aman, sekaligus galak.


Hari ini aku berangkat ke kampus dengan temanku karena Teddy tidak bisa mengantar. Jam 9 kuliahku selesai dan handphone sudah berdering. Nomor Teddy.
“Ya Ted?”
“Maria, sori, tadi ga bisa nganter kamu. Kamu sudah selesai kuliah?” Teddy terdengar agak merasa bersalah. Padahal gak masalah juga. Oh iya, on our 6th dates—anggaplah ini dates—Teddy decided to mention himself as ‘aku’ and call me ‘kamu’.
“Baru aja selesai. kenapa Ted?”
“Aku di parkiran kampus. Kita pulang bareng ya?”
WHAT?
“Serius kamu? Aku turun sekarang ya,” Aku buru-buru mematikan handphone dan berjalan cepat ke parkiran. feelingku sudah tidak enak. Teddy biasanya tidak menjemput aku dari kampus karena aku selalu berhasil meyakinkannya bahwa ada temanku yang pulang lewat arah Sudirman. Sekarang dia tiba-tiba muncul disini dan Andra juga akan muncul dalam setengah jam. Gawat.
Itu dia. Berdiri di depan Viosnya dengan lengan kemeja digulung sampai ke siku. Wajah tampannya masih segar apalagi disorot lampu. Aku bergegas menghampiri Teddy dan akan memintanya pulang saja sebelum Andra menemukan kami dan urusannya jadi panjang.
“Ted,”
“Yang,”
Aku berhenti. Panggilan barusan seperti cairan lilin yang membekukan tubuhku. Aku menoleh ke sebelah kanan. Melihat Andra yang berlawanan dengan Teddy. Jika Teddy tinggi, agak kurus, dan putih, wajahnya sedikit seperti orang bule karena ayahnya asli Perancis, dia jadi seperti Mike Lewis versi lebih Indo. Sementara Andra tinggi dan tegap, berkulit gelap, rahangnya keras dan kaku, dan asli Jawa. Seperti Reza Rahadian dengan rambut lurus dan lebih berisi. Andra sepertinya baru selesai menelepon karena ia masih menggenggam iPhone di tangannya.
“Udah keluar kelas Yang?” lanjut Andra saat dia sudah 1 meter di sampingku. Aku yakin Teddy juga mendengar kalimat tersebut.
“Ah, udah, er, baru aja. Eh, Andra, kenalkan ini Teddy, temanku. Teddy, ini Andra, temanku juga.”
Sengaja aku perkenalkan saja mereka berdua, keduanya sebagai temanku. Agar Teddy tidak bingung kenapa ada cowo memanggilku ‘yang’ sementara Andra tidak heran kenapa ada cowo yang menungguiku selain dia.
Mereka berdua terlihat canggung tapi akhirnya bersalaman juga.
“Temen Maria dimana?” Andra yang memulai pembicaraan duluan. Aku tau banget nih Andra mau menilai ‘musuhnya’ lebih dulu. Apa beneran saingan atau kami murni temenan.
“Gue sepupunya Fitri,” jawab Teddy singkat. Matanya menyipit, nampak tidak suka dengan cara Andra bicara. “Lo?”
“Gue sekampus dulu sama Maria.” Teddy mengangguk. Tapi Andra melanjutkan, mungkin untuk memberikan efek dramatis, dia berkata, “Sekaligus mantan pacarnya.”
Aku menghela nafas dan memalingkan muka. Sengaja banget si Andra.
“Ted,” aku memanggil pelan. Tersenyum semanis yang aku bisa dalam kondisi capek setelah kerja dan kuliah sekaligus berpikir keras bagaimana bisa membuat kedua pria ini tidak saling cakar. Karena kelihatannya dua-duanya sudah saling melemparkan jurus andalan.
“Ya, cantik?” Teddy memalingkan wajah ke arahku dan tersenyum lebaaaar sekali. Buset nih anak sengaja juga.
“Kamu bisa tunggu sebentar disini? Ada yang mau aku bicarakan dengan Andra,”
“Oke, if needed, i’ll wait all the night,” kata Teddy sambil mengelus rambutku. Aku meringis tapi tersenyum. Siap-siap diinterogasi Andra nih. Mana di sebelahku Andra sudah geram sekali pasti.
“You don’t have to,” kataku lalu aku berpaling pada Andra. Benar saja, wajahnya sudah merah padam. “Sini.”
Kutarik tangan Andra menjauhi Teddy, menuju sisi lain parkiran, cukup jauh dan cukup gelap.
“Ngapain sih dia? Kalian Cuma temen kan? Kenapa harus begitu sikapnya? I don’t like it,” Andra langsung ngomel begitu kami berhenti berjalan.
“Dia Cuma temen aku, Ndra. Kamu juga,” kataku pelan. Mengingatkannya bahwa status kami Cuma mantan pacar.
Andra tercengang. Wajahnya kaget tapi buru-buru ditenangkan kembali ekspresi dan perasaannya.
“Aku mantan kamu yang mau balikan lagi sama kamu. Janji untuk jadi lebih baik...”
“Yang aku bilang nggak. Aku nggak mau balikan,”
“Karena ada dia?” Andra menunjuk ke arah Teddy.
“Bukan. Karena aku belum siap ngadepin kamu lagi dalam sebuah hubungan,”
“Tapi kita bisa baik-baik aja selama beberapa bulan ini sering jalan bareng lagi.”
Aku menghela nafas, tersenyum sedikit lalu menggeleng. “Aku ga punya beban apa-apa selama ini, Ndra. Ya rasanya kayak temen aja. Aku gak berpikir kalau aku ikut karena aku seseorang spesial untukmu atau kalau aku melakukan kesalahan ke kamu maka aku berdosa. Nggak. Biasa aja Ndra. Cuma temen.”
Andra terdiam. “Aku harus apa supaya kamu mau terima aku lagi?” akhirnya Andra berkata begitu. Ia mengulurkan tangan dan membelai rambutku.
“Entah Ndra. Aku gak tau,” kugerakkan sedikit kepalaku untuk menghindaari tangan Andra.
“Lebih baik kita pulang dan pikirkan lagi semuanya. Pikirkan lagi perasaan kamu ke aku, Yang,” Andra menarik tangannya dan memasukkannya ke saku celana. Ia memandangi aku begitu intens. Sedangkan aku sudah mulai gelisah dan ingin kabur secepatnya.
“Iya aku akan pulang, tapi bukan dengan kamu ataupun Teddy.”
“Bahaya, Yang,”
Aku berjalan mundur, menjauhi Andra. “Aku akan pakai taksi. Kalau kamu khawatir, kamu boleh ikuti. Tapi aku gak akan pulang sama kamu.”
Berbalik menjauhi andra, aku menghampiri Teddy, menjelaskan hal yang sama. Untungnya Teddy mengerti lebih cepat. Setelah itu aku buru-buru mencari taksi dan pulang. Malam itu, setauku ada dua mobil yang mengikuti taksi dan memastikan aku selamat sampai di kosan.


Aku, Tatia, Zidan, dan Yunus sedang berkumpul untuk makan siang bareng, sebuah hal yang jarang terjadi mengingat kesibukan kami. Masih ada yang lain yang kami tunggu jadi obrolan belum terlalu panas. Ketika tiba-tiba Yunus nyeletuk.
“Lo balikan lagi sama Andra, Mar?”
“Hah? Apaan?” aku mendongak dari laptop dan menatap Yunus dengan bingung. Aku membawa laptop supaya bisa mencicil tugas sembari menunggu orang-orang datang.
“Ada yang bilang liat lo jalan bareng sama Andra,” kata Yunus lagi. Tatia dan Zidan melirik kami berdua dengan penasaran.
“Siapa? Kapan?”
“Sekitar dua mingguan lalu kalau ga salah. Si Candra yang bilang ma gue, katanya liat lo di Plaza Indonesia,” jawab Yunus. Ia mengambil es teh manis lalu meneguknya.
“Jalan bareng doang. Nemenin dia beli kemeja,” aku menjawab dan langsung menghadapi laptop lagi sebelum diinterogasi lebih jauh. Tapi rupanya aku belum bisa lepas.
“Tinggal tunggu tanggal mainnya aja itu mah,” kata Zidan iseng, memandang Yunus lalu mereka berdua sama-sama nyengir. Nyengir kuda.
“Apaan dah,”
“Lo kan masih suka galauin dia, Mar. Sekarang udah deket lagi. Seneng dong,” Tatia ikut-ikutan.
Aku menyerah. Melepaskan diri dari laptop dan memandang ketiga manusia ini.
“Iya, gue masih galauin dia, masih mikirin dia, masih ngarepin dia. Tapi ketika dia beneran muncul lagi di hidup gue, gue jadi takut. Takut salah lagi. Gue takut dia masih jadi dirinya yang mengecewakan gue. Takut gue berharap terlalu tinggi nyatanya dia cuekin gue lagi. Gue ga yakin dia sudah berubah,”
“Kok aneh?” wajah Zidan mengernyit kebbingungan.
“Entah Dan,” aku mengangkat bahu.
“Gue kemarin dulu ketemu sama Andra sih, pas pemilihan Ketua ILUNI FISIP,” ucap Yunus sambil memandangi kami bertiga.
“Oh yah?” Seingatku Andra tidak bilang apa-apa tentang itu. mungkin karena acaranya weekend dan kami tidak bertemu di weekend jadi Andra tidak merasa perlu mengabari aku hal itu.
“Awalnya ngomongin ILUNI, kerjaan, bisnis, bola, sampai ke lo,” Aku bengong, Zidan dan Tatia memandangiku.
“Ngomongin apa tentang gue?”
“Dia tanya, sebenernya lo ke dia sekarang gimana? Apa lo udah punya cowo lain? Gue bilang aja, kita gak pernah ngomongin soal pasangan, jadi gue gak tau gimana dia ke lo. Padahal gue tau banget sih lo masih suka galau. Tapi gue bilang juga lo belum punya cowo, karena kalau ada, pasti dibilangin.”
“Hmm, jawaban aman. Terus?”
“Dia juga bilang, harus gimana ngadepin lo? Pacaran dua tahun tapi rasanya masih salah aja ngadepin lo. Dia tanya gue yang temenan dengan lo lebih lama.”
Aku malah tertawa. Gak kebayang Andra yang bossy dan gengsian itu sampai nanyain cara ngadepin cewe.
“Gue Cuma bilang dua hal. Jangan banyak nyuruh Maria, dia orangnya ga suka disuruh. Tapi kalau ga disuruh, dia akan inisiatif sendiri, bahkan melebihi ekspektasi kita. Kedua, meski terlihat mandiri, Maria itu manja banget, bahkan diantara kita, jadi Maria harus sering dimanjain.”
Aku terpana mendengar penjelasan Yunus.
“That’s exactly what I want from Andra. Wow Yun, you’re surely one of my bestfriend that knows me so well,” aku menepuk pundak Yunus dan menggeleng takjub.
“Kalau dia bisa ngikutin saran gue, lo mau balikan ma dia?”
“Ga tau, tapi kecenderungannya naik.”
“Jadi berapa?”
“Hai guys!” suara Fitri muncul di tengah-tengah kami. Menunda pembicaraan tentang Andra. Ia menyalami kami semua dan duduk di sebelahku. “Gimana Teddy? Sepupu ganteng gue itu? katanya kalian udah sering jalan bareng.”
Fitri bertanya dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Aku melirik Yunus dan nyengir. Yunus hanya menggeleng.


Sabtu malam Minggu dan aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Setelah tragedi pasca pulang kampus itu hanya Teddy yang masih menghubungiku. Dua hari terakhir juga dia yang menjemputku dari kampus dan mengantarku dari kantor. Katanya sembari menunggu, dia tidur di mobil. Persis supir yang ditinggal majikannya belanja.
“Jadian yuk,” adalah kalimat Teddy setelah dia mengantarku dengan selamat sampai ke rumah setelah menjemput aku dari kampus. Bukan “see you” atau “take care” seperti yang biasa dia ucapkan.
“Ted,”
“Iya Maria. Aku sebenernya lebih minat ngajak kamu menikah tapi kita baru kenal 4 bulan jadi menurutku terlalu cepat jadi aku minta kamu jadi pacarku dulu.”
“Are you sure Ted?” aku masih tidak percaya.
“99%,” Teddy mengangguk.
“And the other 1% goes to?”
“Kekhawatiranku karena kamu masih mau balikan sama mantan kamu,”
“Haha,” aku tertawa getir.
“Atau memang kamu masih mau balikan sama mantan kamu?”
Teddy memandangku, aku balas memandangnya tapi tidak berani lama-lama jadi aku memalingkan wajah. Teddy meraih pipiku untuk membuatku kembali memandanginya dan dia mengecup keningku, lama.
“Pikirkan baik-baik ya. Setelah aku kembali dari Bandung, aku tunggu jawaban kamu.”
Sampai saat ini aku masih belum menentukan mau bilang apa ke Teddy. Dia enak kuajak bicara, dia punya kualitas seorang pria yang diinginkan orang tua manapun untuk jadi menantunya, dia juga punya kualitas untuk memastikan keturunanmu jadi generasi unggul dengan segala good looking dan kecerdasannya.
Aku turun dari ojek yang membawaku dari jalan besar ke depan rumah lalu terpaku. Ada Toyota Rush hitam terparkir di depan rumahku dan si pemilik sedang berdiri memandangiku. Pelan-pelan aku berjalan ke arahnya. Selain karena pintu pagar rumahku ada di belakangnya, mungkin aku juga perlu tahu apa yang dia lakukan di depan rumahku.
“Buat kamu,” adalah kalimat pertama yang dia ucapkan begitu aku sampai di hadapannya. Bukan ‘hai’ atau ‘apa kabar’ atau ‘kok pulang jam segini sendirian?’
Aku meraih kantung yang dia sodorkan dan melongok isinya. Cake dari The Harvest, my favorite.
“Setelah kita putus, aku sangat menyesal. Karena mengiyakan begitu saja permintaan kamu untuk putus. Tapi aku gak berani untuk mempertahankan hubungan karena takut menyakiti kamu lebih jauh. Aku tahu kesalahanku, tapi saat itu rasanya begitu sulit untuk berubah. Aku masih egois. Jadi saat kamu meminta putus, aku mengiyakan. Selama itu juga aku berpikir bagaimana supaya jadi orang yang lebih baik. Aku berusaha berubah sedikit demi sedikit. Sikapku memang berubah, kuharap. Perasaanku tetap sama, seperti hampir 3 tahun lalu sejak kita mulai pacaran. I was, do, and will love you, Maria.”
Aku memandangi Andra lama, memperhatikan setiap bagian wajahnya, mencari kebohongan atau ketidakyakinan dalam ekspresi dan gerak tubuhnya. Lalu aku menelaah diriku sendiri, mencari keyakinan yang tersisa.
Apakah ini jawaban dari segala kegalauanku selama ini? Apakah kami memang yang terbaik untuk satu sama lain? Apakah aku pantas mendapatkan dia dan sebaliknya? Apakah kami akan bisa menjalani segala sesuatunya lebih baik dari kemarin?
Pelan-pelan kuletakkan cake pemberiannya, tas tangan dan tas laptop yang kubawa. Kuulurkan tanganku untuk menariknya ke pelukanku. Dia membalas memelukku begitu erat, begitu hangat, dia ciumi rambutku dan kutenggelamkan wajahku di pundaknya.
“Be your best self ya Ndra. Be the best man for me too,” bisikku tepat di telinganya.
“Yes, Yang. I’ll do my best,”
We hugged each other until my parents came out from the house and they ask me and Andra to join their dinner. Semacam double date. Rasanya aku tahu harus menjawab apa ke Teddy besok.

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?